Pengertian
al-Hilah
Al-hilah
yang sebagian ulama menyebutnya dengan al-makharij,[1]
menurut lughat adalah kecerdasan dalam
mengelola suatu perkara, tajam analisa dan membolak-balik pikiran. Menurut
Al-‘Alamah al-Hamawi al-Hanafi dalam ilmu fiqh, hilah adalah hal-hal yang dapat
melepaskan dari jeratan hukum syara’ bagi orang-orang yang diuji dengan perkara
agama. Karena upaya melepaskan itu tidak dicapai kecuali dengan kecerdasan dan
ketajaman analisa, maka upaya tersebut dinamakan dengan al-hilah.[2] Ibnu
Hajar al-Asqalaniy mengatakan, al-hilah adalah sesuatu yang menyampaikan kepada
maksud dengan jalan tersembunyi.[3] al-Syaathibi
mengatakan, ada dua muqaddimah untuk memahami al-hilah, pertama : memalingkan
hukum suatu perbuatan, sebagiannya kepada sebagian yang lain pada dhahirnya,
kedua : menjadikan suatu perbuatan yang diqashadkan sebuah makna pada syara’
menjadi perantaraan untuk memalingkan hukum.[4]
Tiga
penjelasan al-hilah di atas masih bersifat umum, apakah al-hilah ini dengan
perantaraan yang disyari’atkan asalnya atau tidak sama sekali sebagaimana
al-hilah pada kisah hari Sabtu yang dilakukan oleh Yahudi. Barangkali devinisi
yang dikemukakan oleh Ramadhan al-Buuthi lebih mengkhususkan kepada al-hilah
al-syar’iyah, yakni al-hilah dengan perantaraan yang disyari’atkan. Beliau
mengatakan, al-hilah al-syar’iyah adalah qashad berwasilah dalam memalingkan
hukum kepada hukum lain dengan perantaraan yang disyari’at pada asal. Melalui
perkataan “qashad” dalam devinisi di atas, maka tidak termasuk al-hilah berwasilah dalam memalingkan hukum kepada
hukum lain dengan perantaraan yang disyari’at tanpa dengan qashad, seperti
perempuan tertalaq tiga menikah lagi dengan lak-laki lain, kemudian dia ditalaq
lagi tanpa ada kesepakatan lebih dahulu antara keduanya atau antara suami kedua
dan suami pertama. Melalui perkataan “perantaraan yang disyari’atkan”, maka
tidak termasuk al-hilah seandainya qashad memalingkan hukum dengan perantaraan
yang tidak disyari’atkan pada asalnya, artinya perantaraannya adalah
perantaraan yang diharamkan. Maka ini termasuk al-hilah yang diharamkan dan
tidak gugur keharaman dengan sebabnya. Contohnya qashad orang yang ingin
bersetubuh pada siang Ramadhan menghindari kewajiban kifarat dengan makan atau
minum khamar sebelum bersetubuh ataupun meniat memotong puasa sebelum
bersetubuh. Ini tidak dapat dikatakan rusak puasa dengan sebabnya. Namun demikian,
menurut Ibrahim al-Bajuri, salah seorang ulama mutaakhiriin dari kalangan Syafi’iyah,
tindakan al-hilah menghindari dari kifarat puasa dengan makan atau minum, kemudian baru melakukan
persetubuhan, ini dapat menggugurkan kifarat, meski pun tidak menggugurkan
dosa.[5]
Contoh
lain, al-hilah Yahudi menangkap ikan pada kisah hari Sabtu. Al-Buuthi, setelah
menyebut dua contoh ini dan beberapa contoh yang serupa dengan dua ini
mengatakan, maka contoh-contoh ini dan yang serupa dengannya tidak termasuk apa
yang dinamakan al-hilah al-syar’iyah yang dikatakan oleh jumhur ulama dan tidak
termasuk pembahasan, karena tidak ada khilaf keharamannya di sisi ulama.[6]
Contoh al-Hilah
1. Contoh
al-hilah yang baik menurut al-Sarkhasi, seorang yang sudah mentalaq tiga isterinya,
kemudian mantan isterinya itu taubat dari perangai buruknya, sedangkan keduanya
berkeinginan kembali menjadi suami isteri, maka al-hilahnya si isteri menikah dengan
laki-laki lain.[7]
2. Melakukan
jual beli ribawi yang sejenis, sedangkan ukurannya berbeda. Hilahnya dengan
menjual emas kepada yang mempunyai emas juga dengan dirham, kemudian sipenjual
ini membeli emas yang ada pada pembeli pertama dengan dirham yang sudah ada
ditangannya sesudah terjadi qabath iqbath. Maka ini dibolehkan meskipun sudah
menjadi adat kebiasaan, belum terpisah dari majelis akad dan tidak ada hak
khiyar. Hal ini karena akad jual beli kedua mengandung ijazah (izin) kepada
akad pertama, berbeda seandainya akad kedua dilakukan dengan orang lain, karena
menggugurkan hak khiyar orang lain.[8]
3. Seseorang
yang sudah mempunyai nisab zakat ternak, merencanakan menghindari dari
kewajiban zakat. Maka hilahnya menjualnya atau menukar dengan ternak lain pada
pertengahan tahun. Dengan sebab itu haulnya terpotong, karena ternak itu
kepemilikannya masih baru, maka harus dengan haul baru. Namun hilah ini makruh,
karena ada unsur menghindari dari qurbah.[9]
Kitab-Kitab yang
Membahas Tentang al-Hilah
Diantara kitab
yang membahas mengenai al-hilah ini, antara lain :
1. al-Hail
al-Daafi’ah, karya Abu Hatim Majhud bin al-Husain al-Anshary al-Quzwainiy.(Mazhab
Syafi’i, disebut oleh Syeikh Yasin al-Fadaniy[10]).
2. Al-Mantsur fi al-Qawaid, karya al-Zarkasyi.(Mazhab Syafi’i). Dibahas
dalam pembahasan khusus dalam Juz.I dari kitab Al-Mantsur fi al-Qawaid.
3. Al-Makharij
fi al-Hail, karya Muhammad bin al-Hasan al-Syaibaniy (Mazhab Hanafi)
4. Al-Mabsuth,
karya al-Sarkhasi (Mazhab Hanafi). Dibahas dalam kitab al-hail dari kitab
al-Mabsuth.
