Masalah ini kembali kepada masalah
meninggalkan shalat, apakah wajib diqadha secara segera atau tidak. Rincian
hukum orang yang meninggalkan shalat adalah sebagai berikut :
- apabila ditinggalkan
karena adanya ‘uzur maka tidak wajib diqadha dengan segera, tetapi hanya
sunat hukumnya. Karena itu, dibolehkan baginya mengerjakan hal-hal lain yang tidak
wajib.
- apabila dtinggalkan tanpa uzur maka wajib segera diqadha, dan haram menggunakan waktu
untuk hal-hal yang lain selain mengqadha shalat fadhu tersebut
termasuk juga untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan sunat kecuali untuk
keperluan-keperluan yang tidak boleh ditinggalkan seperti makan, minum dan
lain-lain.
Berikut nash ulama fiqh mengenai hukum
qadha shalat fardhu, yakni sebagai berikut :
1. Al-Khathib
al-Syarbaini mengatakan :
مَنْ
تَرَكَ الصَّلَاةَ بِعُذْرٍ كَنَوْمٍ أَوْ نِسْيَانٍ لَمْ يَلْزَمُهُ قَضَاؤُهَا
فَوْرًا. لَكِنْ يُسَنُّ لَهُ الْمُبَادَرَةُ بِهَا أَوْ بِلَا عُذْرٍ لَزِمَهُ
قَضَاؤُهَا فَوْرًا لِتَقْصِيرِهِ
Barangsiapa yang meninggalkan shalat
tanpa ‘uzur seperti tertidur atau lupa, maka tidak wajib qadhanya dengan
segera, akan tetapi sunnat menyegerakannya atau meninggalkan nya tanpa ‘uzur,
maka wajib qadhanya dengan segera karena ada kelalaian.[1]
2.
Ibnu Hajar al-Haitamy dalam Tuhfatul Muhtaj mengatakan :
ويجب تقديم ما فات بغير عذر على ما فات بعذر وإن فقد الترتيب؛
لأنه سنة، والبدار واجب ومن ثم وجب تقديمه على الحاضرة إن اتسع وقتها، بل لا يجوز
كما هو ظاهر لمن عليه فائتة بغير عذر أن يصرف زمنا لغير قضائها كالتطوع إلا ما
يضطر إليه لنحو نوم، أو مؤنة من تلزمه مؤنته، أو لفعل واجب آخر مضيق يخشى فوته
Wajib mendahulukan kewajiban yang luput
tanpa ‘uzur atas yang luput dengan sebab ‘uzur, meskipun hilang tertib karena
tertib itu hanya sunnat, sedangkan menyegerakan qadha hukumnya wajib. Karena
itu, wajib mendahulu qadhanya atas shalat hadhir jika waktunya masih lapang.
Bahkan tidak boleh sebagaimana dhahirnya atas orang yang ada kewajibannya yang
luput tanpa ‘uzur menggunakan waktu selain mengqadhanya, seperti ibadah sunnat
kecuali perbuatan yang tidak boleh tidak seperti tidur, mencari belanja untuk
orang-orang yang wajib belanja atasnya atau perbuatan wajib lainnya yang sempit
waktu yang dikuatirkan luputnya.[2]
Selanjutnya al-Syarwani dalam
mengomentari perkataan pengarang Tuhfah di atas, mengatakan :
(قوله: كالتطوع)
أي: يأثم به مع الصحة خلافا للزركشي
Perkataan
pengarang seperti ibadah sunnat, maksudnya berdosa melakukannya, akan tetapi
sah. Ini khilaf dengan pendapat al-Zarkasyi.[3]
3. Al-Khathib al-Syarbaini dalam Hasyiah Bujairumi ‘ala Khatib mengatakan :
ومن
غير العذر أن تفوته الصلاة في مرضه فيجب عليه قضاؤها فورا بأن يشتغل جميع الزمن
بقضائها ما عدا ما يضطر إليه من أكل وشرب ومؤن ممونه، بل يحرم فعل التطوع ما دامت
في ذمته فتجب المبادرة ولو على حاضرة إن اتسع وقتها، بل لا يجوز كما هو ظاهر لمن عليه
فوائت بغير عذر أن يصرف زمنا لغير قضائها كالتطوع إلا ما يضطر إليه لنحو نوم أو
مئونة أو لفعل واجب مضيق يخشى فوته اهـ تحفة
Termasuk tidak
‘uzur luput shalat pada waktu sakitnya. Karena itu, wajib atasnya qadha
shalatnya dengan segera, yakni dengan menggunakan semua waktu untuk
mengqadhanya selain yang tidak boleh
tidak seperti makan, minum dan belanja orang wajib belanja atasnya. Bahkan
haram melakukan ibadah sunnat selama shalat wajib dalam tanggungjawabnya.
Karena itu, wajib menyegerakannya, meskipun atas shalat wajib yang hadhir jika
waktunya lapang. Bahkan tidak boleh sebagaimana dhahirnya atas orang yang ada
kewajibannya yang luput tanpa ‘uzur menggunakan waktu selain mengqadhanya,
seperti ibadah sunnat kecuali perbuatan yang tidak boleh tidak seperti tidur,
mencari belanja atau perbuatan wajib lainnya yang sempit waktu yang dikuatirkan
luputnya. Demikian Tuhfah.[4]
Berdasarkan rincian tersebut di atas, dapat di ketahui hukum melaksanakan
shalat sunnat
seperti shalat
Tarawih bagi
orang yang belum habis mengqadha shalat fardhunya. Bila shalat fardhu tersebut di
tinggalkan tanpa ‘uzur, maka wajib terhadapnya mempergunakan segenap waktu untuk
mengqadha shalat tersebut, tidak boleh
mengerjakan hal-hal lain walaupun perbuatan tersebut sunat termasuk juga shalat
Tarawih. Namun demikian shalat sunnat yang ia kerjakan tersebut tetap
sah, meskipun
haram melakukannya.
[2] Ibnu Hajar al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj,
(dicetak pada hamisy Hasyiah al-Syarwani
‘ala Tuhafah), Mathba’ah Mustafa Muhammad, Mesir, Juz. I, Hal. 440
[3] Al-Syarwani, Hasyiah
al-Syarwani ‘ala Tuhafah,
Mathba’ah Mustafa Muhammad, Mesir, Juz. I, Hal. 440
[4] Al-Bujairumi, Hasyiah al-Bujairumi ‘ala al-Khatib, Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, Beirrut, Juz. II, Hal. 42
Terimakasih penjelasan soal <a href="http://nettik.net/kesalahan-kesalahan-dalam-sholat-jamak/>sholat jamak dan qadha</a>nya
BalasHapus