Renungan

Senin, 21 Maret 2022

Kapan Waktu Doa Berbuka Puasa

A.   Waktu membaca doa

Dalam Kitab Sunan Ibnu Majah disebut sebuah hadits berbunyi :

عَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي مُلَيْكَةَ، يَقُولُ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ، يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ‌إِنَّ ‌لِلصَّائِمِ ‌عِنْدَ ‌فِطْرِهِ لَدَعْوَةً مَا تُرَدُّ قَالَ ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو، يَقُولُ إِذَا أَفْطَرَ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِرَحْمَتِكَ الَّتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ أَنْ تَغْفِرَ لِي

Abdullah bin Abi Mulaikah berkata, aku mendengar Abdullah bin ‘Amr al-Ash berkata, Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya do’a yang tidak tertolak (maqbul) bagi orang yang berpuasa adalah pada saat berbuka. Berkata Ibnu Abi Mulaikah, Aku pernah mendengar Abdullah bin ‘Amr apabila sudah berbuka mengatakan :

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِرَحْمَتِكَ الَّتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ أَنْ تَغْفِرَ لِي

(H.R. Ibnu Majah).[1]

Al-Bushairiy dalam Zawaid mengatakan, hadits Ibnu Majah ini shahih isnad.[2]

 

Dalam riwayat di atas, Ibnu Abi Mulaikah yang meriwayat hadits ini memahami bahwa doa berbuka puasa dibaca setelah berbuka, buktinya beliau membaca doa berbuka puasa pada saat sesudah berbuka. Anjuran membaca doa berbuka puasa sesudah berbuka juga dapat dipahami dari :

1.  maksud dhahir hadits Abu Daud dan al-Nisa’i berbunyi :

عَنْ ابْنِ عُمَرَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا أَفْطَرَ قَالَ ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى

Dari Ibnu Umar bahwasanya Nabi SAW apabila sudah berbuka, beliau membaca :

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى

(H.R. Abu Daud dan al-Nisa’i) [3]

 

2. dhahir makna doa itu sendiri.lebih sesuai doa tersebut dibaca sesudah berbuka. Misalnya makna dari doa riwayat Abu Daud dan al-Nisa’i di atas “Telah hilang haus dan urat-uratpun sudah basah”

3. dan dhahir dari makna hadits berbunyi :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ: اللَّهُمَّ ‌لَكَ ‌صُمْتُ، وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ

Sesungguhnya Nabi SAW  apabila beliau berbuka puasa, beliau mengatakan :

‌‌ اللَّهُمَّ ‌لَكَ ‌صُمْتُ، وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ

(H.R. Abu Daud)[4]

 

‘Amirah dalam Hasyiah beliau terhadap kitab Syarah al-Mahalli ‘ala Minhaj al-Thalibin dalam mengomentari hadits ini, beliau mengatakan,

قَوْلُهُ: (رَوَى أَبُو دَاوُد إلَخْ) يُؤْخَذُ مِنْهُ أَنَّ وَقْتَ الِاسْتِحْبَابِ بَعْدَ الْفِطْرِ لِقَوْلِهِ فِي الْحَدِيثِ: وَعَلَى رِزْقِك أَفْطَرْت. وَلِقَوْلِ الرَّاوِي: كَانَ إذَا أَفْطَرَ

Perkataan pengarang :(telah meriwayat oleh Abu Daud..dst), dipahami darinya bahwa waktu dianjurkan berdoa adalah sesudah berbuka karena dalam hadits “Atas rizki-Mu, aku sudah berbuka” dan perkataan perawi : “Keadaan apabila beliau berbuka puasa”.[5]

Kebanyakan para ulama Mutaakhirin Syafi’iyah memahaminya dengan makna sesudah berbuka. Ini dapat kita perhatikan dari nash-nash di bawah ini :

1.  Dalam Nihayah al-Muhtaj karangan Imam al-Ramli :

)وَأَنْ يَقُولَ عِنْدَ) أَيْ عَقِبَ (فِطْرِهِ: ‌اللَّهُمَّ ‌لَك ‌صُمْت وَعَلَى رِزْقِك أَفْطَرْت(

Mengatakan pada saat, yakni sesudah berbuka :

‌اللَّهُمَّ ‌لَك ‌صُمْت وَعَلَى رِزْقِك أَفْطَرْت[6]

