Renungan

Jumat, 10 Juni 2016

Teori Niat Menurut al-Suyuthi (bag.3)

F.    Syarat Niat
Syarat-syarat niat adalah sebagai berikut :
1.      Islam
Karena itu, tidak sah ibadah pada orang kafir. Ada yang mengatakan sah mandinya, tidak sah wudhu’ dan tayamumnya. Pendapat lain, wudhu’ juga sah. Pendapat lain lagi,  tayamum juga sah. Khilaf ini terjadi pada kafir asli. Adapun murtad tidak sah mandi dan juga tidak sah lainnya.
Persyaratan di atas dikecualikan dalam beberapa kasus, antara lain :
a.       Perempuan kafir kitabiyah yang berada di bawah kekuasaan muslim (isteri si muslim atau hamba sahayanya), maka sah mandinya dari haid supaya halal disetubuhinya tanpa khilaf pendapat, karena dharurat dan disyaratkan pada mandinya itu ada niat.
b.      Kifarat sah dari kafir dan disyaratkan niat kifarat, karena pada bab kifarat dikuatkan arahnya kepada asfek orang berhutang, sedangkan niat padanya untuk membedakan, bukan untuk qurbah.
c.       Apabila si murtad mengeluarkan zakat pada ketika murtadnya, maka itu memadai dan dan sah.

