Renungan

Jumat, 26 Mei 2017

Hadits puasa Ramadhan tergantung antara langit dan bumi kecuali setelah menunai zakat fitrah

Teks hadits ini berbunyi sebagai berikut :
إن شهر رمضان معلق بين السماء والأرض لا يرفع إلا بزكاة الفطر
Sesungguhnya bulan Ramadhan digantung antara langit dan bumi dan tidak diangkat kecuali dengan menunai zakat fitrah.

Al-Manawi dalam kitabnya mengatakan,  hadits ini telah diriwayat oleh Ibnu Shashari Qadhi al-Qudha dalam kitab Amaali al-Haditsiyyah dan al-Dailamy dari Jarir, namun didalamnya ada yang dhaif.[1] Kemudian dalam halaman lain, al-Manawi juga mengatakan, hadits ini juga diriwayat oleh Ibnu Syahiin dalam kitab al-Targhib dan al-Zhiya’ dalam kitab al-Mukhtarah. Ibnu al-Jauzi juga telah meriwayat hadits ini dalam al-Wahiyaat dengan mengatakan, hadits ini tidak shahih, di dalam sanadnya ada Muhammad bin Ubaid al-Bashri, sedangkan dia majhul.[2]
Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan, hadits ini hasan gharib.[3]
Makna Hadits
Dhahir kandungan hadits ini diterima amalan puasa tergantung kepada menunai zakat fitrah. Namun Abu Bakar Syatha dalam Kitab i’anah al-Thalibin mengatakan :
خبر إن صوم رمضان معلق بين السماء والأرض، لا يرفع إلا بزكاة الفطر.وهو كناية عن توقف تمام ثوابه، حتى تؤدى الزكاة، فلا ينافي حصول أصل الثواب بدونها.
Hadits sesungguhnya puasa Ramadhan tergantung antara langit dan bumi dan tidak diangkat kecuali dengan menunai zakat fitrah. Hadits ini merupakan kinayah dari tergantung kesempurnaan pahala puasa Ramadhan sehingga ditunai zakat. Karena itu tidak menafikan memperoleh asal pahala tanpa zakat.[4]

Sulaiman al-Jamal dalam kitab al-Jamal ‘ala Syarah al-Manhaj mengatakan :
والظاهر ان ذالك كناية عن عدم ترتب فائدة عليه اذا لم تخرج زكاة الفطرة لكن بمعنى توقف ترتب ثوابه العظيم على اخراجها بالنسبة للقديرعليها المخاطب بها عن نفسه فحنئذ لا يتم له جميع ما رتب على صوم رمضان من الثواب وغيره الا باخراج زكاة الفطر
Dhahirnya sesungguhnya hal tersebut merupakan kinayah dari tidak mendapatkan faedah puasa apabila tidak dikeluarkan zakat fitrah, akan tetapi dengan makna tergantung pahalanya yang besar atas mengeluarkan zakat kepada orang yang mampu dan diperintahnya. Maka ketika itu, tidak sempurna semua yang dikaruunia bagi puasa Ramadhan, baik pahala maupun lainnya kecuali dengan mengeluarkan zakat fitrah.[5]

Al-Syarwani juga mengatakan hal yang sama, yakni sebagai berikut :
وَالظَّاهِرُ أَنَّ ذَلِكَ كِنَايَةٌ عَنْ تَوَقُّفِ تَرَتُّبِ ثَوَابِهِ الْعَظِيمِ عَلَى إخْرَاجِهَا بِالنِّسْبَةِ لِلْقَادِرِ عَلَيْهَا الْمُخَاطَبِ بِهَا عَنْ نَفْسِهِ فَلَا يُنَافِي حُصُولَ أَصْلِ الثَّوَابِ
Dhahirnya sesungguhnya hal tersebut merupakan kinayah dari tergantung mendapatkan pahala puasa yang besar atas mengeluarkan zakat fitrah kepada orang yang mampu dan diperintahnya, maka tidak menafikan memperoleh asal pahala.[6]






[1] Al-Manawi, Faidhul Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 455, No. 2287
[2] Al-Manawi, Faidhul Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 166, No. 4905
[3] Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, (dicetak bersama Hasyiah al-Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muuhtaj, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 305
[4] Abu Bakar Syatha, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 167
[5] Sulaiman al-Jamal, al-Jamal ‘ala Syarah al-Manhaj, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Juz II, Hal. 171
[6] Syarwani, Hasyiah al-Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muuhtaj, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 305

Tidak ada komentar:

Posting Komentar