Untuk menjawab masalah ini, mari kita perhatikan nash-nash para ulama di bawah ini :
1. Zainuddin
al-Malibariy dalam Fathul Mu’in mengatakan,
)ولا يفطر بسبق ماء جوف مغتسل عن) نحو
(جنابة) كحيض، ونفاس إذا كان الاغتسال (بلا انغماس) في الماء، فلو
غسل أذنيه في الجنابة فسبق الماء من إحداهما لجوفه: لم يفطر، وإن أمكنه إمالة رأسه
أو الغسل قبل الفجر. كما إذا سبق الماء إلى الداخل للمبالغة
في غسل الفم المتنجس لوجوبها: بخلاف ما إذا اغتسل منغمسا فسبق الماء إلى باطن
الاذن أو الانف، فإنه يفطر، ولو في الغسل الواجب، لكراهة الانغماس: كسبق ماء
المضمضة بالمبالغة إلى الجوف مع تذكره للصوم، وعلمه بعدم مشروعيتها، بخلافه بلا
مبالغة.وخرج بقولي عن نحو جنابة: الغسل المسنون، وغسل التبرد، فيفطر بسبق ماء فيه،
ولو بلا انغماس
Tidak membatalkan puasa tanpa
sengaja kemasukan air saat mandi seperti junub, haid, dan nifas apabila mandi
tidak dengan menyelam. Karena itu, seandainya membasuh telinga saat mandi junub
tanpa sengaja kemasukan air pada rongga telinga, maka puasa tidak batal
meskipun memungkinkan saat mandi memiringkan kepala atau mandi sebelum fajar,
sebagaimana halnya kemasukan air ke dalam rongga karena mubalaghah (berlebihan)
dalam membasuh mulut yang bernajis karena wajib mubalaghah tersebut. Berbeda
jika mandi dengan cara menyelam lalu tanpa sengaja air masuk ke area dalam
telinga atau hidung maka puasa batal meskipun mandi wajib, karena mandi secara menyelam
hukumnya makruh sebagaimana halnya tanpa sengaja kemasukan air berkumur-kumur
pada wudhu’ yang mubalaghah ke dalam rongga dalam kondisi teringat kepada puasa
serta mengetahui tidak disyariatkan
mubalaghah tersebut. Ini berbeda jika tanpa mubalaghah. Dari kataku “seperti
junub”, tidak termasuk mandi sunnah dan mandi untuk menyegarkan tubuh, maka
membatalkan puasa dengan sebab kemasukan air tanpa sengaja meskipun tidak
menyelam.[1]
2.
Namun demikian
Abubakar Syatha, dalam komentarnya terhadap kitab Fathul Muin tidak sependapat
dengan Zainuddin al-Malibariy pengarang Fathul Mu’in yang membedakan mandi
sunnah dengan mandi wajib seperti mandi junub, dimana menurut al-Malibariy sebagaimana
terlihat dalam kutipan nomor 1 di atas berpendapat apabila kemasukan air tanpa
sengaja pada mandi sunnah, meskipun tidak dengan menyelam, maka batal puasanya,
karena bukan mandi wajib. Kritikan Abubakar Syatha dapat kita simak dari komentar
beliau berikut ini :
)قوله:
وخرج بقولي عن نحو جنابة الغسل المسنون) في خروج هذا نظر، فإنه مأمور به، فحكمه
حكم غسل الجنابة بلا خلاف، بدليل الغاية التي ذكرها قبل - أعني قوله ولو في الغسل
الواجب - فإنه يندرج تحتها الغسل المسنون - كما هو ظاهر - فيفيد حينئذ أنه إذا سبق
الماء إلى جوفه فيه من غير انغماس لا يفطر.
(Perkataan pengarang : Dari
kataku “seperti junub”, tidak termasuk mandi sunnah). Dalam mengeluarkan ini
(mandi sunnah) perlu tinjauan, karena mandi sunnah juga merupakan perintah.
Karena itu, hukumnya sama dengan hukum mandi junub tanpa khilaf, dengan dalil
ghayah (penegasan perluasan makna) yang telah disebutkan sebelumnya, yakni
perkataan pengarang “meskipun mandi wajib”. Perkataan pengarang ini termasuk di
dalamnya mandi sunnah sebagaimana dhahirnya. Berdasarkan ini, maka dapat
disimpulkan bahwa apabila kemasukan air tanpa sengaja ke dalam rongga pada
mandi sunnah tanpa menyelam, maka tidak membatalkan puasa.
