Istinja’ adalah menghilangkan (membersihkan diri dari) sesuatu yang keluar
dari kemaluan dengan menggunakan air atau batu. Apabila orang yang istinja`
menghendaki menggunakan salah satu dari keduanya, maka yang afdhal menggunakan air. Adapun yang
lebih afdhal dari itu adalah
menggabungkan keduanya dengan mendahulukan penggunaan batu. Kebolehan istinja’
dengan batu dapat dipahami secara terang diantaranya hadits riwayat Aisyah berbunyi
:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إذَا
ذَهَبَ أَحَدُكُمْ إلَى الْغَائِطِ فَلْيَذْهَبْ مَعَهُ
بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ يَسْتَطِيبُ بِهِنَّ فَإِنَّهَا تَجْزِي عَنْهُ
Sesungguhnya
Nabi SAW bersabda : “Apabila salah seorang kamu pergi buang air besar, maka
hendaknya pergi bersama tiga butir batu untuk istinja’ dengannya , maka itu
memadai dengannya.”
Al-Nawawi mengatakan,, hadits
ini shahih diriwayat oleh Ahmad, Abu Daud, al-Nisa-i, Ibn Majah dan
al-Darulqutny, beliau mengatakan isnadnya hasan shahih.[1]
Ulama dari kalangan mazhab
Syafi’i sepakat boleh istinja’ dengan benda selain batu yang diposisikan
seperti batu. Syeikh al-Syairazi telah membatasi benda itu dengan kata beliau :
كل
جامد طاهر مزيل للعين وليس له حرمة ولا هو جزء من حيوان
Setiap benda jamid (padat) yang suci, menghilangkan
‘ain, tidak terhormat dan bukan bagian dari hewan.[2]
Al-Nawawi dalam mengomentari
penjelasan al-Syairazi ini mengatakan :
اتَّفَقَ أَصْحَابُنَا عَلَى جَوَازِ الِاسْتِنْجَاءِ بِالْحَجَرِ
وَمَا يَقُومُ مَقَامَهُ وَضَبَطُوهُ بِمَا ضَبَطَهُ بِه الْمُصَنِّفُ
قَالُوا وَسَوَاءٌ فِي ذَلِكَ الْأَحْجَارُ وَالْأَخْشَابُ وَالْخِرَقُ
وَالْخَزَفُ وَالْآجُرُّ الَّذِي لَا سِرْجِين فِيهِ وَمَا أَشْبَهَ هَذَا وَلَا
يُشْتَرَطُ اتِّحَادُ جِنْسِهِ بَلْ يَجُوزُ فِي الْقُبُلِ جِنْسٌ وَفِي الدُّبُرِ
جِنْسٌ آخَرُ وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الثَّلَاثَةُ حَجَرًا وَخَشَبَةً وَخِرْقَةً
نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ وَاتَّفَقَ الْأَصْحَابُ عَلَيْهِ هَذَا مَذْهَبُنَا
قَالَ الشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ وَبِهِ قَالَ الْعُلَمَاءُ كَافَّةً إلَّا دَاوُد فَلَمْ
يُجَوِّزْ غَيْرَ الْحَجَرِ وَكَذَا نَقَلَ أَكْثَرُ أَصْحَابِنَا عَنْ دَاوُد:
قَالَ الْقَاضِي أَبُو الطَّيِّبِ هَذَا لَيْسَ بِصَحِيحٍ عَنْ دَاوُد بَلْ
مَذْهَبُهُ الْجَوَازُ
Pengikut mazhab Syafi’i
sepakat boleh istinja’ dengan batu dan benda yang diposisikan seperti batu.
Mereka membatasinya sebagaimana telah dibatasi oleh pengarang al-Muhazzab.
Mereka mengatakan, baik itu batu, kayu, kain, tembikar, bata, tidak boleh bata
yang ada baja dalamnya dan yang serupa dengan ini. Tidak disyaratkan sejenis,
akan tetapi boleh pada qubul satu jenis, sedangkan pada dubur jenis yang lain.
