10. Nash Imam Syafi’i
melarang taqlid
Nash-nash Imam Syafi’i dimaksud
adalah sebagai berikut :
a. Al-Muzani mengatakan dalam Muqaddimah kitabnya, Mukhtashar
al-Muzani :
لاقربه على من اراده مع اعلاميه نهيه
عن تقليده وتقليد غيره
Sesungguhnya telah aku mempermudah ilmu Syafi’i
atas orang-orang yang menginginkannya serta ada pemberitahuan dari Syafi’i atas
larangan taqlid kepada beliau dan kepada selainnya.[1]
2. Harmalah berkata, Imam Syafi’i mengatakan :
كلما قلت فكان عن النبي صلى الله
عليه وسلم خلاف قولي مما يصح فحديث النبي صلى الله عليه وسلم أولى فلا تقلدوني
Manakala yang aku katakan, sedangkan perkataanku
itu menyalahi hadits Nabi SAW yang shahih, maka hadits Nabi SAW lebih diutamakan. Karena
itu, jangan kamu taqlid kepadaku.[2]
3. Al-Muzani berkata, Imam Syafi’i mengatakan :
اذا وجدتم سنة فاتبعوها ولا تلتفتوا
إلى قول أحد
Apabila kamu dapati sunnah, maka ikutilah sunnah dan jangan kamu
berpaling kepada perkataan seseorang.[3]
Imam Harmalah salah seorang murid
Imam Syafi’i, beliau lahir pada tahun 166 -243 H. Diantara kitab beliau karya
beliau adalah al-Mabsuth dan al-Mukhtsahar. Menurut penjelasan dalam kitab
Thabaqat al-Syafi’iyah karya Ibnu al-Subki, beliau ini termasuk mujtahid
muntasib (ulama yang berijtihad pada furu’ fiqh, namun masih menggunakan ushul
imamnya), meski kadang beliau keluar dari mazhab imamnya, baik ushul maupun
furu’nya. Hal yang sama juga terjadi pada al-Muzani.[4] Sedangkan al-Muzani sebagaimana dimaklumi juga
merupakan murid dari Imam Syafi’i. Beliau lahir pada tahun pada 175-264 H.[5] Al-Harmalah
dan al-Muzani ini dikenal sebagai perawi
mazhab jadid Imam Syafi’i.[6] Alhasil
kedua ulama yang mendengar langsung perkataan Imam Syafi’i ini adalah seorang
mujtahid, meskipun kedua beliau ini bukan sekelas imam mujtahid sekaliber Imam
Syafi’i dan lainnya yang merupakan mujtahid mustaqil.
Dengan demikian,
kita bisa memaklumi kenapa Imam Syafi’i berkata kepada dua tokoh ini dan yang
setingkat dengannya untuk tidak bertaqlid. Karena memang sebagaimana dimaklumi
bahwa mujtahid tidak boleh bertaqlid kepada mujtahid. Karena itu, nash-nash
Imam Syafi’i di atas tidak boleh kita terapkan untuk orang awam yang tidak
mampu berijtihad. Kebolehan bertaqlid orang awam kepada mujtahid adalah
berdasarkan firman Allah berbunyi :
فَاسْأَلُواْ أَهْلَ
الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
Artinya : Maka tanyalah kepada
orang yang punya ilmu apabila kamu tidak mengetahuinya. (Q.S. al-Nahl : 43)
Al-Mawardi
ketika menjelaskan hukum taqlid seorang ulama kepada ulama lainnya dengan perincian
dan perbedaan pendapat tentangnya, beliau mengatakan, ini merupakan masalah
taqlid mujtahid kepada mujtahid dan inilah maksud Imam Syafi’i melarang taqlid kepada beliau dan taqlid
kepada lainnya.[7]
Ketika Imam al-Nawawi mengutip pendapat Abu Ishaq dan Abu Ali As Sinji mengenai
posisi mujtahid muntasib, dimana mereka dinisbatkan ke imam mazhab bukan karena
taqlid, namun karena menggunakan metodologi imam mazhab dalam berijtihad, maka
setelah itu beliau menyatakan bahwa apa yang disebutkan oleh kedua ulama ini sudah
sesuai dengan apa yang diperintahkan kepada mereka dalam ijtihad oleh Imam Syafi’i
sebagaimana dalam Muhktashar al-Muzani ada larangan Imam Syafi’i untuk taqlid
kepadanya dan kepada selainnya.[8]
Penjelasan al-Nawawi ini menunjukan bahwa pernyataan Imam al-Syafi’i yang
disebut oleh al-Muzani mengenai larangan
untuk taqlid hanya sesuai dengan mereka
yang sampai pada tingkatan mujtahid muntasib, bukan ditujukan kepada orang awam
yang tidak mungkin mampu menjadi mujtahid.
[1] Al-Muzani, Mukhtashar
al-Muzani, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 7
[2] Ibnu ‘Asaakir,
Tarikh al-Damsyiq, Maktabah Syamilah, Juz. VXI, Hal. 386
[3] Ibnu ‘Asaakir,
Tarikh al-Damsyiq, Maktabah Syamilah, Juz. VXI, Hal. 386
[4] Ibnu al-Subki,
Thabaqat al-Syafi’iyah al-Kubra, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz.
II, Hal. 127, 128, 131 dan 102-103
[5] Ibnu al-Subki, Thabaqat
al-Syafi’iyah al-Kubra, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. II, Hal.
93-95
[6] Qalyubi, Hasyiah Qalyubi wa
‘Amirah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 14
[7] Al-Mawardi, al-Hawi
al-Kabir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 33
[8] Al-Nawawi, al-Majmu’
Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. I, Hal. 76
Tidak ada komentar:
Posting Komentar