Renungan

Sabtu, 16 April 2022

Perbedaan azan dan iqamah

 Menurut Imam al-Suyuthi, azan dan iqamah dari aspek fiqhnya dapat dibedakan sebagai berikut :

1.    Azan boleh dilakukan sebelum waktunya pada sebagian shalat. Iqamah tidak boleh sama sekali. Karena itu, apabila dilakukan iqamah sebelum waktunya meskipun satu detik, kemudian setelah masuk waktunya seseorang melakukan shalat, maka iqamahnya tersebut tidak dihitung sebagai iqamah

2.    Azan boleh dilakukan pada awal waktu, meskipun shalat dilkukan pada akhir waktunya. Iqamah tidak boleh dilakukan kecuali ketika mau melaksanakan shalat. Karena itu, jika seseorang sudah melakukan iqamah dan ditunda melakukan shalat yang lama penundaannya itu, maka batal iqamahnya

3.    Disunnahkan iqamah untuk shalat yang kedua dari dua shalat jama’ dan pada shalat yang diqadha yang bukan shalat pertama. Tidak disunnahkan azan untuk keduanya dan juga untuk yang pertama berdasarkan pendapat jadid

4.    Azan dilakukan dua-dua, sedangkan iqamah satu-satu

5.    Disunnahkan azan dua kali pada shalat shubuh. Tidak disunnah iqamah kecuali satu kali

6.    Pada azan disunnahkan tarji’, tidak pada iqamah

7.    Azan makruh bagi perempuan, tapi baginya disunnahkan iqamah. Karena pada azan ada mengangkat suara, tidak pada iqamah

8.    Azan mengangkat suara, tidak pada iqamah

9.    Iqamah disunnahkan bagi orang yang melakukan shalat sendiri, sedang azan tidak disunnahkan menurut qaul jadid.

10.Iqamah orang yang berhadats lebih berat makruhnya dibanding azan orang yang berhadats

11.Pada azan disunnahkan berpaling wajah pada ketika mengucapkan “haiya ‘ala asshalah” dengan sepakat para ulama. Pada iqamah ada satu pendapat yang mengatakan, tidak disunnahkan. Sementara pendapat lain mengatakan disunnahkan apabila mesjidnya besar

12.Azan sunnah dilakukan dengan tidak terburu-buru. Sedangkan iqamah sunnah dilakukan dengan agak lebih cepat dibandingkan azan

13.Azan boleh mengambil upah menurut pendapat yang lebih shahih. Akan tetapi tidak boleh pada semata-mata iqamah. Karena tidak ada beban kerja pada iqamah, berbeda dengan azan. [1]

 



[1] Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair, al-Haramain, singapura, Hal. 289

Jumat, 08 April 2022

Sunnah Sahur

 

Sahur merupakan anjuran bagi orang yang berpuasa dimana waktunya mulai masuk pertengahan malam sampai dengan terbit fajar. Imam al-Nawawi mengatakan :

وَقْتُ ‌السَّحُورِ بَيْنَ نِصْفِ اللَّيْلِ وَطُلُوعِ الْفَجْرِ

Waktu sahur adalah antara pertengahan malam dan terbit fajar.[1]

 

Menurut al-Kaasaaniy al-Hanafi makan sahur dilakukan sesudah pertengahan malam. Ini karena sahur berasal dari akar kata “sahar”, sedangkan waktu sahar adalah sesudah pertengahan malam.[2]

Berdasarkan ini, maka orang yang makan sebelum pertengahan malam dengan niat sahur tidak sah menjadi sahur. Abubakar Syathaa dalam I’anah al-Thalibin mengatakan,

والحاصل أن ‌السحور يدخل وقته بنصف الليل، فالأكل قبله ليس بسحور، فلا يحصل به السنة،

Alhasil, sesungguhnya sahur masuk waktunya dengan masuk pertengahan malam. Karena itu, makan sebelumnya bukanlah sahur dan tidak mendapat sunnah karenanya.[3]

 

Meskipun waktu bersahur sebagaimana dikemukakan di atas antara pertengahan malam dan terbit fajar, akan tetapi waktu utama bersahur adalah di akhir malam. Hal ini dikarena makan sahur di akhir malam lebih meringankan orang berpuasa menahan lapar dan haus pada waktu siangnya. Ini juga sesuai riwayat Zaid bin Tsabit berbunyi :

تَسَحَّرْنَا ‌مَعَ ‌رَسُولِ ‌اللهِ ‌صَلَّى ‌اللهُ ‌عَلَيْهِ ‌وَسَلَّمَ، ‌ثُمَّ ‌قُمْنَا ‌إِلَى ‌الصَّلَاةِ قُلْتُ: كَمْ كَانَ قَدْرُ مَا بَيْنَهُمَا؟ قَالَ: خَمْسِينَ آيَةً

Kami makan sahur bersama Rasulullah SAW, kemudian kami mendirikan shalat. Aku (perawi) bertanya : “berapa ukuran antara keduanya”. Zaid bin Tsabit menjawab : “ukuran lima puluh ayat” (H.R. Muslim)[4]

 

Dalam sebuah hadits, Nabi SAW bersabda :

عَجَّلُوا الإِفْطَارَ وَأَخَّرُوا السُّحُورَ

Segerakanlah berbuka dan akhirkan bersahur (H.R. al-Thabraniy)[5]

Ibnu Abd al-Bar mengatakan, hadits-hadits menyegerakan berbuka puasa dan mengakhirkan bersahur adalah shahih dan mutawatir. Di sisi Abdurrazaq dan lainnya dengan isnad shahih dari ‘Amr bin Maimun al-Audiy berkata :

قَالَ كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْرَعَ النَّاسِ إِفْطَارًا وَأَبْطَأَهُمْ سُحُورًا

