Renungan

Sabtu, 12 Maret 2022

Syarat Ahli Jum’at Terkait Ummi dan Qari dalam pandangan Ulama Syafi’iyah

 Berikut ini pandangan ulama Syafi’yah terkait judul di atas, yakni :

1.  Ibnu Hajar al-Haitamiy mengatakan :

وَسَيُعْلَمُ مِمَّا يَأْتِي أَنَّ شَرْطَهُمْ أَيْضًا أَنْ يَسْمَعُوا أَرْكَانَ الْخُطْبَتَيْنِ وَأَنْ يَكُونُوا قُرَّاءً أَوْ أُمِّيِّينَ مُتَحَدِّينَ، فِيهِمْ مَنْ يُحْسِنُ الْخُطْبَةَ فَلَوْ كَانُوا قُرَّاءً إلَّا وَاحِدٌ مِنْهُمْ فَإِنَّهُ أُمِّيٌّ لَمْ تَنْعَقِدْ بِهِمْ الْجُمُعَةُ كَمَا أَفْتَى بِهِ الْبَغَوِيّ؛ لِأَنَّ الْجَمَاعَةَ الْمَشْرُوطَةَ هُنَا لِلصِّحَّةِ صَيَّرَتْ بَيْنَهُمَا ارْتِبَاطًا كَالِارْتِبَاطِ بَيْنَ صَلَاةِ الْإِمَامِ وَالْمَأْمُومِ فَصَارَ كَاقْتِدَاءِ قَارِئٍ بِأُمِّيٍّ وَبِهِ يُعْلَمُ أَنَّهُ لَا فَرْقَ هُنَا بَيْنَ أَنْ يُقَصِّرَ الْأُمِّيُّ فِي التَّعَلُّمِ وَأَنْ لَا، وَأَنَّ الْفَرْقَ بَيْنَهُمَا غَيْرُ قَوِيٍّ لِمَا تَقَرَّرَ مِنْ الِارْتِبَاطِ الْمَذْكُورِ عَلَى أَنَّ الْمُقَصِّرَ لَا يُحْسَبُ مِنْ الْعَدَدِ؛ لِأَنَّهُ إنْ أَمْكَنَهُ التَّعَلُّمُ قَبْلَ خُرُوجِ الْوَقْتِ فَصَلَاتُهُ بَاطِلَةٌ وَإِلَّا فَالْإِعَادَةُ لَازِمَةٌ لَهُ وَمَنْ لَزِمَتْهُ لَا يُحْسَبُ مِنْ الْعَدَدِ كَمَا مَرَّ آنِفًا فَلَا تَصِحُّ إرَادَتُهُ هُنَا

Akan dimaklumi dari penjelasan berikut ini bahwa syarat ahli juma’t juga bahwa mendengar rukun khutbah dan mereka semuanya qari atau ummi yang sejenis, sementara di antara mereka ada yang bagus khutbahnya. Karena itu, jika mereka adalah qari kecuali seorang dari mereka ada ummi, maka tidak ter’aqad jumat mereka. Sebagaimana fatwa al-Baghwiy. Karena jama’ah yang disyaratkan di sini supaya sah, adalah menjadi ikatan di antara keduanya seperti ikatan antara shalat imam dan makmum, maka menjadi hal itu seperti mengikuti si qari kepada si ummi. Karenanya, dimaklumi bahwa tidak ada perbedaan antara si ummi tersebut taqshir atau tidak. Adapun membedakan di antara keduanya tidaklah kuat, karena alasan yang sudah jelas, yakni ikatan yang telah disebutkan. Lebih-lebih lagi, orang yang taqshir tidak dihitung sebagai bilangan ahli jum’at. Karena jika memungkinkan belajar sebelum keluar waktu jum’at, maka shalatnya batal dan jika tidak, maka i’adah wajib baginya. Sedangkan orang yang wajib i’adah tidak dihitung sebagai bilangan ahli jumat sebagaimana yang sudah lalu baru saja. Karena itu, tidak sah dimaksudkan di sini. [1]

 

2.  Mengomentari penjelasan Ibnu Hajar al-Haitamiy di atas, al-Syarwaniy mengatakan,

)قَوْلُهُ: أَنَّهُ لَا فَرْقَ إلَخْ) خِلَافًا لِلنِّهَايَةِ وَالْمُغْنِي وَشَيْخِ الْإِسْلَامِ وَشَرْحِ بَافَضْلٍ وَشَرْحَيْ الْإِرْشَادِ عِبَارَةُ الْأَوَّلِ وَظَاهِرٌ أَنَّ مَحَلَّهُ أَيْ إفْتَاءُ الْبَغَوِيّ إذَا قَصَّرَ الْأُمِّيُّ فِي التَّعَلُّمِ وَإِلَّا فَتَصِحُّ الْجُمُعَةُ إنْ كَانَ الْإِمَامُ قَارِئًا اهـ (قَوْلُهُ: وَإِنَّ الْفَرْقَ بَيْنَهُمَا إلَخْ) اعْتَمَدَهُ شَيْخُنَا وَالْبُجَيْرِمِيُّ وِفَاقًا لِلنِّهَايَةِ وَالْمُغْنِي عِبَارَةُ الْأَوَّلِينَ، وَلَوْ كَانُوا أَرْبَعِينَ فَقَطْ وَفِيهِمْ أُمِّيٌّ، فَإِنْ قَصَّرَ فِي التَّعَلُّمِ لَمْ تَصِحَّ جُمُعَتُهُمْ لِبُطْلَانِ صَلَاتِهِ فَيَنْقُصُونَ عَنْ الْأَرْبَعِينَ، فَإِنْ لَمْ يُقَصِّرْ فِي التَّعَلُّمِ كَمَا لَوْ كَانُوا أُمِّيِّينَ فِي دَرَجَةٍ وَاحِدَةٍ فَشَرْطُ كُلٍّ أَنْ تَصِحَّ صَلَاتُهُ لِنَفْسِهِ كَمَا فِي شَرْحِ الرَّمْلِيِّ، وَإِنْ لَمْ يَصِحَّ كَوْنُهُ إمَامًا لِلْقَوْمِ فَقَوْلُ الْقَلْيُوبِيِّ أَيْ تَبَعًا لِلتُّحْفَةِ يُشْتَرَطُ فِي الْأَرْبَعِينَ أَنْ تَصِحَّ إمَامَةُ كُلٍّ مِنْهُمْ لِلْبَقِيَّةِ ضَعِيفٌ وَالْمُعْتَمَدُ مَا تَقَدَّمَ. اهـ

(Perkataan pengarang sesungguhnya tidak ada perbedaan..dst), ini khilaf dengan al-Nihayah, al-Mughniy, Syeikh Islam, Syarah Baafazhl dan dua syarah Irsyad. ‘Ibarat pertama : Yang dhahir sesungguhnya penempatannya yakni fatwa al-Baghwiy apabila taqshir dalam belajar dan jika tidak, maka shah jumat seandainya imamnya qarii. (Dan perkataan pengarang sesungguhnya perbedaan antara keduanya tersebut…dst), telah dinyatakan mu’tamad pendapat ini oleh guru kami dan al-Bujairumi karena mengikuti pendapat al-Nihayah dan al-Mughniy. ‘Ibarat dua yang awal : Jika mereka ada empat puluh saja, diantara mereka ada yang ummi, maka jika ummi tersebut taqshir dalam belajar, maka tidak sah jum’at mereka karena batal shalatnya. Karena itu kurang bilangan mereka dari empat puluh. dan jika tidak taqshir dalam belajar sebagaimana jika mereka ummi pada derajat yang sama, maka disyaratkan setiap mereka shah shalatnya bagi dirinya sebagaimana dalam syarah al-Ramli, meskipun tidak sah keadaanya menjadi imam bagi kaum. Dengan demikian, pendapat Qalyubi karena mengikuti Tuhfah yang mensyaratkan empat puluh bahwa sah menjadi imam setiap mereka kepada yang lain adalah dhaif, sedang yang mu’tamad adalah yang sebelumnya.[2]

 

3.  Dalam menjelaskan salah satu syarat ahli jumat, Qalyubi mengatakan

وَشَرْطُهُمْ صِحَّةُ إمَامَةِ كُلٍّ مِنْهُمْ لِلْبَاقِينَ

Syarat ahli jum’at adalah sah menjadi imam setiap mereka bagi yang lain.

 

Kemudian pada halaman berikutnya, beliau mengatakan,

وَمِثْلُهُمْ الْأُمِّيُّونَ بِالشَّرْطِ الْمَذْكُورِ بِأَنْ اتَّفَقَتْ أُمِّيَّتُهُمْ وَلَا تَقْصِيرَ مِنْهُمْ فِي التَّعْلِيمِ. وَمَا فِي شَرْحِ شَيْخِنَا مِنْ صِحَّتِهَا مِنْهُمْ وَإِنْ اخْتَلَفَتْ أُمِّيَّتُهُمْ حَيْثُ لَا تَقْصِيرَ فِيهِ نَظَرٌ، وَلَمْ يَرْتَضِهِ شَيْخُنَا لِمَا مَرَّ مِنْ شَرْطِ صِحَّةِ اقْتِدَائِهِمْ بِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ

Yang sama dengan mereka adalah orang-orang ummi dengan syarat yang telah disebutkaan bahwa sepakat ummi mereka dan tidak taqshir dalam belajar. Dan apa yang tersebut dalam syarah syeikhunaa berupa sah jum’at, meskipun berbeda ummi mereka dalam hal tidak taqshir, ini ada tinjauan. Syeikhunaa sendiri tidak merestuinya karena alasan yang telah lalu, yakni disyaratkan sah mengikuti mereka dengan setiap salah satu dari mereka.[3]

 

4.   ‘Amirah menjelaskan

قَوْلُ الْمَتْنِ: (بِأَرْبَعِينَ) لَوْ كَانَ فِيهِمْ أُمِّيٌّ. قَالَ الْأَذْرَعِيُّ نَقْلًا عَنْ فَتَاوَى الْبَغَوِيّ: لَمْ تَصِحَّ الْجُمُعَةُ اهـ. وَمِثْلُهُ فِيمَا يَظْهَرُ لَوْ كَانَ فِيهِمْ مُخِلٌّ بِخِلَافِ تَرْكِ الْبَسْمَلَةِ مَثَلًا. وَقَيَّدَ شَارِحُ الرَّوْضِ مَسْأَلَةَ الْأُمِّيِّ بِأَنْ يَكُونَ قَصَّرَ فِي التَّعَلُّمِ وَإِلَّا فَتَصِحُّ إذَا كَانَ الْإِمَامُ قَارِئًا

Perkataan matan : (dengan empat puluh) jika diantara mereka ada yang ummi, maka berkata al-Azra’i mengutip dari al-Baghwiy tidah sah jum’at. Yang sama dengannya menurut pendapat yang dhahir jika diantara mereka ada yang mencederainya. Ini berbeda dengan meninggalkan misalnya basmalah. Pensyarah al-Rauzh mengkaidkan masalah ummi dengan keadaannya taqshir dalam belajar. Dan jika tidak taqshir, maka sah apabila imam dalam keadaan qari.[4]

 

5.    Zakariya al-Anshari mengatakan,

فَلَا تَنْعَقِدُ إلَّا بِأَرْبَعِينَ وَلَوْ أُمِّيِّينَ فِي دَرَجَةٍ (لَا) بِأَرْبَعِينَ (وَفِيهِمْ أُمِّيٌّ) وَاحِدٌ أَوْ أَكْثَرُ (لِارْتِبَاطِ) صِحَّةِ (صَلَاةِ بَعْضِهِمْ بِبَعْضٍ) فَصَارَ كَاقْتِدَاءِ الْقَارِئِ بِالْأُمِّيِّ (نَقَلَهُ الْأَذْرَعِيُّ عَنْ) فَتَاوَى (الْبَغَوِيّ) ، وَهُوَ مِنْ زِيَادَةِ الْمُصَنِّفِ وَظَاهِرٌ أَنَّ مَحَلَّهُ إذَا قَصَّرَ الْأُمِّيُّ ‌فِي ‌التَّعَلُّمِ وَإِلَّا فَتَصِحُّ الْجُمُعَةُ إنْ كَانَ الْإِمَامُ قَارِئًا

Maka tidak ter’aqad kecuali dengn empat puluh, meskipun mereka ummi pada satu derajat. Tidak sah dengan empat puluh dimana diantara mereka ada satu orang yang ummi atau lebih banyak, karena terikat sah shalat sebagian mereka dengan sebagian yang lain. Karena itu, jadilah seperti mengikuti si qari dengan si ummi. Telah mengutip ini oleh al-Azra’i dari fatawa al-Baghwiy. Ini merupakan tambahan pengarang. Dhahirnya penempatannya adalah apabila si ummi taqshir dalam belajar dan jika tidak taqshir, maka sah jum’at jika keadaan imam qari.[5]

 

6.    Zainuddin al-Malibary mengatakan,

ولو كانوا أريعين فقط وفيهم أمي واحد أو أكثر قصر في التعلم، لم تصح جمعتهم، لبطلان صلاته فينقصون. أما إذا لم يقصر الامي في التعلم فتصح الجمعة به - كما جزم به شيخنا في شرحي العباب والارشاد، تبعا لما جزم به شيخه في شرح الروض - ثم قال في شرح المنهاج: لا فرق هنا بين أن يقصر الامي في التعلم، وأن لا يقصر.والفرق بينهما غير قوي.انتهى