5. Al-Asybah
wa al-Nadhair, karya Ibnu Najiim (Mazhab Hanafi). Dibahas dalam pelajaran
kelima dari kitab al-Asybah wa al-Nadhair.
6. Al-Mughni,
karya Ibnu Qudamah (Mazhab Hanbali). Dibahas dalam fashal khusus mengenai
al-hilah.
7. Ibthal
al-Hail, karya Ibnu Batthah (Mazhab Hanbali).
8. Al-Muwaafaqaat,
karya al-Syaathibiy (Mazhab Maliki). Dibahas dalam masalah ke sepuluh dari
Kitab al-Maqaashid (Juz. III dari Kitab al-Muwaafaqaat)
9. al-Zhawabith
al-Mashlahah fi al-Syari’ah al-Islamiyah, karya Dr. Ramadhan al-Buuthi (kontemporer).
Dibahas dalam khatimah bab kedua, yakni bab zhawabith al-mashlahah
al-syar’iyah.
Kedudukan al-Hilah
dalam Fiqh
1.
Menurut Mazhab Hanafi
Al-hilah
lebih terkenal dalam mazhab Hanafi. Hal ini menurut Ibnu Hajar al-Asqalani
dikarenakan Abu Yusuf salah seorang murid langsung dari Abu Hanifah ada
mengarang sebuah kitab mengenai al-hilah. Selanjutnya beliau mengatakan, namun
yang ma’ruf dari Abu Yusuf dan kebanyakan imam-imam mereka mengkaidkan
pengamalan al-hilah dengan qashad haq. Pengarang kitab al-Muhith mengatakan,
asal al-hilah adalah firman Allah Ta’ala : “Dan ambillah
dengan tanganmu seikat (rumput)”(al-Ayat). Zhabithnya, seandainya
al-hilah karena menghindar dari haram dan menjauhi dari dosa, maka itu baik dan
seandainya untuk membatalkan hak orang muslim, maka tidak, bahkan itu termasuk
dosa dan permusuhan.[11]
Ulama
mazhab Hanafi lainnya yang pernah menjelaskan hukum al-hilah, dapat disimak
antara lain :
a.
Al-Sarkhasi
mengatakan, al-hilah pada hukum-hukum yang dapat melepaskannya dari dosa dibolehkan menurut jumhur ulama. Hanyasanya dimakruhkannya oleh
sebagian yang berpikir menyimpang dari kebenaran, karena kebodohan mereka dan
kurang analisis mereka dengan al-Kitab dan al-Sunnah. Kemudian beliau
melanjutkan, alhasil al-hilah yang dapat melepaskan seseorang dari haram atau
yang mengantarkannya kepada halal, maka ini adalah baik dan hanya dimakruhkan
apabila melakukan al-hilah pada hak seseorang untuk membatalkannya atau
al-hilah pada kebatilan dengan memalsukannya ataupun pada satu hak sehingga
masuk dalamnya syubhat.[12]
b.
Abu
Bakar al-Jashas dari kalangan Mazhab Hanafi berpendapat bahwa al-hilah yang
dapat menyampaikan kepada yang mubah dan memperoleh hak, hukumnya dibolehkan.[13]
2.
Menurut mazhab Syafi’i
a.
Qadhi
Abu al-Thayyib mengatakan secara garis besar, al-hilah itu dibolehkan.[14]
b.
Dalam
kitabnya, Raudhah al-Thalibin, Imam al-Nawawi mengatakan, di sisi Muhammad bin
Hasan (murid Imam Abu Hanifah) makruh menolak hak syuf’ah dengan cara al-hilah,
karena padanya mengekalkan kemudharatan. Selanjutnya beliau mengatakan, ini
menyerupai mazhab kita (Mazhab Syafi’i) pada masalah al-hilah dalam mencegah
wajib zakat.[15]
c.
Dalam al-Fatawa
al-Kubra al-Fiqhiyah, Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan bahwa al-hilah yang
melepaskan dari riba boleh disisi Syafi’i, akan tetapi makruh, karena
memelihara khilaf jama’ah yang mengharamkannya, yaitu Malik dan Ahmad dan ashab
keduanya.[16]
Dalam Tuhfah, beliau mengatakan makruh al-hilah dalam jual beli ribawi ini dalam
semua pembagiannya, tidak terbatas pada pada riba fadhal saja.[17] Namun dalam
Fath al-Mubin dengan mendasarkan kepada pendapat al-Subki sebagaimana dikutip
oleh al-Syarwani, beliau mengatakan setiap al-hilah yang qashadnya semata-mata
zatnya, tidak dari sisi keadaannya yang haram, maka boleh tanpa makruh. Adapun
seandai qashadnya tidak seperti demikian, maka makruh kecuali jalan al-hilahnya
haram, maka hukumnya haram.[18]
d.
Zainuddin
al-Malibary mengatakan, makruh menghilangkan
miliknya dengan menjual atau mubadalah (melakukan pertukaran) dari harta yang
wajib zakat karena qasad al-hilah, dalam arti dengan tindakan tersebut
seseorang mengqasad menolak kewajiban zakat. Dalam Kitab al-Wajiz: diharamkan.
Dalam Ihya: ditambah : tidak terlepas zimmah pada bathin dan sesungguhnya ini
termasuk dalam fiqh yang memudharatkan. Berkata Ibnu Shalah: berdosa qashadnya,
tidak perbuatannya. [19]
e.
Syeikh
Yasin al-Fadaniy mengatakan, al-hilah ini apabila qashadnya semata-mata zatnya,
bukan qashad meraih yang haram, maka hukumnya boleh tanpa makruh. Adapun apabila
qashad meraih yang haram, hukumnya makruh. Dikecualikan jalan hilah yang haram,
maka ini, hukumnya haram seperti perbuatan Yahudi yang melampaui
batas dalam kisah hari Sabtu. Qashad Yahudi dalam kasus ini adalah menguasai
ikan dan masuk ikan pada Hari Sabtu dalam galian mereka yang telah disediakan
sebelum Hari Sabtu.[20]
f.
Menurut
keterangan Ibnu Hajar al-Asqalani, seorang ahli hadits terkenal dan juga bermazhab
Syafi’i dalam bidang fiqh, ulama membagi al-hilah ini menjadi beberapa
pembagian, yakni :
1).Al-hilah
dengan jalan mubah dan maksudnya untuk membatalkan hak dan menetapkan yang
batil, maka ini haram
2).
Al-hilah dengan jalan mubah dan maksudnya untuk menolak kebatilan, maka ini
wajib atau dianjurkan
3).
Al-hilah dengan jalan mubah dan maksudnya untuk menyelamatkan diri dari jatuh
dalam perbuatan makruh, maka ini dianjurkan atau mubah
4).
Al-hilah dengan jalan mubah dan maksudnya untuk meninggalkan perbuatan yang
dianjurkan, maka ini makruh.
Kemudian
al-Asqalani melanjutkan, terjadi khilaf ulama dalam pembagian pertama, setelah
dinyatakan haram, apakah perbuatan tersebut sah secara mutlaq dan tembus dhahir
dan batin atau batal secara mutlaq ataukah sah namun berdosa.[21] Menurut Ibrahim al-Bajuri, salah seorang ulama mutaakhiriin
dari kalangan Syafi’iyah, tindakan al-hilah menghindari dari kifarat puasa
dengan makan atau minum, kemudian baru
melakukan persetubuhan, ini dapat menggugurkan kifarat, meski pun tidak
menggugurkan dosa.[22] Dhahir
kalamnya al-Bajuri ini, al-hilah yang diharamkan meskipun berdosa, dapat
mencapai/tembus maksud al-hilah tersebut.
3. Menurut Mazhab Hanbali
a.
Ibnu
Qudamah mengatakan, semua bentuk al-hilah diharamkan, tidak dibolehkan dalam
agama. Menurut Ibnu Qudamah, al-hilah adalah mendhahirkan aqad yang mubah
dengan maksud yang haram secara tipuan dan berwasilah kepada melakukan
perbuatan yang diharamkan Allah dan memubahkan keharamannya, menggugurkan
kewajiban atau menolak hak dan yang semisal dengannya.[23]
b.
Manshur
al-Bahuuti mengatakan, haram mencari al-hilah untuk menggugurkan hak syuf’ah.
Al-Imam mengatakan, tidak boleh sesuatupun al-hilah dalam membatalkan hak
syuf’ah dan tidak boleh juga dalam membatalkkan hak orang muslim.[24]
c.
Ibnu
Hajar al-Haitami mengatakan, Ahmad dan Malik serta kedua ashhabnya berpendapat haram
al-hilah dan tidak melepaskan diri dari riba dengan jalan al-hilah[25]
4.
Menurut Mazhab Maliki
a.
Al-Dardiir
mengatakan, telah tetap di sisi kita bahwa al-hilah tidak berfaedah apapun
dalam ibadah dan demikian juga dalam mu’amalat.[26]
b.
Ibnu
Hajar al-Haitami mengatakan, Ahmad dan Malik serta kedua ashhabnya berpendapat
haram al-hilah dan tidak melepaskan diri dari riba dengan jalan al-hilah[27]
c.
Setelah
menyebutkan bahwa al-hilah dengan maknanya yang telah dikutip pada pengertian
al-hilah di atas batal dan tercela, al-Syaathibiy mengatakan larangan al-hilah
ini, substansinya adalah menggugurkan asal syar’i dan bertentangan dengan
mashlahah syar’iyah. Karena itu, seandainya didapati al-hilah ini tidak
menggugurkan asal syar’i dan juga tidak bertentangan dengan kemashlahatan yang
dii’tibar oleh dalil syara’, maka al-hilah ini tidak masuk dalam larangan dan
tidak termasuk dalam katagori batil. Berdasarkan ini, kemudian al-Syaatibiy membagi
al-hilah dalam tiga pembagian sesuai dengan hukumnya, yakni :
1). Tidak
khilaf batalnya, seperti al-hilah orang munafiq dan ria
2). Tidak khilaf kebolehannya, seperti mengucapkan kalimat kufur
pada saat dalam keadaan terpaksa.
3). Tidak ada dalil yang qath’i untuk dihubungkan kepada
pembagian pertama atau kedua. Hal ini karena syara’ tidak menjelaskan maqashid
yang disepakati bahwa itu adalah maqashidnya dan tidak dhahir bahwa al-hilah
tersebut menyalahi mashlahah yang telah ditetapkan syara’ pada suatu perkara.
Maka pembagian yang ketiga ini menjadi khilafiyah sesuai dengan ijtihad
seseorang. Bagi orang yang berpendapat yang tidak bertentangan dengan
mashlahah, maka al-hilah tersebut adalah boleh dan bagi orang yang berpendapat
menyalahi mashlahah, maka hukumnya tidak boleh. Al-Syaathibiy menyebut contoh
al-hilah yang tidak bertentangan mashlahah yang telah ditetapkan syara’, yakni
masalah nikah tahlil. Nikah tahlil ini sesuai dengan dhahir firman Allah
berbunyi :
فان طلقها فلا تحل له من بعد حتى تنكح زوجا غيره
Jika seseorang mentalaq
isterinya, maka tidak halal baginya setelah itu sehingga isterinya itu menikahi
suami selainnya. (Q.S. al-Baqarah : 230)
Dan juga
tidak bertentangan dengan mashlahah yang ditetapkan syara’, yakni merasakan
“‘usailah” (madu = berhubungan suami isteri) sebagaimana dijelaskan oleh sabda
Nabi SAW berbunyi :
لا حتى تذوق عسيلته يذوق
عسيلتك
Tidak, sehingga kamu
merasakan madunya dan dia merasakan madumu.(H.R. Bukhari dan Muslim)
Dhahir dari
hadits ini, yang menjadi qashad syara’ pada nikah yang kedua adalah merasakan
madunya, sungguh sudah terwujud qashadnya itu pada si muhallil.[28]
Berdasarkan
keterangan-keterangan mazhab-mazhab di atas, maka al-hilah dengan pengertian
yang telah disebut di awal tulisan ini, hukumnya disimpulkan sebagai berikut :
-
Menurut
Mazhab Hanafi, al-hilah dibolehkan apabila qashadnya menghindar
dari haram dan menjauhi dari dosa dan makruh tahrim apabila qashadnya
membatalkan hak seseorang atau al-hilah pada
kebatilan dengan memalsukannya ataupun pada satu hak sehingga masuk dalamnya
syubhat
- Menurut Mazhab Syafi’i, apabila qashad al-hilah
semata-mata zatnya, tidak dari sisi keadaannya yang haram, maka boleh tanpa
makruh. Adapun seandai qashadnya mengambil suatu yang haram, membatalkan hak
atau mengekalkan kemudharatan, maka makruh. Namun apabila dilihat dari sisi
mura’ah al-khilaf dengan pendapat Ahmad dan Malik, dalam al-Fatawa al-Kubra,
Ibnu Hajar al-Haitami berpendapat makruh al-hilah baik qashadnya semata-mata
zatnya atau qashad mengambil suatu yang haram atau membatalkan hak. Khusus
dalam al-hilah yang dapat membatalkan hak, Imam al-Ghazali dalam Kitab al-Wajiz berpendapat diharamkan. Pendapat yang senada dengan
al-Ghazali juga dikemukan oleh Ibnu Hajar al-Asqalany. Sedangkan dalam Ihya,
al-Ghazali menambahkan, tidak terlepas zimmah pada bathin dan sesungguhnya ini
termasuk dalam fiqh yang memudharatkan. Ibnu Shalah mengatakan berdosa
qashadnya, tidak perbuatannya. Namun pendapat yang dikemukakan oleh al-Ghazali,
Ibnu Shalah dan Ibnu Hajar al-Asqalani ini tidak begitu populer di kalangan
mutaakhiriin ulama Mazhab Syafi’i.
