Renungan

Rabu, 17 Januari 2018

Lebih utama fakir atau kaya?

Menjawab pertanyaan di atas, ‘Izzuddin Abdussalam menjawab dengan membagi manusia dalam tiga kondisi, yakni :
1.    Seseorang yang diduga akan istiqamah dalam agama selama dia dalam keadaan kaya dan berubah keadaannya menjadi pelaku maksiat apabila dalam keadaan fakir. Maka ini, tidak ada perselisihan pendapat bahwa baginya, kaya itu lebih baik dari pada fakir
2.    Seseorang yang diduga akan istiqamah dalam agama selama dia dalam keadaan fakir dan berubah keadaannya menjadi pelaku maksiat apabila dalam keadaan kaya. Ini juga tidak ada perselisihan pendapat bahwa baginya, fakir itu lebih baik dari pada kaya
3.    Seseorang apabila fakir dia tetap teguh dengan sikap yang seharusnya sebagai seorang fakir seperti ridha dan sabar. Apabila dia kaya, dia tetap teguh dengan sikap yang seharusnya sebagai orang kaya seperti dermawan, berbuat kebajikan dan bersyukur.
Terjadi khilaf pendapat ulama dalam menentukan mana lebih utama bagi kondisi yang ketiga ini. Sebagian ulama berpendapat lebih utama fakir dan sebagian ulama lain mengatakan lebih utama kaya. Kemudian ‘Izzuddin Abdussalam mengatakan, pendapat yang terpilih adalah lebih utama kaya.[1] Namun demikian, ulama lain seperti al-Ghazali berpendapat fakir yang sabar lebih utama dari orang kaya yang bersyukur.[2]
Dalil-dalil kaya lebih utama dari fakir
Adapun dalil-dalil yang kemukakan oleh ‘Izzuddin Abdussalam adalah sebagai berikut [3]:
1.    Karena Nabi SAW memohon perlindungan kepada Allah dari kefakiran dan tidak boleh dimaknai fakir tersebut dengan makna fakir jiwa, karena khilaf zhahir dengan tanpa dalil. Redaksi hadits dimaksud berbunyi :
أَن رَسُول الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسلم قَالَ اللَّهُمَّ إِنِّي أعوذ بك من الْفقر و الْقلَّة والذلة،
Sesungguhnya Rasulullah SAW mengatakan, sesungguhnya aku berlindung dengan-Mu dari kefakiran, nestafa dan kehinaan. (H.R. Abu Daud, al-Nisa’i, Ibnu Hiban dan al-Hakim. Al-Hakim mengatakan, hadits shahih atas syarat Muslim)[4]

2.    Hadits riwayadari Abu Hurairah r.a., beliau berkata :
أَتَى فُقَرَاءُ الْمُسْلِمِينَ إلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ ذَوُو الْأَمْوَالِ بِالدَّرَجَاتِ الْعُلَا وَالنَّعِيمِ الْمُقِيمِ يُعْتِقُونَ وَلَا نَجِدُ مَا نُعْتِقُ، وَيَتَصَدَّقُونَ وَلَا نَجِدُ مَا نَتَصَدَّقُ، وَيُنْفِقُونَ وَلَا نَجِدُ مَا نُنْفِقُ؟ فَقَالَ أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى أَمْرٍ إذَا فَعَلْتُمُوهُ أَدْرَكْتُمْ بِهِ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ وَفُتُّمْ بِهِ مَنْ بَعْدَكُمْ؟ قَالُوا بَلَى، قَالَ: تُسَبِّحُونَ اللَّهَ تَعَالَى وَتَحْمَدُونَهُ وَتُكَبِّرُونَهُ عَلَى إثْرِ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ مَرَّةً فَلَمَّا صَنَعُوا ذَلِكَ سَمِعَ الْأَغْنِيَاءُ بِذَلِكَ فَقَالُوا مِثْلَ مَا قَالُوا، فَذَهَبَ الْفُقَرَاءُ إلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرُوهُ أَنَّهُمْ قَدْ قَالُوا مِثْلَ مَا قُلْنَا؟ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  فَذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ
Beberapa para fakir dari kaum muslimin menemui Rasulullah SAW, mereka mengatakan, “Ya Rasulullah!, orang-orang kaya hidup dengan derajat yang tinggi dan nikmat yang cukup, mereka dapat memerdekakan hamba sahaya tetapi kami tidak dapat melakukannya, mereka bersadaqah tapi kami tidak dapat melakukannya dan mereka melakukan infaq tetapi kami tidak dapat melakukannya”. Lalu Rasulullah SAW bersabda : “Apakah belum pernah aku tunjukkan kepada kalian suatu perkara apabila kalian lakukan, maka dengan sebabnya kalian akan sama dengan orang-orang kaya sebelum kalian dan terluput darinya oleh orang-orang sesudah kalian?”. Para fakir itu menjawab :”Benar”. Rasulullah SAW melanjutkan, “Kalian bertasbih kepada Allah Ta’ala, memuji-Nya dan bertakbir pada setiap selesai shalat tiga puluh tiga kali.” Manakala orang-orang fakir tersebut melakukannya, para orang kaya mendengarnya, lalu orang-orang kayapun mengatakan apa yang dikatakan para fakir. Kemudian para fakir tersebutpun pergi menemui lagi Rasulullah SAW dengan memberitahukan kepada beliau bahwa orang-orang kaya juga mengatakan apa yang mereka katakan. Pada ketika itu kepada mereka, Rasulullah SAW bersabda : “Yang demikian itu merupakan karunia Allah yang didatangkan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya”.

