Sering
kita jumpai ahli hadits mengatakan “La Ashla lahu” dalam menilai sebuah
hadits. Dari beberapa rujukan kitab karya ahli hadits kita jumpai bahwa
pengertiannya itu berkisar antara hadits mauzhu’ dan hadits dhaif. Jadi tidak
serta merta dipahami sebagai hadits mauzhu’.
Berikut ini
beberapa rujukan kitab dimaksud, yakni :
1.
Al-Suyuthi
dalam kitabnya Tadriib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Rawi mengatakan :
قولهم هذا
الحديث ليس له اصل او لا اصل له, قال ابن تيمية معناه ليس له اسناد
Perkataan
mereka (ahli hadits), tidak ada baginya asal atau tidak ada asal baginya. Ibnu
Taimiyah mengatakan, maknanya adalah tidak isnad baginya.[1]
2.
Dalam
mengomentari hadits :
امرت ان احكم بالظاهر...,
Al-Shakhawi mengatakan
:
ولا وجود له في كتب الحديث المشهورة ولا الاجزاء المنثورة وجزم
العراقي بانه لا اصل له وكذا انكره المزي وغيره
Tidak terdapat
hadits tersebut dalam kitab-kitab hadits yang masyhur dan tidak juga dalam
juzu’-juzu’ yang tersebar. Al-Iraqi telah memastikan hadits itu tidak ada asal
baginya. Demikian juga al-Mazzi dan lainnya telah mengingkarinya.[2]
3.
Dalam
kitab al-‘Ilal karya Ibnu Abi Hatim disebutkan :
وسألتُ أَبِي عَنْ حديثٍ رَوَاهُ كَثِير ابن هِشَامٍ عَنْ
كُلْثوم بْنِ جَوْشَن، عَنْ أيُّوبَ السَّخْتِياني، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ
عُمَرَ؛ قَالَ: قَالَ رسولُ الله صلعم : التَّاجِرُ الصَّدُوقُ الأَميِنُ
المُسْلِمُ مَعَ الشُّهَداءِ يَوْمَ القِيَامَةِ؟
قَالَ أَبِي: هَذَا حديثٌ لا أصلَ لَهُ، وكُلْثومٌ ضعيفُ
الْحَدِيثِ.
Aku bertanya kepada bapakku tentang hadits yang diriwayat oleh Katsir
ibn Hisyam dari Kaltsum bin Jusyan dari Ayyub al-Sakhtiyani dari Nafi’ dari
Ibnu Umar, beliau berkata, Rasulullah SAW bersabda : “Pedagang yang jujur,
amanah dan muslim adalah bersama orang syahid pada kiamat.” Bapakku menjawab : “Hadits
ini tidak ada asal baginya, sedangkan Kultsum dhaif hadits.”[3]
Dhahir
dari pernyataan Abi Hatim di atas, maksud beliau, “la ashla lahu” bermakna
dhaif, bukan mauzhu’ dan bukan tidak ada isnad sama sekali.
4.
Al-Marwadzi
pernah bertanya kepada Yahya bin Ma’in :
سَأَلْتُ يَحْيَى بْنَ مَعِينٍ عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ، يَعْنِي
حَدِيثَ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تَفْتَرِقُ
أُمَّتِي قَالَ: لَيْسَ لَهُ أَصْلٌ، قُلْتُ: فَنُعَيْمُ بْنُ حَمَّادٍ؟ قَالَ نُعْيَمٌ ثِقَةٌ،
قُلْتُ: كَيْفَ يُحَدِّثُ ثِقَةٌ بِبَاطِلٍ؟! قَالَ: شُبِّهَ لَهُ.
Aku pernah menanyai kepada Yahya bin Ma’in
tentang hadits ini, yakni hadits ‘Auf bin Malik dari Nabi SAW : “Umatku akan
pecah.....”. Yahya bin Ma’in mengatakan, tidak ada baginya asal. Aku katakan, “Nu’aim
bin Humad?”. Beliau menjawab, “Nu’aim tsiqqah”. Bagaimana seorang tsiqqah
mendatangkan hadits batil?. Jawaban beliau, “menyerupai itu”.[4]
Dhahir
dari pernyataan Yahya bin Ma’in di atas, maksud beliau, “la ashla lahu” bermakna
dhaif, bukan mauzhu’ dan bukan tidak ada isnad sama sekali, karena hadits ini banyak
sanadnya.
Thariq bin ‘Awadhillah
seorang ahli hadits kontemporer, mengatakan tidaklah serta merta maksud dari
perkataan ahi hadits “tidak ada asal baginya” merupakan nafi jenis
isnad, hanya saja itu menafikan hadits tersebut sebagai asal dalam rujukan,
yakni sebagai sumber yang sahih, atau isnad yang shahih sebagai hujjah dalam rujukan.[5]
[1] Al-Suyuthi, Tadriib al-Rawi fi
Syarh Taqrib al-Rawi, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 162
[2] Al-Shakhawi, al-Maqashid
al-Hasanah, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Hal. 91
[3] Ibnu Abi Hatim,
al-‘Ilal, (Versi Maktabah Syamilah), Juz. III, Hal. 642, No. 1156
[4] Khatib
al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, (Versi Maktabah Syamilah), Juz.
XIII, Hal. 309
[5] Thariq bin ‘Awadhillah,
Syarh Lughah al-Muhaddits, Maktabah Ibnu Taimiyah, Hal. 427
Tidak ada komentar:
Posting Komentar