Kemudian kesimpulan lainnya, haram hukumnya apabila
al-hilah dengan cara melakukan perbuatan yang diharamkan. Dhahir kalam al-Bajuri ini, al-hilah yang diharamkan
meskipun berdosa, dapat mencapai/tembus maksud al-hilah tersebut.
- Menurut Mazhab Hanbali, al-hilah diharamkan secara mutlaq
- Menurut
Mazhab Maliki, al-hilah diharamkan secara mutlaq. Namun menurut al-Syaathibiy larangan al-hilah ini, substansinya adalah menggugurkan
asal syar’i dan bertentangan dengan mashlahah syar’iyah. Karena itu, seandainya
didapati al-hilah ini tidak menggugurkan asal syar’i dan juga tidak
bertentangan dengan kemashlahatan yang dii’tibar oleh dalil syara’, maka
al-hilah ini tidak masuk dalam larangan dan tidak termasuk dalam katagori
batil.
Dalil yang Membolehkan
al-Hilah
Kalangan ulama
berpendapat bahwa al-hilah dibolehkan, berargumentasi berdasarkan istinbath dari
dalil sebagai berikut :
1. Firman
Allah berbunyi :
فَلَمَّا
جَهَّزَهُمْ بِجَهَازِهِمْ جَعَلَ السِّقَايَةَ فِي رَحْلِ أَخِيهِ ثُمَّ أَذَّنَ
مُؤَذِّنٌ أَيَّتُهَا الْعِيرُ إِنَّكُمْ لَسَارِقُونَ
Maka tatkala telah disiapkan untuk mereka bahan makanan mereka,
Yusuf memasukkan piala (tempat minum) ke dalam karung saudaranya. Kemudian
berteriaklah seseorang yang menyerukan: "Hai kafilah, sesungguhnya kamu
adalah orang-orang yang mencuri. (Q.S. Yusuf :70)
Pada ayat di atas dan beberapa ayat sesudahnya
dikisahkan bahwa Yusuf dengan maksud ingin menahan saudaranya tinggal
bersamanya, sengaja memasukkan piala dalam karung saudaranya sehingga dapat
dituduh sebagai pencuri. Tindakan menjebak seseorang pada dasarnya tidak
dibolehkan tetapi dalam kasus Yusuf dan saudaranya dibolehkan karena ini adalah
hilah untuk tujuan yang mulia. Tindakan Yusuf tersebut di restui oleh Allah SWT
dan tidak diingkari-Nya sebagaimana Firman Allah SWT berikutnya, ayat 76
كَذَلِكَ كِدْنَا لِيُوسُفَ مَا كَانَ لِيَأْخُذَ
أَخَاهُ فِي دِينِ الْمَلِكِ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ
Demikianlah kami atur untuk (mencapai maksud) Yusuf.
tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja, kecuali
Allah menghendaki-Nya. (Q.S. Yusuf : 76)
2. Kisah Nabi Ayyub dengan
isterinya dalam Q.S. Shaad : 44, yaitu sebagai berikut :
وَخُذْ بِيَدِكَ ضِغْثًا فَاضْرِبْ بِهِ وَلَا
تَحْنَثْ إِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِرًا نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ
Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), Maka pukullah dengan
itu dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya kami dapati dia (Ayyub)
seorang yang sabar. dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat
(kepada Tuhan-nya).(Q.S. Shaad : 44)
Nabi Ayyub a.s. menderita penyakit kulit beberapa waktu
lamanya dan dia memohon pertolongan kepada Allah s.w.t. Allah Kemudian
memperkenankan doanya, sehingga sembuhlah dari penyakitnya. Pada suatu ketika,
Ayyub teringat akan sumpahnya, bahwa dia akan memukul isterinya bilamana
sakitnya sembuh disebabkan isterinya pernah lalai mengurusinya sewaktu dia
masih sakit. akan tetapi timbul dalam hatinya rasa hiba dan sayang kepada
isterinya sehingga dia tidak dapat memenuhi sumpahnya. Oleh sebab itu turunlah
perintah Allah seperti yang tercantum dalam ayat 44 di atas, agar dia dapat
memenuhi sumpahnya dengan tidak menyakiti isterinya yaitu memukulnya dengan
dengan seikat rumput. Tindakan Ayyub memukul isterinya dengan hanya seikat
rumput merupakan al-hilah dari tindakan memukul yang dapat menyakiti isterinya yang
wajib dilakukan Ayyub karena sumpahnya. Tindakan Ayyub tersebut merupakan
perintah Allah terhadap Ayyub.
3. Hadits Sa’id al-Khudri dan
Abu Hurairah berbunyi :
أَن رَسُول الله
صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسلم اسْتعْمل رجلا عَلَى خَيْبَر فَجَاْئه بِتَمْر
جنيب، فَقَالَ: أكل تمر خَيْبَر هَكَذَا؟ قَالَ: إِنَّا لنأخذ الصَّاع بالصاعين
والصاعين بِالثَّلَاثَةِ. قَالَ: لَا تفعل، بِعْ الْجمع بِالدَّرَاهِمِ، ثمَّ ابتع
بِالدَّرَاهِمِ جنيبًا
Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah memperkerjakan seorang
laki-laki pada waktu perang Khaibar. Laki-laki ini membawa kurma kehadapan
beliau. Rasulullah SAW bertanya : “Apakah semua kurma Khaibar seperti ini?”. “Sesungguhnya
kami hanya membeli satu sha’ dengan dua sha’ dan dua sha’ dengan tiga sha’”
Jawab laki-laki itu. Kemudian Rasulullah bersabda : “Jangan lakukan itu, akan
tetapi juallah kurma jelek dengan beberapa dirham, kemudian belilah kurma yang
bagus dengan dirham.(H.R. Bukhari dan Muslim)[29]
Dalam hadits
ini, Rasulullah SAW melarang membeli satu sha’ kurma yang bagus dengan dua sha’
kurma yang jelek, karena termasuk jual beli ribawi. Namun Rasulullah memberikan
solusi agar mendapatkkan kurma yang bagus dan sekaligus terhindar dari riba,
dengan memerintah menjual lebih dahulu dua sha’ kurma yang jelek dengan
beberapa dirham, kemudian dengan dirham tersebut membeli kurma yang bagus.
Inilah yang disebut dengan al-hilah di sisi ulama fiqh yang membolehkannya.
4. Dari
Sa’id bin Sa’ad bin ‘Ubadah berkata :
كَانَ بَيْنَ
أَبْيَاتِنَا رَجُلٌ مُخْدَجٌ ضَعِيفٌ، فَلَمْ يُرَعْ إلَّا وَهُوَ عَلَى أَمَةٍ
مِنْ إمَاءِ الدَّارِ يَخْبُثُ بِهَا، فَرَفَعَ شَأْنَهُ سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ
إلَى رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، فَقَالَ: اجْلِدُوهُ
مِائَةَ سَوْطٍ فَقَالَ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ هُوَ أَضْعَفُ مِنْ ذَاكَ، لَوْ
ضَرَبْنَاهُ مِائَةَ سَوْطٍ لَمَاتَ، قَالَ: فَخُذُوا لَهُ عُثْكَالًا فِيهِ
مِائَةُ شِمْرَاخٍ، فَاضْرِبُوهُ وَاحِدَةً، وَخَلُّوا سَبِيلَهُ.
Disekitar
rumah kami ada seorang laki-laki tidak normal dan lemah. Tidak ada yang
memperhatikan dia kecuali disaat dia telah melakukan zina seorang hamba sahaya
rumahan. Maka Sa’ad bin ‘Ubadah melapor kejadian itu kepada Rasulullah SAW,
lalu beliau bersabda : “Cambuklah seratus kali”. Sa’ad bin ‘Ubadah menjawab,
“Ya Nabiyullah, dia sangat lemah, seandainya kami memukulnya seratus kali
cambuk, niscaya dia mati”. Rasulullah SAW menjawab : “Ambillah satu tandan
kurma yang ada seratus tangkainya, lalu pukullah dia dengan sekali saja dan
biarkanlah jalannya. (H.R. Ibnu Majah dan Ahmad)[30]
Mencambuk dengan sekali cambuk dengan menggunakan
tandan kurma yang ada seratus tangkainya adalah al-hilah dari kewajiban cambuk
seratus kali.
5. Telah terjadi ijmak ulama sah nikah dengan niat dalam hati berkumpul
bersama isteri dalam batas waktu tertentu. Imam al-Nawawi mengatakan :
قَالَ الْقَاضِي وَأَجْمَعُوا عَلَى
أَنَّ مَنْ نَكَحَ نِكَاحًا مُطْلَقًا وَنِيَّته أَلَّا يَمْكُث مَعَهَا إِلَّا
مُدَّة نَوَاهَا فَنِكَاحه صَحِيح حَلال ، وَلَيْسَ نِكَاح مُتْعَة ، وَإِنَّمَا
نِكَاح الْمُتْعَة مَا وَقَعَ بِالشَّرْطِ الْمَذْكُور ، وَلَكِنْ قَالَ مَالِك :
لَيْسَ هَذَا مِنْ أَخْلَاق النَّاس ، وَشَذَّ الْأَوْزَاعِيُّ فَقَالَ : هُوَ
نِكَاح مُتْعَة ، وَلَا خَيْر فِيهِ . وَاَللَّه أَعْلَم .
“Al-Qaadli berkata : Para
ulama telah bersepakat bahwa siapa saja yang melakukan nikah secara mutlaq
dengan niat (dalam hati) hanya akan bersamanya dalam waktu terbatas, maka
nikahnya sah dan halal. Ini bukan nikah mut’ah. Nikah mut’ah adalah nikah yang
dilaksanakan disertai syarat yang disebutkan. Akan tetapi Malik berkata : ‘Ini
tidak termasuk akhlaq manusia (generasi salaf)’. Sedangkan Al-Auza’i mempunyai
pendapat yang berbeda, dimana ia berkata : ‘Hal itu adalah nikah mut’ah dan
tidak ada kebaikan di dalamnya’. Wallaahu a’lam” [31]
Ijmak ini menunjukkan
bahwa sebuah akad selama secara formal memenuhi rukun dan syaratnya, meskipun
niatnya melakukan al-hilah, maka ini tidak terlarang dalam agama. Karena yang
dii’tibar adalah shighatnya, bukan niat ketika mengucapkannya. Ini dikecualikan
apabila shighat yang digunakan adalah lafazh kinayah. Adapun i’tibar niat pada
lafazh kinayah karena faktor multi tafsir terhadap makna lafazh. Jadi ini
berbeda dengan al-hilah yang jadi pembahasan di sini.
Dalil yang Mengharamkan
al-Hilah
1. Firman
Allah Ta’ala berbunyi :
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا
بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ (8) يُخَادِعُونَ
اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا
يَشْعُرُونَ (9)
Sebagian dari manusia itulah orang-orang yang
mengatakan “Kami beriman kepada Allah dan hari akhir”, padahal mereka tidaklah
beriman sama sekali. Mereka menipu Allah dan orang-orang beriman. Padahal
mereka tidak menipu kecuali diri mereka sendiri dan mereka tidak mengetahuinya.(Q.S.
al-Baqarah : 8-9)
Orang-orang munafiq dicela dalam ayat ini karena
melakukan al-hilah dengan cara mendhahirkan iman kepada Allah, padahal itu
hanya untuk al-hilah menyelamatkan darahnya dari pedang kaum muslimin,
sedangkan hati mereka tetap dalam kekafiran.
Komentar :
Ayat ini tidak relevan dengan al-hilah
yang terjadi khilaf ulama hukumnya. Seandainyapun ini termasuk al-hilah, maka
ini termasuk al-hilah yang disepakati
para ulama keharamannya. Karena jalan melakukan al-hilah di sini adalah sifat
nifaq (kepura-puraan) yang disepakati keharamannya.
2. Firman
Allah berbunyi :
إِنَّا بَلَوْنَاهُمْ كَمَا بَلَوْنَا
أَصْحَابَ الْجَنَّةِ إِذْ أَقْسَمُوا لَيَصْرِمُنَّهَا مُصْبِحِينَ (17) وَلَا
يَسْتَثْنُونَ (18) فَطَافَ عَلَيْهَا طَائِفٌ مِنْ رَبِّكَ وَهُمْ نَائِمُونَ
(19) فَأَصْبَحَتْ كَالصَّرِيمِ (20)
Sesungguhnya
Kami telah mencobai mereka (musyrikin Makah) sebagaimana kami telah mencobai
pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh
akan memetik (hasilnya) pada waktu subuh dan mereka tidak menyisihkan (hak
fakir miskin). Lalu kebun itu diliputi malapetaka dari tuhanmu ketika mereka
sedang tidur. Maka jadilah kebun itu seperti malam yang gelap gulita.(Q.S.
al-Qalam : 17-20)
Kebun-kebun mereka dihancurkan Allah, karena mereka
menahan hak orang miskin dengan melakukan al-hilah tidak memetiknya pada siang
hari pada waktu datang orang-orang miskin.
Komentar :
Ibnu Abi Hatim dengan sanadnya meriwayatkan dari Ibnu
Abbas, beliau berkata :
قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِيَّاكُمْ وَالْمَعَاصِيَ
إِنَّ الْعَبْدَ لَيُذْنِبُ الذَّنْبَ فَيُحْرَمُ بِهِ رِزْقًا قَدْ كَانَ هُيِّئَ
لَهُ ثُمَّ تَلَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَطافَ
عَلَيْها طائِفٌ مِنْ رَبِّكَ وَهُمْ نائِمُونَ فَأَصْبَحَتْ كَالصَّرِيمِ
قَدْ حُرِمُوا خَيْرَ
جَنَّتِهِمْ بِذَنْبِهِمْ.
Rasulullah
SAW bersabda : “Jauhilah maksiat, sesungguhnya seorang hamba yang berbuat dosa,
maka diharamkan rizki dengan sebabnya yang sungguh telah disediakan untuknya.
Kemudian Rasulullah SAW membaca firman Allah : “Lalu kebun itu
diliputi malapetaka dari tuhanmu ketika mereka sedang tidur. Maka jadilah kebun
itu seperti malam yang gelap gulita”. Sesungguhnya diharamkan atas mereka
kebaikan kebun dengan sebab dosa mereka.(H.R. Ibnu Abi Hatim)[32]
Berdasarkan penjelasan riwayat ini, melapetaka yang
menimpa pemilik kebun dalam ayat di atas adalah karena perbuatan maksiat yang
dilakukan mereka. Menurut Ibnu Katsir, waktu subuh pada ayat di atas bermakna
malam. Karena pada waktu malam, faqir
miskin dan peminta-minta tidak mengetahui kalau mereka sedang memetik hasilnya.[33]
Namun menurut al-Khazin tetap bermakna subuh, yakni waktu subuh sebelum fakir
miskin menemui mereka dan sebelum mengetahuinya.[34]
Ini bukan al-hilah yang menjadi
pembahasan di sini. Karena kewajiban bersadaqah sebagian hasil kebun mereka
tidak hanya berlaku pada siang, namun juga berlaku pada malam hari, baik
diketahui sudah dipetik hasil panennya ataupun tidak diketahui. Sedangkan mereka
memetik hasilnya sebelum diketahui dan datang fakir miskin hanya untuk menghindari
tuntutan dari fakir miskin sadaqah yang
sudah biasa diberikan oleh orangtua mereka. Diceritakan dalam Tafsir Ibnu
Katsir bahwa orangtua mereka sudah biasa menyisihkan sebagian hasil kebun
mereka untuk disadaqahkan kepada fakir miskin, namun setelah orangtua mereka
meninggal dunia dan kebun itu menjadi milik mereka, maka merekapun enggan
bersadaqah sebagaimana yang biasa dilakukan oleh orangtua mereka.[35]
3. Firman
Allah berbunyi :
وَلَقَدْ
عَلِمْتُمُ الَّذِينَ اعْتَدَوْا مِنْكُمْ فِي السَّبْتِ فَقُلْنَا لَهُمْ كُونُوا
قِرَدَةً خَاسِئِينَ
Dan
sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar di antaramu pada
Hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka : Jadilah kamu kera yang hina (Q.S.
al-Baqarah : 65)
Orang-orang Yahudi dimurkai Allah karena
melakukan al-hilah pada kisah Hari Sabtu. Qashad mereka dalam
kasus ini adalah menguasai ikan dan masuk ikan pada Hari Sabtu dalam galian
mereka yang telah disediakan sebelum Hari Sabtu. Kemudian mereka mengambilnya
pada besoknya.
Komentar
:
Al-hilah yang dilakukan Yahudi ini termasuk katagori al-hilah
dengan jalan haram yang disepakati para ulama keharamannya. Jadi tidak termasuk
dalam perkara al-hilah yang menjadi perbedaan pendapat ulama di atas. Karena
perbuatan Yahudi membuat galian sebelum Hari Sabtu untuk masuk
ikan pada Hari Sabtu dalam galian mereka yang telah disediakan, pada hakikatnya
sama saja dengan menguasai ikan pada Hari Sabtu sebagaimana dijelaskan oleh
Syeikh Yasin al-Fadani.[36]
4. Hadits
riwayat Abu Hurairah r.a, berbunyi :
أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال لا ترتكبوا ما ارتكبت اليهود فتستحلوا
محارم الله بأدنى الحيل
Sesungguhnya Nabi SAW
bersabda : “Jangan melakukan apa yang telah dilakukan oleh Yahudi, mereka menghalalkan
yang diharamkan Allah dengan serendah-rendah hilah (tipu daya). (H.R. Ibnu
Batthah).
