Menjawab
pertanyaan di atas, ‘Izzuddin Abdussalam menjawab dengan membagi manusia dalam
tiga kondisi, yakni :
1.
Seseorang
yang diduga akan istiqamah dalam agama selama dia dalam keadaan kaya dan berubah
keadaannya menjadi pelaku maksiat apabila dalam keadaan fakir. Maka ini, tidak
ada perselisihan pendapat bahwa baginya, kaya itu lebih baik dari pada fakir
2.
Seseorang
yang diduga akan istiqamah dalam agama selama dia dalam keadaan fakir dan
berubah keadaannya menjadi pelaku maksiat apabila dalam keadaan kaya. Ini juga
tidak ada perselisihan pendapat bahwa baginya, fakir itu lebih baik dari pada
kaya
3.
Seseorang
apabila fakir dia tetap teguh dengan sikap yang seharusnya sebagai seorang fakir
seperti ridha dan sabar. Apabila dia kaya, dia tetap teguh dengan sikap yang
seharusnya sebagai orang kaya seperti dermawan, berbuat kebajikan dan
bersyukur.
Terjadi
khilaf pendapat ulama dalam menentukan mana lebih utama bagi kondisi yang
ketiga ini. Sebagian ulama berpendapat lebih utama fakir dan sebagian ulama lain
mengatakan lebih utama kaya. Kemudian ‘Izzuddin Abdussalam mengatakan, pendapat
yang terpilih adalah lebih utama kaya.[1] Namun
demikian, ulama lain seperti al-Ghazali berpendapat fakir yang sabar lebih
utama dari orang kaya yang bersyukur.[2]
Dalil-dalil
kaya lebih utama dari fakir
Adapun
dalil-dalil yang kemukakan oleh ‘Izzuddin Abdussalam adalah sebagai berikut [3]:
1.
Karena
Nabi SAW memohon perlindungan kepada Allah dari kefakiran dan tidak boleh
dimaknai fakir tersebut dengan makna fakir jiwa, karena khilaf zhahir dengan
tanpa dalil. Redaksi hadits dimaksud berbunyi :
أَن
رَسُول الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسلم قَالَ اللَّهُمَّ إِنِّي أعوذ بك من
الْفقر و الْقلَّة والذلة،
Sesungguhnya Rasulullah SAW mengatakan, sesungguhnya
aku berlindung dengan-Mu dari kefakiran, nestafa dan kehinaan. (H.R. Abu
Daud, al-Nisa’i, Ibnu Hiban dan al-Hakim. Al-Hakim mengatakan, hadits
shahih atas syarat Muslim)[4]
2.
Hadits riwayadari Abu
Hurairah r.a., beliau berkata :
أَتَى فُقَرَاءُ الْمُسْلِمِينَ إلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ ذَوُو
الْأَمْوَالِ بِالدَّرَجَاتِ الْعُلَا وَالنَّعِيمِ الْمُقِيمِ يُعْتِقُونَ وَلَا
نَجِدُ مَا نُعْتِقُ، وَيَتَصَدَّقُونَ وَلَا نَجِدُ مَا نَتَصَدَّقُ،
وَيُنْفِقُونَ وَلَا نَجِدُ مَا نُنْفِقُ؟ فَقَالَ أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى أَمْرٍ
إذَا فَعَلْتُمُوهُ أَدْرَكْتُمْ بِهِ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ وَفُتُّمْ بِهِ مَنْ
بَعْدَكُمْ؟ قَالُوا بَلَى، قَالَ: تُسَبِّحُونَ اللَّهَ تَعَالَى وَتَحْمَدُونَهُ
وَتُكَبِّرُونَهُ عَلَى إثْرِ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ مَرَّةً
فَلَمَّا صَنَعُوا ذَلِكَ سَمِعَ الْأَغْنِيَاءُ بِذَلِكَ فَقَالُوا مِثْلَ مَا
قَالُوا، فَذَهَبَ الْفُقَرَاءُ إلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَأَخْبَرُوهُ أَنَّهُمْ قَدْ قَالُوا مِثْلَ
مَا قُلْنَا؟ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَلِكَ فَضْلُ
اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ
Beberapa para fakir dari kaum muslimin
menemui Rasulullah SAW, mereka mengatakan, “Ya Rasulullah!, orang-orang kaya
hidup dengan derajat yang tinggi dan nikmat yang cukup, mereka dapat
memerdekakan hamba sahaya tetapi kami tidak dapat melakukannya, mereka
bersadaqah tapi kami tidak dapat melakukannya dan mereka melakukan infaq tetapi
kami tidak dapat melakukannya”. Lalu Rasulullah SAW bersabda : “Apakah belum
pernah aku tunjukkan kepada kalian suatu perkara apabila kalian lakukan, maka
dengan sebabnya kalian akan sama dengan orang-orang kaya sebelum kalian dan
terluput darinya oleh orang-orang sesudah kalian?”. Para fakir itu menjawab :”Benar”.
