Hukum khalwat
Khalwat antara laki-laki dan
perempuan yang bukan mahramnya adalah haram berdasarkan :
1.
Firman Allah Q.S. al-Isra' :32.
وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً
وَسَاء سَبِيلاً
Janganlah kamu mendekati zina, karena sesungguhnya zina itu suatu perbuatan
keji, dan suatu jalan yang buruk (Q.S. al-Isra’ : 32)
2. Sabda Rasulullah SAW dalam hadits shahih yang berbunyi :
لاَ يَخْلُوَنَّ
رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّوَمَعَهاَ ذُو مَحْرَمٍ
Janganlah seorang laki-laki itu berkhalwat (menyendiri) dengan seorang
wanita kecuali ada mahram yang menyertai wanita tersebut. (H.R. Muslim)[1]
Beliau
juga bersabda dari jalur ‘Amir bin Rabi’ah:
لَا يخلون رجل بِامْرَأَة فَإِن ثالثهما
الشَّيْطَان
Tidaklah seorang laki-laki itu berkhalwat dengan seorang wanita
kecuali yang ketiganya adalah setan. (H.R. Ahmad, dan al-Hakim)[2]
Batasan Khalwat
Adapun batasan khalwat yang
dirumuskan oleh ulama adalah berhimpun pada suatu tempat yang tidak aman gelora
syahwat pada adat kebiasaan. Rumusan ini disebutkan dalam kitab karya ulama
antara lain di dalam Hasyiah ‘Ali Syibran al-Malasi ‘ala Nihayah
al-Muhtaj :
أَنَّ
الْمَدَارَ فِي الْخَلْوَةِ عَلَى اجْتِمَاعٍ لَا تُؤْمَنُ مَعَهُ الرِّيبَةُ
عَادَةً، بِخِلَافِ مَا لَوْ قُطِعَ بِانْتِفَائِهَا فِي الْعَادَةِ فَلَا يُعَدُّ
خَلْوَةً
Sesungguhnya kisaran khalwat adalah berhimpun
yang tidak aman gelora syahwat pada adat kebiasaan. Ini berbeda apabila
dipastikan ternafi raibah pada adat kebiasaan, maka tidak dihitung khalwat.[3]
Zhabit yang dikemukakan di atas juga dikutip oleh
Sulaiman al-Jamal dalam kitab Hasyiah al-Jamal ‘ala al-Manhaj[4]
dan al-Syarwani dalam Hasyiah al-Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj.[5]
Zhabit disebut di atas sesuai dengan tujuan
pengharaman khalwat sebagaimana penjelasan al-Iraqi bahwa makna dari
pengharaman khalwat itu sendiri karena khalwat merupakan madhinnah (sesuatu
yang didhan) akan terjadi perbuatan keji dengan sebab tipu daya syaithan.
Al-Iraqi dalam kitab Tharh al-Tatsrib fi Syarh al-Taqrib mengatakan :
وَالْمَعْنَى فِي
تَحْرِيمِ الْخَلْوَةِ بِالْأَجْنَبِيَّةِ أَنَّهُ مَظِنَّةُ الْوُقُوعِ فِي
الْفَاحِشَةِ بِتَسْوِيلِ الشَّيْطَانِ
Makna dari pengharaman khalwat dengan orang asing
adalah karena khalwat merupakan madhinnah (sesuatu yang didhan) akan terjadi
perbuatan keji dengan sebab tipu daya syaithan.[6]
Setelah menyebut makna dari
pengharamaan khalwat di atas, al-Iraqi mengutip hadits marfu’ dari Jabir,
berbunyi :
لَا
تَلِجُوا عَلَى الْمُغِيبَاتِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنْ أَحَدِكُمْ
مَجْرَى الدَّمِ
Jangan kamu menemui perempuan yang ditinggal keluarganya sendirian, sesungguhnya syaithan mengalir pada salah
seorang kamu dengan mengikuti aliran darah (H.R. Turmidzi).[7]
Berikut
ini batasan-batasan khalwat yang spesifik yang disebut oleh ahli fiqh, yakni
antara lain :
1.
Tidak termasuk khalwat apabila di antara dua orang yang tidak ada
hubungan mahram ini ada mahram salah satu dari keduanya, baik mahram dari pihak
perempuan seperti anak laki-lakinya maupun mahram dari pihak laki-laki seperti
anak perempuannya.
2.
Tidak termasuk khalwat apabila di antara dua orang yang tidak ada
hubungan mahram ini ada suami siperempuan.
3.
Tidak termasuk khalwat yang diharamkan apabila dalam keadaan
darurat, seperti ditemui seorang perempuan di jalan dalam keadaan tersesat atau
seumpamanya, maka dibolehkan menemaninya, bahkan menjadi wajib apabila
dikuatirkan terjadi sesuatu yang berbahaya atas perempuan tersebut apabila
ditinggalkan sendirian.
4.
Termasuk khalwat apabila di antara dua orang yang tidak ada
hubungan mahram ini hanya ditemani seseorang yang tidak membuatnya malu karena
masih kecil, seperti anak masih usia dua, tiga tahun dan seumpamanya. karena
adanya seperti tidak ada
5.
Terjadi khilafiyah, apakah dianggap khalwat yang diharamkan
apabila beberapa laki-laki hanya bersama seorang perempuan. Imam al-Nawawi
dalam Syarah Muslim mengatakan, halal khalwat satu jama’ah dengan seorang
perempuan yang menurut adat kebiasaan dapat memaling mereka dari mufakat
melakukan perbuatan keji dengan perempuan tersebut dengan sebab kehadiran
mereka. Namun al-Nawawi dalam al-Majmu’ telah menghikayah pendapat ini dalam
kelompok pendapat yang dhaif. Sebagian ulama menganggap mu’tamad pendapat
pertama (pendapat dalam Syarah Muslim), tapi dengan mengkaidkan apabila
dipastikan ternafi gelora syahwat dari pihak laki-laki maupun pihak perempuan.
6.
Berbeda apabila seorang laki-laki bersama beberapa orang perempuan
yang tsiqqah (terpercaya), maka ini tidak termasuk khalwat yang diharamkan.
Point 1 s/d 6 sesuai dengan penjelasan Imam al-Nawawi
dalam Syarah Muslim berikut ini :
وَقَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ) يَحْتَمِلُ أَنْ يُرِيدَ مَحْرَمًا
لَهَا وَيَحْتَمِلُ أَنْ يُرِيدَ مَحْرَمًا لَهَا أوله وَهَذَا الِاحْتِمَالُ
الثَّانِي هُوَ الْجَارِي عَلَى قَوَاعِدِ الْفُقَهَاءِ فَإِنَّهُ لَا فَرْقَ
بَيْنَ أَنْ يَكُونَ مَعَهَا مَحْرَمٌ لَهَا كَابْنِهَا وَأَخِيهَا وَأُمِّهَا
وَأُخْتِهَا أَوْ يَكُونَ مَحْرَمًا لَهُ كَأُخْتِهِ وَبِنْتِهِ وَعَمَّتِهِ
وَخَالَتِهِ فَيَجُوزُ الْقُعُودُ مَعَهَا فِي هَذِهِ الْأَحْوَالِ ثُمَّ إِنَّ
الْحَدِيثَ مَخْصُوصٌ أَيْضًا بِالزَّوْجِ فَإِنَّهُ لَوْ كَانَ مَعَهَا زَوْجُهَا
كَانَ كَالْمَحْرَمِ وَأَوْلَى بِالْجَوَازِ وَأَمَّا إِذَا خَلَا الْأَجْنَبِيُّ
بِالْأَجْنَبِيَّةِ مِنْ غَيْرِ ثَالِثٍ مَعَهُمَا فَهُوَ حَرَامٌ بِاتِّفَاقِ
الْعُلَمَاءِ وَكَذَا لَوْ كَانَ مَعَهُمَا مَنْ لَا يُسْتَحَى مِنْهُ لِصِغَرِهِ
كَابْنِ سَنَتَيْنِ وَثَلَاثٍ وَنَحْوِ ذَلِكَ فَإِنَّ وُجُودَهُ كَالْعَدَمِ
وَكَذَا لَوِ اجْتَمَعَ رِجَالٌ بِامْرَأَةٍ أَجْنَبِيَّةٍ فَهُوَ حَرَامٌ
بِخِلَافِ مَا لَوِ اجْتَمَعَ رَجُلٌ بِنِسْوَةٍ أَجَانِبَ فَإِنَّ الصَّحِيحَ
جَوَازُهُ
Sabda Nabi SAW
“bersamanya ada mahram”, kemungkinan dimaksudkan adalah mahram si perempuan dan
kemungkinan juga mahram si perempuan atau mahram si laki-laki. Namun
kemungkinan yang kedua ini sesuai dengan qawaid
fuqaha, sesungguhnya tidak ada perbedaan antara bersama perempuan itu
ada mahramnya seperti anak, saudara laki-laki, ibu atau saudara perempuannya
maupun bersama perempuan itu ada mahram si laki-laki seperti saudara perempuan,
anak perempuan, bibi pihak ayah atau bibi pihak ibunya. Maka dibolehkan duduk
bersamanya pada keadaan-keadaan ini. Kemudian sesungguhnya hadits ini
dikhususkan pula dengan suami, karena seandainya bersamanya ada suaminya, maka
suami sama seperti mahram dan lebih patut dibolehkan. Adapun apabila khalwat
laki-laki asing dengan perempuan asing tanpa ada pihak ketiga bersama perempuan
tersebut, maka diharamkan dengan sepakat ulama. Demikian juga seandainya
bersamanya ada orang yang tidak membuat dia malu karena kecil seperti anak
berumur dua tahun, tiga tahun dan seumpamanya, maka adanya seperti tidak ada.
Demikian juga berkumpul beberapa laki-laki dengan seorang perempuan asing maka
ini haram, berbeda seandainya seorang laki-laki dengan beberapa perempuan
asing, maka menurut pendapat yang shahih boleh.[8]
Kemudian Imam al-Nawawi mengecualikan keharaman
khalwat apabila dalam keadaan darurat. Beliau berkata :
وَيُسْتَثْنَى مِنْ هَذَا كُلِّهِ مَوَاضِعُ الضَّرُورَةِ
بِأَنْ يَجِدَ امْرَأَةً أَجْنَبِيَّةً مُنْقَطِعَةً فِي الطَّرِيقِ أَوْ نَحْوَ
ذَلِكَ فَيُبَاحُ لَهُ اسْتِصْحَابُهَا بَلْ يَلْزَمُهُ ذَلِكَ إِذَا خَافَ
عَلَيْهَا لَوْ تَرَكَهَا وَهَذَا لَا اخْتِلَافَ فِيهِ وَيَدُلُّ عَلَيْهِ
حَدِيثُ عَائِشَةَ فِي قِصَّةِ الْإِفْكِ
Dikecualikan dari ini semua tempat-tempat darurat seperti ditemui
seorang perempuan asing tersesat pada jalan atau seumpamanya, maka diboleh
menemaninya, bahkan wajib hal itu apabila dikuatirkan atas perempuan tersebut
seandainya ditinggal sendirian. Ini tidak khilafiyah padanya dan ditunjuk oleh ‘Aisyah
dalam kisah tuduhan palsu (kisah tuduhan palsu atas Aisyah r.a) [9]
Dalam Tuhfah al-Muhtaj
disebutkan :
وَلَا تَجُوزُ خَلْوَةُ
رَجُلٍ بِغَيْرِ ثِقَاتٍ وَإِنْ كَثُرْنَ،
Tidak boleh khalwat seorang laki-laki
dengan beberapa perempuan tidak terpercaya, meskipun banyak.[10]
Juga dalam Tuhfah
al-Mutaj disebutkan :
فَإِنْ قُلْت ظَاهِرُ هَذَا أَنَّهُ لَا تَحْرُمُ خَلْوَةُ
رِجَالٍ بِامْرَأَةٍ قُلْت مَمْنُوعٌ وَإِنَّمَا قَضِيَّتُهُ أَنَّ الرِّجَالَ إنْ
أَحَالَتْ الْعَادَةُ تَوَاطُؤَهُمْ عَلَى وُقُوعِ فَاحِشَةٍ بِهَا بِحَضْرَتِهِمْ
كَانَتْ خَلْوَةً جَائِزَةً وَإِلَّا فَلَا، ثُمَّ رَأَيْت فِي شَرْحِ مُسْلِمٍ
التَّصْرِيحَ بِهِ حَيْثُ قَالَ تَحِلُّ خَلْوَةُ جَمَاعَةٍ يَبْعُدُ
تَوَاطُؤُهُمْ عَلَى الْفَاحِشَةِ لِنَحْوِ صَلَاحٍ أَوْ مُرُوءَةٍ بِامْرَأَةٍ
لَكِنَّهُ حَكَاهُ فِي الْمَجْمُوعِ حِكَايَةَ الْأَوْجُهِ الضَّعِيفَةِ وَرَأَيْت
بَعْضَهُمْ اعْتَمَدَ الْأَوَّلَ وَقَيَّدَهُ بِمَا إذَا قُطِعَ بِانْتِفَاءِ
الرِّيبَةِ مِنْ جَانِبِهِ وَجَانِبِهَا
Apabila kamu mengatakan, dhahir ini sesungguhnya
tidak haram khalwat beberapa orang laki-laki dengan seorang perempuan. Aku
katakan : Ini tercegah. Hanyasanya kehendakinya bahwa beberapa laki-laki
apabila menurut adat kebiasaan dapat memaling mufakat mereka melakukan
perbuatan keji dengan siperempuan dengan sebab kehadiran mereka, maka khalwat
itu boleh dan jika tidak, maka tidak. Kemudian, aku pernah melihat dalam Syarah
Muslim menerangkannya demikian, dimana dikatakan, halal khalwat satu jama’ah dengan seorang perempuan
yang menurut adat kebiasaan dapat memaling mereka dari mufakat melakukan perbuatan
keji dengan perempuan tersebut karena seumpama shaleh atau marwah dengan sebab
kehadiran mereka. Namun al-Nawawi dalam al-Majmu’ telah menghikayah pendapat
ini dalam kelompok pendapat yang dhaif. Dan aku melihat sebagian ulama
menganggap mu’tamad pendapat pertama (pendapat dalam Syarah Muslim) dan dikaidkan
apabila dipastikan ternafi gelora syahwat dari pihak laki-laki maupun pihak
perempuan.[11]
7.
Tidak termasuk khalwat seorang perempuan masuk dalam sebuah aula
milik umum dimana hanya ada seorang laki-laki di dalamnya, namun disyaratkan
aula tersebut merupakan ruangan yang sering lalu lalang manusia pada adat
kebiasaan.
8.
Tidak termasuk khalwat seorang perempuan bersama seorang laki-laki
di jalan umum dimana jalan tersebut merupakan jalan yang sering lalu lalang
manusia pada adat kebiasaan.
Point 7 dan 8 di atas sesuai dengan penjelasan dalam Tuhfah
al-Muhtaj, yakni :
وَفِي التَّوَسُّطِ عَنْ
الْقَفَّالِ لَوْ دَخَلَتْ امْرَأَةٌ الْمَسْجِدَ عَلَى رَجُلٍ لَمْ تَكُنْ
خَلْوَة لِأَنَّهُ
يَدْخُلُهُ كُلُّ أَحَدٍ انْتَهَى وَإِنَّمَا يُتَّجَهُ ذَلِكَ فِي مَسْجِدٍ
مَطْرُوقٍ وَلَا يَنْقَطِعُ طَارِقُوهُ عَادَةً وَمِثْلُهُ فِي ذَلِكَ الطَّرِيقُ
أَوْ غَيْرُهُالْمَطْرُوقُ كَذَلِكَ بِخِلَافِ مَا لَيْسَ مَطْرُوقًا كَذَلِكَ
Dalam
al-Tawassuth dari al-Qafal, seandainya seorang perempuan masuk dalam masjid
dimana ada seorang laki-laki di dalamnya, maka bukan khalwat karena masuk di
dalamnya setiap orang. Sesungguhnya ini hanya dapat dibenarkan dalam masjid
lalu lalang manusia dan tidak terputus orang lalu lalang di dalamnya pada adat
kebiasaan. Yang sama dengan masjid pada masalah ini adalah jalan atau lainnya
yang lalu lalang manusia seperti itu juga, berbeda dengan yang bukan lalu
lalang manusia seperti itu..[12]
9.
Termasuk khalwat seorang perempuan dan laki-laki tinggal dalam
satu rumah dalam kamar masing-masing atau satu di atas dan yang lain di bawah
ataupun satu di dalam rumah dan yang lain di dalam kamarnya. Sedangkan
perabotan rumahnya satu, seperti tempat memasak, toilet, sumur, jalur berjalan,
teras atau tangga.
10. Termasuk khalwat apabila perabotan rumah tersebut di
atas tidak satu, akan tetapi pintu antara keduanya tidak terkunci, atau ditutup
ataupun dikunci akan tetapi ruang yang menjadi jalan keduanya adalah sama atau
pintu tempat tinggal salah satunya dalam tempat tinggal yang lainnya.
Kedua point di atas (Point 9 dan 10) merupakan
rangkuman dari penjelasan para ulama sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Hajar
al-Haitami berikut ini :
إذَا سَكَنَتْ الْمَرْأَةُ وَالْأَجْنَبِيُّ فِي حُجْرَتَيْنِ
أَوْ عُلُوٍّ وَسُفْلٍ أَوْ دَارٍ وَحُجْرَةٍ اُشْتُرِطَ أَنْ لَا يَتَّحِدَا فِي
مِرْفَقٍ كَمَطْبَخٍ أَوْ خَلَاءٍ أَوْ بِئْرٍ أَوْ مَمَرٍّ أَوْ سَطْحٍ أَوْ
مِصْعَدٍ لَهُ فَإِنْ اتَّحَدَا فِي وَاحِدٍ مِمَّا ذُكِرَ حُرِّمَتْ
الْمُسَاكَنَةُ لِأَنَّهَا حِينَئِذٍ مَظِنَّةٌ لِلْخَلْوَةِ الْمُحَرَّمَةِ
وَكَذَا إنْ اخْتَلَفَا فِي الْكُلِّ وَلَمْ يُغْلَقْ مَا بَيْنَهُمَا مِنْ بَابٍ
أَوْ يُسَدُّ أَوْ غُلِقَ لَكِنَّ مَمَرَّ أَحَدِهِمَا عَلَى الْآخَرِ أَوْ بَابَ
مَسْكَنِ أَحَدِهِمَا فِي مَسْكَنِ الْآخَرِ
Apabila seorang perempuan dan laki-laki
asing menetap dalam dua kamar atau pada tempat di atas dan bawah ataupun pada
sebuah rumah dan kamar, maka disyaratkan tidak satu pada perabotan rumahnya
seperti tempat memasak, toilet, sumur, jalan lalu, teras atau tangga. Apabila
satu pada perabotan rumah dari contoh-contoh yang disebutkan, maka diharamkan
tinggal, karena hal itu madhinnah khalwat yang diharamkan. Demikian juga
apabila keduanya berbeda pada semua itu, sedangkan pintu antara keduanya tidak
terkunci atau terkunci akan tetapi jalan lalu salah satu keduanya di atas jalan
lalu yang lain ataupun pintu tempat tinggal salah satu keduanya dalam tempat
tinggal yang lain.[13]
Mahram dan yang bukan mahram
1.
Mahram yang dibolehkan khalwat adalah setiap orang yang diharamkan
nikah atas jalan selama-lamanya dengan sebab mubah karena penghormatan. Karena
itu, tidak termasuk mahram di sini
a.
Saudara suami/isteri, paman suami/bibi isteri (keluar dari
kriteria diharamkan selama-lamanya)
b.
Ibu dan anak dari perempuan yang pernah disetubuhi secara syubhat
(keluar dari kriteria diharamkan dengan sebab mubah)
c.
