Pengertian Ijtihad
Ijtihad merupakan usaha
sungguh-sungguh memahami hukum syar’i dari dalil-dalil yang mu’tabar. Memahami
hukum dari nash syara’ secara mudah, yang secara sharih dan terang menunjukan
kepada suatu hukum tidak dinamakan ijtihad, misalnya memahami kewajiban shalat
dan puasa. Nash syara’ secara gamblang dan sharih menunjukan kepada wajib
shalat dan puasa. Karena itu, ini tidak temasuk dalam katagori ijtihad. Berbeda
disaat para ulama dihadapkan kepada persoalan misalnya suatu benda apabila
bersentuhan dengan salah satu bagian tubuh anjing, apakah ini mengakibatkan
najis atau tidak? Sedangkan nash syara’ hanya menjelaskan kepada kita bahwa
apabila suatu benda dijilat anjing, maka benda tersebut wajib dibasuh tujuh kali
dengan air, salah satunya dicampur dengan tanah. Tidak ada penjelasan bagaimana
apabila bagian tubuh anjing yang lain seperti bulu dan kaki selain jilatan
lidah anjing bersentuhan dengan suatu benda. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu
Hurairah r.a. sebagai berikut :
أَن رَسُول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ طهُور
إِنَاء أحدكُم إِذا ولغَ فِيهِ الْكَلْب أَن يغسلهُ سبع مَرَّات أولَاهُنَّ
بِالتُّرَابِ
Artinya : Sesungguhnya
Rasulullah SAW bersabda : “Suci bejana salah seorang kamu apabila dijilat
anjing dengan membasuhnya tujuh kali, salah satunya dicampur dengan tanah.” (H.R.
Muslim)[1]
Para ulama berbeda
pandangan dalam memahami hadits di atas. Ulama Hanafiyah berpendapat anjing
bukan najis ‘ain, karena anjing boleh digunakan untuk pengawal atau berburu. Karena
itu, hanya mulut, air liur, tahi dan kencing saja yang najis. Bagian tubuh
anjing yang lain tidak dapat diqiyas kepada bagian najis yang dipahami dari
dhahir hadits di atas. Sedangkan ulama Malikiyah berpendapat anjing tidak najis
secara mutlaq. Adapun perintah membasuh tujuh kali sebagaimana maksud hadits di
atas hanya merupakan ta’abudi, bukan karena ‘ain anjing najis. Adapun Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa ‘ain
anjing merupakan najis. Perintah membasuh tujuh kali dalam hadits di atas
menunjukan bahwa anjing adalah najis. Apabila mulut anjing dihukum najis,
padahal mulutnya lebih bersih karena sering dikeluarkan saat haus, maka bagian tubuhnya
yang lain lebih patut dihukum najis juga dengan cara qiyas.[2]
Contoh pemahaman di atas merupakan
pemahaman ulama dengan menggunakan ijtihad. Karena ini merupakan ijtihad, maka
kemungkinan terjadi khilaf sangat besar terjadi sebagaimana gambarannya
terlihat pada contoh di atas.
Berikut ini beberapa
devinisi ijtihad yang dikemukakan oleh para ulama kita, yakni sebagaimana
berikut :
1.
Pengertian ijtihad yang
disebut dalam Syarah al-Warqat karangan Jalaluddin al-Mahalli :
بذل الوسع في بلوغ الغرض المقصود من
العلم ليحصل له
Mengupayakan
segenap kemampuan dalam mencapai maksud berupa ilmu agar terwujud hasil
baginya.[3]
2.
Pengertian ijtihad yang
disebut dalam Ghayatul Wushul karangan Zakariya al-Anshari :
استفراغ الفقيه
الوسيع بأن يبذل تمام طاقته في نظره في ألادلة لتحصل الظن بالحكم
Upaya seorang faqih dengan kemampuannya
dengan cara mengupayakan segenap kemampuannya dalam berpikir pada dalil-dalil
supaya menghasilkan dhan suatu hukum.[4]
Syarat-Syarat
Ijtihad
Zakariya
al-Anshari dalam kitabnya, Ghayatul Wushul menyebut syarat-syarat ijtihad
sebagai berikut :
1.
Baligh
2.
Berakal
3.
Mempunyai kecerdasan
pikiran
4.
Tajam pikiran dalam
memahami maksud kalam
5.
Mengetahui dalil-dalil
‘aqli
6.
Mempunyai kemampuan
bahasa Arab
7.
Mempunyai kemampuan ushul
fiqh dan yang berhubungan dengan hukum dari al-Kitab dan al-Sunnah
8.
Mengetahui ijmak ulama
9.