Rasulullah SAW melanjutkan, “Kalian bertasbih kepada Allah Ta’ala, memuji-Nya
dan bertakbir pada setiap selesai shalat tiga puluh tiga kali.” Manakala
orang-orang fakir tersebut melakukannya, para orang kaya mendengarnya, lalu
orang-orang kayapun mengatakan apa yang dikatakan para fakir. Kemudian para
fakir tersebutpun pergi menemui lagi Rasulullah SAW dengan memberitahukan
kepada beliau bahwa orang-orang kaya juga mengatakan apa yang mereka katakan.
Pada ketika itu kepada mereka, Rasulullah SAW bersabda : “Yang demikian itu
merupakan karunia Allah yang didatangkan kepada siapa saja yang
dikehendaki-Nya”.
Hadits ini
dengan redaksi sedikit berbeda telah diriwayat oleh Imam Muslim dalam
Shahihnya.[5] Jawaban Nabi SAW pada akhir
hadits terhadap keluhan para fakir muslimin “itu merupakan karunia Allah yang didatangkan
kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya”, menunjukan kaya lebih utama dari
pada fakir.
Komentar terhadap dalil
yang mengataan fakir lebih utama
1.
Sebagian
ulama yang mengatakan lebih utama fakir, berhujjah dengan ghalib keadaan
Rasulullah SAW dalam keadaan fakir sehingga diberikan kekayaan oleh Allah Ta’ala
dengan penghasilan Khaibar, tebusan dan harta Bani Nazhir.
Jawaban :
Jawaban
Izzuddin Abdussalam : Para anbiya dan auliya tidak hadir dalam suatu hari
kecuali harinya itu lebih baik dari hari sebelumnya. Barangsiapa yang sama
keadaannya dalam dua hari, maka termasuk orang yang tertipu dan barangsiapa
hari kemarennya lebih baik dari harinya sekarang, maka termasuk terlaknat,
yakni terus menerus tertipu. Ujung usia Rasulullah SAW ditutup dengan keadaan
kaya dan kaya beliau tidak melepaskannya dari perbuatan yang biasa beliau
lakukan pada hari fakirnya berupa dermawan, pemurah dan sederhana sehingga
beliau wafat dimana baju besinya tergadai pada seorang Yahudi. Bagaimana tidak
seperti ini, padahal Rasulullah SAW sendiri bersabda :
يَا ابْنَ
آدَمَ إِنَّكَ أَنْ تَبْذُلَ الْفَضْلَ خَيْرٌ لَكَ، وَأَنْ تُمْسِكَهُ شَرٌّ لَكَ
Hai anak Adam, sesungguhnya memberikan
kelebihanmu lebih baik bagi kamu dan menahannya keburukan bagimu.(H.R.
Muslim)[6]
2.
Nabi
SAW pernah bersabda :
يَدْخُلُ فُقَرَاءُ الْمُسْلِمِينَ الجَنَّةَ قَبْلَ أَغْنِيَائِهِمْ
بِنِصْفِ يَوْمٍ وَهُوَ خَمْسُمِائَةِ عَامٍ.
Fakir dari kaum muslimin akan masuk syurga setengah hari sebelum
yang kaya dari mereka. Setengah hari itu lima ratus tahun.(H.R. al-Turmidzi,
Hadits hasan shahih).[7]
Dan Nabi SAW juga pernah bersabda :
اطَّلَعْت عَلَى الْجَنَّةِ فَرَأَيْت أَكْثَرَهَا
الْفُقَرَاءَ وَاطَّلَعْت عَلَى النَّارِ فَرَأَيْت أَكْثَرَهَا النِّسَاءَ
Aku pernah melihat syurga, di dalamnya, aku melihat kebanyakannya
adalah para fakir dan juga pernah melihat neraka, di dalamnya aku melihat kebanyakannya
adalah perempuan. (H.R. Bukhari).[8]
Mengomentari dua hadits di atas, ‘Izzuddin Abdussalam mengatakan
keadaan tersebut merupakan keadaan yang ghalib terjadi dari keadaan orang kaya
dan fakir. Karena orang kaya tidak bersikap seperti sifat kehidupan orang fakir
dan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan kelebihan yang dipunyai dalam
hidupnya kecuali sedikit sekali, nadir dan hampir tidak ditemukan. Adapun orang
yang sabar atas kefakirannya sedikit, sedangkan orang yang ridha lebih sedikit
lagi dari yang sedikit tersebut.[9]
Dalam mengomentari hadits orang fakir lebih dahulu masuk syurga
dibandingkan orang kaya, Syeikh Ibrahim al-Bajuri mengatakan, mengutamakan orang
kaya dari orang fakir tidak menafikan masuk syurga orang fakir lebih dahulu
dari pada orang kaya. Karena kadang-kadang hal-hal yang tidak didapati pada
orang yang utama justru didapati pada orang yang tidak utama. Pendapat lebih
utama orang kaya ini merupakan pendapat yang mu’tamad menurut Ibrahim al-Bajuri.[10]
Kesimpulan
1.
