D.
Waktu Niat
Pada dasarnya, waktu niat suatu ibadat dan lainnya adalah pada
awalnya. Dikecualikan dari itu puasa, maka boleh mendahulukannya dari awal
waktu karena sukar mendapati awal waktunya. Contoh lain yang boleh didahulukan
niatnya dari awalnya antara lain :
1.
Zakat,
menurut pendapat yang lebih shahih boleh mendahulukan niat dari memberikannya
kepada faqir dengan jalan qiyas kepada puasa.
2.
Kifarat,
3.
Jamak
shalat, niatnya pada shalat pertama
4.
Niat
haji tamatu’ berdasarkan pendapat yang mengatakan boleh
5.
Menyembelih
qurban, niatnya boleh didahulukan atas menyembelih dan tidak wajib menyertai
niat dengan sembelih menurut pendapat yang lebih shahih dan menurut pendapat
yang lebih shahih juga boleh niat ketika menyerahkan qurban kepada wakil
6.
Niat
pengecualian pada sumpah, maka wajib niat sebelum selesai sumpah serta wajib
juga pada waktu mengecualikannya.
Beberapa
penjelasan sekitar waktu niat pada sebuah amal, antara lain :
1.
Ibadat
yang awalnya zikir, maka niatnya wajib menyertai dengan semua lafazh zikir itu.
Ada pendapat yang mengatakan memadai dengan awal lafazh saja. Termasuk dalam
katagori ini adalah :
a.
Shalat,
berdasarkan ini maka makna menyertai niat dengan takbiratul ihram adalah
didapati semua niat yang dii’tibar pada setiap huruf takbir. Sedangkan makna
memadai pada awalnya saja adalah tidak wajib niat itu merata sehingga kepada
akhir takbir. Pendapat terakhir ini telah dipilih oleh al-Ghazali.
b.
Sama
dengan di atas niat kinayah talaq. Dalam hal ini ada dua pendapat, pengarang
al-Minhaj mengatakan, disyaratkan pada niat kinayah menyertainya dengan semua
lafazh. Pendapat lain, memadai pada awalnya saja. Dalam Ashal al-Raudhah,
beliau mentarjihkan pendapat yang berbeda dengan keduanya, beliau mengatakan,
apabila niat kinayah menyertai pada awal perbuatan, tidak pada akhirnya atau
sebaliknya, maka jatuh thalaq menurut pendapat yang lebih shahih.
c.
Dalam
bab shalat ada yang mengatakan, yang menjadi i’tibar adalah menyertai niat
dengan lafazh yang tergantung sah shalat atasnya, yakni lafazh “Allahu Akbar”.
Karena itu, seandainya seseorang mengatakan, “Allahu al-Jalil Akbar”, apakah
wajib niat shalat juga menyertai dengan lafazh al-Jalil?. Ini perlu pendalaman
lagi. Al-Suyuthi mengatakan, aku belum melihat ada ulama yang menjelaskan
tentang ini. Namun dalam kitab al-Kawakib karya al-Asnawi dijelaskan, apabila
seorang suami menulis : “Isteriku tertalaq” dengan niat talaq, maka jatuh
talaq. Selanjutnya dijelaskan, analoginya disyaratkan niat pada semua lafazh
yang tidak boleh tidak pada talaq, bukan hanya khusus pada lafazh talaq saja.
d.
Wajib
niatnya menyertai semua lafazh yang menjadi awal sebuah amal juga berlaku pada
niat kinayah jual beli dan kinayah akad lainnya.
e.
Termasuk
juga dalam katagori ini adalah khutbah, seandainya kita berpendapat wajib niat
khutbah, maka dhahirnya wajib menyertainya dengan lafazh “alhamdulillah”,
karena lafazh tersebut merupakan awal rukun khutbah.
2.
Kadang-kadang
bagi ibadat itu ada awal hakiki dan awal nisbi.
Dalam hal ibadat mempunyai kedua ini, maka wajib menyertai niat
dengan keduanya. Contohnya tayamum, maka wajib menyertai niat ketika
memindahkan tanah, karena memindah tanah merupakan awal yang dilakukan dari
rukun tayamun dan wajib juga menyertai niat ketika menyapu muka, karena menyapu
muka merupakan awal rukun yang menjadi tujuan. Sedangkan memindah tanah hanya
wasilah kepadanya. Contoh lain adalah wudhu’ dan mandi, untuk keshahihannya,
maka wajib menyertai niat dengan awal yang dibasuh dari muka dan badan. Untuk
mendapat pahala, maka wajib menyertai niat dengan awal perbuatan sunat supaya
mendapat pahala bagi perbuatan tersebut.
3.
Ibadat
dalam bentuk perbuatan memadai niatnya pada awal perbuatan dan tidak
membutuhkan niat pada semua perbuatan, karena dipadai dengan menular niat itu
pada semua perbuatan, seperti wudhu’, shalat dan demikian juga haji. Dalam hal
haji, maka menurut pendapat yang lebih shahih tidak membutuhkan niat thawaf,
sa’i dan wuqud secara sendiri-sendiri.
Kemudian niat secara sendiri-sendiri (tafriq niat) pada
perbuatan-perbuatan yang ada dalam sebuah ibadah ada tiga golongan, yakni :
a.
Golongan
terlarang meniatkannya. Contohnya shalat, maka tidak boleh membeda-bedakan niat
(tafriq niat) menurut rukun yang ada dalam shalat
b.
Golongan
tidak terlarang meniatkannya. Contohnya haji, maka tidak terlarang meniatkan
thawaf, sa’i dan wuquf, bahkan itu lebih sempurna.
c.
Golongan
disyaratkan tidak meniatkan selainnya. Contohnya wudhu’, shalat, thawaf dan
sa’i. Karena itu, seandai awalnya niatnya tunggal, kemudian meniat untuk
berdingin-dingin, maka tidak dihitung sebagai suatu perbuatan (perbuatan
berwudhu’) sehingga orang itu mengulangi kembali niatnya. Seseorang niat turun
untuk sujud tilawah, kemudian sebelum sampai sujud dia niatkan sebagai ruku’ atau seseorang sudah dalam
keadaan ruku’, tiba-tiba dikejutkan oleh sesuatu, lalu mengangkat kepalanya
atau seseorang sudah dalam keadaan sujud, rupanya ada duri di tempat sujud yang
mengenainya, lalu mengangkat kepalanya, maka perbuatannya itu tidak memadai dan
wajib kembali dan mengulangi kembali (dalam kasus pertama tidak memadai sebagai
ruku’ dan dalam kasus kedua tidak memadai sebagai mengangkat kepala dari ruku’
serta dalam kasus ketiga tidak memadai sebagai mengangkat kepala dari sujud).
Seseorang yang thawaf tanpa niat, tetapi hanya qashad menemani temannya, maka
tidak dihitung sebagai thawaf.
d.
Golongan
tidak disyaratkan tidak meniatkan selainnya. Contohnya wuquf, menurut pendapat
yang lebih shahih boleh menggunakan kepada selainnya. Apabila seseorang
melewati Arafah karena mencari hamba sahaya yang lari atau karena sesat,
sedangkan dia tidak mengetahui bahwa tempat itu adalah Arafah, maka sah wuqufnya.
E.
Letak Niat
Letak
niat adalah pada hati. Hal ini karena hakikat niat adalah qashad secara mutlaq.
Ada yang mengatakan, niat adalah qashad yang menyertai perbuatan. Al-Baidhawi
mengatakan niat pada syara’ adalah iradah yang dihadapkan kepada seumpama
perbuatan untuk mencari ridha Allah Ta’ala dan menyanjung hukum-Nya. Alhasil di
sini ada dua prinsip pokok, yakni :
1.
Niat
tidak memadai dengan melafazhnya dengan lisan saja, tanpa dengan hati. Termasuk
dari furu’ ini, antara lain :
a.