2.      Tamyiz (dapat membedakan antara baik dan yang buruk).
Karena itu, tidak sah ibadah anak-anak yang belum mumayyiz dan tidak sah ibadah orang gila. Dikecualikan dari persyaratan di atas anak-anak yang diwudhu’kan oleh walinya untuk thawaf dan isteri gila yang dimandikan oleh suaminya dari haid dan diniatnya menurut pendapat yang lebih shahih.
3.      Mengetahui apa yang diniatnya.
Contoh-contohnya adalah sebagai berikut :
a.       Barang siapa yang tidak mengetahui  bahwa wudhu’ atau shalat adalah fardhu, maka tidak sah wudhu’ dan shalatnya.
b.      Demikian juga tidak sah seandainya dia tahu bahwa sebagian shalat fardhu, tetapi dia tidak tahu kalau shalat yang sedang dia lakukan itu adalah fardhu.
c.       Seseorang mengetahui bahwa shalat yang dilakukannya adalah fardhu, namun tidak mengetahui rukun-rukunnya, maka sendainya dia mengi’tiqad semuanya sunnat atau sebagian fardhu dan sebagian lain sunnat, tetapi dia tidak dapat membedakan antara keduanya, maka tidak sah. Atau dia mengi’tiqad semua fardhu, maka menurut pendapat yang lebih shahih adalah sah, karena tidak ada padanya lebih banyak melakukan sunnat dengan i;tiqad fardhu. Yang demikian itu tidak berpengaruh. Namun Imam al-Ghazali mengatakan, bagi orang awam yang tidak mampu membedakan antara fardhu dengan sunnat sah ibadahnya selama tidak mengqashadkan yang menjadi perbuatan sunnat sebagai perbuatan fardhu. Karena itu, jika diqashad, maka tidak sah.
d.      Termasuk furu’ syarat ini seseorang mengucapkan lafazh talaq dalam bahasa yang tidak dikenalnya. Dia mengatakan, aku qashad maknanya dalam bahasa Arab, maka tidak jatuh talaq menurut pendapat yang lebih shahih. Demikian juga kalau dia mengatakan, aku tidak mengetahui maknanya, tetapi aku niatkan talaq dan memutuskan nikah, maka juga tidak jatuh talaq. Karena hal itu sama dengan berbicara kepada isteri dengan kalam yang tidak ada makna, lalu berkata, aku bermaksud talaq.
4.      Tidak mendatangkan hal-hal yang menafikan niat
Furu’-furu’nya adalah sebagai berikut :
a.       Seseorang murtad di pertengahan shalat, puasa, haji atau tayamum, maka ibadahnya itu batal
b.      Seseorang murtad di pertengahan wudhu’ atau mandi, maka tidak batal wudhu’ dan mandinya itu, karena perbuatan wudhu’ dan mandi tidak berikatan sebagiannya dengan sebagian yang lain, akan tetapi yang dibasuh pada masa murtadnya itu tidak dihitung sebagai perbuatan wudhu’ atau mandi.
c.       Termasuk yang menafikan niat adalah niat memutuskan seperti niat memutuskan iman (tidak beriman lagi), maka jadi murtad seketika itu juga.
d.      Niat memutuskan shalat pada pertengahannya, maka batal shalat tanpa khilaf
e.       Niat memutuskan bersuci pada pertengahannya, tidak membatalkan perbuatan yang telah lalu menurut pendapat yang lebih shahih, tetapi wajib memperbaharui niat untuk perbuatan yang tersisa.
f.       Niat memutuskan puasa dan i’tiqaf tidak membatalkan keduanya menurut pendapat yang lebih shahih, karena shalat ada kekhususan dalam beberapa aspek dibanding ibadah lainnya, yakni ada ikatan dan munajah hamba kepada tuhannya dalam shalat.
g.      Niat makan dan bersetubuh dalam puasa tidak membatalkan puasa
h.      Niat perbuatan yang menafikan dalam shalat, seperti makan dan perbuatan yang banyak, maka tidak batal shalat sebelum melakukannya.
i.        Mendekati hukum niat memutuskan adalah niat mengubah. Al-Mawardi mengatakan, memindahkan shalat kepada lain ada empat pembagian, yakni :
a). Berpindah fardhu kepada fardhu. Ini kedua-duanya tidak sah
b). Berpindah shalat sunat rawatib kepada sunat rawatib yang lain, seperti witir kepada sunat fajar, maka tidak sah kedua-duanya
c). Berpindah sunat kepada fardhu, maka juga tidak sah kedua-duanya
d). Berpindah fardhu kepada sunat. Ini terbagi dalam dua pembagian, yakni pertama ; berpindah hukum, seperti seseorang takbiratul ihram untuk shalat dhuhur sebelum tergelincir matahari karena tidak tahu, maka shalat itu jatuh menjadi sunnat. Kedua ; berpindah niat, dalam arti niat shalat fardhu secara sengaja dari awalnya sebelum tergelincir matahari, maka ini batal shalatnya dan tidak berpindah kepada sunnat. Karena itu, apabila berpindah niat karena ada ‘uzur seperti seseorang takbiratul ihram untuk shalat fardhu secara munfarid, kemudian pada tempat tersebut ada iqamah untuk shalat jama’ah, kemudian orang ini memotong shalatnya dengan melakukan salam dalam dua raka’at, supaya dia dapat mengikuti  jama’ah, maka shalat tersebut sah menjadi shalat sunnat.
j. Termasuk katagori mendatangkan yang menafikan niat adalah tidak mampu melakukan suatu perbuatan yang diniatkannya, baik tidak mampu itu pada akal, atau pada syara’ ataupun  pada ‘adat. Contoh untuk masalah pertama, niat dengan wudhu’nya untuk shalat dan tidak shalat, maka ini tidak sah wudhu’nya karena saling bertentangan yang diniatkannya. Contoh masalah kedua, niat dengan wudhu’nya untuk shalat pada tempat bernajis, maka ini juga tidak sah sebagaimana dalam Syarh al-Muhazzab dari Kitab al-Bahr. Contoh masalah ketiga, niat dengan wudhu’nya untuk shalat hari raya, padahal dia masih dalam awal tahun atau niat dengan wudhu’nya untuk thawaf, padahal dia masih berada di negeri Syam. Dalam hal sah atau tidak sah masalah yang ketiga ini ada khilaf.
k. Demikian juga, termasuk katagori mendatangkan yang menafikan niat adalah taraddud (tidak ada ketetapan hati) dan tidak jazm (tidak pasti dalam hati).  Contoh-contohnya antara lain : taraddud apakah diputuskan shalatnya atau tidak dan di ta’liq (digantung) membatalkan shalat atas sesuatu, maka keduanya ini batal shalat. Demikian juga pada masalah iman, taraddud apakah telah diniat qashar atau tidak dan apakah disempurnakan shalatnya atau tidak, maka dalam hal ini tidak boleh qashar. Dikecualikan dari ketentuan ini, antara lain :
a). Seseorang yang ragu-ragu atas dua air dihadapanya, tidak tahu lagi mana air mutlaq dan yang mana air bunga mawar. Lalu tanpa upaya ijtihad, dia berwudhu’ sekali dengan satu air, kemudia berwudhu’ lagi dengan air yang lain, maka ini dimaafkan dalam hal taraddudnya pada niat, karena dharurat.
b). Seseorang ada kewajiban qadha satu shalat atasnya, tetapi dia sudah lupa mana shalat yang wajib diqadha itu, maka dia melakukan lima shalat, kemudian dia teringat kembali nama shalat yang wajib diqadha tersebut.
c). Seseorang ada kewajiban atasnya puasa wajib, tetapi tidak mengetahui lagi apakah itu puasa Ramadhan, nazar, atau kifarat, lalu diniatnya puasa wajib, maka memadai niatnya itu sebagaimana orang lupa satu shalat dari shalat yang lima.
d). Ragu-ragu mayat orang Islam dengan mayat kafir, atau orang syahid dengan non syahid, maka meniatkan shalat jenazah atasnya dengan niat shalat atasnya seandainya mayat tersebut adalah muslim atau bukan syahid.
e). Niat zakat untuk harta yang jauh seandainya masih ada, dan jika ternyata tidak ada lagi, maka untuk harta yang hadir di tempat domisinya, kemudian ternyata harta yang jauh memang masih ada, maka memadai untuk zakat harta yang jauh itu atau kemudian ternyata yang ada hanya yang hadir di tempat domisilinya, maka memadai untuk zakat harta yang hadir di tempat domisilinya.







