7. Masalah sa’aadah dan syaqaawah
Menurut
al-Maturudi, seseorang kadang-kadang dalam keadaan sa’aadah, tapi kadang-kadang
dalam keadaan syaqaawah. Artinya seseorang bisa jadi pada waktu hidupnya
syaqaawah, tetapi kemudian dia mati dalam keadaan sa’aadah. Demikian juga
sebaliknya. Adapun al-Asy’ari berpendapat tidak ada i’tibar sa’aadah dan
syaqaawah kecuali pada ketika khatimah (mati).
Perbedaan
pendapat ini terjadi karena perbedaan antara kedua ulama besar ini dalam
memahami makna sa’aadah dan syaqaawah. Al-Maturidi berpendapat sa’aadah adalah
Islam, sedangkan syaqaawah adalah kekafiran. Karena itu, seseorang bisa saja
Islam dalam hidupnya, sehingga dia bersifat dengan sa’aadah, tetapi kemudian
dia mati dalam kekafiran, sehingga dia bersifat dengan syaqaawah. Demikian juga
sebaliknya. Adapun al-Asy’ari memahami sa’aadah sebagai mati dalam Islam,
sedangkan syaqaawah adalah mati dalam kekafiran. Imam al-Asy’ari tidak memahami
sa’aadah dan syaqaawah kecuali pada ketika mati, baik dia pada awalnya adalah kafir
atau Islam. Sepakat dua ulama ini, apabila seseorang mati dalam Islam, maka dia
bersifat sa’aadah pada waktu kematiannya.
Berdasarkan
pembahasan di atas, maka dapat dipahami bahwa perbedaan di atas hanya perbedaan
karena berbeda dalam memahami makna sa’aadah dan syaqaawah saja, meski
sebenarnya sepakat dalam substansinya. Dengan demikian, maka ini adalah khilaf
lafzhi, yakni khilaf dalam penamaannya saja.
8. Ampunan atas orang kafir
Al-Maturidi
mengatakan, ampunan Allah kepada orang kafir tidak boleh pada akal. Adapun
al-Asy’ari mengatakan boleh menurut akal, tetapi tidak boleh menurut syara’ (sima’i).
Menurut
al-Maturidi, akal merupakan alat yang dapat mengetahui (ingkisyaf) hukum yang telah ditetapkan Allah dengan iradah-Nya.
Berdasarkan ini, maka beliau mengkaidkan akal dengan ketentuan syara’ yang yang
telah menetapkan tidak ada ampunan atas orang kafir. Sehingga beliau
berpendapat bahwa menurut akal tidak ampunan atas orang kafir. Adapun menurut
al-Asy’ari, hukum Allah tidak dapat diketahui dengan akal semata. Berdasarkan
ini beliau menjelaskan kepada kita masalah ampunan kepada orang kafir menurut
akal merupakan dari sudut aspek dan tinjauan akal semata-mata. Karena itu,
beliau mengatakan, ampunan kepada orang kafir boleh menurut akal dan tidak
boleh menurut syara’. Berdasarkan ini, maka ini menurut Sa’id Fudah merupakan
khilaf yang tidak prinsipil.
9. Masalah kekal orang beriman dalam
neraka dan orang kafir dalam surga
Al-Maturidi
mengatakan, mengekalkan orang beriman dalam neraka dan orang kafir dalam surga
tidak boleh menurut akal dan syara’. Adapun menurut al-Asy’ari, mengekalkan
orang beriman dalam neraka dan orang kafir dalam surga boleh menurut akal, akan
tetapi menurut syara’ tidak boleh.
Perbedaan
pendapat ini juga didasarkan kepada perbedaan kedua imam besar ini dalam memahami
al-husn wal qabhu di atas dan peran akal dalam bidang hukum. Al-Maturidi yang
mengkaidkan akal dengan hukum yang tetapkan Allah dengan iradah-Nya, mengatakan
mustahil pada akal, Allah mengekalkan orang beriman dalam neraka dan orang
kafir dalam surga. Adapun al-Asy’ari yang melihat hukum Allah ditetapkan dengan
iradah-Nya dan tidak diketahui hukum Allah itu dengan akal, maka beliau
mengemukakan pendapatnya tentang masalah ini dari sisi pandang akal semata,
meskipun menurut syara’ punya ketetapan yang berbeda. Karena itu, pandangan
beliau tentang ini adalah pada diri sifat kekafiran, pahala dan azab tidak ada
hubungan satu sama lainnya, demikian juga iman, pahala dan azab, hanya saja syara’
menentukan hubungan antara sifat kekafiran dengan azab dan sifat keimanan
dengan surga.
Perbedaan mazhab al-Asy’ari dan al-Maturidi (bag. 2)
Perbedaan mazhab al-Asy’ari dan al-Maturidi (bag. 4)
Perbedaan mazhab al-Asy’ari dan al-Maturidi (bag. 4)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar