Renungan

Selasa, 29 Maret 2022

Air masuk ke telinga saat mandi apakah batal puasa

 Untuk menjawab masalah ini, mari kita perhatikan nash-nash para ulama di bawah ini :

1.  Zainuddin al-Malibariy dalam Fathul Mu’in mengatakan,

)ولا يفطر بسبق ماء جوف مغتسل عن) نحو (جنابة) كحيض، ونفاس إذا كان الاغتسال (بلا انغماس) في الماء، فلو غسل أذنيه في الجنابة فسبق الماء من إحداهما لجوفه: لم يفطر، وإن أمكنه إمالة رأسه أو الغسل قبل الفجر. كما إذا سبق الماء إلى الداخل للمبالغة في غسل الفم المتنجس لوجوبها: بخلاف ما إذا اغتسل منغمسا فسبق الماء إلى باطن الاذن أو الانف، فإنه يفطر، ولو في الغسل الواجب، لكراهة الانغماس: كسبق ماء المضمضة بالمبالغة إلى الجوف مع تذكره للصوم، وعلمه بعدم مشروعيتها، بخلافه بلا مبالغة.وخرج بقولي عن نحو جنابة: الغسل المسنون، وغسل التبرد، فيفطر بسبق ماء فيه، ولو بلا انغماس

Tidak membatalkan puasa tanpa sengaja kemasukan air saat mandi seperti junub, haid, dan nifas apabila mandi tidak dengan menyelam. Karena itu, seandainya membasuh telinga saat mandi junub tanpa sengaja kemasukan air pada rongga telinga, maka puasa tidak batal meskipun memungkinkan saat mandi memiringkan kepala atau mandi sebelum fajar, sebagaimana halnya kemasukan air ke dalam rongga karena mubalaghah (berlebihan) dalam membasuh mulut yang bernajis karena wajib mubalaghah tersebut. Berbeda jika mandi dengan cara menyelam lalu tanpa sengaja air masuk ke area dalam telinga atau hidung maka puasa batal meskipun mandi wajib, karena mandi secara menyelam hukumnya makruh sebagaimana halnya tanpa sengaja kemasukan air berkumur-kumur pada wudhu’ yang mubalaghah ke dalam rongga dalam kondisi teringat kepada puasa serta  mengetahui tidak disyariatkan mubalaghah tersebut. Ini berbeda jika tanpa mubalaghah. Dari kataku “seperti junub”, tidak termasuk mandi sunnah dan mandi untuk menyegarkan tubuh, maka membatalkan puasa dengan sebab kemasukan air tanpa sengaja meskipun tidak menyelam.[1]

 

2.    Namun demikian Abubakar Syatha, dalam komentarnya terhadap kitab Fathul Muin tidak sependapat dengan Zainuddin al-Malibariy pengarang Fathul Mu’in yang membedakan mandi sunnah dengan mandi wajib seperti mandi junub, dimana menurut al-Malibariy sebagaimana terlihat dalam kutipan nomor 1 di atas berpendapat apabila kemasukan air tanpa sengaja pada mandi sunnah, meskipun tidak dengan menyelam, maka batal puasanya, karena bukan mandi wajib. Kritikan Abubakar Syatha dapat kita simak dari komentar beliau berikut ini :

)قوله: وخرج بقولي عن نحو جنابة الغسل المسنون) في خروج هذا نظر، فإنه مأمور به، فحكمه حكم غسل الجنابة بلا خلاف، بدليل الغاية التي ذكرها قبل - أعني قوله ولو في الغسل الواجب - فإنه يندرج تحتها الغسل المسنون - كما هو ظاهر - فيفيد حينئذ أنه إذا سبق الماء إلى جوفه فيه من غير انغماس لا يفطر.

(Perkataan pengarang : Dari kataku “seperti junub”, tidak termasuk mandi sunnah). Dalam mengeluarkan ini (mandi sunnah) perlu tinjauan, karena mandi sunnah juga merupakan perintah. Karena itu, hukumnya sama dengan hukum mandi junub tanpa khilaf, dengan dalil ghayah (penegasan perluasan makna) yang telah disebutkan sebelumnya, yakni perkataan pengarang “meskipun mandi wajib”. Perkataan pengarang ini termasuk di dalamnya mandi sunnah sebagaimana dhahirnya. Berdasarkan ini, maka dapat disimpulkan bahwa apabila kemasukan air tanpa sengaja ke dalam rongga pada mandi sunnah tanpa menyelam, maka tidak membatalkan puasa.