Seandai
berbeda apa yang ada dalam lisan dengan yang ada dalam hati, maka yang dii’tibar
adalah yang ada dalam hati. Karena itu, kalau seseorang meniatkan dengan
hatinya wudhu’, sedangkan lisannya mengatakan berdingin-dingin, maka sah wadhu’
tersebut, tetapi kalau sebaliknya, maka tidak sah.
b.
Demikian
juga kalau meniatkan dengan hatinya dhuhur, sedangkan lidahnya mengatakan ‘ashar
dan seandainya meniatkan dengan hatinya haji, sedangkan lidahnya mengatakan umrah
atau sebaliknya, maka yang sah adalah apa yang ada dalam hatinya.
c.
Contoh
lain, seseorang mengucapkan lafazh talaq atau memerdekakan, tanpa
memaksudkannya makna yang syar’i, tetapi diqashadkan makna lain atau diqashad
mencampurkan makna lain kepadanya yang dapat hilang hukum karenanya, maka kasus
ini ada beberapa furu’ fiqh, sebagiannya dapat diterima qashadnya pada hukum
dhahir dan sebagian lain tidak dapat diterima. Tetapi semua kasus seperti ini
tidak terjadi talaq atau merdeka pada diri perkara (pada nafs amr atau pada bathin,
antara dia dan Allah Ta’ala)
2.
Niat
dengan hati tidak disyaratkan melafazhkannya. Furu’ ini banyak, diantaranya :
a.
Semua
ibadat
b.
Seseorang
menghidupkan tanah mati dengan qashad menjadikan sebagai masjid, maka tempat
itu menjadi masjid dengan semata-mata niat dan tidak membutuhkan lafazh.
c.
Seseorang
bersumpah tidak memberi salam atas si Zaid, suatu ketika dia memberi salam atas
sebuah kelompok dimana si Zaid ada di dalamnya, sedangkan ketika memberi salam itu
dia meniatkan kecuali si Zaid, maka dalam kasus ini tidak dihitung melanggar
sumpah. Ini berbeda dengan kasus seseorang bersumpah tidak akan masuk bertemu
si Zaid, suatu ketika dia masuk bertemu sebuah kelompok, dimana di dalamnya ada
si Zaid, sedangkan ketika masuk itu meniatkan kecuali si Zaid dan dengan qashad
menemui yang bukan si Zaid, maka ini tetap dihitung melanggar sumpah. Perbedaan
kasus ini dengan yang di atas adalah “masuk bertemu” sebuah perbuatan yang
tidak cocok padanya ada dikecualikan, sehingga tidak tepat dikatakan : “Aku
tidak masuk bertemu kalian kecuali si pulan.”, karena bagaimana dapat dikecualikan,
sedangkan si fulan tersebut tetap ada di situ, meski kita niatkan tidak masuk
menemuinya.
Dikecualikan dari
niat tidak disyaratkan melafazhkannya antara lain bercita-cita melakukan
perbuatan maksiat tetapi belum melakukannya atau melafazhnya, maka ini tidak
berdosa. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi SAW berbunyi :
ان الله تجاوز لامتي ما
حدثت به نفوسنا ما لم تتكلم او تعمل به
Artinya : Sesungguhnya Allah akan mengampuni bagi umatku apa yang
terbersit oleh hatinya selama dia belum mengungkapkannya atau melakukannya.
Assalamualaikum wr wb pak ustadz. Saya mau bertanya samakah antara niat dengan lintasaan hati?
BalasHapusAssalamualaikum wr wb. Pak ustadz apakah sama antara niat dengan lintasan hati?
BalasHapusBagaimana hukumnya jika ada suami melafazkan lafadz kinayah secara spontan tanpa niat talak. Namun di akhir kalimat dia baru sadar mungkin itu lafadz kinayah dan karena ia memiliki sifat was was terbersit lintasan hati lafadz talak di akhir klimat tersebut secara tiba tiba. Apakah lintasan hati itu termasuk niat? Bagaimana hukumnya?