Hadits ini dengan redaksi sedikit berbeda telah diriwayat oleh Imam Muslim dalam Shahihnya.[5] Jawaban Nabi SAW pada akhir hadits terhadap keluhan para fakir  muslimin  “itu merupakan karunia Allah yang didatangkan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya”, menunjukan kaya lebih utama dari pada fakir.
Komentar terhadap dalil yang mengataan fakir lebih utama
1.    Sebagian ulama yang mengatakan lebih utama fakir, berhujjah dengan ghalib keadaan Rasulullah SAW dalam keadaan fakir sehingga diberikan kekayaan oleh Allah Ta’ala dengan penghasilan Khaibar, tebusan dan harta Bani Nazhir.
Jawaban :
Jawaban Izzuddin Abdussalam : Para anbiya dan auliya tidak hadir dalam suatu hari kecuali harinya itu lebih baik dari hari sebelumnya. Barangsiapa yang sama keadaannya dalam dua hari, maka termasuk orang yang tertipu dan barangsiapa hari kemarennya lebih baik dari harinya sekarang, maka termasuk terlaknat, yakni terus menerus tertipu. Ujung usia Rasulullah SAW ditutup dengan keadaan kaya dan kaya beliau tidak melepaskannya dari perbuatan yang biasa beliau lakukan pada hari fakirnya berupa dermawan, pemurah dan sederhana sehingga beliau wafat dimana baju besinya tergadai pada seorang Yahudi. Bagaimana tidak seperti ini, padahal Rasulullah SAW sendiri bersabda :
يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ أَنْ تَبْذُلَ الْفَضْلَ خَيْرٌ لَكَ، وَأَنْ تُمْسِكَهُ شَرٌّ لَكَ
Hai anak Adam, sesungguhnya memberikan kelebihanmu lebih baik bagi kamu dan menahannya keburukan bagimu.(H.R. Muslim)[6]

2.    Nabi SAW pernah bersabda :
يَدْخُلُ فُقَرَاءُ الْمُسْلِمِينَ الجَنَّةَ قَبْلَ أَغْنِيَائِهِمْ بِنِصْفِ يَوْمٍ وَهُوَ خَمْسُمِائَةِ عَامٍ.
Fakir dari kaum muslimin akan masuk syurga setengah hari sebelum yang kaya dari mereka. Setengah hari itu lima ratus tahun.(H.R. al-Turmidzi, Hadits hasan shahih).[7]

Dan Nabi SAW juga pernah bersabda :
اطَّلَعْت عَلَى الْجَنَّةِ فَرَأَيْت أَكْثَرَهَا الْفُقَرَاءَ وَاطَّلَعْت عَلَى النَّارِ فَرَأَيْت أَكْثَرَهَا النِّسَاءَ
Aku pernah melihat syurga, di dalamnya, aku melihat kebanyakannya adalah para fakir dan juga pernah melihat neraka, di dalamnya aku melihat kebanyakannya adalah perempuan. (H.R. Bukhari).[8]