Ibnu Katsir
mengatakan, ini isnad jaid (baik).[37]
Maksud dari Ibnu Katsir isnadnya baik di sini adalah sanad antara Ibnu Batthah
ke atas. Adapun Ibnu Batthah sendiri adalah dha’if. Ini sesuai dengan penjelasan
al-Zahabi dalam kitab Sirr ‘A’lam
al-al-Nubulaa, yang
mengatakan, Ibnu Batthah, meskipun beliau seorang yang mempunyai kemuliaan,
akan tetapi beliau banyak waham dan tersalah.[38]
Dalam Mizan al-I’tidal, al-Zahabi mensifati Ibnu Batthah ini dengan imam, akan
tetapi banyak waham serta kurang meyakinkan dalam riwayat.[39] Abu al-Qasim al-Azhari mengatakan, Ibnu
Batthah dha’if.[40]
Dengan
demikian, hadits di atas adalah dha’if, tidak dapat menjadi hujjah mengharamkan
al-hilah secara mutlaq. Apalagi hadits bertentangan dengan dalil-dalil shahih
yang menunjukan boleh al-hilah. Seandainyapun hadits ini shahih sebagaimana
dakwa sebagian umat Islam, maka hadits ini diposisikan kepada kisah al-hilah
yang dilakukan oleh Kaum Yahudi yang menggunakan cara yang diharamkan sebagaimana
dalam kisah kaum Yahudi pada peristiwa hari Sabtu di atas. Alhasil, hadits di
atas tidak dapat menjadi hujjah keharaman al-hilah.
5. Anas r.a pernah menceritakan bahwa Abu Bakar r.a. menulis untuknya sesuatu
yang difardhukan Rasulullah SAW, yaitu :
وَلاَ
يُجْمَعُ بَيْنَ مُتَفَرِّقٍ، وَلاَ يُفَرَّقُ بَيْنَ مُجْتَمِعٍ خَشْيَةَ
الصَّدَقَةِ
Dan
tidak dihimpunkan antara yang berpisah-pisah dan tidak dipisah-pisahkan antara
yang berhimpun, karena kuatir sadaqah.(H.R.Bukhari)[41]
Berdasarkan hadits ini dipahami bahwa
melakukan al-hilah yang dapat menggugurkan kewajiban zakat atau menguranginya
adalah perbuatan terlarang.
Komentar :
Menurut Imam Syafi’i sabda Nabi SAW ini
ditujukan kepada empunya harta pada satu sisi dan kepada pengurus sadaqah/zakat
pada sisi lain. Maka diperintahkan kepada keduanya supaya tidak menghimpunkan
dan tidak juga memisah-misahkan harta karena kuatir sadaqah. Bagi empunya harta
karena kuatir banyak sadaqah, maka dihimpun atau dipisah-pisahkan supaya kurang
sadaqah dan bagi pengurus sadaqah karena kuatir kurang sadaqah, maka dihimpun
atau dipisah-pisahkan supaya banyak sadaqah. Berdasarkan penjelasan Imam
Syafi’i ini, Ibnu Hajar al-Asqalani memahami bahwa makna kuatir sadaqah di sini
boleh jadi kuatir banyak mengeluarkan sadaqah dan boleh jadi juga kuatir kurang
sadaqah. Kedua kemungkinan ini tidak lebih rajih salah satunya. Karena itu,
kuatir sadaqah dalam hadits ini dimaknai dengan kedua kemungkinan tersebut.[42]
Sebagaimana penjelasan di atas, hadits ini menerangkan
bahwa dalam menghitung jumlah harta yang wajib dikeluarkan tidak boleh dengan
cara menghimpunkan harta yang
terpisah-pisah dan tidak boleh juga dengan memisah-pisahkan harta yang memang
sudah terhimpun. Jadi, cara menghitung ini, seandainya pun disebut al-hilah,
maka ini tidak termasuk al-hilah yang menjadi pembahasan kita yang menjadi
khilaf ulama tentang hukumnya. Karena yang menjadi pembahasan di sini adalah
al-hilah dengan menggunakan cara yang pada dhahirnya dibolehkan dalam syari’at
agama sebagamana sudah dijelaskan di awal tulisan ini, sedangkan dalam hadits
di atas tindakan menghimpunkan harta
yang terpisah-pisah dan memisah-pisahkan harta yang memang sudah
terhimpun dalam menghitung harta yang wajib dikeluarkan zakatnya memang tidak
diboleh oleh syara’. Dengan demikian, maka hadits ini tidak tepat menjadi dalil
haramnya al-hilah dalam bab zakat.
6.