Mengetahui nasikh dan
mansukh
10. Mengetahui
asbabun nuzul
11. Mengetahui
hadits mutawatir dan ahad
12. Mengetahui
hadits shahih dan lainnya
13. Mengetahui
keadaan perawi hadits.[5]
Ijtihad
Kolektif
Sebenarnya apa yang disebut dengan ijtihad kolektif
(dalam Bahasa Arab sering disebut al-ijtihad al-Jama’i) tidak jauh bedanya
dengan al-ijtihad al-fard (ijtihad personal). Bedanya hanya kalau dalam ijtihad
kolektif, ijtihad dilakukan secara bersama-sama oleh sejumlah ulama. Sedangkan
al-ijtihad al-fard, ijtihad dilakukan secara sendiri-sendiri. Dengan demikian,
pengertian ijtihad kolektif dapat dimaknai dengan : “Usaha sungguh-sungguh sejumlah
ulama dalam memahami hukum syar’i dari dalil-dalil yang mu’tabar, kemudian
mereka sepakat terhadap sebuah keputusan hukum setelah terjadi dialoq di antara
mereka.”
Perkataan “sejumlah ulama” dalam devinisi di atas, supaya
dipahami bahwa ijtihad kolektif ini tidak temasuk dalam katagori ijmak. Karena
syarat ijmak sebagaimana dimaklumi dalam kajian ushul fiqh harus merupakan
kesepakatan semua ulama mujtahid yang hidup pada suatu masa tanpa kecuali.[6] Sedangkan ijtihad kolektif
hanya diikuti oleh sekelompok ulama yang bisa saja dibatasi oleh letak geografi
tertentu seperti Indonesia atau organisasi tertentu.
Dr Wahbah Zuhaili menyebut pengertian ijtihad kolektif
ini dengan lebih rinci, yakni sebagai berikut :
هو
ما
يتفق
عليه
فئة
مستنيرة
من
العلماء
بعد
دراسة
موضوع
معين
وتقديم
بحث
فيه،
والاطلاع
على
ما
يجدونه
مقرراً
لدى
العلماء
السابقين،
وإيراد
أدلتهم
ومناقشتها
والترجيح
بينها
والانتهاء
لرأي
معين
بحسب
قوة
الدليل
وتحقيق
المصلحة.
Hukum yang disepakati
oleh sejumlah ulama yang diakui kafasitasnya setelah melakukan kajian terhadap
objek tertentu dan mendahulukan kajian atasnya serta dengan mengkaji pendapat-pendapat yang
didapati dari ulama-ulama terdahulu. Kemudian mendatangkan dalil-dalil
ulama-ulama tersebut serta mendiskusikannya, kemudian melakukan tarjih di
antara pendapat-pendapat tersebut, sehingga menghasilkan suatu pendapat
berdasarkan dalil yang kuat dan kepastian
mashlahahnya.[7]
Berdasarkan uraian
di atas, maka syarat ijtihad kolektif ini adalah sebagai berikut :
1.
Syaratnya sebagaimana
syarat dalam ijtihad personal (al-ijtihad al-fard)
2.
Adanya sejumlah ulama,
tidak disyaratkan menyeluruh ulama sebagaimana dalam ijmak
3.
Adanya dialoq/musyawarah
sebelum mengambil sebuah keputusan hukum.
Ijtihad
Kolektif Pada Masa Sahabat Nabi
Istilah ijtihad kolektif (al-Ijtihad al-Jama’i) ini,
sejauh pengetahuan penulis sangat jarang ditemukan atau bahkan hampir dapat
dikatakan tidak ditemukan dalam khazanah ilmu pengetahuan Islam klasik. Istilah
ini baru muncul dikalangan ulama masa kini. Namun demikian, para tokoh Islam
masa kini yang mengajak melakukan ijtihad kolektif ini menyebutkan pada
prakteknya, ijtihad kolektif ini pernah dilakukan pada masa sahabat Nabi SAW.