Juga boleh ketiganya itu batu, kayu dan kain. Ini telah nash Imam Syafi’i dan
pengikut Syafi’i sepakat atasnya. Ini mazhab kita. Syeikh Abu Hamid, pendapat
ini merupakan pendapat semua ulama kecuali Daud, yang tidak membolehkan
istinja’ dengan selain batu, seperti ini telah dikutip oleh kebanyakan pengikut
Syafi’i dari Daud. Al-Qadhi Abu al-Thaib mengatakan, ini tidak shahih dari
Daud, tetapi mazhab beliau adalah boleh.[3]
Dalil kebolehan istinja’ dengan benda selain batu yang diposisikan seperti
batu antara lain :
1. Hadits Abu Hurairah,
beliau berkata :
اتَّبَعْتُ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَخَرَجَ لِحَاجَتِهِ فقال ابغنى أحجارا استنقض
بِهَا أَوْ نَحْوَهُ وَلَا تَأْتِنِي بِعَظْمٍ وَلَا رَوْثٍ
Aku mengikuti Nabi SAW di
saat beliau keluar untuk buang air besar. Beliau mengatakan, carilah batu-batu atau
seumpamanya untukku beristinja’ dengannya dan jangan kamu bawa
untukku tulang dan kotoran.(H.R. Bukhari).[4]
2. Hadits Abu Hurairah, Nabi
SAW bersabda :
ولْيَسْتَنْجِ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ وَنَهَى عَنْ الرَّوْثِ وَالرِّمَّةِ
Hendaklah beristinja’ dengan tiga butir batu dan Rasulullah
melarang istinja’ dengan kotoran dan potongan tulang.
Al-Nawawi mengatakan, hadits ini shahih, telah diriwayat oleh Imam
Syafi’i dalam Musnadnya dan lainnya dengan isnad shahih. Abu Daud, al-Nisa-i
dan Ibnu Majah juga telah meriwayatnya dalam al-Sunan mereka dengan isnad
shahih yang semakna dengannya.[5]
3. Hadits Ibnu Mas’ud, beliau berkata :
أَتَى النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْغَائِطَ فَأَمَرَنِي أَنْ آتِيهِ بِثَلَاثَةِ
أَحْجَارٍ فَوَجَدْتُ حَجَرَيْنِ وَالْتَمَسْتُ الثَّالِثَ فَلَمْ أَجِدْهُ
فَأَخَذْتُ رَوْثَةً فَأَتَيْتُهُ بِهَا فَأَخَذَ الْحَجَرَيْنِ وَأَلْقَى الرَّوْثَةَ
وَقَالَ هَذَا رِكْسٌ
Nabi SAW mendatangi
jamban, lalu beliau memerintahku memberinya tiga batu. Aku menemui dua batu dan
aku cari batu yang ketiga, akan tetapi aku tidak mendapatkannya, maka aku ambil
kotoran. Kemudian aku berikan kepada Nabi SAW. Beliau mengambil dua batu dan
membuang kotoran. Kemudian beliau berkata : “Ini najis.”(H.R. Bukhari)[6]
Jalan pendalilian hadits
pertama dan kedua yaitu larangan Rasulullah SAW menggunakan tulang dan kotoran
menunjukkan bahwa benda selain batu di posisikan seperti batu. Seandainya tidak
diposisikan seperti itu, maka mengkhususkan larangan hanya pada tulang dan
kotoran tidak mempunya makna. Adapun jalan pendalilian hadits ketiga bahwa
Rasulullah SAW menjadikan ‘illah (alasan hukum) tidak menggunakan kotoran
sebagai alat istinja’ adalah najis, bukan alasannya karena kotoran itu bukan
batu.[7]
Apakah tissu termasuk
dalam katagori benda selain batu yang diposisikan seperti batu ?
Tissu adalah sepotong
kertas tipis dan lembut. Jenis kertas tissu lebih mudah meresap kotoran
dibandingkan kertas lain. Karena itu, tissu sering digunakan untuk membersihkan
kotoran dari badan manusia atau benda lainnya dengan cara menggosok pada bagian
yang terkena kotoran. Berdasarkan pengertian ini, maka kertas jenis tissu ini
lebih patut diposisikan seperti batu dalam istinja’ dibandingkan kertas yang
biasa digunakan dalam tulis menulis yang dibolehkan oleh ulama sebagai alat
istinja’. Para ulama yang telah memasukkan kertas sebagai alat istinja’ yang
dibolehkan pada syara’, antara lain :
1.