1 komentar:

  1. Assalamualaikum.
    Tengku saya mau tanya.
    Kuku jempol kaki saya kan bengkak karena cantengan, sering berdarah dan bernanah sehingga darah dan nanahnya itu jadi mengeras di kuku saya. Setiap wudhu saya membiarkannya tanpa membersihkan darah dan nanah yg mengering karena (pernah saya membersihkannya setiap mau wudhu memakai ujung pasta gigi, alhasil kakinya semakin bengkak) jadi saya biarkan saja.
    Terus tadi saya kan mandi wajib, awalnya sesudah mandi saya yakin mandi saya sah. Namun setelah sholat maghrib, saya merasakan waswas. Di pikiran saya mandi saya tidak sah. Lalu ketika saya sedang tadarus di mesjid, saya terus memikirkan bagaimana mandi wajib saya. Setelah itu entah bisikan hati saya sendiri, atau entah bisikan setan, kurang lebih bisikannya seperti ini "daripada saya menuruti syetan, lebih baik mandi saya tidak sah" tapi saya pun agak lupa kata2nya entah seperti itu atau seperti apa.
    Saya pernah membaca bahwa ada orang zaman dulu yg berilmu (kalo tidak salah) ketika digoda waswas setiap akan sholat, ia berbisik dalam hatinya "lebih baik saya sholat sembari membawa hadats (kentut) daripada harus menuruti setan".
    Tengku bagaimana hukumnya kata2 saya tadi yg mandi wajib tidak sah, sayaaa ragu apakah saya yg mengucapkan atau bukan, tapi jika saya yg mengucapkan, saya mengucapkan itu karena teringat kata2 org itu yg biarlah sholat yg kentut itu.
    Lalu bagaimana hukumnya tengku? Apa mandi wajib saya menjadi batal atau tidak sah?

    BalasHapus