Setelah komentar di atas, Abubakar Syatha menyimpulkan hukum kemasukan air tanpa sengaja ke dalam rongga dengan perkataan beliau berikut ini :

)والحاصل) أن القاعدة عندهم أن ما سبق لجوفه من غير مأمور به، يفطر به، أو من مأمور به - ولو مندوبا - لم يفطر.ويستفاد من هذه القاعدة ثلاثة أقسام: الأول: يفطر مطلقا - بالغ أو لا - وهذا فيما إذا سبق الماء إلى جوفه في غير مطلوب كالرابعة، وكانغماس في الماء - لكراهته للصائم - وكغسل تبرد أو تنظف.الثاني: يفطر إن بالغ، وهذا فيما إذا سبقه الماء في نحو المضمضة المطلوبة في نحو الوضوء.الثالث: لا يفطر مطلقا، وإن بالغ، وهذا عند تنجس الفم لوجوب المبالغة في غسل النجاسة على الصائم وعلى غيره لينغسل كل ما في حد الظاهر.ثم رأيت الكردي صرح بهذه الثلاثة الأقسام

Alhasil, sesungguhnya qaidah menurut para ulama, sesungguhnya kemasukan air tanpa sengaja ke dalam rongga dimana memasukkan air tersebut bukanlah merupakan perintah,  maka membatalkan puasa atau merupakan perintah meskipun perintah tersebut hanya sunnah, maka tidak membatalkan puasa. Berdasarkan qaidah ini dipahami tiga pembagian :

Pertama, membatalkan secara mutlaq, baik dengan mubalaghah (berlebihan) atau tidak. Ini berlaku pada kemasukan air tanpa sengaja ke dalam rongga pada bukan perintah seperti mandi kali ke-empat dan seperti menyelam dalam air karena makruh bagi orang puasa atau seperti mandi untuk menyegarkan tubuh ataupun membersihkn tubuh. Kedua, membatalkan puasa, jika dilakukan secara mubalaghah. Ini berlaku apabila kemasukan air tanpa sengaja pada seperti berkumur-berkumur yang diperintahkan pada wudhu’. Ketiga, tidak membatalkan secara mutlaq, meskipun dilakukan secara mubalaghah. Ini berlaku pada membasuh mulut yang bernajis, karena wajib atas orang puasa dan yang tidak puasa mubalaghah membasuh najisnya agar terbasuh semua yang ada pada batasan dhahir mulut. Kemudian, aku juga telah melihat al-Kurdiy menyebut tiga pembagian ini.[2]

 

3.    Penegasan jika kemasukan air tanpa sengaja pada mandi sunnah tidak membatalkan puasa juga disebut dalam Nihayah al-Zain karangan Syeikh Nawawi al-Bantaniy berikut ini :

وَمثل ذَلِك الْغسْل الْمسنون بِخِلَاف غسل التبرد فَلَا يُعْفَى عَنهُ

Yang sama dengan itu (mandi haid, nifas dan junub) adalah mandi sunnah. Berbeda dengan mandi untuk menyegarkan tubuh, maka tidak dimaafkan.[3]

4.    Penegasan yang sama juga disebut dalam Hasyiah al-Syarwani berikut ini :

وَخَرَجَ بِمَا قَرَّرْنَاهُ سَبْقُ مَاءِ الْغُسْلِ مِنْ حَيْضٍ أَوْ نِفَاسٍ أَوْ جَنَابَةٍ أَوْ مِنْ غُسْلٍ مَسْنُونٍ فَلَا يُفْطِرُ بِهِ كَمَا أَفْتَى بِهِ الْوَالِدُ - رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى

Dan tidak termasuk dari apa yang telah kami tetapkan kemasukan air tanpa sengaja pada mandi haid, nifas, junub dan mandi sunnah. Maka tidak membatalkan puasa dengan sebabnya sebagaimana ifta’ dari al-Walid rahimahullah Ta’ala (Syihabuddin al-Ramli ayah dari Imam al-Ramli).[4]

 Kesimpulan

1.    Apabila air masuk ke dalam rongga dalam telinga tanpa sengaja saat mandi yang ada perintah syariat seperti mandi wajib dan sunnah serta mandi tersebut bukan dengan cara menyelam, maka tidak membatalkan puasa

2.    Apabila mandi dilakukan dengan cara menyelam, maka batal puasa dengan sebab kemasukan air tanpa sengaja dalam rongga dalam telinga. Karena makruh hukumnya mandi dengan cara menyelam pada waktu puasa

3.    Apabila kemasukan air tanpa sengaja dalam tenggerokan pada saat berkumur-kumur pada wudhu’, maka tidak batal puasa selama berkumur-kumur dilakukan tidak dengan mubalaghah (berlebihan)

4.    Apabila air masuk ke dalam rongga dalam telinga tanpa sengaja saat mandi yang tidak ada perintah syariat seperti mandi untuk menyegarkan tubuh atau mandi untuk membersihkan diri, maka batal puasa, meskipun mandinya bukan dengan cara menyelam.