Mereka memberikan contoh antara lain riwayat Maimun bin Mihran, beliau berkata
:
كَانَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ، إِذَا وَرَدَ عَلَيْهِ الْخَصْمُ نَظَرَ فِي كِتَابِ اللَّهِ،
فَإِنْ وَجَدَ فِيهِ مَا يَقْضِي بَيْنَهُمْ، قَضَى بِهِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي
الْكِتَابِ، وَعَلِمَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي
ذَلِكَ الْأَمْرِ سُنَّةً، قَضَى بِهِ، فَإِنْ أَعْيَاهُ، خَرَجَ فَسَأَلَ
الْمُسْلِمِينَ وَقَالَ: أَتَانِي كَذَا وَكَذَا، فَهَلْ عَلِمْتُمْ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى فِي ذَلِكَ بِقَضَاءٍ؟ فَرُبَّمَا
اجْتَمَعَ إِلَيْهِ النَّفَرُ كُلُّهُمْ يَذْكُرُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهِ قَضَاءً. فَيَقُولُ أَبُو بَكْرٍ: الْحَمْدُ
لِلَّهِ الَّذِي جَعَلَ فِينَا مَنْ يَحْفَظُ عَلَى نَبِيِّنَا، صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَإِنْ أَعْيَاهُ أَنْ يَجِدَ فِيهِ سُنَّةً مِنْ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، جَمَعَ رُءُوسَ النَّاسِ وَخِيَارَهُمْ
فَاسْتَشَارَهُمْ، فَإِذَا اجْتَمَعَ رَأْيُهُمْ عَلَى أَمْرٍ، قَضَى بِهِ
Artinya : Dahulu Abu Bakar r.a apabila
mendapat suatu masalah ia langsung mencarinya dalam Kitabullah, jika beliau
mendapatkan penjelasannya ia putuskan masalah itu dengannya, tetapi jika tidak
didapati dalam Kitabullah dan ia mengetahui suatu sunnah Rasulullah SAW dalam
masalah tersebut, ia putuskan dengannya, tetapi jika ia tidak menemukannya, ia
segera keluar dan menanyakannya kepada kaum muslimin, kemudian berkata: Aku
mendapat masalah ini dan ini, apakah kalian pernah mengetahui bahwa Rasulullah
SAW pernah memutuskan dalam masalah ini dengan suatu keputusan hukum?, biasanya
setelah beberapa orang berkumpul, masing-masing dari mereka menyampaikan suatu
keputusan hukum dari Rasulullah SAW, biasanya Abu Bakar r.a berkata: 'Segala
puji bagi Allah yang telah menjadikan pada kaum kami yang dapat menghapal
sunnah dari Nabi SAW. Jika tidak ia dapatkan dalam sunnah Nabi SAW, ia
mengumpulkan pembesar dan orang pilihan dari para sahabat untuk diajak
bermusyawarah, jika telah sepakat, maka dengan dasar keputusan bulat tersebut
ia memberikan keputusan hukum.(H.R. ad-Darimy)[8]
Ijtihad
Kolektif, Anggotanya Bukan Seorang Mujtahid
Dengan
berdalih bahwa pada masa sekarang sangat sulit untuk mencari seorang ulama yang
menguasai pengetahuan agama secara mendalam dan komprehensif (mujtahid
mutlaq), tokoh-tokoh Islam masa kini menganjurkan agar ijtihad pada masa
sekarang sebaiknya dilakukan secara kolektif dalam sebuah perkumpulan ilmiah
yang memiliki kapasitas keilmuan yang
tinggi, meskipun para anggota ijtihad ini tidak memenuhi syarat sebagai seorang
mujtahid, namun para anggotanya harus terdiri dari berbagai disiplin ilmu dan dari
orang-orang yang berkompenten dalam bidang disiplin ilmunya tersebut. Argumentasi
yang sering digunakan untuk mendukung praktek ijtihad seperti ini adalah karena
kekurangan dari masing-masing anggota dari sisi suatu disiplin ilmu dapat
ditutupi oleh anggota lain yang menguasai disiplin ilmu lain. Sebagai contoh,
anggota yang mengusai ilmu fiqh, tapi mempunyai kekurangan di bidang hadits,
maka kekurangannya ini dapat ditutupi oleh anggota yang menguasai ilmu hadits, sebaliknya
anggota yang menguasai disiplin ilmu hadits, akan tetapi mempunyai kekurangan
dalam bidang fiqh, maka dapat ditutupi oleh anggota yang menguasai disiplin
ilmu fiqh.
Menurut hemat kami, pendapat yang mengatakan anggota ijtihad kolektif
tidak mesti dari orang yang mempunyai kemampuan ijtihad sangat rancu. Karena kemampuan
yang harus dimiliki seorang mujtahid pada dasarnya saling bertalian. Penguasaan
bidang ilmu yang sepotong-sepotong tidak memadai dalam berijtihad. Bagaimana mungkin
sebuah produk hukum dapat disebut sebagai hasil ijtihad, sedangkan para
anggotanya yang melahirkan hukum itu bukan seorang yang mempunyai kapasitas
untuk itu (mujtahid). Salah satu syarat ijtihad kolektif adalah adanya dialoq
dan musyawarah. Dalam dialoq dan musyawarah yang baik diperlukan masing-masing
pihak penguasaan berbagai bidang disiplin ilmu, sehingga pendapat yang
dikemukakannya sudah ditinjau dari berbagai aspek. Sebagai ilustrasi, tentunya seseorang yang menguasai ilmu fiqh, tetapi tidak
menguasai ilmu hadits tidak dapat mempunyai kemampuan untuk memahami, berdialoq
dengan baik dan membantah sebuah produk hukum yang dikemukakan oleh anggota
yang menguasai ilmu hadits dengan mendasarkan kepada ilmu hadits yang
dikuasainya. Demikian juga sebaliknya di saat seorang ahli fiqh berargumentasi
dengan ilmu fiqhiyahnya, maka anggota yang tidak menguasai ilmu fiqh, pada
akhirnya hanya taqlid kepada anggota lain. Lalu dengan kondisi seperti ini,
bagaimana bisa terjadi sebuah ijtihad ?