Terjadi
khilaf pendapat ulama dalam menentukan mana lebih utama bagi kondisi seseorang
apabila fakir dia tetap teguh dengan sikap yang seharusnya sebagai seorang fakir
seperti ridha dan sabar dan apabila dia kaya, dia tetap teguh dengan sikap yang
seharusnya sebagai orang kaya seperti dermawan, berbuat kebajikan dan
bersyukur.
2.
Pendapat
lebih utama orang kaya lebih rajih sesuai dengan dalil-dalil di atas
3.
Bahkan
Imam Ghazali sendiri yang berpendapat secara umum, fakir lebih utama, juga
mengakui kadang-kadang orang kaya yang bersyukur lebih utama dari fakir yang
sabar. Beliau mengatakan, terkadang
orang kaya yang bersyukur yang lebih utama dibandingkan dengan orang fakir yang
sabar. Mereka itu adalah orang kaya yang memberlakukan dirinya seperti orang
fakir. Ia tidak memegang harta untuk dirinya kecuali sebatas kebutuhan darurat,
dan selebihnya ia gunakan untuk hal-hal kebaikan.[11]
4.
Sebagaimana
diuraikan di atas, khilaf ulama di atas terjadi dalam menentukan mana lebih
utama antara fakir atau kaya. Karena itu, dhahirnya miskin di sini dimasukkan
dalam kelompok fakir. Karena pengertian miskin yang ma’ruf juga termasuk orang
yang tidak dapat memenuhi sebagian kebutuhannya, meskipun berada sedikit di
atas dibanding fakir dalam bab zakat.
5.
Adapun do’a Nabi SAW dalam
hadits al-Turmidzi berbunyi :
اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مِسْكِيناً وَأَمِتْنِي مِسْكِيناً
وَاحْشُرْنِي فِي زُمْرَةِ الْمَسَاكِيْن
Ya Allah, hidupkan dan matikan aku dalam
keadaan miskin serta kumpulkan aku bersama orang-orang miskin (H.R. al-Turmidzi)
Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan, isnadnya dhaif. Masih menurut Ibnu
Hajar al-Asqalani, hadits ini juga telah diriwayat oleh Ibnu Majah, namun
sanadnya juga dhaif. Dalam al-Mustadrak al-Hakim, hadits ini diriwayat dari ‘Itha’
dari Abu Sa’id. Al-Baihaqi meriwayat dari ‘Ubadah bin al-Shaamit. Menurut al-Baihaqi
do’a Nabi SAW memohon miskin bukan dalam arti kurang harta, akan tetapi miskin
yang kembali kepada makna rendah hati dan tawadhu’.[12]
[1] Izzuddin
Abdussalam, al-Qawa’id al-Kubraa, Dar al-Qalam, Damsyiq, Juz. II,
Hal. 362-363
[2] Al-Ghazali, Ihya
Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 258
[4] Ibnu Mulaqqin,
Badrul Munir, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 366
[5] Imam Muslim, Shahih Muslim,
Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 416, No. 595
[6] Imam Muslim, Shahih
Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 718, No. 1036
[7] Al-Turmidzi, Sunan
al-Turmidzi, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 156, No. 2354
[8] Al-Bukhari, Shahih
al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 117, No. 3241
[10]
Ibrahim
al-Bajuri, Hasyiah al-Bajuri ‘ala Fathul Qarib, Dar Ihya al-Kutub
al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 285
[11]
Al-Ghazali, Ihya
Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. IV, Hal. 137
[12]
Ibnu Hajar
al-Asqalani, Talkhish al-Habir, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal.
233-234
Sekadar pendapat ;
BalasHapusMuttaqin kaya lebih utama dr muttaqin miskin.
Lebih sukar utk mencapai derjat muttaqin bila kaya, berbanding dlm keadaan miskin.
Muttaqin kaya lebih bnyk manfaatnya kpd umat berbanding yg berada dlm keadaan miskin.
Nabi saw, tidak memilih kaya, kerana jika Nabi saw memilih kaya, tentu sukar utk kbnykn ummatnya mengikuti dan mengamalkan sunnah sunnahnya.
Alhamdulillah
BalasHapusSederhana itu yang terbaim
BalasHapus