F.
Syarat Niat
Syarat-syarat
niat adalah sebagai berikut :
1.
Islam
Karena itu, tidak sah ibadah pada orang kafir. Ada yang mengatakan
sah mandinya, tidak sah wudhu’ dan tayamumnya. Pendapat lain, wudhu’ juga sah.
Pendapat lain lagi, tayamum juga sah. Khilaf
ini terjadi pada kafir asli. Adapun murtad tidak sah mandi dan juga tidak sah
lainnya.
Persyaratan di atas dikecualikan dalam beberapa kasus, antara lain
:
a.
Perempuan
kafir kitabiyah yang berada di bawah kekuasaan muslim (isteri si muslim atau
hamba sahayanya), maka sah mandinya dari haid supaya halal disetubuhinya tanpa
khilaf pendapat, karena dharurat dan disyaratkan pada mandinya itu ada niat.
b.
Kifarat
sah dari kafir dan disyaratkan niat kifarat, karena pada bab kifarat dikuatkan
arahnya kepada asfek orang berhutang, sedangkan niat padanya untuk membedakan,
bukan untuk qurbah.
c.
Apabila
si murtad mengeluarkan zakat pada ketika murtadnya, maka itu memadai dan dan
sah.
2.
Tamyiz
(dapat membedakan antara baik dan yang buruk).
Karena itu, tidak sah ibadah anak-anak yang belum mumayyiz dan
tidak sah ibadah orang gila. Dikecualikan dari persyaratan di atas anak-anak yang
diwudhu’kan oleh walinya untuk thawaf dan isteri gila yang dimandikan oleh
suaminya dari haid dan diniatnya menurut pendapat yang lebih shahih.
3.
Mengetahui
apa yang diniatnya.
Contoh-contohnya adalah sebagai berikut :
a.
Barang
siapa yang tidak mengetahui bahwa wudhu’
atau shalat adalah fardhu, maka tidak sah wudhu’ dan shalatnya.
b.
Demikian
juga tidak sah seandainya dia tahu bahwa sebagian shalat fardhu, tetapi dia
tidak tahu kalau shalat yang sedang dia lakukan itu adalah fardhu.
c.
Seseorang
mengetahui bahwa shalat yang dilakukannya adalah fardhu, namun tidak mengetahui
rukun-rukunnya, maka sendainya dia mengi’tiqad semuanya sunnat atau sebagian
fardhu dan sebagian lain sunnat, tetapi dia tidak dapat membedakan antara
keduanya, maka tidak sah. Atau dia mengi’tiqad semua fardhu, maka menurut
pendapat yang lebih shahih adalah sah, karena tidak ada padanya lebih banyak
melakukan sunnat dengan i;tiqad fardhu. Yang demikian itu tidak berpengaruh.
Namun Imam al-Ghazali mengatakan, bagi orang awam yang tidak mampu membedakan
antara fardhu dengan sunnat sah ibadahnya selama tidak mengqashadkan yang
menjadi perbuatan sunnat sebagai perbuatan fardhu. Karena itu, jika diqashad,
maka tidak sah.
d.
Termasuk
furu’ syarat ini seseorang mengucapkan lafazh talaq dalam bahasa yang tidak
dikenalnya. Dia mengatakan, aku qashad maknanya dalam bahasa Arab, maka tidak
jatuh talaq menurut pendapat yang lebih shahih. Demikian juga kalau dia
mengatakan, aku tidak mengetahui maknanya, tetapi aku niatkan talaq dan
memutuskan nikah, maka juga tidak jatuh talaq. Karena hal itu sama dengan
berbicara kepada isteri dengan kalam yang tidak ada makna, lalu berkata, aku
bermaksud talaq.
4.
Tidak
mendatangkan hal-hal yang menafikan niat
Furu’-furu’nya adalah sebagai berikut :
a.
Seseorang
murtad di pertengahan shalat, puasa, haji atau tayamum, maka ibadahnya itu
batal
b.