 

 



[1] Zainuddin al-Malibariy, Fathul Mu’in, (beserta Hasyiahnya I’anah al-Thalibiin), Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 263-264

[2] Abubakar Syathaa, I’anah al-Thalibin, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 265

[3] Syeikh Nawawi al-Bantaniy, Nihayah al-Zain, Maktabah Syamilah, Hal. 188

[4] Al-Syarwaniy, Hasyiah al-Syarwaniy ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 279

Minggu, 27 Maret 2022

Menggunakan obat tetes mata pada saat puasa

Memakai tetes mata pada saat puasa diperbolehkan dan tidak membatalkan puasa, meskipun obat terasa sampai tenggorokan. Hal tersebut dikarenakan lubang mata tidak memiliki jalur rongga penghubung yang sampai ke tenggorokan. Kesimpulan ini sesuai dengan nash ulama berikut :

1.  Dalam Minhaj al-Thalibin berserta syarahnya al-Mahalli disebutkan :

)‌وَلَا) ‌يَضُرُّ (‌الِاكْتِحَالُ وَإِنْ وَجَدَ طَعْمَهُ) أَيْ الْكُحْلِ (بِحَلْقِهِ) لِأَنَّهُ لَا مَنْفَذَ مِنْ الْعَيْنِ إلَى الْحَلْقِ وَالْوَاصِلِ إلَيْهِ مِنْ الْمَسَامِّ

Dan tidak bermasalah memakai celak mata, meskipun ditemukan rasa celak di tenggorokannya, karena tidak ada rongga penghubung dari mata ke tenggorokan. Yang sampai di tenggorokan adalah dari pori-pori.[1]

2.  Imam al-Ramli mengatakan,

وَلَا يَضُرُّ الْاِكْتِحَالُ وَإِنْ وُجِدَ طُعْمُ الْكُحْلِ بِحَلْقِهِ لِأَنَّهُ لَا مَنْفَذَ مِنَ الْعَيْنِ إِلَى الْحَلْقِ وَإِنَّمَا الْوَاصِلُ إِلَيْهِ مِنَ الْمَسَام ِ

Dan tidak bermasalah memakai celak mata, meski pun ditemukan rasanya celak di tenggorokan, karena tidak ada rongga penghubung dari mata ke tenggorokan. Yang sampai di tenggorokan adalah dari pori-pori.[2]

 

Menggunakan obat tetes mata pada saat puasa dapat disamakan dengan menggunakan celak mata. Karena rasanya seandainya masuk ke tenggorokan, maka itu melalui pori-pori, bukan melalui rongga penghubung antara mata dan tenggorokan, sebagaimana halnya pada celak mata.

 

 

 



 

 

 



[1] Jalal al-Mahalli, Syarah al-Mahalli ‘ala Minhaj al-Thalibin, (bersama Hasyiah Qalyubi wa ‘Amirah) Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 72

[2] Imam al-Ramli, Ghayah al-Bayan, Maktabah Syamilah, Hal. 156


Jumat, 25 Maret 2022

Tafsir hadits “Setiap amal anak Adam untuknya kecuali puasa”

 Abu Hurairah r.a. berkata, Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda :

قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ :كل عمل بن آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ هُوَ لِي ‌وَأَنَا ‌أَجْزِي ‌بِهِ

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman : “Setiap amal anak Adam untuknya kecuali puasa, ia bagi-Ku dan Aku yang akan membalasnya.” (H.R. Muslim ).[1]

Hadits ini merupakan firman Allah Ta’ala melalui lisan Nabi SAW (hadits qudsi). Dalam riwayat Imam al-Bukhari hadits ini disebutkan tanpa penisbatan kepada Allah Ta’ala, yakni :

عَنْ ‌أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصَّوْمَ، فَإِنَّهُ لِي ‌وَأَنَا ‌أَجْزِي بِهِ

Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi SAW beliau bersabda : “Setiap amal anak Adam untuknya kecuali puasa, ia bagi-Ku dan Aku yang akan membalasnya.” (H.R. al-Bukhari)[2]

Menjawab ini, Ibnu Hajar al-Asqalaniy mengatakan :

وَلَمْ يُصَرِّحْ بِنِسْبَتِهِ إِلَى اللَّهِ لِلْعِلْمِ بِهِ وَعَدَمِ الْإِشْكَالِ فِيهِ

Tidak diterangkan penisbatannya kepada Allah karena sudah maklum dan karena itu, tidak ada musykil tentangnya.

 

Kemudian Al-Asqalaniy dalam mendukung pernyataannya tersebut, menyebut beberapa riwayat yang ada penisbatan hadits di atas kepada Allah Ta’ala.[3]

 

Makna Hadits

Sebagaimana dimaklumi semua amal, pahalanya untuk yang mengamalkannya termasuk puasa. Lalu kenapa dalam hadits ini hanya puasa dinisbahkan kepada Allah Ta’ala. Ibnu Hajar al-Asqalaniy menjelaskan kepada kita telah terjadi perbedaan pendapat ulama dalam memahami makna “Puasa untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya”, yaitu sebagai berikut :

1.  Pada puasa tidak terjadi riya sebagaimana halnya riya dapat terjadi pada ibadah lainnya. Pendapat ini merupakan hikayah al-Maziriy dan kutipan Qadhi ‘Iyadh dari Abu ‘Ubaid. Pemahaman ini didukung antara lain sabda Nabi SAW berbunyi :

لَيْسَ فِي الصِّيَامِ رِيَاءٌ

Tidak ada dalam puasa riya.