2.  Khathib Syarbaini  dalam kitabnya, al-Mughni :

)وَ) يُسْتَحَبُّ (أَنْ يَقُولَ عِنْدَ فِطْرِهِ) أَيْ عَقِبَهُ كَمَا يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ (‌اللَّهُمَّ ‌لَكَ ‌صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ)

Dan dianjurkan mengatakan pada saat berbuka, artinya sesudah berbuka sebagaimana dipahami dari perkataan :

‌اللَّهُمَّ ‌لَكَ ‌صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ[7]

3.  Qalyubi dalam Hasyiah Qalyubi ‘ala Syarah al-Mahalli :

قَوْلُهُ: (عِنْدَ فِطْرِهِ) أَيْ عَقِبَ مَا يَحْصُلُ بِهِ الْفِطْرُ

Perkataan pengarang : (pada saat berbuka), artinya sesudah makan sesuatu yang mengakibatkn terjadi berbuka.[8]

4.  Zainuddin al-Malibari dalam Fathul Mu’in :

ويسن أن يقول عقب الفطر: ‌اللهم ‌لك ‌صمت وعلى رزقك أفطرت

Disunnahkan membaca sesudah berbuka :

‌اللهم ‌لك ‌صمت وعلى رزقك أفطرت[9]

 

Namun demikian, Syeikh Sa’id Ba ‘Ali al-Hazhramiy masih memberikan kemungkinan membaca doa berbuka puasa sebelum berbuka, meskipun beliau tetap berpendapat sebaiknya membaca doa sebaiknya dilakukan pada saat sesudah berbuka, yakni dalam Busyraa al-Kariim beliau mengatakan :

)و) يسن (أن يقول عنده) أي: عند إرادته، والأولى بعده ‌اللهم ‌لك ‌صمت ‌وعلى ‌رزقك ‌أفطرت) حقيقة على الثاني، وأردت الإفطار على الأول

Dan disunnahkan pada saat berbuka puasa artinya pada saat merencanakan berbuka, tetapi sebaiknya sesudah berbuka dengan membaca :

‌اللهم ‌لك ‌صمت ‌وعلى ‌رزقك ‌أفطرت

dengan memaknai dengan makna hakikat (aku sudah berbuka) berdasarkan yang kedua dan dengan makna “aku rencanakan berbuka” berdasarkan yang pertama[10]

 

B.   Doa yang dibacakan pada saat berbuka puasa

Doa-doa berbuka puasa yang datang dalam beberapa riwayat dapat dikemukakan di sini sebagai berikut :

1.  Hadits dari Abu Hurairah berbunyi :

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم إذا صام ثم أفطر قال اللهم ‌لك ‌صمت وعلي رزقك أفطرت

 

Rasulullah SAW apabila berpuasa kemudian berbuka, beliau membaca :

اللهم ‌لك ‌صمت وعلي رزقك أفطرت

Hadits ini telah disebut oleh Abu Ishaq al-Syairaziy dalam al-Muhazzab, namun Imam al-Nawawi dalam mengomentarinya mengatakan, hadits ini gharib dan tidak dikenal.[11]

2.  Semakna dengan hadits di atas, hadits Muaz bin Zuharah berbunyi :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ: اللَّهُمَّ ‌لَكَ ‌صُمْتُ، وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ

Sesungguhnya Nabi SAW  apabila beliau berbuka puasa, beliau mengatakan :

اللَّهُمَّ ‌لَكَ ‌صُمْتُ، وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ

(H.R. Abu Daud)[12]

Al-Nawawi mengatakan, hadits ini mursal, namun ada datang dari jalur Ibnu Abbas yang diriwayat oleh al-Darutquthni secara musnad dan muttashil tapi sanadnya dhaif.[13] Mulla al-Qaariy seorang ulama ahli hadits terkenal dari kalangan Hanafiyah mengatakan, Ibnu Hajar berkata : “Hadits ini dengan keadaannya mursal dapat menjadi hujjah dalam masalah seperti ini. Lebih-lebih lagi al-Darulquthniy dan al-Thabraniy telah meriwayatnya dengan sanad muttashil meskipun dhaif. Ini dapat menjadi hujjah juga”[14]. Imam al-Ramli mengatakan, hadits riwayat Abu Daud di atas, hasan tapi mursal.[15] Ibnu Hajar al-Haitamiy mengatakan, tidak mudharat mursalnya hadits ini, karena ini dalam fazhail (keutamaan ibadah). Lebih-lebih lagi hadits ini bersambung dalam satu riwayat.[16]