Setelah komentar di atas, Abubakar Syatha menyimpulkan hukum
kemasukan air tanpa sengaja ke dalam rongga dengan perkataan beliau berikut ini
:
)والحاصل)
أن القاعدة عندهم أن ما سبق لجوفه من غير مأمور به، يفطر به، أو من مأمور به - ولو
مندوبا - لم يفطر.ويستفاد من هذه القاعدة ثلاثة أقسام:
الأول: يفطر مطلقا - بالغ أو لا - وهذا فيما إذا سبق الماء إلى جوفه في غير مطلوب
كالرابعة، وكانغماس في الماء - لكراهته للصائم - وكغسل تبرد أو تنظف.الثاني: يفطر إن بالغ، وهذا فيما إذا سبقه
الماء في نحو المضمضة المطلوبة في نحو الوضوء.الثالث: لا يفطر مطلقا، وإن بالغ، وهذا عند تنجس
الفم لوجوب المبالغة في غسل النجاسة على الصائم وعلى غيره لينغسل كل ما في حد
الظاهر.ثم رأيت الكردي صرح بهذه الثلاثة الأقسام
Alhasil, sesungguhnya qaidah menurut para ulama, sesungguhnya
kemasukan air tanpa sengaja ke dalam rongga dimana memasukkan air tersebut
bukanlah merupakan perintah, maka
membatalkan puasa atau merupakan perintah meskipun perintah tersebut hanya
sunnah, maka tidak membatalkan puasa. Berdasarkan qaidah ini dipahami tiga
pembagian :
Pertama, membatalkan secara mutlaq, baik dengan mubalaghah
(berlebihan) atau tidak. Ini berlaku pada kemasukan air tanpa sengaja ke dalam
rongga pada bukan perintah seperti mandi kali ke-empat dan seperti menyelam
dalam air karena makruh bagi orang puasa atau seperti mandi untuk menyegarkan
tubuh ataupun membersihkn tubuh. Kedua, membatalkan puasa, jika dilakukan
secara mubalaghah. Ini berlaku apabila kemasukan air tanpa sengaja pada seperti
berkumur-berkumur yang diperintahkan pada wudhu’. Ketiga, tidak membatalkan
secara mutlaq, meskipun dilakukan secara mubalaghah. Ini berlaku pada membasuh
mulut yang bernajis, karena wajib atas orang puasa dan yang tidak puasa
mubalaghah membasuh najisnya agar terbasuh semua yang ada pada batasan dhahir
mulut. Kemudian, aku juga telah melihat al-Kurdiy menyebut tiga pembagian ini.[2]
3.
Penegasan jika
kemasukan air tanpa sengaja pada mandi sunnah tidak membatalkan puasa juga
disebut dalam Nihayah al-Zain karangan Syeikh Nawawi al-Bantaniy berikut ini :
وَمثل ذَلِك الْغسْل الْمسنون بِخِلَاف غسل
التبرد فَلَا يُعْفَى عَنهُ
Yang sama dengan itu (mandi haid, nifas dan
junub) adalah mandi sunnah. Berbeda dengan mandi untuk menyegarkan tubuh, maka
tidak dimaafkan.[3]
4.
Penegasan
yang sama juga disebut dalam Hasyiah al-Syarwani berikut ini :
وَخَرَجَ بِمَا
قَرَّرْنَاهُ سَبْقُ مَاءِ الْغُسْلِ مِنْ حَيْضٍ أَوْ نِفَاسٍ أَوْ جَنَابَةٍ
أَوْ مِنْ غُسْلٍ مَسْنُونٍ فَلَا يُفْطِرُ بِهِ كَمَا أَفْتَى بِهِ الْوَالِدُ -
رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى
Dan tidak termasuk dari apa yang telah kami
tetapkan kemasukan air tanpa sengaja pada mandi haid, nifas, junub dan mandi
sunnah. Maka tidak membatalkan puasa dengan sebabnya sebagaimana ifta’ dari
al-Walid rahimahullah Ta’ala (Syihabuddin al-Ramli ayah dari Imam al-Ramli).[4]
Kesimpulan
1.
Apabila
air masuk ke dalam rongga dalam telinga tanpa sengaja saat mandi yang ada
perintah syariat seperti mandi wajib dan sunnah serta mandi tersebut bukan
dengan cara menyelam, maka tidak membatalkan puasa
2.
Apabila mandi dilakukan dengan cara
menyelam, maka batal puasa dengan sebab kemasukan air tanpa sengaja dalam
rongga dalam telinga. Karena makruh hukumnya mandi dengan cara menyelam pada
waktu puasa
3.
Apabila kemasukan air tanpa sengaja
dalam tenggerokan pada saat berkumur-kumur pada wudhu’, maka tidak batal puasa
selama berkumur-kumur dilakukan tidak dengan mubalaghah (berlebihan)
4.
Apabila
air masuk ke dalam rongga dalam telinga tanpa sengaja saat mandi yang tidak ada
perintah syariat seperti mandi untuk menyegarkan tubuh atau mandi untuk membersihkan
diri, maka batal puasa, meskipun mandinya bukan dengan cara menyelam.
[1]
Zainuddin al-Malibariy, Fathul Mu’in, (beserta Hasyiahnya I’anah
al-Thalibiin), Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 263-264
[2]
Abubakar Syathaa, I’anah al-Thalibin, Maktabah Syamilah, Juz. II,
Hal. 265
[3] Syeikh Nawawi al-Bantaniy, Nihayah al-Zain, Maktabah
Syamilah, Hal. 188
[4] Al-Syarwaniy,
Hasyiah al-Syarwaniy ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, Maktabah Syamilah,
Juz. I, Hal. 279