Abu ‘Ubaid telah meriwayat hadits ini dari Syababah dari ‘Uqail dari al-Zuhriy secara mursal. Namun hadits ini juga telah diriwayat oleh al-Baihaqi dalam kitab beliau, Syu’b al-Iman dari jalur ‘Uqail dari al-Zuhriy secara bersambung sanad dari Abu Salamah dari Abu Hurairah r.a. namun sanadnya dhaif.

2.  Hanya Allah yang mengetahui kadar pahala dan berlipat ganda kebaikan puasa. Adapun selain puasa, sebagian manusia ada yang mengetahuinya. Al-Qurthubi mengatakan, semua amal dibuka kadar pahalanya bagi manusia yang berlipat ganda dari sepuluh sampai dengan tujuh ratus dan seterusnya sesuai dengan kehendak-Nya kecuali puasa. Sesungguhnya puasa diberikan pahala dengan tanpa ukuran kadarnya. Pemahaman ini didukung oleh hadits dalam riwayat lain, yaitu riwayat Malik dalam al-Muwatha’ dan riwayat al-A’masy dari Abu Shalih, berbunyi :

كل عمل بن آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى مَا شَاءَ اللَّهُ قَالَ اللَّهُ إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ

Setiap amal anak Adam berlifat ganda kebaikannya dari sepuluh bandingannya sampai tujuh ratus dan seterusnya sesuai dengan kehendak-Nya. Allah berfirman : kecuali puasa, sesungguhnya puasa untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya.

 

3.Makna “Puasa untuk-Ku”, sesungguhnya puasa adalah ibadah yang paling dicintai dan utama di sisi Allah. Pemahaman ini sesuai dengan riwayat al-Nisa’i dan lainnya dari hadits Abu Umaamah secara marfu’, berbunyi :

عَلَيْكَ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَا مِثْلَ لَهُ

Atasmu berpuasa, karena puasa itu tidak ada bandingannya.

 

Namun ini bertentangan dengan hadits shahih berbunyi :

وَاعْلَمُوا أَنَّ خَيْرَ أَعْمَالِكُمُ الصَّلَاةُ

Ketahuilah, sesungguhnya sebaik-baik amal kamu adalah shalat

 

4.Penisbatan puasa kepada Allah merupakan penisbatan untuk kemuliaan dan ta’zhim, sebagaimana dikatakan, “baitullah”, meskipun semua rumah adalah milik Allah. Al-Zain ibn al-Munir mengatakan, pengkhususan pada tempat yang bersifat umum pada contoh ini rangkaian kalam, tidak dipahami kecuali untuk ta’zhim dan kemuliaan.

5.Tidak membutuhkan makanan dan syahwat lainnya termasuk sifat Allah Ta’ala. Pada saat orang berpuasa bertaqrrub kepada Allah Ta’ala dengan sesuatu amal yang munasabah (sesuai) dengan sifat Allah, maka dinisbahkan amal tersebut kepada-Nya.

6.Maknanya sama seperti makna nomor 5 (lima) akan tetapi dinisbahkan kepada malaikat, karena yang demikian termasuk sifat para malaikat.

7.Murni (ikhlas) karena Allah dan tidak ada bagi hamba bagian apapun. Pendapat ini merupakan pendapat al-Khuthabiy menurut kutipan Qadhi ‘Iyadh dan lainnya. Namun pemahaman ini kembali kepada makna pertama.

8.Sebab penisbatan puasa kepada Allah Ta’ala karena tidak pernah ada ibadah dalam bentuk puasa kepada selain Allah Ta’ala, beda halnya ibadah shalat, sadaqah, thawaf dan lainnya. Tetapi pemahaman ini dibantah, karena penyembah bintang dan lainnya juga beribadah dengan cara puasa.

9.Semua ibadah dapat hilang pahalanya karena kedhaliman hamba-hambanya kecuali puasa. Al-Baihaqi meriwayat dari hadits Ibn ‘Uyainah beliau berkata :

إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ يُحَاسِبُ اللَّهُ عَبْدَهُ وَيُؤَدِّي مَا عَلَيْهِ مِنَ الْمَظَالِمِ مِنْ عَمَلِهِ حَتَّى لَا يَبْقَى لَهُ إِلَّا الصَّوْمُ فَيَتَحَمَّلُ اللَّهُ مَا بَقِيَ عَلَيْهِ مِنَ الْمَظَالِمِ وَيُدْخِلُهُ بِالصَّوْمِ الْجَنَّةَ

Apabila datang hari kiamat, Allah akan menghisab amalan hambanya. Kezaliman akan dihukum dengan semua amal pelakunya dijadikan kafarah dosa, sehingga tidak menyisakan apapun kecuali puasa. Lalu Allah menghapus sisa dosa dari kedhaliman serta memasukkannya dalam syurga dengan sebab puasa