Rasulullah SAW bersabda :
قَاتَلَ اللَّهُ اليَهُودَ حُرِّمَتْ عَلَيْهِمُ
الشُّحُومُ، فَجَمَلُوهَا فَبَاعُوهَا
Allah
telah memerangi orang-orang Yahudi yang diharamkan lemak atas mereka, namun
mereka mempercantiknya dan menjualnya.(H.R. Bukhari)[43]
Komentar :
Kemurkaan Allah terhadap Yahudi dalam kisah ini bukanlah karena
al-hilah. Karena sesuatu yang haram
dimakan, maka diharamkan juga harganya. Sedangkan al-hilah yang menjadi
pembahasan di sini adalah menghindari dari suatu perbuatan haram dengan
menempuh suatu jalan yang hukum dhahirnya tidak haram sebagaimana penjelasan di
awal tulisan ini. Sedangkan dalam kisah di atas menjual lemak bangkai hukumnya diharamkan
sebagaimana diharam memakannya. Penjelasan ini sesuai dengan kisah ini dalam
riwayat Ahmad dari Yazid bin Abi Habib, beliau mengatakan :
عَامَ الْفَتْحِ إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ
بَيْعَ الْخَنَازِيرِ وَبَيْعَ الْمَيْتَةِ وَبَيْعَ الْخَمْرِ وَبَيْعَ
الْأَصْنَامِ قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَمَا تَرَى فِي بَيْعِ شُحُومِ
الْمَيْتَةِ فَإِنَّهَا تُدْهَنُ بِهَا السُّفُنُ وَالْجُلُودُ وَيُسْتَصْبَحُ
بِهَا فَقَالَ قَاتَلَ اللَّهُ يَهُودَ
Pada
tahun penaklukan Makah, sesungguhnya Allah telah mengharamkan jual beli babi,
bangkai, khamar dan patung. Seseorang bertanya, Ya Rasulullah, bagaimana
pendapatmu mengenai menjual lemak bangkai yang diminyaki dengannya perahu dan
kulit serta menyalakan pelita dengannya ?. Maka Rasulullah SAW bersabda :
“Allah telah memerangi orang-orang Yahudi.” (H.R. Ahmad).[44]
Juga diperkuat oleh riwayat Ibnu Abbas berbunyi :
عَن بن عَبَّاسٍ أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَهُوَ عِنْدَ الرُّكْنِ قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ
إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيْهِمُ الشُّحُومَ فَبَاعُوهَا وَأَكَلُوا أَثْمَانَهَا
وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَيْءٍ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ
ثَمَنَهُ
Dari Ibnu Abbas sesungguhnya Nabi SAW bersabda, pada
ketika itu beliau di sebuah sudut : “Allah
telah memerangi kaum Yahudi, karena Allah telah mengharamkan lemak atas mereka,
akan tetapi mereka menjualnya dan memakan harganya, padahal Allah apabila
mengharam makan seuatu atas sebuah kaum, maka mengharamkan juga harganya atas
mereka. (H.R. Abu Daud).[45]
Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan, Jumhur ulama mengatakan, alasan hukum dalam melarang menjual bangkai, khamar dan
babi adalah najis. Karena itu, mencakup larangan tersebut kepada setiap najis.[46] Berdasar
jumhur ulama ini, maka lemak bangkai juga dilarang menjualnya, karena lemak
bangkai termasuk najis. Alhasil kemurkaan Allah terhadap kaum Yahudi dalam
kisah ini bukan karena al-hilah, akan tetapi karena mereka telah melakukan
larangan Allah yang telah mengharamkan atas mereka menjual benda najis. Dengan
demikian, maka kisah di atas tidak dapat menjadi dalil keharaman al-hilah
[2] Abu al-Faizh Muhammad Yaasin bin ‘Isa al-Fadaniy
al-Makkiy, Fawaid al-Janiyah Hasyiah al-Mawahib al-Saniyah Syarh
al-Faraid al-Bahiyah fi Nadhm al-Qawaid al-Fiqhiyah, Terbitan : Dar
al-Basyair al-Islamiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 104,
[5] Ibrahim al-Bajuri, Hasyiah
al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib, al-Haramain, Singapura, Juz. I, Hal. 296
[6] Ramadhan al-Buuthi,
al-Zhawabith al-Mashlahah fi al-Syari’ah al-Islamiyah, Muassisah
al-Risalah, Hal.294-295
[8] Abu al-Faizh Muhammad Yaasin bin ‘Isa al-Fadaniy al-Makkiy, Fawaid
al-Janiyah Hasyiah al-Mawahib al-Saniyah Syarh al-Faraid al-Bahiyah fi Nadhm
al-Qawaid al-Fiqhiyah, Terbitan : Dar al-Basyair al-Islamiyah, Beirut, Juz.
I, Hal. 104,
[9] Abu al-Faizh Muhammad Yaasin bin ‘Isa al-Fadaniy al-Makkiy, Fawaid
al-Janiyah Hasyiah al-Mawahib al-Saniyah Syarh al-Faraid al-Bahiyah fi Nadhm
al-Qawaid al-Fiqhiyah, Terbitan : Dar al-Basyair al-Islamiyah, Beirut, Juz.
I, Hal. 104,
[10] Abu al-Faizh Muhammad Yaasin bin ‘Isa al-Fadaniy al-Makkiy, Fawaid
al-Janiyah Hasyiah al-Mawahib al-Saniyah Syarh al-Faraid al-Bahiyah fi Nadhm
al-Qawaid al-Fiqhiyah, Terbitan : Dar al-Basyair al-Islamiyah, Beirut, Juz.
I, Hal. 104,
[17] Ibnu Hajar Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj,
(Dicetak pada hamisy Hasyiah al-Syarwani ‘ala al-Tuhfah), Mathba’ah Mushtafa
Muhammad, Mesir, Juz.IV, Hal. 290
[18] Al-Syarwani, Hasyiah al-Syarwani ‘ala al-Tuhfah, Mathba’ah
Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz.IV, Hal. 290
[19] . Zainuddin al-Malibary, Fathul Muin, dicetak pada
hamisy I’anah at-Thalibin, Juz. II, hal. 154
[20] Abu al-Faizh Muhammad Yaasin bin ‘Isa al-Fadaniy
al-Makkiy, Fawaid al-Janiyah Hasyiah al-Mawahib al-Saniyah Syarh
al-Faraid al-Bahiyah fi Nadhm al-Qawaid al-Fiqhiyah, Terbitan : Dar
al-Basyair al-Islamiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 104,
[21] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fahul
Barri, al-Maktabah al-Salafiyah, Juz. XIII, Hal. 326
[22] Ibrahim al-Bajuri, Hasyiah
al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib, al-Haramain, Singapura, Juz. I, Hal. 296
[23] Ibnu Qudamah, al-Mughni,
Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 43
[26] Al-Dardiir, al-Syarh
al-Shaghir, (dicetak bersama Hasyiah al-Shawi ‘ala al-Syarh
al-Shaghir), Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 601
[31]. Al-Nawawi, Syarah
Muslim, Cet. Muasisah Qurthubah, Juz. IX, Hal. 258-259
[36] Abu al-Faizh Muhammad Yaasin bin ‘Isa al-Fadaniy
al-Makkiy, Fawaid al-Janiyah Hasyiah al-Mawahib al-Saniyah Syarh
al-Faraid al-Bahiyah fi Nadhm al-Qawaid al-Fiqhiyah, Terbitan : Dar
al-Basyair al-Islamiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 104,
Pak ustad, kalo hilah menghindari zakat dg membelanjakannya, itu haram atau makruh dalam mazhab syafii ?
BalasHapusOh ya satu lagi pak ustdz, ada org yg sengaja safar di bulan ramadhan, agar tidak puasa, itu masuk hilah makruh atau haram ?
BalasHapusOh ya satu lagi pak ustdz, ada org yg sengaja safar di bulan ramadhan, agar tidak puasa, itu masuk hilah makruh atau haram ?
BalasHapus