Seseorang
murtad di pertengahan wudhu’ atau mandi, maka tidak batal wudhu’ dan mandinya
itu, karena perbuatan wudhu’ dan mandi tidak berikatan sebagiannya dengan
sebagian yang lain, akan tetapi yang dibasuh pada masa murtadnya itu tidak
dihitung sebagai perbuatan wudhu’ atau mandi.
c.
Termasuk
yang menafikan niat adalah niat memutuskan seperti niat memutuskan iman (tidak
beriman lagi), maka jadi murtad seketika itu juga.
d.
Niat
memutuskan shalat pada pertengahannya, maka batal shalat tanpa khilaf
e.
Niat
memutuskan bersuci pada pertengahannya, tidak membatalkan perbuatan yang telah
lalu menurut pendapat yang lebih shahih, tetapi wajib memperbaharui niat untuk
perbuatan yang tersisa.
f.
Niat
memutuskan puasa dan i’tiqaf tidak membatalkan keduanya menurut pendapat yang
lebih shahih, karena shalat ada kekhususan dalam beberapa aspek dibanding
ibadah lainnya, yakni ada ikatan dan munajah hamba kepada tuhannya dalam
shalat.
g.
Niat
makan dan bersetubuh dalam puasa tidak membatalkan puasa
h.
Niat
perbuatan yang menafikan dalam shalat, seperti makan dan perbuatan yang banyak,
maka tidak batal shalat sebelum melakukannya.
i.
Mendekati
hukum niat memutuskan adalah niat mengubah. Al-Mawardi mengatakan, memindahkan
shalat kepada lain ada empat pembagian, yakni :
a). Berpindah
fardhu kepada fardhu. Ini kedua-duanya tidak sah
b). Berpindah shalat sunat rawatib kepada sunat rawatib yang lain,
seperti witir kepada sunat fajar, maka tidak sah kedua-duanya
c). Berpindah sunat
kepada fardhu, maka juga tidak sah kedua-duanya
d). Berpindah fardhu kepada sunat. Ini terbagi dalam dua pembagian,
yakni pertama ; berpindah hukum, seperti seseorang takbiratul ihram
untuk shalat dhuhur sebelum tergelincir matahari karena tidak tahu, maka shalat
itu jatuh menjadi sunnat. Kedua ; berpindah niat, dalam arti niat shalat
fardhu secara sengaja dari awalnya sebelum tergelincir matahari, maka ini batal
shalatnya dan tidak berpindah kepada sunnat. Karena itu, apabila berpindah niat
karena ada ‘uzur seperti seseorang takbiratul ihram untuk shalat fardhu secara
munfarid, kemudian pada tempat tersebut ada iqamah untuk shalat jama’ah,
kemudian orang ini memotong shalatnya dengan melakukan salam dalam dua raka’at,
supaya dia dapat mengikuti jama’ah, maka
shalat tersebut sah menjadi shalat sunnat.
j. Termasuk katagori mendatangkan
yang menafikan niat adalah tidak mampu melakukan suatu perbuatan yang
diniatkannya, baik tidak mampu itu pada akal, atau pada syara’ ataupun pada ‘adat. Contoh untuk masalah pertama, niat
dengan wudhu’nya untuk shalat dan tidak shalat, maka ini tidak sah wudhu’nya
karena saling bertentangan yang diniatkannya. Contoh masalah kedua, niat dengan
wudhu’nya untuk shalat pada tempat bernajis, maka ini juga tidak sah
sebagaimana dalam Syarh al-Muhazzab dari Kitab al-Bahr. Contoh masalah ketiga, niat
dengan wudhu’nya untuk shalat hari raya, padahal dia masih dalam awal tahun
atau niat dengan wudhu’nya untuk thawaf, padahal dia masih berada di negeri
Syam. Dalam hal sah atau tidak sah masalah yang ketiga ini ada khilaf.