Mengomentari dua hadits di atas, ‘Izzuddin Abdussalam mengatakan keadaan tersebut merupakan keadaan yang ghalib terjadi dari keadaan orang kaya dan fakir. Karena orang kaya tidak bersikap seperti sifat kehidupan orang fakir dan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan kelebihan yang dipunyai dalam hidupnya kecuali sedikit sekali, nadir dan hampir tidak ditemukan. Adapun orang yang sabar atas kefakirannya sedikit, sedangkan orang yang ridha lebih sedikit lagi dari yang sedikit tersebut.[9]
Dalam mengomentari hadits orang fakir lebih dahulu masuk syurga dibandingkan orang kaya, Syeikh Ibrahim al-Bajuri mengatakan, mengutamakan orang kaya dari orang fakir tidak menafikan masuk syurga orang fakir lebih dahulu dari pada orang kaya. Karena kadang-kadang hal-hal yang tidak didapati pada orang yang utama justru didapati pada orang yang tidak utama. Pendapat lebih utama orang kaya ini merupakan pendapat yang mu’tamad menurut Ibrahim al-Bajuri.[10]
Kesimpulan
1.      Terjadi khilaf pendapat ulama dalam menentukan mana lebih utama bagi kondisi seseorang apabila fakir dia tetap teguh dengan sikap yang seharusnya sebagai seorang fakir seperti ridha dan sabar dan apabila dia kaya, dia tetap teguh dengan sikap yang seharusnya sebagai orang kaya seperti dermawan, berbuat kebajikan dan bersyukur.
2.      Pendapat lebih utama orang kaya lebih rajih sesuai dengan dalil-dalil di atas
3.      Bahkan Imam Ghazali sendiri yang berpendapat secara umum, fakir lebih utama, juga mengakui kadang-kadang orang kaya yang bersyukur lebih utama dari fakir yang sabar. Beliau mengatakan, terkadang orang kaya yang bersyukur yang lebih utama dibandingkan dengan orang fakir yang sabar. Mereka itu adalah orang kaya yang memberlakukan dirinya seperti orang fakir. Ia tidak memegang harta untuk dirinya kecuali sebatas kebutuhan darurat, dan selebihnya ia gunakan untuk hal-hal kebaikan.[11]
4.      Sebagaimana diuraikan di atas, khilaf ulama di atas terjadi dalam menentukan mana lebih utama antara fakir atau kaya. Karena itu, dhahirnya miskin di sini dimasukkan dalam kelompok fakir. Karena pengertian miskin yang ma’ruf juga termasuk orang yang tidak dapat memenuhi sebagian kebutuhannya, meskipun berada sedikit di atas dibanding fakir dalam bab zakat.
5.      Adapun do’a Nabi SAW dalam hadits al-Turmidzi berbunyi :
اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مِسْكِيناً وَأَمِتْنِي مِسْكِيناً وَاحْشُرْنِي فِي زُمْرَةِ الْمَسَاكِيْن
Ya Allah, hidupkan dan matikan aku dalam keadaan miskin serta kumpulkan aku bersama orang-orang miskin (H.R. al-Turmidzi)

Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan, isnadnya dhaif. Masih menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, hadits ini juga telah diriwayat oleh Ibnu Majah, namun sanadnya juga dhaif. Dalam al-Mustadrak al-Hakim, hadits ini diriwayat dari ‘Itha’ dari Abu Sa’id. Al-Baihaqi meriwayat dari ‘Ubadah bin al-Shaamit. Menurut al-Baihaqi do’a Nabi SAW memohon miskin bukan dalam arti kurang harta, akan tetapi miskin yang kembali kepada makna rendah hati dan tawadhu’.[12]





[1] Izzuddin Abdussalam, al-Qawa’id al-Kubraa, Dar al-Qalam, Damsyiq, Juz. II, Hal. 362-363
[2] Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 258
[3] Izzuddin Abdussalam, al-Qawa’id al-Kubraa, Dar al-Qalam, Damsyiq, Juz. II, Hal. 363-364
[4] Ibnu Mulaqqin, Badrul Munir, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 366
[5] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 416, No. 595
[6] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 718, No. 1036
[7] Al-Turmidzi, Sunan al-Turmidzi, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 156, No. 2354
[8] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 117, No. 3241
[9] Izzuddin Abdussalam, al-Qawa’id al-Kubraa, Dar al-Qalam, Damsyiq, Juz. II, Hal. 363-364
[10] Ibrahim al-Bajuri, Hasyiah al-Bajuri ‘ala Fathul Qarib, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 285
[11] Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. IV, Hal. 137
[12] Ibnu Hajar al-Asqalani, Talkhish al-Habir, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 233-234

3 komentar:

  1. Sekadar pendapat ;
    Muttaqin kaya lebih utama dr muttaqin miskin.
    Lebih sukar utk mencapai derjat muttaqin bila kaya, berbanding dlm keadaan miskin.
    Muttaqin kaya lebih bnyk manfaatnya kpd umat berbanding yg berada dlm keadaan miskin.

    Nabi saw, tidak memilih kaya, kerana jika Nabi saw memilih kaya, tentu sukar utk kbnykn ummatnya mengikuti dan mengamalkan sunnah sunnahnya.

    BalasHapus