Renungan

Kamis, 30 November 2017

Hukum tamu membawa pulang makanan yang dihidangkan

Manakala kita sedang menghadiri undangan, baik undangan walimatul ‘urusy atau undangan lainnya, biasanya dijamu dengan berbagai hidangan/suguhan. Kadang-kadang sebagian kita pulangnya membawa makanan yang di sajikan, baik sedikit atau banyak. Akan tetapi apakah jamuan yang disajikan tersebut boleh di bawa pulang ?
Berikut ini pandangan ulama mengenai masalah ini, yakni :
1.    Imam al-Nawawi dalam Raudhah al-Thalibin mengatakan :
الثانية: هل يملك الضيف ما يأكله؟ وجهان. قال القفال: لا بل هو إتلاف بإذن المالك، وللمالك أن يرجع ما لم يأكل. وقال الجمهور: نعم. وبم يملك؟ فيه أوجه. قيل: بالوضع بين يديه، وقيل: بالأخذ، وقيل: بوضعه في الفم، وقيل: بالازدراد يتبين حصول الملك قبيله. وضعف المتولي ما سوى الوجه الأخير. وعلى الأوجه ينبني التمكن من الرجوع قلت: قال صاحب البيان إذا قلنا: يملكه بالأخذ أو بالوضع في الفم، فهل للآخذ إباحته لغيره والتصرف فيه بغير ذلك؟ وجهان. الصحيح وقول الجمهور لا يجوز كما لا يعير المستعار. وقال الشيخ أبو حامد والقاضي أبو الطيب: يجوز أن يفعل ما يشاء من البيع والهبة وغيرهما؛ لأنه ملكه. قال ابن الصباغ: هذا لا يجيء على أصلهما. والله أعلم .الثالثة: ليس للضيف التصرف في الطعام بما سوى الأكل، فلا يجوز أن يحمل معه منه شيئا، إلا إذا أخذ ما يعلم رضى المالك به، ويختلف ذلك بقدر المأخوذ وجنسه، وبحال المضيف والدعوة. فإن شك في وقوعه في محل المسامحة، فالصحيح التحريم، وليس للضيف إطعام السائل والهرة
Yang kedua, adakah tamu memiliki apa yang akan dia makan ? Ini dua pendapat. Al-Qafal mengatakan tidak memilikinya, akan tetapi penghilangan dengan izin pemiliknya dan pemiliknya boleh ruju’ kembali selama belum dimakan. Jumhur ulama mengatakan, “Ya” (memilikinya). Dengan apa memilikinya? Berdasarkan ini ada beberapa pendapat. Ada yang mengatakan, dengan meletakkannya dihadapan tamu. Ada yang mengatakan dengan sebab ambil. Ada yang mengatakan dengan sebab meletaknya dalam mulut. Ada yang mengatakan dengan sebab menelan nyata hasil milik sedikit sebelumnya. Al-Mutawalli telah mendha’ifkan selain pendapat yang terakhir. Berdasarkan pendapat yang kuat didasarkan kemungkinan rujuk kembali. Aku mengatakan, pengarang al-Bayan mengatakan, apabila kita berpendapat memilikinya dengan dengan mengambil atau dengan meletaknya dalam mulut, maka apakah boleh bagi yang mengambilnya mempersilakan makan kepada orang lain dan memanfatkan makanan tersebut selain demikian? Ini ada dua pendapat. Pendapat shahih dan perkataan jumhur tidak boleh sebagaimana tidak boleh meminjam benda yang dipinjam. Syeikh Abu Hamid dan al-Qadhi Abu al-Thaib  mengatakan, boleh melakukan apa saja, baik menjualnya, hibah dan lainnya, karena jamuan tersebut adalah miliknya. Ibnu al-Shibagh mengatakan, ini tidak datang atas asal keduanya. Wallhua’lam.
Yang ketiga, tidak boleh bagi tamu memanfaatkan pada makanan selain makan. Karena itu, tidak boleh membawa sertanya sesuatupun darinya kecuali apabila mengambil sesuatu yang dimaklumi ridha si pemiliknya dan berbeda yang demikian dengan ukuran yang diambil dan jenisnya, keadaan yang menjamu dan para undangan. Maka jika ragu terjadinya pada keadaan ditoleransikannya, maka pendapat yang shahih adalah haram dan tidak boleh bagi tamu memberikan makanan untuk peminta-minta dan kucing.[1]