k. Demikian juga, termasuk katagori
mendatangkan yang menafikan niat adalah taraddud (tidak ada ketetapan hati) dan
tidak jazm (tidak pasti dalam hati). Contoh-contohnya
antara lain : taraddud apakah diputuskan shalatnya atau tidak dan di ta’liq
(digantung) membatalkan shalat atas sesuatu, maka keduanya ini batal shalat. Demikian
juga pada masalah iman, taraddud apakah telah diniat qashar atau tidak dan
apakah disempurnakan shalatnya atau tidak, maka dalam hal ini tidak boleh
qashar. Dikecualikan dari ketentuan ini, antara lain :
a). Seseorang yang ragu-ragu atas
dua air dihadapanya, tidak tahu lagi mana air mutlaq dan yang mana air bunga
mawar. Lalu tanpa upaya ijtihad, dia berwudhu’ sekali dengan satu air, kemudia
berwudhu’ lagi dengan air yang lain, maka ini dimaafkan dalam hal taraddudnya
pada niat, karena dharurat.
b). Seseorang ada kewajiban qadha satu
shalat atasnya, tetapi dia sudah lupa mana shalat yang wajib diqadha itu, maka
dia melakukan lima shalat, kemudian dia teringat kembali nama shalat yang wajib
diqadha tersebut.
c). Seseorang ada kewajiban atasnya puasa wajib, tetapi tidak
mengetahui lagi apakah itu puasa Ramadhan, nazar, atau kifarat, lalu diniatnya
puasa wajib, maka memadai niatnya itu sebagaimana orang lupa satu shalat dari
shalat yang lima.
d). Ragu-ragu mayat orang Islam dengan mayat kafir, atau orang
syahid dengan non syahid, maka meniatkan shalat jenazah atasnya dengan niat
shalat atasnya seandainya mayat tersebut adalah muslim atau bukan syahid.
e). Niat zakat untuk harta yang jauh seandainya masih ada, dan jika
ternyata tidak ada lagi, maka untuk harta yang hadir di tempat domisinya, kemudian
ternyata harta yang jauh memang masih ada, maka memadai untuk zakat harta yang
jauh itu atau kemudian ternyata yang ada hanya yang hadir di tempat
domisilinya, maka memadai untuk zakat harta yang hadir di tempat domisilinya.
Assalamualaikum.
BalasHapusTengku saya mau tanya.
Kuku jempol kaki saya kan bengkak karena cantengan, sering berdarah dan bernanah sehingga darah dan nanahnya itu jadi mengeras di kuku saya. Setiap wudhu saya membiarkannya tanpa membersihkan darah dan nanah yg mengering karena (pernah saya membersihkannya setiap mau wudhu memakai ujung pasta gigi, alhasil kakinya semakin bengkak) jadi saya biarkan saja.
Terus tadi saya kan mandi wajib, awalnya sesudah mandi saya yakin mandi saya sah. Namun setelah sholat maghrib, saya merasakan waswas. Di pikiran saya mandi saya tidak sah. Lalu ketika saya sedang tadarus di mesjid, saya terus memikirkan bagaimana mandi wajib saya. Setelah itu entah bisikan hati saya sendiri, atau entah bisikan setan, kurang lebih bisikannya seperti ini "daripada saya menuruti syetan, lebih baik mandi saya tidak sah" tapi saya pun agak lupa kata2nya entah seperti itu atau seperti apa.
Saya pernah membaca bahwa ada orang zaman dulu yg berilmu (kalo tidak salah) ketika digoda waswas setiap akan sholat, ia berbisik dalam hatinya "lebih baik saya sholat sembari membawa hadats (kentut) daripada harus menuruti setan".
Tengku bagaimana hukumnya kata2 saya tadi yg mandi wajib tidak sah, sayaaa ragu apakah saya yg mengucapkan atau bukan, tapi jika saya yg mengucapkan, saya mengucapkan itu karena teringat kata2 org itu yg biarlah sholat yg kentut itu.
Lalu bagaimana hukumnya tengku? Apa mandi wajib saya menjadi batal atau tidak sah?