Keharusan mempunyai kemampuan dan kapasitas sebagai seorang mujtahid
bagi anggota ijtihad kolektif ini telah diisyaratkan oleh Abdul Wahab Khalaf
dalam kitabnya, Mashadir al-Tasyri’ al-Islami sebagai berikut :
“Tidak boleh melakukan
ijtihad birra’yi (ijtihad dengan akal) bagi sebuah jama’ah kecuali terkumpul
pada setiap anggotanya syarat-syarat ijtihad dan keahliannya”.[9]
Hal yang sama juga telah dikemukan
oleh Dr Abdul Majid al-Susuh al-Syarfi, lulusan Universitas Kairo Mesir dalam
kitabnya, al-Ijtihad al-Jama’i fi al-Tasyri’ al-Islami.[10]
Ijtihad
Kolektif dan Ijtihad Juz’i
Karena beralasan sedikit
sekali kemungkinan ada seorang ulama pada masa sekarang yang mempunyai
kemampuan menjadi mujtahid mutlaq (mujtahid dalam semua bidang hukum fiqh),
maka sebagian tokoh Islam yang menganjurkan ijtihad kolektif ada berpendapat
bahwa anggota ijtihad kolektif ini memadai ulama-ulama yang mampu berijtihad,
meskipun hanya dalam sebagian masalah fiqh. Dalam kajian ushul fiqh, mujtahid pada sebagian
masalah ini ada menyebutnya dengan istilah mujtahid juz’i.[11] Para ulama kita tempo
dulu berbeda pendapat tentang kebolehan berijtihad bagi mujtahid juz’i ini. Namun
Zakariya al-Anshari lebih mentarjihkan pendapat membolehkannya. Dalam kitab
Ghayatul Wushul, beliau mengatakan :
“Menurut pendapat yang
lebih shahih, boleh berjuzu’ ijtihad dalam arti ada kemampuan ijtihad sebagian
manusia pada sebagian bab fiqh seperti faraidh dengan mengetahui dalil-dalilnya
dan membahasnya.”[12]
Pendapat membolehkannya ini juga
telah ditarjih oleh Ibnu al-Subki dalam kitabnya, Jam’ul Jawami’.[13]
Diakui memang kemungkinan untuk
mencapai derajat mujtahid juz’i ini lebih mudah dibandingkan mujtahid mutlaq. Namun
kalau ditanya, apakah pada zaman sekarang ini ada ulama yang mencapai kemampuan
menjadi mujtahid juz’i ini ?. Penulis hanya mampu menjawab : Wallahu a’lam,
hanya Allah yang tahu.
====sekian====
[1] Ibnu Mulaqqin,
Tuhfah al-muhtaj ila adallah al-Minhaj, Dar al-Hira, Makah, Juz.
I, Hal. 214
[2] Wahbah
al-Zuhaili, Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Darul Fikri, Beirut,
Juz. I, Hal. 153-154
[3] Al-Mahalli, Syarah
al-Warqat, Maktabah Raja Murah, Pekalongan, Hal. 23
[4] Zakariya
al-Anshari, Ghayatul Wushul, Maktabah Usaha Keluarga, Semarang,
Hal. 147
[5] Zakariya
al-Anshari, Ghayatul Wushul, Maktabah Usaha Keluarga, Semarang,
Hal. 147-148
[6] Lihat : Zakariya al-Anshari, Ghayatul
Wushul, Maktabah Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 107
[7] Wahbah
Zuhaili, al-Ijtihad fi ‘Asrina haza min Haitsu al-Nadhriyah wa
al-Tathbiiq, Majalah Dirasaat al-Alam al-Islami, Maret 2011, Hal. 1
[8] Al-Darimy, Sunan
al-Darimy, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 262, No. 163
[9] Abdul Wahab
Khalaf, Mashadir al-Tasyri’ al-Islami,
Darul Qalam, Kuwait, Hal. 13
[10] Abdul Majid al-Susuh
al-Syarfi, al-Ijtihad al-Jama’i fi al-Tasyri’ al-Islami, Hal.
73-74.
[12] Zakariya
al-Anshari, Ghayatul Wushul, Maktabah Usaha Keluarga, Semarang,
Hal. 148
[13] Ibnu al-Subki,
Jam’ul Jawami’ (dicetak bersama Hasyiah al-Banany), Dar Ihya
al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 386
Jazakumullah khairan katsira, Guree
BalasHapus