2.    Zainuddin al-Malibari mengatakan :
وفي الانوار: لو قال أبحت لك ما في داري، أو ما في كرمي، من العنب، فله أكله دون بيعه، وحمله، وإطعامه لغيره
Dalam kitab al-Anwar : Seandainya seseorang mengatakan, “Aku perbolehkan bagimu apa yang ada dalam rumahku atau buah anggur yang ada pada pohon anggurku, maka boleh baginya memakannya, tidak boleh menjualnya, membawasertanya dan memberikan makan kepada orang lain.[2]

3.    Ibrahim al-Bajuri mengatakan :
ولا يتصرف فيما قدم له بغير أكل, لأنه مأذون فيه عرفا, فلا يطعم منه سائلا ولا هرة إلا بإذن صاحبه أو علم رضاه
Dan tidak dimanfaatkan makanan yang dihidangkan bagi seseorang selain memakannya. Karena makanan tersebut dizinkan untuk makan pada ‘uruf.  Karena itu, tidak boleh memberikan makanan tersebut untuk peminta-minta dan kucing kecuali dengan izin pemiliknya atau dimaklumi ridhanya.[3]

Kesimpulan
Membawa pulang makanan yang dihidangkan, hukumnya dengan perincian sebagai berikut :
1.    Apabila apa yang disuguhkan oleh pemilik acara memang dipersilahkan untuk dibawa pulang atau memang pada umumnya suguhan itu diberikan untuk dibawa pulang, maka suguhan tersebut boleh dibawa pulang, karena beramal dengan dhan.
2.    Apabila suguhan tersebut pada umumnya memang hanya untuk dimakan ditempat acara, maka tamu tersebut hanya boleh memakannya ditempat, dan tidak diperbolehkan untuk membawanya pulang, kecuali pemiliknya menyuruh membawanya pulang atau ia meminta izin dahulu atau memang yakin atau mempunyai  dugaan bahwa pemiliknya ridha suguhannya dibawa pulang.
3.   Keyakinan atau dhan bahwa pemiliknya mengizinkan membawa pulang suguhan tersebut, maka dalam hal ukuran dan jenis suguhan yang dibawa pulang harus memperhatikan keadaannya, termasuk keadaan pemilik acara, perihal undangan dan berapa kadar yang diambil. 




[1] Al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin, al-Maktab al-Islamiy, Juz. 7, Hal. 338-339
[2] Zainuddin al-Malibari, Fathul Mu’in, (dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin), Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 146
[3] Ibrahim al-Bajuri, Hasyiah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib, al-Haraman, Singapura, Juz. II, Hal. 128

2 komentar:

  1. Assalamualaikum
    kenek tanyong, pakon dalam ayat nyo, bak kalimat amanu ngon hadu geba ngon sighat fi'il, sdgkan bak nasara ngon sabiin geba ngon sighat fi'il, pei faedah jih guree ... trimong genaseh
    قال الله تعالى في القرآن :
    إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَىٰ وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ...

    BalasHapus
  2. Assalamualaikum
    kenek tanyong, pakon dalam ayat nyo, bak kalimat amanu ngon hadu geba ngon sighat fi'il, sdgkan bak nasara ngon sabiin geba ngon sighat fi'il, pei faedah jih guree ... trimong genaseh
    قال الله تعالى في القرآن :
    إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَىٰ وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ...

    BalasHapus