Pengertian
mujmal
Dalam
Ghayatul Wushul, Zakariya al-Anshari mengatakan :
المجمل
ما لم تتضح دلالته من
قول أو فعل
Mujmal adalah perkataan
atau perbuatan yang tidak terang dalalahnya (menunjuk kepada makna).
Beliau memberikan contoh mujmal bangun Nabi SAW dari raka’at
kedua tanpa tasyahhud, boleh jadi karena beliau sengaja dan boleh jadi karena
lupa. Adapun contoh lafazh, beliau menyebut antara lain lafazh quru’. Dimana
lafazh quru’ ini secara lughat boleh bermakna suci dan juga boleh bermakna
haid. Sehingga Imam Syafi’i memberikan maknanya suci, sedangkan Imam Abu
Hanifah memaknai dengan makna haid karena ada dalil lain menurut masing-masing
Imam mazhab ini.[1]
Berdasarkan pengertian mujmal yang dikemukakan Zakariya
al-Anshari di atas, lafazh mujmal tidak dapat diamalkan sebelum ada
penjelasannya dari dalil lain (bayan). Hal ini karena dalalah lafazh mujmal
tidak jelas sebagaimana dipahami dari pengertian di atas. Berdasarkan ini, Imam
Haramain mendevinisikan mujmal sebagai berikut :
المجمل ما يفتقر الى البيان
Mujmal adalah
suatu yang membutuhkan penjelasan.[2]
Al-Zarkasyi mengatakan, hukum lafazh
mujmal adalah tawaqquf (digantung) sehingga datang tafsirnya dan tidak sah
berhujjah dengan dhahirnya pada suatu perkara yang terjadi perselisihan
padanya.[3]
Syeikh Ahmad al-Khathib
al-Minangkabawi mengatakan ijmal sebuah lafazh ada tiga katagori, yakni :
1.
Tidak dapat dipahami
maknanya pada lughat.
2.
Dapat dipahami maknanya, akan
tetapi makna tersebut bukan menjadi maksudnya, yang dimaksudkannya adalah makna
lain.
3.
Maknanya secara lughawi
banyak, akan tetapi maksudnya satu dari makna yang banyak tersebut. Sedangkan
untuk menentukannya tidak memungkinkan, karena tidak lebih kuat salah satunya
dari yang lain.[4]
Pengertian ‘Am
Dalam
menjelaskan pengertian ‘am, Zakariya al-Anshari mengatakan :
العام لفظ يستغرق الصالح له بلا حصر
‘Am adalah lafazh yang mencakup (semua satuan) yang patut
untuknya dengan tanpa batas.[5]
Kemudian Zakariya
al-Anshari mengatakan ‘am ini menunjukan kepada satuan-satuannya dengan cara
kulliah, yakni dihukum kepada setiap satuannya secara muthaabaqah (makna yang
sesuai dengan lafazhnya). Adapun dalalah ‘am ini kepada asal maknanya, yakni
satu pada perkataan mufrad (tunggal) , dua pada perkataan tastniyah (perkataan
yang menunjukan kepada dua) dan tiga atau dua pada perkataan jamak adalah
bersifat qath’i. Sedangkan dalalahnya kepada setiap satuannya adalah dhanni.[6]
Dengan demikian, lafazh ‘am dapat
diamalkan dalam keumumannya selama tidak ada yang mengkhususkannya. Ini berbeda
dengan lafazh mujmal di atas, karena lafazh mujmal tidak jelas makna yang
dimaksudkan, maka tidak boleh diamalkan kecuali ada dalil lain yang
menjelaskannya.
Ayat Perintah Memberikan Zakat adalah Mujmal , bukan ‘Am
Perintah memberikan zakat dalam al-Qur’an adalah mujmal , bukan ‘am,
seperti dalam firman Allah berbunyi :
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ
وَآتُوا الزَّكَاةَ
Dirikanlah
shalat dan tunaikanlah zakat (Q.S. al-Baqarah : 83)
dan kedua
firman Allah di bawah ini seandainya kedua ayat ini dipahami sebagai ayat
perintah membayar zakat, yakni :
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ
بِهَا
Ambillah sadaqah dari sebagian harta mereka, dengan
sadaqah itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka. (Q.S. al-Taubah : 103)
dan firman Allah Ta’ala berbunyi :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا
كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ
Hai orang-orang
yang beriman nafkahkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang telah kami
keluarkan dari bumi untuk kamu (Q.S. al-Baqarah : 267)
Kesimpulan ini dengan alasan sebagai berikut :
1.
Zakat
menurut lughat adalah bertambah, sedangkan yang menjadi maksud pada syara’
adalah perbuatan memberikan sebagian harta kepada yang berhak menerimanya
dengan syarat-syarat tertentu. Berdasarakan ini, lafazh zakat tidak dapat
menunjukan kepada makna yang menjadi maksudnya. Lafazh zakat membutuhkan
penjelasan dari dalil lain. Karena itu, lafazh zakat adalah mujmal. Argumentasi
ini telah disebut oleh al-Syairazi dalam kitabnya, al-Tabassurah fi Ushul Fiqh.[7]
2.
Yang
menjadi asal dari mengambil harta milik orang lain adalah dilarang. Karena itu,
Nabi SAW dalam banyak hadits menganggap penting menjelaskan jenis harta yang
wajib zakat dan kadar ukurannya, supaya ummatnya tidak terjerumus dalam
mengambil harta milik orang lain tanpa hak. Nabi SAW tidak mementingkan
menjelaskan jenis harta yang tidak wajib zakat, karena memadai dengan asal
(mengambil harta milik orang lain adalah dilarang). Berdasarkan penjelasan ini,
maka ayat-ayat perintah zakat dalam al-Qur’an adalah mujmal, tidak boleh
diamalkan sebelum ada penjelasan dari al-Sunnah yang menentukan jenis dan kadar
ukurannya. Ini berbeda dengan akad jual beli, dimana Nabi SAW lebih
mementingkan menjelaskan akad jual beli yang fasid seperti jual beli ribawi dan
lainnya. Hal ini, karena jual beli pada dasarnya (asal) adalah halal sehingga
ada dalil yang mengkhususkannya haram.
Karena itu, ayat-ayat tentang jual beli dalam al-Qur’an adalah ‘am yang
boleh diamalkan keumumannya selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya.
Argumentasi ini dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-Haitamiy dalam kitab beliau,
Tuhfah al-Muhtaj.[8]
3.
Makna
zakat menurut syara’ pada awalnya tidak dimaklumi dikalangan para sahabat Nabi,
baik pengertian zakat itu sendiri, jenis maupun kadar ukurannya. Karena itu,
lafazh zakat dalam ayat-ayat al-Qur’an adalah mujmal yang tidak jelas
dalalahnya. Ini berbeda dengan dengan akad jual beli yang dimaklum dikalangan
mereka. Karena itu lafazh akad jual adalah ‘am yang boleh diamalkan keumumannya
selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya. Argumentasi ini dikemukakan oleh
al-Syarwani dalam Hasyiah ‘ala al-Tuhfah.[9]
4.
Tidak
semua harta pada zaman Nabi SAW diambil zakatnya, bahkan banyak dari jenis
harta yang tidak diambil zakat, maka ini menunjukan zakat adalah lafazh mujmal.
Diantara jenis harta yang disebut oleh Imam Syafi’i dalam kitab al-Risalah yang
tidak diambil zakat pada zaman Nabi SAW dan zaman sudahnya adalah kuda, keledai,
bagal, buah kelapa, pala, buah tin, biji tsufa, asbiyusy, kusbarah, biji ‘ushfur,
perunggu, besi, timah, batu delima dan zubarjad. Karena jenis-jenis ini tidak
diambil zakat oleh Rasulullah SAW, Imam Syafi’i menjadikkannya hujjah tidak
wajib zakat atas jenis-jenis harta tersebut.[10] Ini
menunjukan bahwa Imam Syafi’i berpendapat ayat perintah zakat dalam al-Qur’’an
adalah mujmal, sehingga yang wajib zakat hanyalah jenis harta yang ada
penjelasannya dari dalil lain.
Kesimpulan
1.
Ayat
perintah memberikan zakat adalah mujmal , bukan ‘am sehingga tidak boleh
diamalkan sehingga ada penjelasan dari dalil lain yang menentukan jenis dan
kadar ukurannya.
2.
Berdasarkan
point 1 di atas, maka tidak wajib mengeluarkan zakat jasa hanya berdasarkan
ayat perintah memberikan zakat di atas, karena ayat-ayat tersebut mujmal. Bagi yang
berpendapat wajib mengeluarkan zakat jasa, dalil yang digunakan harus
berdasarkan dalil lain, tidak boleh semata-mata ayat-ayat perintah memberikan zakat
yang mujmal di atas.
3.
Apabila
kita berpendapat ayat perintah memberikan zakat diatas adalah ‘am, maka semua
jenis harta pada dasarnya wajib zakat kecuali jenis-jenis harta yang dikecualikan
berdasarkan dalil syara’. Dengan demikkian, berdasarkan pendapat ini, zakat
jasa wajib dikeluarkan selama tidak ada dalil yang menjelaskannya tidak wajib.
[1]
Zakariya
al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 84
[2] Imam Haramain,
al-Warqaat, dicetak pada hamisy Hasyiah al-Dimyathiy ‘ala Syarah
al-Warqaat, Maktabah Raja Murah, Pekalongan, Hal. 13
[3]
Al-Zarkasyi, Bahrul
Muhith, Wazarah al-Auqaf wa al-Syu-un al-Islamiyah, Kuwait, Juz. III,
Hal. 456
[4]
Ahmad al-Khathib al-Minangkabawi, al-Nufahaat
‘ala Syarah al-Warqaat, al-Haramain, Singapura, Hal. 87
[5]
Zakariya
al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 69
[6]
Zakariya
al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 70
[7] Al-Syairazi, al-Tabassurah
fi Ushul Fiqh, Darul Fikri, Damsyiq, Hal. 198
[8] Ibnu Hajar al-Haitamiy, Tuhfah
al-Muhtaj, Dicetak pada hamisy Hasyiah al-Syarwani ‘ala Tuhfah
al-Muhtaj, Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. III, Hal. 209
[9]Al-Syarwani, Hasyiah al-Syarwani
‘ala Tuhfah al-Muhtah, Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. III,
Hal. 209
[10] Imam Syafi’i,
al-Risalah, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Hal. 188-194
Tidak ada komentar:
Posting Komentar