 

10.  Bahwa puasa merupakan ibadah yang tidak dhahir. Karena itu, tidak dapat ditulis oleh para malaikat pencatat sebagaimana amal-amal lain. Disandarkan pendapat ini kepada perkataan yang sangat lemah. Memadai dalam menolak pemahaman ini dengan hadits shahih yang menjelaskan ditulis kebaikan untuk orang yang bertekad mengamalkannya, meskipun belum diamalkannya.[4]

 

Kemudian Ibnu Hajar al-Asqalaniy mengatakan, sepakat para ulama bahwa puasa yang dimaksud dalam hadits ini adalah puasa yang selamat dari maksiat, baik perkataan maupun perbuatan.[5]

Dengan segala perbedaan pendapat para ulama dalam memahami maksud hadits ini, namun disepakati bahwa hadits ini wurud dalam rangka menjelaskan besar fadhilah dan pahala puasa. Imam al-Nawawi setelah menyebut sebagian dari pendapat-pendapat di atas, mengatakan,

وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ بَيَانٌ عِظَمِ فضل الصوم والحث إِلَيْهِ وَقَوْلُهُ تَعَالَى ‌وَأَنَا ‌أَجْزِي ‌بِهِ بَيَانٌ لِعِظَمِ فَضْلِهِ وَكَثْرَةِ ثَوَابِهِ لِأَنَّ الْكَرِيمَ إِذَا أَخْبَرَ بِأَنَّهُ يَتَوَلَّى بِنَفْسِهِ الْجَزَاءَ اقْتَضَى عِظَمَ قَدْرِ الْجَزَاءِ وَسَعَةَ الْعَطَاءِ

Dalam hadits ini merupakan penjelasan besarnya fadhilah puasa dan menyungguhkannya. Firman Allah “Aku akan membalasnya” merupakan penjelasan besar fadhilah dan banyak pahalanya. Karena Allah yang Maha Pemurah tatkala mengabarkan Dia sendiri yang akan membalasnya, dipahami bahwa besar kadar balasan dan luas anugerah-Nya.[6]

 

 



[1] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 806, No. 1151

[2] Imaam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 164, No. 5927

[3] Ibnu Hajar al-Asqalaniy, Fathul Barri, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 106-107

[4]  Ibnu Hajar al-Asqalaniy, Fathul Barri, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 107-109

[5] Ibnu Hajar al-Asqalaniy, Fathul Barri, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 109

[6] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. VIII, Hal. 29

Senin, 21 Maret 2022

Kapan Waktu Doa Berbuka Puasa

A.   Waktu membaca doa

Dalam Kitab Sunan Ibnu Majah disebut sebuah hadits berbunyi :

عَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي مُلَيْكَةَ، يَقُولُ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ، يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ‌إِنَّ ‌لِلصَّائِمِ ‌عِنْدَ ‌فِطْرِهِ لَدَعْوَةً مَا تُرَدُّ قَالَ ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو، يَقُولُ إِذَا أَفْطَرَ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِرَحْمَتِكَ الَّتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ أَنْ تَغْفِرَ لِي

Abdullah bin Abi Mulaikah berkata, aku mendengar Abdullah bin ‘Amr al-Ash berkata, Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya do’a yang tidak tertolak (maqbul) bagi orang yang berpuasa adalah pada saat berbuka. Berkata Ibnu Abi Mulaikah, Aku pernah mendengar Abdullah bin ‘Amr apabila sudah berbuka mengatakan :

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِرَحْمَتِكَ الَّتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ أَنْ تَغْفِرَ لِي

(H.R. Ibnu Majah).[1]

Al-Bushairiy dalam Zawaid mengatakan, hadits Ibnu Majah ini shahih isnad.[2]

 

Dalam riwayat di atas, Ibnu Abi Mulaikah yang meriwayat hadits ini memahami bahwa doa berbuka puasa dibaca setelah berbuka, buktinya beliau membaca doa berbuka puasa pada saat sesudah berbuka. Anjuran membaca doa berbuka puasa sesudah berbuka juga dapat dipahami dari :

1.  maksud dhahir hadits Abu Daud dan al-Nisa’i berbunyi :

عَنْ ابْنِ عُمَرَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا أَفْطَرَ قَالَ ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى

Dari Ibnu Umar bahwasanya Nabi SAW apabila sudah berbuka, beliau membaca :

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى

(H.R. Abu Daud dan al-Nisa’i) [3]

 

2. dhahir makna doa itu sendiri.lebih sesuai doa tersebut dibaca sesudah berbuka. Misalnya makna dari doa riwayat Abu Daud dan al-Nisa’i di atas “Telah hilang haus dan urat-uratpun sudah basah”

3. dan dhahir dari makna hadits berbunyi :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ: اللَّهُمَّ ‌لَكَ ‌صُمْتُ، وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ

Sesungguhnya Nabi SAW  apabila beliau berbuka puasa, beliau mengatakan :

‌‌ اللَّهُمَّ ‌لَكَ ‌صُمْتُ، وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ

(H.R. Abu Daud)[4]

 

‘Amirah dalam Hasyiah beliau terhadap kitab Syarah al-Mahalli ‘ala Minhaj al-Thalibin dalam mengomentari hadits ini, beliau mengatakan,

قَوْلُهُ: (رَوَى أَبُو دَاوُد إلَخْ) يُؤْخَذُ مِنْهُ أَنَّ وَقْتَ الِاسْتِحْبَابِ بَعْدَ الْفِطْرِ لِقَوْلِهِ فِي الْحَدِيثِ: وَعَلَى رِزْقِك أَفْطَرْت. وَلِقَوْلِ الرَّاوِي: كَانَ إذَا أَفْطَرَ

Perkataan pengarang :(telah meriwayat oleh Abu Daud..dst), dipahami darinya bahwa waktu dianjurkan berdoa adalah sesudah berbuka karena dalam hadits “Atas rizki-Mu, aku sudah berbuka” dan perkataan perawi : “Keadaan apabila beliau berbuka puasa”.[5]

Kebanyakan para ulama Mutaakhirin Syafi’iyah memahaminya dengan makna sesudah berbuka. Ini dapat kita perhatikan dari nash-nash di bawah ini :

1.  Dalam Nihayah al-Muhtaj karangan Imam al-Ramli :

)وَأَنْ يَقُولَ عِنْدَ) أَيْ عَقِبَ (فِطْرِهِ: ‌اللَّهُمَّ ‌لَك ‌صُمْت وَعَلَى رِزْقِك أَفْطَرْت(

Mengatakan pada saat, yakni sesudah berbuka :

‌اللَّهُمَّ ‌لَك ‌صُمْت وَعَلَى رِزْقِك أَفْطَرْت[6]

2.  Khathib Syarbaini  dalam kitabnya, al-Mughni :

)وَ) يُسْتَحَبُّ (أَنْ يَقُولَ عِنْدَ فِطْرِهِ) أَيْ عَقِبَهُ كَمَا يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ (‌اللَّهُمَّ ‌لَكَ ‌صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ)

Dan dianjurkan mengatakan pada saat berbuka, artinya sesudah berbuka sebagaimana dipahami dari perkataan :

‌اللَّهُمَّ ‌لَكَ ‌صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ[7]

3.  Qalyubi dalam Hasyiah Qalyubi ‘ala Syarah al-Mahalli :

قَوْلُهُ: (عِنْدَ فِطْرِهِ) أَيْ عَقِبَ مَا يَحْصُلُ بِهِ الْفِطْرُ

Perkataan pengarang : (pada saat berbuka), artinya sesudah makan sesuatu yang mengakibatkn terjadi berbuka.[8]

4.  Zainuddin al-Malibari dalam Fathul Mu’in :

ويسن أن يقول عقب الفطر: ‌اللهم ‌لك ‌صمت وعلى رزقك أفطرت

Disunnahkan membaca sesudah berbuka :

‌اللهم ‌لك ‌صمت وعلى رزقك أفطرت[9]

 

Namun demikian, Syeikh Sa’id Ba ‘Ali al-Hazhramiy masih memberikan kemungkinan membaca doa berbuka puasa sebelum berbuka, meskipun beliau tetap berpendapat sebaiknya membaca doa sebaiknya dilakukan pada saat sesudah berbuka, yakni dalam Busyraa al-Kariim beliau mengatakan :

)و) يسن (أن يقول عنده) أي: عند إرادته، والأولى بعده ‌اللهم ‌لك ‌صمت ‌وعلى ‌رزقك ‌أفطرت) حقيقة على الثاني، وأردت الإفطار على الأول

Dan disunnahkan pada saat berbuka puasa artinya pada saat merencanakan berbuka, tetapi sebaiknya sesudah berbuka dengan membaca :

‌اللهم ‌لك ‌صمت ‌وعلى ‌رزقك ‌أفطرت

dengan memaknai dengan makna hakikat (aku sudah berbuka) berdasarkan yang kedua dan dengan makna “aku rencanakan berbuka” berdasarkan yang pertama[10]

 

B.   Doa yang dibacakan pada saat berbuka puasa

Doa-doa berbuka puasa yang datang dalam beberapa riwayat dapat dikemukakan di sini sebagai berikut :

1.  Hadits dari Abu Hurairah berbunyi :

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم إذا صام ثم أفطر قال اللهم ‌لك ‌صمت وعلي رزقك أفطرت

 

Rasulullah SAW apabila berpuasa kemudian berbuka, beliau membaca :

اللهم ‌لك ‌صمت وعلي رزقك أفطرت

Hadits ini telah disebut oleh Abu Ishaq al-Syairaziy dalam al-Muhazzab, namun Imam al-Nawawi dalam mengomentarinya mengatakan, hadits ini gharib dan tidak dikenal.[11]

2.  Semakna dengan hadits di atas, hadits Muaz bin Zuharah berbunyi :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ: اللَّهُمَّ ‌لَكَ ‌صُمْتُ، وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ

Sesungguhnya Nabi SAW  apabila beliau berbuka puasa, beliau mengatakan :

اللَّهُمَّ ‌لَكَ ‌صُمْتُ، وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ

(H.R. Abu Daud)[12]

Al-Nawawi mengatakan, hadits ini mursal, namun ada datang dari jalur Ibnu Abbas yang diriwayat oleh al-Darutquthni secara musnad dan muttashil tapi sanadnya dhaif.[13] Mulla al-Qaariy seorang ulama ahli hadits terkenal dari kalangan Hanafiyah mengatakan, Ibnu Hajar berkata : “Hadits ini dengan keadaannya mursal dapat menjadi hujjah dalam masalah seperti ini. Lebih-lebih lagi al-Darulquthniy dan al-Thabraniy telah meriwayatnya dengan sanad muttashil meskipun dhaif. Ini dapat menjadi hujjah juga”[14]. Imam al-Ramli mengatakan, hadits riwayat Abu Daud di atas, hasan tapi mursal.[15] Ibnu Hajar al-Haitamiy mengatakan, tidak mudharat mursalnya hadits ini, karena ini dalam fazhail (keutamaan ibadah). Lebih-lebih lagi hadits ini bersambung dalam satu riwayat.[16]

3.  Hadits Abu Daud dan al-Nisa’i berbunyi :

عَنْ ابْنِ عُمَرَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا أَفْطَرَ قَالَ ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى

Dari Ibnu Umar bahwasanya Nabi SAW apabila sudah berbuka, beliau membaca :

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى

(H.R. Abu Daud dan al-Nisa’i) [17]

 

Al-Darulquthniy mengatakan, isnadnya hasan. Al-Hakim mengatakan, shahih atas syarat syaikhaini[18]

4.  Dalam hadits Ibnu Majah yang tersebut pada awal tulisan ini, Ibnu Mulaikah berkata :

سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو، يَقُولُ إِذَا أَفْطَرَ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِرَحْمَتِكَ الَّتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ أَنْ تَغْفِرَ لِي

Aku pernah mendengar Abdullah bin ‘Amr apabila sudah berbuka mengatakan :

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِرَحْمَتِكَ الَّتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ أَنْ تَغْفِرَ لِي

(H.R. Ibnu Majah).[19]

Al-Bushairiy dalam Zawaid mengatakan, hadits Ibnu Majah ini shahih isnad.[20]

 

5.  Mulla al-Qaariy mengatakan,

وَوَرَدَ أَنَّهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - كَانَ يَقُولُ: " يَا وَاسِعَ الْفَضْلِ اغْفِرْ لِي"، وَأَنَّهُ كَانَ يَقُولُ : "الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَعَانَنِي فَصُمْتُ وَرَزَقَنِي فَأَفْطَرْتُ اهـ وَأَمَّا مَا اشْتُهِرَ عَلَى الْأَلْسِنَةِ " اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ " فَزِيَادَةٌ، (وَبِكَ آمَنْتُ) لَا أَصْلَ لَهَا وَإِنْ كَانَ مَعْنَاهَا صَحِيحًا، وَكَذَا زِيَادَةُ (وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ وَلِصَوْمِ غَدٍ نَوَيْتُ) بَلِ النِّيَّةُ بِاللِّسَانِ مِنَ الْبِدْعَةِ الْحَسَنَةِ

Ada riwayat sesungguhnya Nabi SAW membaca :

يَا وَاسِعَ الْفَضْلِ اغْفِرْ لِي

dan sesunggugnya Nabi SAW membaca :

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَعَانَنِي فَصُمْتُ وَرَزَقَنِي فَأَفْطَرْتُ

Adapun yang masyhur pada lisan manusia :

اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ

maka tambahan “wa bika amantu” tidak asal baginya, meskipun maknanya shahih. Demikian juga tambahan

وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ وَلِصَوْمِ غَدٍ نَوَيْتُ

bahkan niat dengan lisan termasuk bid’ah hasanah.[21]

 

6.  Al-Syarwaniy menyebutkan dalam kitabnya :

وَزَادَ الدَّارَقُطْنِيّ "فَتَقَبَّلْ مِنِّي إنَّك أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ" وَمِنْ ثَمَّ قَالَ الْمَقْدِسِيَّ يَزِيدُ بَعْدَ "أَفْطَرْتُ" "سُبْحَانَك وَبِحَمْدِك تَقَبَّلْ مِنَّا إنَّك أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ اللَّهُمَّ إنَّك عَفْوٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي" قَالَ الْمُتَوَلِّي وَيُسَنُّ أَنْ يَزِيدَ "وَبِك آمَنْتُ وَعَلَيْك تَوَكَّلْتُ وَلِرَحْمَتِك رَجَوْتُ وَإِلَيْك أَنَبْتُ" إيعَابٌ

Al-Darulquthniy menambah :

فَتَقَبَّلْ مِنِّي إنَّك أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Karena itu, al-Maqdisiy menambah sesudah “afthartu” :

سُبْحَانَك وَبِحَمْدِك تَقَبَّلْ مِنَّا إنَّك أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ اللَّهُمَّ إنَّك عَفْوٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

Al-Mutawalli mengatakan, disunnahkan menambah

وَبِك آمَنْتُ وَعَلَيْك تَوَكَّلْتُ وَلِرَحْمَتِك رَجَوْتُ وَإِلَيْك أَنَبْتُ

Demikian dalam Kitab I’aab.[22]

 

Catatan

Dalam Shaihih al-Bukhari terdapat hadits riwayat Rifa’ah bin Rafi’ al-Zarqy, beliau berkata :

كنا يوما نصلي وراء النبي صلى الله عليه وسلم، فلما رفع رأسه من الركعة، قال: سمع الله لمن حمده. قال رجل وراءه: ربنا ولك الحمد، حمدا طيبا مباركا فيه. فلما انصرف، قال: من المتكلم قال: أنا، قال: رأيت بضعة وثلاثين ملكا يبتدرونها، أيهم يكتبها أول.

Pada suatu hari, kami shalat dibelakang Nabi SAW. Manakala Rasulullah mengangkat kepalanya dari rukuk, beliau berkata : “Sami’allahu liman hamidah, lalu berkata seorang laki-laki di belakang beliau : “Rabbana wa lakalhamdu hamdan thaiban mubarakan fiihi. Tatkala Rasulullah selesai (dari shalatnya) bertanya : “Siapa yang berkata tadi ?. Laki-laki itu menjawab : “Saya”. Rasulullah bersabda : “Aku melihat tiga puluh orang lebih malaikat yang berebutan pertama kali menulis amalnya”.(H.R. al-Bukhari)[23]

Mengomentari hadits di atas, Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan, dijadikan dalil dengan hadits tersebut, kebolehan mengihdats (mendatangkan dengan tanpa ada dalil) zikir yang tidak ma’tsur dalam shalat apabila zikir itu tidak bertentangan dengan zikir yang ma’tsur. [24]

Berdasarkan pemahaman yang dikemukakan Ibnu Hajar al-Asqalaniy tersebut yang didasarkan kepada hadits di atas, dapat dipahami bahwa seandainya dalam shalat dibolehkan mendatangkan zikir-zikir yang tidak ma’tsur (tidak ada riwayat dari Nabi SAW atau Sahabat beliau), maka mendatang zikir atau doa dalam puasa tentunya seyogyanya lebih utama lagi dibolehkan. Mengingat puasa bukanlah ibadah mahdhah seperti halnya shalat. Catatan ini penting dikemukakan di sini agar dapat dipahami bahwa membaca zikir atau doa dalam berbuka puasa yang tidak diketahui ada riwayat dari Nabi SAW atau Sahabat beliau adalah bukan sesuatu yang  terlarang, meskipun harus diakui bahwa membaca doa yang ma’tsur lebih utama.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



[1] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 557

[2] Al-Bushairiy, Zawaid Ibnu Majah, Dar al-Kutub al-Arabiyah, Beirut, Hal. 254

[3] Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. VI, Hal. 408

[4] Abu Daud, Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 306

[5] ‘Amirahi, Hasyiah Qalyubi wa ‘Amirah ‘ala Syarah al-Mahalli, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 80

[6] Imam al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, Maktabah Syamliah, Juz. III, Hal. 183

[7] Khathib Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 168

[8] Qalyubi, Hasyiah Qalyubi wa ‘Amirah ‘ala Syarah al-Mahalli, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 80

[9] Zainuddin al-Malibari, Fathul Muin, Maktabah Syamilah, Hal. 274

[10] Syeikh Sa’id Ba ‘Ali al-Hazhramiy, Busyraa al-Kariim, Maktabah Syamilah, Hal. 563

[11] Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. VI, Hal. 408

[12] Abu Daud, Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 306

[13] Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. VI, Hal. 408

[14] Mulla al-Qaariy, Mirqaah al-Maafatiih, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 1387

[15] Al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 183

[16] Ibnu Hajar al-Haitamiy, Tuhfah al-Muhtaj, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 425

[17] Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. VI, Hal. 408

[18] Ibnu Mulaqqin, Badrul Munir, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 711

[19] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 557

[20] Al-Bushairiy, Zawaid Ibnu Majah, Dar al-Kutub al-Arabiyah, Beirut, Hal. 254

[21] Mulla al-Qaariy, Mirqaah al-Maafatiih, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 1387

[22] Al-Syarwaniy, Hasyiah al-Syarwaniy ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 425

[23] .al-Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq al-Najh, Juz. I, Hal. 159, No. Hadits 799

[24] .Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barri, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 287