3.  Hadits Abu Daud dan al-Nisa’i berbunyi :

عَنْ ابْنِ عُمَرَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا أَفْطَرَ قَالَ ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى

Dari Ibnu Umar bahwasanya Nabi SAW apabila sudah berbuka, beliau membaca :

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى

(H.R. Abu Daud dan al-Nisa’i) [17]

 

Al-Darulquthniy mengatakan, isnadnya hasan. Al-Hakim mengatakan, shahih atas syarat syaikhaini[18]

4.  Dalam hadits Ibnu Majah yang tersebut pada awal tulisan ini, Ibnu Mulaikah berkata :

سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو، يَقُولُ إِذَا أَفْطَرَ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِرَحْمَتِكَ الَّتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ أَنْ تَغْفِرَ لِي

Aku pernah mendengar Abdullah bin ‘Amr apabila sudah berbuka mengatakan :

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِرَحْمَتِكَ الَّتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ أَنْ تَغْفِرَ لِي

(H.R. Ibnu Majah).[19]

Al-Bushairiy dalam Zawaid mengatakan, hadits Ibnu Majah ini shahih isnad.[20]

 

5.  Mulla al-Qaariy mengatakan,

وَوَرَدَ أَنَّهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - كَانَ يَقُولُ: " يَا وَاسِعَ الْفَضْلِ اغْفِرْ لِي"، وَأَنَّهُ كَانَ يَقُولُ : "الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَعَانَنِي فَصُمْتُ وَرَزَقَنِي فَأَفْطَرْتُ اهـ وَأَمَّا مَا اشْتُهِرَ عَلَى الْأَلْسِنَةِ " اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ " فَزِيَادَةٌ، (وَبِكَ آمَنْتُ) لَا أَصْلَ لَهَا وَإِنْ كَانَ مَعْنَاهَا صَحِيحًا، وَكَذَا زِيَادَةُ (وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ وَلِصَوْمِ غَدٍ نَوَيْتُ) بَلِ النِّيَّةُ بِاللِّسَانِ مِنَ الْبِدْعَةِ الْحَسَنَةِ

Ada riwayat sesungguhnya Nabi SAW membaca :

يَا وَاسِعَ الْفَضْلِ اغْفِرْ لِي

dan sesunggugnya Nabi SAW membaca :

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَعَانَنِي فَصُمْتُ وَرَزَقَنِي فَأَفْطَرْتُ

Adapun yang masyhur pada lisan manusia :

اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ

maka tambahan “wa bika amantu” tidak asal baginya, meskipun maknanya shahih. Demikian juga tambahan

وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ وَلِصَوْمِ غَدٍ نَوَيْتُ

bahkan niat dengan lisan termasuk bid’ah hasanah.[21]

 

6.  Al-Syarwaniy menyebutkan dalam kitabnya :

وَزَادَ الدَّارَقُطْنِيّ "فَتَقَبَّلْ مِنِّي إنَّك أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ" وَمِنْ ثَمَّ قَالَ الْمَقْدِسِيَّ يَزِيدُ بَعْدَ "أَفْطَرْتُ" "سُبْحَانَك وَبِحَمْدِك تَقَبَّلْ مِنَّا إنَّك أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ اللَّهُمَّ إنَّك عَفْوٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي" قَالَ الْمُتَوَلِّي وَيُسَنُّ أَنْ يَزِيدَ "وَبِك آمَنْتُ وَعَلَيْك تَوَكَّلْتُ وَلِرَحْمَتِك رَجَوْتُ وَإِلَيْك أَنَبْتُ" إيعَابٌ

Al-Darulquthniy menambah :

فَتَقَبَّلْ مِنِّي إنَّك أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Karena itu, al-Maqdisiy menambah sesudah “afthartu” :

سُبْحَانَك وَبِحَمْدِك تَقَبَّلْ مِنَّا إنَّك أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ اللَّهُمَّ إنَّك عَفْوٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

Al-Mutawalli mengatakan, disunnahkan menambah

وَبِك آمَنْتُ وَعَلَيْك تَوَكَّلْتُ وَلِرَحْمَتِك رَجَوْتُ وَإِلَيْك أَنَبْتُ

Demikian dalam Kitab I’aab.[22]

