Renungan

Jumat, 05 Januari 2018

Ayat Perintah Memberikan Zakat Mujmal ataukah ‘Am (Analisis terhadap penentuan senif zakat jasa)

Pengertian mujmal
Dalam Ghayatul Wushul, Zakariya al-Anshari mengatakan :
المجمل ما لم تتضح دلالته من قول أو فعل
Mujmal adalah perkataan atau perbuatan yang tidak terang dalalahnya (menunjuk kepada makna).

Beliau memberikan contoh mujmal bangun Nabi SAW dari raka’at kedua tanpa tasyahhud, boleh jadi karena beliau sengaja dan boleh jadi karena lupa. Adapun contoh lafazh, beliau menyebut antara lain lafazh quru’. Dimana lafazh quru’ ini secara lughat boleh bermakna suci dan juga boleh bermakna haid. Sehingga Imam Syafi’i memberikan maknanya suci, sedangkan Imam Abu Hanifah memaknai dengan makna haid karena ada dalil lain menurut masing-masing Imam mazhab ini.[1]
Berdasarkan pengertian mujmal yang dikemukakan Zakariya al-Anshari di atas, lafazh mujmal tidak dapat diamalkan sebelum ada penjelasannya dari dalil lain (bayan). Hal ini karena dalalah lafazh mujmal tidak jelas sebagaimana dipahami dari pengertian di atas. Berdasarkan ini, Imam Haramain mendevinisikan mujmal sebagai berikut :
المجمل ما يفتقر الى البيان
Mujmal adalah suatu yang membutuhkan penjelasan.[2]

Al-Zarkasyi mengatakan, hukum lafazh mujmal adalah tawaqquf (digantung) sehingga datang tafsirnya dan tidak sah berhujjah dengan dhahirnya pada suatu perkara yang terjadi perselisihan padanya.[3]
Syeikh Ahmad al-Khathib al-Minangkabawi mengatakan ijmal sebuah lafazh ada tiga katagori, yakni :
1.    Tidak dapat dipahami maknanya pada lughat.
2.    Dapat dipahami maknanya, akan tetapi makna tersebut bukan menjadi maksudnya, yang dimaksudkannya adalah makna lain.
3.    Maknanya secara lughawi banyak, akan tetapi maksudnya satu dari makna yang banyak tersebut. Sedangkan untuk menentukannya tidak memungkinkan, karena tidak lebih kuat salah satunya dari yang lain.[4]
Pengertian ‘Am
Dalam menjelaskan pengertian ‘am, Zakariya al-Anshari mengatakan :
العام لفظ يستغرق الصالح له بلا حصر
‘Am adalah lafazh yang mencakup (semua satuan) yang patut untuknya dengan tanpa batas.[5]
Kemudian Zakariya al-Anshari mengatakan ‘am ini menunjukan kepada satuan-satuannya dengan cara kulliah, yakni dihukum kepada setiap satuannya secara muthaabaqah (makna yang sesuai dengan lafazhnya). Adapun dalalah ‘am ini kepada asal maknanya, yakni satu pada perkataan mufrad (tunggal) , dua pada perkataan tastniyah (perkataan yang menunjukan kepada dua) dan tiga atau dua pada perkataan jamak adalah bersifat qath’i. Sedangkan dalalahnya kepada setiap satuannya adalah dhanni.[6]
Dengan demikian, lafazh ‘am dapat diamalkan dalam keumumannya selama tidak ada yang mengkhususkannya. Ini berbeda dengan lafazh mujmal di atas, karena lafazh mujmal tidak jelas makna yang dimaksudkan, maka tidak boleh diamalkan kecuali ada dalil lain yang menjelaskannya.
Ayat Perintah Memberikan Zakat adalah Mujmal , bukan ‘Am
            Perintah memberikan zakat dalam al-Qur’an adalah mujmal , bukan ‘am, seperti dalam firman Allah berbunyi :
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ
Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat (Q.S. al-Baqarah : 83)

dan kedua firman Allah di bawah ini seandainya kedua ayat ini dipahami sebagai ayat perintah membayar zakat, yakni :
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
Ambillah sadaqah dari sebagian harta mereka, dengan sadaqah itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka. (Q.S. al-Taubah : 103)

dan firman Allah Ta’ala berbunyi :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا  أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ
Hai orang-orang yang beriman nafkahkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik  dan sebagian dari apa yang telah kami keluarkan dari bumi untuk kamu (Q.S. al-Baqarah : 267)

Kesimpulan ini dengan alasan sebagai berikut :
1.    Zakat menurut lughat adalah bertambah, sedangkan yang menjadi maksud pada syara’ adalah perbuatan memberikan sebagian harta kepada yang berhak menerimanya dengan syarat-syarat tertentu. Berdasarakan ini, lafazh zakat tidak dapat menunjukan kepada makna yang menjadi maksudnya. Lafazh zakat membutuhkan penjelasan dari dalil lain. Karena itu, lafazh zakat adalah mujmal. Argumentasi ini telah disebut oleh al-Syairazi dalam kitabnya, al-Tabassurah fi Ushul Fiqh.[7]
2.    Yang menjadi asal dari mengambil harta milik orang lain adalah dilarang. Karena itu, Nabi SAW dalam banyak hadits menganggap penting menjelaskan jenis harta yang wajib zakat dan kadar ukurannya, supaya ummatnya tidak terjerumus dalam mengambil harta milik orang lain tanpa hak. Nabi SAW tidak mementingkan menjelaskan jenis harta yang tidak wajib zakat, karena memadai dengan asal (mengambil harta milik orang lain adalah dilarang). Berdasarkan penjelasan ini, maka ayat-ayat perintah zakat dalam al-Qur’an adalah mujmal, tidak boleh diamalkan sebelum ada penjelasan dari al-Sunnah yang menentukan jenis dan kadar ukurannya. Ini berbeda dengan akad jual beli, dimana Nabi SAW lebih mementingkan menjelaskan akad jual beli yang fasid seperti jual beli ribawi dan lainnya. Hal ini, karena jual beli pada dasarnya (asal) adalah halal sehingga ada dalil yang mengkhususkannya haram.  Karena itu, ayat-ayat tentang jual beli dalam al-Qur’an adalah ‘am yang boleh diamalkan keumumannya selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya. Argumentasi ini dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-Haitamiy dalam kitab beliau, Tuhfah al-Muhtaj.[8]
3.    Makna zakat menurut syara’ pada awalnya tidak dimaklumi dikalangan para sahabat Nabi, baik pengertian zakat itu sendiri, jenis maupun kadar ukurannya. Karena itu, lafazh zakat dalam ayat-ayat al-Qur’an adalah mujmal yang tidak jelas dalalahnya. Ini berbeda dengan dengan akad jual beli yang dimaklum dikalangan mereka. Karena itu lafazh akad jual adalah ‘am yang boleh diamalkan keumumannya selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya. Argumentasi ini dikemukakan oleh al-Syarwani dalam Hasyiah ‘ala al-Tuhfah.[9]
4.    Tidak semua harta pada zaman Nabi SAW diambil zakatnya, bahkan banyak dari jenis harta yang tidak diambil zakat, maka ini menunjukan zakat adalah lafazh mujmal. Diantara jenis harta yang disebut oleh Imam Syafi’i dalam kitab al-Risalah yang tidak diambil zakat pada zaman Nabi SAW dan zaman sudahnya adalah kuda, keledai, bagal, buah kelapa, pala, buah tin, biji tsufa, asbiyusy, kusbarah, biji ‘ushfur, perunggu, besi, timah, batu delima dan zubarjad. Karena jenis-jenis ini tidak diambil zakat oleh Rasulullah SAW, Imam Syafi’i menjadikkannya hujjah tidak wajib zakat atas jenis-jenis harta tersebut.[10] Ini menunjukan bahwa Imam Syafi’i berpendapat ayat perintah zakat dalam al-Qur’’an adalah mujmal, sehingga yang wajib zakat hanyalah jenis harta yang ada penjelasannya dari dalil lain.
Kesimpulan
1.      Ayat perintah memberikan zakat adalah mujmal , bukan ‘am sehingga tidak boleh diamalkan sehingga ada penjelasan dari dalil lain yang menentukan jenis dan kadar ukurannya.
2.      Berdasarkan point 1 di atas, maka tidak wajib mengeluarkan zakat jasa hanya berdasarkan ayat perintah memberikan zakat di atas, karena ayat-ayat tersebut mujmal. Bagi yang berpendapat wajib mengeluarkan zakat jasa, dalil yang digunakan harus berdasarkan dalil lain, tidak boleh semata-mata ayat-ayat perintah memberikan zakat yang mujmal di atas.
3.      Apabila kita berpendapat ayat perintah memberikan zakat diatas adalah ‘am, maka semua jenis harta pada dasarnya wajib zakat kecuali jenis-jenis harta yang dikecualikan berdasarkan dalil syara’. Dengan demikkian, berdasarkan pendapat ini, zakat jasa wajib dikeluarkan selama tidak ada dalil yang menjelaskannya tidak wajib.




[1] Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 84
[2] Imam Haramain, al-Warqaat, dicetak pada hamisy Hasyiah al-Dimyathiy ‘ala Syarah al-Warqaat, Maktabah Raja Murah, Pekalongan, Hal. 13
[3] Al-Zarkasyi, Bahrul Muhith, Wazarah al-Auqaf wa al-Syu-un al-Islamiyah, Kuwait, Juz. III, Hal. 456
[4] Ahmad al-Khathib al-Minangkabawi, al-Nufahaat ‘ala Syarah al-Warqaat, al-Haramain, Singapura, Hal. 87
[5] Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 69
[6] Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 70
[7] Al-Syairazi, al-Tabassurah fi Ushul Fiqh, Darul Fikri, Damsyiq, Hal. 198
[8] Ibnu Hajar al-Haitamiy, Tuhfah al-Muhtaj, Dicetak pada hamisy Hasyiah al-Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. III, Hal. 209
[9]Al-Syarwani, Hasyiah al-Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtah, Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. III, Hal. 209
[10] Imam Syafi’i, al-Risalah, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Hal. 188-194

Tidak ada komentar:

Posting Komentar