Renungan

Minggu, 25 Desember 2016

Pengertian perkataan ahli hadits “La Ashla lahu”

Sering kita jumpai ahli hadits mengatakan “La Ashla lahu” dalam menilai sebuah hadits. Dari beberapa rujukan kitab karya ahli hadits kita jumpai bahwa pengertiannya itu berkisar antara hadits mauzhu’ dan hadits dhaif. Jadi tidak serta merta dipahami sebagai hadits mauzhu’.
Berikut ini beberapa rujukan kitab dimaksud, yakni :
1.        Al-Suyuthi dalam kitabnya Tadriib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Rawi mengatakan :
قولهم هذا الحديث ليس له اصل او لا اصل له, قال ابن تيمية معناه ليس له اسناد
Perkataan mereka (ahli hadits), tidak ada baginya asal atau tidak ada asal baginya. Ibnu Taimiyah mengatakan, maknanya adalah tidak isnad baginya.[1]

2.    Dalam mengomentari hadits :
امرت ان احكم بالظاهر...,
Al-Shakhawi mengatakan :
ولا وجود له في كتب الحديث المشهورة ولا الاجزاء المنثورة وجزم العراقي بانه لا اصل له وكذا انكره المزي وغيره
Tidak terdapat hadits tersebut dalam kitab-kitab hadits yang masyhur dan tidak juga dalam juzu’-juzu’ yang tersebar. Al-Iraqi telah memastikan hadits itu tidak ada asal baginya. Demikian juga al-Mazzi dan lainnya telah mengingkarinya.[2]

3.    Dalam kitab al-‘Ilal karya Ibnu Abi Hatim disebutkan :
وسألتُ أَبِي عَنْ حديثٍ رَوَاهُ كَثِير ابن هِشَامٍ عَنْ كُلْثوم بْنِ جَوْشَن، عَنْ أيُّوبَ السَّخْتِياني، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ؛ قَالَ: قَالَ رسولُ الله صلعم : التَّاجِرُ الصَّدُوقُ الأَميِنُ المُسْلِمُ مَعَ الشُّهَداءِ يَوْمَ القِيَامَةِ؟ قَالَ أَبِي: هَذَا حديثٌ لا أصلَ لَهُ، وكُلْثومٌ ضعيفُ الْحَدِيثِ.
Aku bertanya kepada bapakku tentang hadits yang diriwayat oleh Katsir ibn Hisyam dari Kaltsum bin Jusyan dari Ayyub al-Sakhtiyani dari Nafi’ dari Ibnu Umar, beliau berkata, Rasulullah SAW bersabda : “Pedagang yang jujur, amanah dan muslim adalah bersama orang syahid pada kiamat.” Bapakku menjawab : “Hadits ini tidak ada asal baginya, sedangkan Kultsum dhaif hadits.”[3]

Dhahir dari pernyataan Abi Hatim di atas, maksud beliau, “la ashla lahu” bermakna dhaif, bukan mauzhu’ dan bukan tidak ada isnad sama sekali.
4.    Al-Marwadzi pernah bertanya kepada Yahya bin Ma’in :
سَأَلْتُ يَحْيَى بْنَ مَعِينٍ عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ، يَعْنِي حَدِيثَ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تَفْتَرِقُ أُمَّتِي قَالَ: لَيْسَ لَهُ أَصْلٌ، قُلْتُ: فَنُعَيْمُ بْنُ حَمَّادٍ؟ قَالَ نُعْيَمٌ ثِقَةٌ، قُلْتُ: كَيْفَ يُحَدِّثُ ثِقَةٌ بِبَاطِلٍ؟! قَالَ: شُبِّهَ لَهُ.
Aku pernah menanyai kepada Yahya bin Ma’in tentang hadits ini, yakni hadits ‘Auf bin Malik dari Nabi SAW : “Umatku akan pecah.....”. Yahya bin Ma’in mengatakan, tidak ada baginya asal. Aku katakan, “Nu’aim bin Humad?”. Beliau menjawab, “Nu’aim tsiqqah”. Bagaimana seorang tsiqqah mendatangkan hadits batil?. Jawaban beliau, “menyerupai itu”.[4]
           
Dhahir dari pernyataan Yahya bin Ma’in di atas, maksud beliau, “la ashla lahu” bermakna dhaif, bukan mauzhu’ dan bukan tidak ada isnad sama sekali, karena hadits ini banyak sanadnya.
            Thariq bin ‘Awadhillah seorang ahli hadits kontemporer, mengatakan tidaklah serta merta maksud dari perkataan ahi hadits “tidak ada asal baginya” merupakan nafi jenis isnad, hanya saja itu menafikan hadits tersebut sebagai asal dalam rujukan, yakni sebagai sumber yang sahih, atau isnad yang shahih sebagai hujjah dalam rujukan.[5]





[1] Al-Suyuthi, Tadriib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Rawi, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 162
[2] Al-Shakhawi, al-Maqashid al-Hasanah, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut,  Hal. 91
[3] Ibnu Abi Hatim, al-‘Ilal, (Versi Maktabah Syamilah), Juz. III, Hal. 642, No. 1156
[4] Khatib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, (Versi Maktabah Syamilah), Juz. XIII, Hal. 309
[5] Thariq bin ‘Awadhillah, Syarh Lughah al-Muhaddits, Maktabah Ibnu Taimiyah,  Hal. 427

Tidak ada komentar:

Posting Komentar