 

Catatan

Dalam Shaihih al-Bukhari terdapat hadits riwayat Rifa’ah bin Rafi’ al-Zarqy, beliau berkata :

كنا يوما نصلي وراء النبي صلى الله عليه وسلم، فلما رفع رأسه من الركعة، قال: سمع الله لمن حمده. قال رجل وراءه: ربنا ولك الحمد، حمدا طيبا مباركا فيه. فلما انصرف، قال: من المتكلم قال: أنا، قال: رأيت بضعة وثلاثين ملكا يبتدرونها، أيهم يكتبها أول.

Pada suatu hari, kami shalat dibelakang Nabi SAW. Manakala Rasulullah mengangkat kepalanya dari rukuk, beliau berkata : “Sami’allahu liman hamidah, lalu berkata seorang laki-laki di belakang beliau : “Rabbana wa lakalhamdu hamdan thaiban mubarakan fiihi. Tatkala Rasulullah selesai (dari shalatnya) bertanya : “Siapa yang berkata tadi ?. Laki-laki itu menjawab : “Saya”. Rasulullah bersabda : “Aku melihat tiga puluh orang lebih malaikat yang berebutan pertama kali menulis amalnya”.(H.R. al-Bukhari)[23]

Mengomentari hadits di atas, Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan, dijadikan dalil dengan hadits tersebut, kebolehan mengihdats (mendatangkan dengan tanpa ada dalil) zikir yang tidak ma’tsur dalam shalat apabila zikir itu tidak bertentangan dengan zikir yang ma’tsur. [24]

Berdasarkan pemahaman yang dikemukakan Ibnu Hajar al-Asqalaniy tersebut yang didasarkan kepada hadits di atas, dapat dipahami bahwa seandainya dalam shalat dibolehkan mendatangkan zikir-zikir yang tidak ma’tsur (tidak ada riwayat dari Nabi SAW atau Sahabat beliau), maka mendatang zikir atau doa dalam puasa tentunya seyogyanya lebih utama lagi dibolehkan. Mengingat puasa bukanlah ibadah mahdhah seperti halnya shalat. Catatan ini penting dikemukakan di sini agar dapat dipahami bahwa membaca zikir atau doa dalam berbuka puasa yang tidak diketahui ada riwayat dari Nabi SAW atau Sahabat beliau adalah bukan sesuatu yang  terlarang, meskipun harus diakui bahwa membaca doa yang ma’tsur lebih utama.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



[1] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 557

[2] Al-Bushairiy, Zawaid Ibnu Majah, Dar al-Kutub al-Arabiyah, Beirut, Hal. 254

[3] Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. VI, Hal. 408

[4] Abu Daud, Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 306

[5] ‘Amirahi, Hasyiah Qalyubi wa ‘Amirah ‘ala Syarah al-Mahalli, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 80

[6] Imam al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, Maktabah Syamliah, Juz. III, Hal. 183

[7] Khathib Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 168

[8] Qalyubi, Hasyiah Qalyubi wa ‘Amirah ‘ala Syarah al-Mahalli, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 80

[9] Zainuddin al-Malibari, Fathul Muin, Maktabah Syamilah, Hal. 274

[10] Syeikh Sa’id Ba ‘Ali al-Hazhramiy, Busyraa al-Kariim, Maktabah Syamilah, Hal. 563

[11] Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. VI, Hal. 408

[12] Abu Daud, Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 306

[13] Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. VI, Hal. 408

[14] Mulla al-Qaariy, Mirqaah al-Maafatiih, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 1387

[15] Al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 183

[16] Ibnu Hajar al-Haitamiy, Tuhfah al-Muhtaj, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 425

[17] Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. VI, Hal. 408

[18] Ibnu Mulaqqin, Badrul Munir, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 711

[19] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 557

[20] Al-Bushairiy, Zawaid Ibnu Majah, Dar al-Kutub al-Arabiyah, Beirut, Hal. 254

[21] Mulla al-Qaariy, Mirqaah al-Maafatiih, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 1387

[22] Al-Syarwaniy, Hasyiah al-Syarwaniy ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 425

[23] .al-Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq al-Najh, Juz. I, Hal. 159, No. Hadits 799

[24] .Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barri, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 287

Tidak ada komentar:

Posting Komentar