Jika keadaan mereka adalah empat puluh saja, sedangkan diantara mereka ada satu orang yang ummi atau lebih banyak, yang taqshir dalam belajar, maka tidak sah jum’at mereka karena kurang bilangan mereka. Adapun apabila tidak taqshir dalam belajar, maka sah jumat denganmya sebagaimana dipastikan oleh syeikhuna dalam Syarah ‘Ubaab dan Syarah al-Irsyad karena mengikuti gurunya dalam Syarah al-Rauzh. Kemudian beliau mengatakan dalam Syarah al-Minhaj, tidak ada perbedaan di sini antara taqshir ummi dalam belajar dan tidak taqshir. Perbedaan di antara keduanya tidak kuat.[6]

 

7.    Dalam Kitab Lum’ah al-Mufadah fi Bayan al-Jum’ah wa al-Mu’adah karya Syeikh Salim bin Saamir al-Hazhriy dengan syarahnya oleh Syeikh Nawawi al-Bantaniy disebutkan:

(الثالث أن يكون فيهم أمي لم يقصر في التعلم فتصح) الجمعة (أيضا غلى ما ماشى) أي ابن حجر (عليه في غير التحفة) وهذا هو اللائق بمحاسن الشريعة كما قاله محمد أبو حضير الدمياطي ثم المدني

Yang ketiga, bahwa keadaan ahli jum’at diantara mereka ada yang ummi yang tidak taqshir dalam belajar, maka sah jumat juga berdasarkan pendapat Ibnu Hajar dalam selain Tuhfah. Pendapat ini lebih sesuai dengan mahaasin syari’ah sebagaimana berkata Muhammad Abu Hazhir al-Damyathi tsuma al-Madaniy.

 

Namun Syeikh Salim bin Saamir al-Hazhriy, masih pada halaman yang sama beliau mengatakan, pendapat yang mu’tamad adalah batal. Akan tetapi Nawawi al-Bantaniy berpendapat yang lebih sesuai dengan mahaasin syari’ah adalah sah.[7]

 

Kesimpulan

1.  Sepakat para ulama Syafi’iyah sah jum’at apabila ahli jumat semua qari

2.  Sepakat juga sah jumat apabila ahli jumat adalah ummi (cedera bacaan) yang sejenis umminya, namun diantara mereka ada satu orang yang qari yang menjadi imam

3.  Terjadi perbedaan pendapat apabila berbeda umminya. Menurut pendapat Ibnu Hajar al-Haitmiy dalam Tuhfah al-Muhtaj tidak sah, baik lalai (taqshir) dalam belajar atau tidak lalai. Menurut Imam al-Ramli, Khathib Syarbainiy, Zakariya al-Anshari dan Ibnu Hajar al-Haitamiy dalam kitab beliau selain Tuhfah sah apabila tidak lalai dalam belajar

4.  Pendapat Imam al-Ramli, Khathib Syarbainiy, Zakariya al-Anshari dan Ibnu Hajar dalam kitab beliau selain Tuhfah telah dinyatakan mu’tamad oleh Syeikhunaa (guru al-Syarwani), al-Bujairumiy dan al-Syarwani sendiri.

5.  Pendapat Ibnu Hajar al-Haitamiy dalam Tuhfah al-Muhtaj juga diikuti oleh Qalyubi dan dinyatakan mu’tamad oleh Syeikh Salim bin Saamir al-Hazhriy dalam kitab beliau Lum’ah al-Mufadah fi Bayan al-Jum’ah wa al-Mu’adah.

6.  Namun demikian, Syeikh Nawawi al-Bantaniy mengatakan pendapat Ibnu Hajar al-Haitamiy dalam kitab beliau selain Tuhfah al-Muhtaj lebih sesuai dengan mahaasin syari’ah sebagaimana pendapat Muhammad Abu Hazhir al-Damyathi

 



[1] Ibnu Hajar al-Haitamiy, Tuhfah al-Muhtaj, (Dicetak bersama Hasyiah al-Syarwaniy ‘ala Tuhfah al-Muhtaj) Mathba’ah Musthafa Muhammad, Mesir, Juz. II, Hal. 438

[2] Syarwaniy, Hasyiah Syarwaniy ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, Mathba’ah Musthafa Muhammad, Mesir, Juz. II, Hal. 438

[3]. Qalyubi, Hasyiah Qalyubi ‘ala Syarah al-Mahalli, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal 274 dan 275

[4] ‘Amirah, Hasyiah ‘Amirah ‘ala Syarah al-Mahalli, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia), Juz. I, Hal. 274

[5]. Zakariya al-Anshari, Asnaa al-Mathalib, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 249

[6] Zainuddin al-Malibary, Fathul Muin, (Dicetak bersama I’anah al-Thalibin), Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 57

[7] Syeikh Nawawi al-Bantaniy, Suluuk al-Jaaddah ‘ala Lum’ah al-Mufadah fi Bayan al-Jum’ah wa al-Mu’adah, Hal. 8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar