Seseorang
menyewa kebun/pohon untuk diambil
buahnya, seperti menyewa pohon jeruk atau pohon sawit dalam jangka dua tahun
untuk diambil buahnya. Dalam kasus lain yang serupa dengan ini adalah seseorang
menyewa kolam untuk memancing ikan. Akad
seperti ini hukumnya tidak sah dengan
alasan sebagai berikut :
1.
Sebuah akad dalam tidak boleh mengandung
kemungkinan gharar (tipuan). Ketika misalnya, ketika pohon ini disewakan selama
dua tahun dan dalam kondisi normal, kita
tidak bisa memastikan hasilnya. Apakah nanti akan berbuah setiap tahun atau
sebaliknya, sering gagal panen. Lain halnya ketika ada pohon yang disewakan
untuk sesuatu yang manfaat yang bukan
dalam bentuk benda, misalnya untuk hiasan dekorasi walimah pernikahan atau
untuk tempat berteduh. Ini jelas manfaatnya jelas dan terukur. Hal yang sama
juga berlaku pada kasus menyewa kolam untuk memancing ikan. Karena mengambil
ikan yang diqashad dalam akad sewa belum tentu bisa terwujud karena tergantung
keadaan, apakah ikan tersebut bisa bisa ditangkap dengan pancing pada ketika
itu atau tidak.
2.
Karena akad sewa diperuntukan mengambil manfaat
yang bukan dalam bentuk benda seperti mendiami rumah yang disewa, tidak dalam
bentuk benda seperti mengambil buah dari kebun yang disewa.
Keterangan yang
melarang akad mengandung
kemungkinan gharar (tipuan) antara lain :
1.
Berdasarkan hadits Nabi SAW dari Abu Hurairah r.a,
berbunyi :
نَهَى رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ، وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
Rasulullah
SAW melarang jual beli al-hashaah dan gharar. (H.R. Muslim)[1]
Dalam Syarah Muslim, Imam al-Nawawi mengatakan ada
tiga ta’wil makna jual beli al-hashah, yakni :
a. “Aku jual kepadamu dari pakaian-pakaian ini, yakni
pakaian yang jatuh batu yang aku lempar atasnya” dan “Aku jual kepadamu dari
tanah ini mulai dari sini sampai sejauh batu ini”.
b. “Aku jual kepadamu dengan ada hak khiyar (pilihan)
atasmu sehingga aku lempar batu ini”
c. Sepakat penjual dan pembeli menjadikan melempar batu
sebagai akad, maka berkata : “Apabila aku lempar pakaian ini dengan batu, maka
barang jualanmu harganya sekian.”[2]
Kemudian Imam al-Nawawi menerangkan masalah jual beli
gharar, beliau mengatakan, masuk dalam jual beli gharar masalah-masalah yang
banyak dan tidak terbatas, yakni antara lain jual beli hamba sahaya dalam
pelarian, jual beli ma’dum (benda yang belum ada), majhul (tidak diketahui
sifat-sifat barangnya), yang tidak mampu diserahkan..dst.[3]
2. Dari Abdullah bin Umar r.a beliau mengatakan :
عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ نَهَى عَنْ بَيْعِ حَبَلِ الْحَبَلَةِ
Dari Rasulullah
SAW sesungguhnya beliau melarang jual habal habalah (H.R. Muslim).[4]
Al-Nawawi
menjelaskan, terjadi khilaf ulama dalam menafsirkan jual beli habal habalah.
Sebagian ulama menafsirkan jual beli dengan harga tempo unta melahirkan anaknya
dan anaknya melahirkan anaknya pula. Ini merupakan penafsiran Ibnu Umar, Malik,
Syafi’i dan pengikut mereka. Sebagian ulama lain menafsirkan jual beli anak
unta yang masih dalam kandungan ketika itu. Ini merupakan penafsiran Abi
‘Ubaidah bin al-Musthanna, Abi Abd al-Qasim bin Salam, Ahmad bin Hanbal, Ishaq
bin Rahawaih dan lainnya dari ahli lughat. Kemudian al-Nawawi mengatakan, jual
beli batal berdasarkan dua penafsiran di atas. Adapun berdasarkan penafsiran
pertama, karena jual beli dengan tempo majhul (tidak diketahui batasannya),
sedangkan tempo dapat mempengaruhi persentase harga. Adapun berdasarkan
penafsiran kedua, karena jual beli ma’dum, majhul, bukan milik sipenjual dan
tidak mampu diserahkannya.[5]
Dua
hadits di atas menjelaskan larangan jual beli yang mengandung tipuan. Larangan
akad yang mengandung tipuan ini juga berlaku pada akad lainnya seperti akad
gadai dan akad sewa. Dalam menjelaskan syarat-syarat barang yang dijual, dalam
kitab Fathul Muin, Zainuddin al-Malibari mengatakan :
ورؤيته أي المعقود عليه إن
كان معينا فلا يصح بيع معين لم يره العاقدان أو أحدهما: كرهنه وإجارته للغرر
المنهي عنه وإن بالغ في وصفه.
Dan melihatnya,
yakni melihat barang yang diakadkan seandainya barangnya tertentu. Maka tidak
sah jual beli barang yang tertentu selama tidak dilihat oleh dua pihak yang
melakukan akad atau salah satunya. Sama juga hukumnya ini akad gadai dan sewa,meskipun
berlebihan dalam mensifatinya karena ada gharar yang terlarang padanya.[6]
Adapun keterangan tidak boleh menyewa sesuatu dengan
qashad mengambil manfaat dalam bentuk benda sebagai berikut :
1. Imam al-Nawawi mengatakan :
الخامسة: لا يحوز أن
يستأجر بركة ليأخذ منها السمك فلو استأجرها ليحبس فيها الماء حتى يجتمع فيها السمك
جاز على الصحيح
Yang kelima : Tidak boleh menyewa kolam supaya
mengambil ikan darinya. Karena itu, seandainya seseorang menyewa kolam untuk
menahan air dalamnya sehingga terkumpul ikan di dalamnya, maka ini boleh
berdasarkan pendapat shahih.[7]
2. Dalam kitab Asnaa al-Mathalib disebut :
(وَتَصِحُّ
إجَارَةُ مُصْحَفٍ وَكِتَابٍ) لِمُطَالَعَتِهِمَا وَالْقِرَاءَةِ مِنْهُمَا.(لَا)
إجَارَةُ (بِرْكَةٍ لِصَيْدِ سَمَكٍ) مِنْهَا فَلَا تَصِحُّ كَاسْتِئْجَارِ
الْأَشْجَارِ لِلثِّمَارِ (وَتَصِحُّ) إجَارَتُهَا (لِحَبْسِ مَا فِيهَا) حَتَّى
يَجْتَمِعَ فِيهِ السَّمَكُ ثُمَّ (يَصْطَادَ مِنْهُ) .
Sah
sewa mashaf al-Qur’an dan kitab untuk muthala’ah dan membaca keduanya, tidak
sah menyewa kolam untuk berburu ikan darinya, maka tidak sah menyewa pohon
untuk buahnya, akan tetapi sah menyewa kolam untuk menahan air di dalamnya
sehingga berkumpul ikan di dalamnya, kemudian memburunya.[8]
3. Zainuddin al-Malibari mengatakan :
فلا يصح اكتراء بستان لثمرته لأن الأعيان لا تملك بعقد الإجارة
قصدا.ونقل التاج السبكي في توشيحه اختيار والده التقي السبكي في آخر عمره صحة
إجارة الأشجار لثمرها وصرحوا بصحة استئجار قناة أو بئر للانتفاع بمائها للحاجة.
Maka tidak
sah menyewa kebun untuk buahnya, karena benda tidak dapat dimiliki dengan
qashadnya dengan akad sewa. Namun dalam kitab Tausyihnya, Al-Taj al-Subki
pernah mengutip pilihan bapaknya, al-Taqy al-Subki pada akhir umurnya sah sewa
pohon untuk buahnya dan para ulama telah menjelaskan sah sewa terusan air atau
sumur untuk mengambil manfaat airnya karena hajad.[9]
Namun pendapat al-Taqy al-Subki di atas oleh pengarang
I’anah al-Thalibin mengatakannya dhaif.[10]
[1] Imam Muslim, Shahih
Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 1153, No. 1513
[2] Al-Nawawi, Syarah Muslim,
Muassisah Qurthubah, Juz. X, Hal. 220
[3] Al-Nawawi, Syarah Muslim,
Muassisah Qurthubah Juz. X, Hal. 220
[4] Imam Muslim, Shahih Muslim,
Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 1153, No. 1514
[5] Al-Nawawi, Syarah Muslim,
Muassisah Qurthubah , Juz. X, Hal. 220
[6]
Zainuddin
al-Malibari, Fathul Mu’in, (dicetak pada hamisy I’anah
al-Thalibin), Thaha Putra, Semarang, Jjuz. III, Hal. 9-10
[7] Al-Nawawi, Raudhah
al-Thalibin, al-Maktab al-Islami, Juz. V, Hal. 256
[8] Zakariya
al-Anshari, Asnaa al-Mathalib, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal.
435
[9] Zainuddin
al-Malibari, Fathul Mu’in, (dicetak pada hamisy I’anah
al-Thalibin), Thaha Putra, Semarang, Jjuz. III, Hal. 114
[10] Abu Bakar
al-Syatha, I’anah al-Thalibin,
Thaha Putra, Semarang, Jjuz. III, Hal. 114
Assalamualaikum tengku, mau tanya perihal sewa kebun, yg akadnya sewa tanah untuk tanaman muda (tanaman jangka pendek yg ditanami oleh penyewa),hukumnya seperti apa?
BalasHapusTerus untuk tanaman tua yg telah lama tetap menjadi hak si pemilik baik hasil maupun tanamannya(seharusnya).
Nah, si penyewa ternyata tanpa izin mengambil hasil dari tanaman tua hingga si pemilik bahkab tidak bs menikmati sama sekali, dan melarang si pemilik untuk mengambil hasil dari tanaman muda yg sudah tumbuh sebelum akad berlangsung, bahkan penyewa melarang mengambil hasil dari tanaman tua yg jatuh.
Bagaimana hukumnya?
Assalamualaikum ustz,
BalasHapusayo bergabung dengan bolavita khusus new member lgsg di berikan 10%
BalasHapustanpa ribet dan masih banyak bonus2 lain nya
semua di berikan tanpa ribet pelayanan terbaik 24 jam
depo wd secepat kilat ^^ sabung ayam birma
info lbh lanjut :
whatup : +628122222995
Terimakasih Gure
BalasHapus