Mantan isteri/suami yang pernah dili’an (keluar dari kriteria
diharamkan karena penghormatan)
Imam al-Nawawi mengatakan :
وَاعْلَمْ أَنَّ حَقِيقَةَ
الْمَحْرَمِ مِنَ النِّسَاءِ الَّتِي يَجُوزُ النَّظَرُ إِلَيْهَا وَالْخَلْوَةُ
بِهَا وَالْمُسَافَرَةُ بِهَا كُلُّ مَنْ حَرُمَ نِكَاحُهَا عَلَى التَّأْبِيدِ
بِسَبَبٍ مُبَاحٍ لِحُرْمَتِهَا فَقَوْلُنَا عَلَى التَّأْبِيدِ احْتِرَازٌ مِنْ
أُخْتِ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا وَخَالَتِهَا وَنَحْوِهِنَّ وَقَوْلُنَا بِسَبَبٍ
مُبَاحٍ احْتِرَازٌ مِنْ أُمِّ الْمَوْطُوءَةِ بِشُبْهَةٍ وَبِنْتِهَا
فَإِنَّهُمَا تَحْرُمَانِ عَلَى التَّأْبِيدِ وليستا محرمين لِأَنَّ وَطْءَ
الشُّبْهَةِ لَا يُوصَفُ بِالْإِبَاحَةِ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِفِعْلِ مُكَلَّفٍ
وَقَوْلُنَا لِحُرْمَتِهَا احْتِرَازٌ مِنَ الْمُلَاعَنَةِ فَإِنَّهَا مُحَرَّمَةٌ
عَلَى التَّأْبِيدِ بِسَبَبٍ مُبَاحٍ وليست محرما لِأَنَّ تَحْرِيمَهَا لَيْسَ
لِحُرْمَتِهَا بَلْ عُقُوبَةً وَتَغْلِيظًا
Dan ketahuilah,
hakikat mahram dari perempuan yang boleh melihat kepadanya dan khalwat serta
musafir dengannya adalah setiap yang haram menikahinya atas jalan
selama-lamanya dengan sebab mubah karena menghormatinya. Karena itu, perkataan
kami “atas jalan selama-lamanya” mengeluarkan dari mahram saudari isteri, bibi
isteri pihak ayah dan pihak ibu dan seumpamanya. perkataan kami “dengan sebab
mubah” mengeluarkan dari mahram ibu dan anak dari perempuan yang pernah
disetubuhi secara syubhat, karena keduanya diharamkan selama-lamanya akan
tetapi keduanya bukan mahram karena persetubuhan syubhat tidak disifatkan
dengan mubah, sebab bukan perbuatan mukallaf. Perkataan kami “karena
menghormatinya” mengeluarkan dari mahram perempuan yang pernah dili’an.
Perempuan yang pernah dili’an diharamkan atas jalan selama-lamanya dengan sebab
mubah, akan tetapi dia bukan mahram karena diharamkannya bukan karena
menghormatinya, tetapi sebagai ‘uqubah dan membuat jera[14]
2.
Adapun yang termasuk
mahram antara lain :
a.
Anak
b.
Saudara
c.
Anak dari saudara laki-laki
d.
Anak dari saudara
perempuan
e.
Bibi dari pihak ayah
f.
Bibi dari pihak ibu
g.
Saudara sesusuan
h.
Anak dari saudara
sesusuan dan seumpamanya
i.
Ayah/ibu mertua
j.
Anak isteri
Imam al-Nawawi
mengatakan :
قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (إِلَّا وَمَعَهَا ذُو
مَحْرَمٍ) فِيهِ دَلَالَةٌ لِمَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ وَالْجُمْهُورِ أَنَّ جَمِيعَ
الْمَحَارِمِ سَوَاءٌ فِي ذَلِكَ فَيَجُوزُ لَهَا الْمُسَافَرَةُ مع محرمها بالنسب
كابنها وأخيها وبن أخيها وبن أُخْتِهَا وَخَالِهَا وَعَمِّهَا وَمَعَ مَحْرَمِهَا
بِالرَّضَاعِ كَأَخِيهَا من الرضاع وبن أخيها وبن أُخْتِهَا مِنْهُ وَنَحْوِهِمْ
وَمَعَ مَحْرَمِهَا مِنَ الْمُصَاهَرَةِ كأبي زوجها وبن زَوْجِهَا وَلَا كَرَاهَةَ
فِي شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ وَكَذَا يَجُوزُ لِكُلِّ هَؤُلَاءِ الْخَلْوَةُ بِهَا
وَالنَّظَرُ إِلَيْهَا مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ وَلَكِنْ لَا يَحِلُّ النَّظَرُ
بِشَهْوَةٍ لِأَحَدٍ مِنْهُمْ هَذَا مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَالْجُمْهُورِ
Sabda
Nabi SAW “Kecuali bersamanya ada mahram” padanya petunjuk bagi mazhab Syafi’i
dan jumhur ulama bahwa semua mahram sama hukumnya pada demikian. Maka
dibolehkan seorang perempuan melakukan musafir bersama mahram nasabnya seperti
anak, saudara, anak saudara laki-laki, anak saudara perempuan, bibi pihak ibu
dan bibi pihak ayah dan dibolehkan melakukan musafir bersama mahram dengan
sebab sesusuan seperti saudara sesusuan, anak saudara sesusuan laki-laki dan
anak saudara sesusuan perempuan dan seumpamanya dan juga boleh melakukan
musafir bersama mahramnya karena mushaharah (perkawinan) sseperti ayah suami
dan anak suami dan tidak makruh sesuatupun pada demikian. Demikian juga boleh
bagi setiap mereka khalwat dengannya dan melihat kepadanya tanpa hajat, akan
tetapi tidak halal melihat dengan syahwat bagi salah seorang dari mereka. Ini
mazhab Syafi’i dan jumhur ulama.[15]
Batasan khalwat menurut Qanun
Jinayat Aceh
Qanun Jinayat No. 6 Tahun 2014
Tentang Hukum Jinayat dalam Bab I Ketentuan Umum, pasal 1,angka 23 disebutkan :
Khalwat adalah perbuatan berada pada
tempat tertutup atau tersembunyi antara 2 (dua) orang yang berlainan jenis
kelamin yang bukan mahram dan tanpa ikatan perkawinan dengan kerelaan kedua
belah pihak yang mengarah perbuatan zina.
Dalam qanun yang sama dalam Bab III Bagian
Kedua, pasal 12, disebutkan :
(1). Setiap orang yang melakukan
pekerjaan di tempat kerja dan pada waktu kerja tidak dapat dituduh melakukan
jarimah khalwat dengan sesama pekerja
(2). Setiap orang yang menjadi
penghuni rumah yang dibuktikan dengan daftar keluarga atau persetujuan pejabat
setempat tidak dapat dituduh melakukan jarimah khalwat dengan sesama penghuni
rumah tersebut.
Kemudian dalam pasal 13, disebutkan :
Setiap orang yang memberikan
pertolongan kepada orang lain yang berbeda jenis kelamin dalam keadaan darurat
tidak dapat dituduh melakukan jarimah khalwat atau ikhtilath.
[1] Imam Muslim, Shahih
Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 978, No. 1341
[2] Ibnu Mulaqqin, Badrul Munir,
Maktabah Syamilah, Juz. VIII, Hal. 257
[3]
‘Ali Syibran al-Malasi, Hasyiah ‘Ali Syibran
al-Malasi ‘ala Nihayah al-Muhtaj, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. VII,
Hal. 163
[4]
Sulaiman al-Jamal, Hasyiah al-Jamal ‘ala
al-Manhaj, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut, Juz. IV, Hal. 125
[5]
Al-Syarwani, Hasyiah al-Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. VIII,
Hal. 269-270
[8]
Al-Nawawi, Syarah
Muslim, Muassisah Qurthubah, Juz. IX, Hal. 155-156
[9]
Al-Nawawi, Syarah
Muslim, Muassisah Qurthubah, Juz. IX, Hal. 155-156
[10] Ibnu Hajar
al-Haitami, Tuhfah
al-Muhtaj, (dicetak pada
hamisy Hasyiah al-Syarwani ‘ala Tuhfah
al-Muhtaj), Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. VIII, Hal. 269
[11]
Ibnu Hajar
al-Haitami, Tuhfah
al-Muhtaj, (dicetak pada
hamisy Hasyiah al-Syarwani ‘ala Tuhfah
al-Muhtaj), Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. VIII, Hal. 270
[12]
Ibnu Hajar
al-Haitami, Tuhfah
al-Muhtaj, (dicetak pada
hamisy Hasyiah al-Syarwani ‘ala Tuhfah
al-Muhtaj), Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. VIII, Hal. 269-270
[13] Ibnu Hajar
al-Haitami, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah, Darul Fikri, Juz. IV,
Hal. 106-107
[14] Al-Nawawi, Syarah
Muslim, Muassisah Qurthubah, Juz. IX, Hal. 150
[15] Al-Nawawi, Syarah Muslim,
Muassisah Qurthubah, Juz. IX, Hal. 149
Tapi bagaimana mungkin justru menghisap payudara/menyusui orang asing justru dianjurkan nabi muhamad....apakah ini tidak bertentangan....jabatan yg bukan mahramnya saja gk boleh tapi aisyah pada jaman nabi justru menganjurkan..???mohon petunjuk
BalasHapusMadzinnah khalwat bkn khalwat!
BalasHapusJadi tidak sama!
Thank you for nice information. Please visit our web:
BalasHapusGhozi
Ghozi