Sayyed Abdurrahhman Baa’alawi dalam kitab beliau, Bughyah al-Mustarsyidin
:
يجوز الاستنجاء بأوراق البياض الخالي عن ذكر الله تعالى كما في الإيعاب.
Boleh istinja’ dengan
kertas putih yang tidak ada zikir Allah Ta’ala sebagaimana disebut dalam kitab
al-I’aab.[8]
2.
Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab beliau, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqiyah :
وَنَقَلَ الزَّرْكَشِيُّ عَنْ الْقَمُولِيِّ وَأَقَرَّهُ جَوَازُ
الِاسْتِنْجَاءِ بِالْوَرَقِ الْكَاغَدِ إنْ كَانَ خَشِنًا مُزِيلًا وَصَرَّحَ
بِذَلِكَ جَمَاعَةٌ مِنْ الْمُتَأَخِّرِينَ وَنَقَلُوهُ عَنْ الْمَاوَرْدِيُّ. إهـ
Al-Zarkasyi mengutip dari
al-Qamuly dan mengakuinya, boleh istinja’ dengan kertas seandainya kertas itu
kesat dan bersifat menghilang kotoran. Telah diterangkan demikian juga oleh satu
jama’ah mutaakhiriin dan mereka mengutip itu dari al-Mawardy [9]
Catatan :
1.
Kebolehan istinja’ dengan
kertas tissu ini apabila tissu tidak dalam keadaan basah
2.
Kotoran tidak berpindah dari
lingkaran dubur atau hasyafah zakar
[1] Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarah
al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Juz. II, Hal. 112
[2] Al-Syairazi , al-Muhazzab,
Dicetak bersama al-Majmu’ Syarah
al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Juz. II, Hal. 130
[3]
Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarah
al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Juz. II, Hal. 130
[4]
Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarah
al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Juz. II, Hal. 130
[5]
Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarah
al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Juz. II, Hal. 111
[6] Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarah
al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Juz. II, Hal. 130
[7] Al-Nawawi, al-Majmu’
Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Juz. II, Hal. 130
[8] Sayyed Abdurrahhman Baa’alawi, Bughyah
al-Mustarsyidin, Maktabah Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 27
[9] Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Kubra
al-Fiqiyah, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 263
[10] al-Nawawi, Raudhah
al-Thalibin, al-Maktab al-Islami, Juz. II, Hal. 68
Assalamualaikum. Teuku, saya ingin bertanya. Jika seseorang sedang tidur, lalu ia merasakan orgasme, akan tetapi ia ragu apakah orgasme tersebut terjadi dalam mimpi, ataukah orgasme tersebut terjadi pada saat dia bagun (karena orang itu pernah mengalami, ketika sedang tidur, lalu tersadar -sadar seperti org yg tidur lalu tiba2 bangun dan merasakan keadaan sekitar namun tak lama dari itu tidur lagi-, kemudian ketika org itu memeluk guling, mungkin bagian *maaf* kemaluannya menjepit bantal, sehingga terasa seperti orgasme). Nah yg ingin ditanyakan, bagaimana jika org itu ragu, apakah kejadian orgasme tersebut dalam mimpi ataukah dalam keadaan sadar seperti saat baru setengah sadar dari bangun dari tidur. Terimakasih
BalasHapuswwajib mandi kalau keluar mani. kalau tidak keluar mani tdk wajib mandi.jadi sama aja apa itu merasakannya dalam mimpi atau bukan. jjadi gak pentingg diketahui apa kah merasakan orggasme itu dlm mimpi atau bukan. kalau tdk ada tanda2 keluar mani, maka tidak wajib mandi.
HapusMohon maaf tengku saya ingin bertanya 1 kali lagi, saya sempat membaca mengenai perempuan juga bisa mengeluarkan mani pada blog tengku. Disana dituliskan bahwa tanda keluar mani salah satu dari dua hal : aroma yg khas seperti mani laki2 dan yanh kedua adanya rasa nikmat disertai redanya syahwat.
Hapusmenurut jawaban diatas kewajiban mandi hanya jika keluar mani, nah apabila saya merasakan nikmat namun ragu apakah keluar mani atau tidak, berarti tidak ada kewajiban mandi? Karena pada (maaf) kelamin saya tidak ada tanda2 khas aroma mani seperti laki2, hanya seperti cairan yg biasa ada sehari2, atau seperti keputihan. Terimakasih.