Para sahabat Muhammad SAW memerintahkan manusia menyegerakan berbuka dan memperlambatkan sahur[6]

 

Fadhilah Sahur

Selain mengikuti sunnah Rasulullah SAW dan bisa menguatkan orang berpuasa, sahur juga mempunyai fadhilah-fadhilah lain sebagaimana tersebut dalam hadits berikut ini, antara lain :

1.  Sahur merupakan pembeda bagi orang muslim dan ahlul kitab. Walaupun ahlul kitab juga melaksanakan puasa sesuai keyakinan mereka, tetapi mereka tidak makan sahur sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Amr bin ‘Ash sesungguhnya Rasulullah SAW. bersabda :

فَصْلَ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ ‌أَكْلَةُ ‌السُّحُورِ

Pembeda antara puasa kita dan puasa ahlul kitab adalah makan sahur (H.R. Muslim dan lainnya)[7]

2.  Dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW bersabda :

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ

Sesungguhnya Allah dan malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang bersahur (H.R. al-Thabraniy)[8]

 

3.  Dari al-Saaib bin Yazid, Rasulullah SAW bersabda :

نِعْمَ السَّحُورُ التَّمْرُ وَقَالَ يَرْحَمُ اللَّهُ الْمُتَسَحِّرِينَ

Sebaik-baik hidangan sahur adalah kurma. Rasulullah SAW lalu berdoa, “Semoga Allah  menurunkan rahmat-Nya bagi mereka yang bersahur”, (H.R. al-Thabaraniy)[9]

4.  Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya Nabi SAW bersabda :

ثَلَاثٌ لَيْسَ عَلَيْهِمْ حِسَابٌ فِيمَا طَعِمُوا إِنْ شَاءَ اللَّهُ إِذَا كَانَ حَلَالًا: الصَّائِمُ، وَالْمُتَسَحِّرُ، وَالْمُرَابِطُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

Ada tiga orang yang insya Allah tidak akan dihisab apa yang mereka makan apabila makanan itu halal, yaitu orang yang berpuasa (ketika berbuka). orang yang sahur dan orang yang sedang berjuang di jalan Allah. (H.R. al-Bazaar dan al-Thabaraniy)[10]

5.  Nabi SAW bersabda :

عَلَيْكُمْ بِهَذَا السَّحُورِ فَإِنَّهُ هُوَ الْغِذَاءُ الْمُبَارَكُ

Hendaklah kamu bersahur, karena sahur itu makanan yang berkah (H.R. al-Nisa’i dengan isnad baik)[11]

6.  Dalam riwayat lain, Nabi SAW bersabda :

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي ‌السَّحُورِ بَرَكَةً

Bersahurlah, karena pada sahur itu berkah. (H.R. Bukhari [12]dan Muslim[13])

Dalam mengomentari hadits ini, Imam al-Nawawi menjelaskan kepada kita, telah terjadi ijmak  para ulama atas anjuran bersahur dan tidak wajib bersahur. Adapun berkah sahur itu nyata, karena dengan sahur dapat menguatkan dan menyungguhkan orang berpuasa. Disamping itu, menambahkan motivasi dalam berpuasa karena ringan kesukaran puasa pada orang yang makan sahur. Menurut beliau, ini merupakan makna yang benar dan menjadi pegangan dalam memaknai hadits ini.[14]

Berbeda dengan al-Nawawi di atas, Ibnu Hajar al-Asqalaniy menyebut lebih banyak berkah sahur. Beliau mengatakan, berkah sahur didapati dari banyak aspek, yaitu :

1.  mengikuti sunnah dan menyalahi ahlul kitab

2.  kuat dan menambah motivasi dalam ibadah

3.  terhindar dari keburukan akhlaq karena pengaruh lapar

4.  menjadi sebab bersadaqah kepada peminta-minta atau makan bersamanya

5.  menjadi sebab berzikir dan berdoa pada waktu ijabah doa

6.  mendapat kesempatan niat puasa bagi orang yang sering lalai niatnya[15]

 

Menurut Daqiq al-‘Aid, berkah sahur ini dimungkinkan kembali kepada perkara ukhrawi seperti menegakkan sunnah yang mendapat pahala di akhirat dan dimungkinkan juga kembali kepada duniawi seperti kuat tubuh pada orang puasa serta ringan dalam berpuasa dan tidak mendatangkan mudharat.[16]

 



[1] Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 360

[2] al-Kaasaaniy al-Hanafi, Badai’ al-Shanai’fi tartib al-Syarai’, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 69

[3] Abubakar Syathaa, I’anah al-Thalibin, Maktabah Syamilah, juz. II, Hal. 277

[4] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 771

[5] Al-Haitsamiy, Majma’ al-Zawaid, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 155

[6] Ibnu Hajar al-Asqalaniy, Fathul Barri, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 199

[7] Ibnu Atsir, Jami’ Ushul, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 362

[8] Al-Haitsamiy, Majma’ al-Zawaid, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 150

[9] Al-Haitsamiy, Majma’ al-Zawaid, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 151

[10] Al-Haitsamiy, Majma’ al-Zawaid, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 151

[11] Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 361

[12] Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 29

[13] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 770

[14] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 206

[15] Ibnu Hajar al-Asqalaniy, Fathul Barri, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 140

[16] Ibnu Hajar al-Asqalaniy, Fathul Barri, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 140

Qaidah fiqh : Mencegah lebih kuat dari menghilangkan yang sudah ada

 Qaidah ini dalam bahasa Arab berbunyi :

الدَّفْعُ أَقْوَى مِنْ الرَّفْعِ

Imam al-Suyuthi menyebut contoh-contoh yang masuk dalam katagori qaidah ini antara lain :

1.  Air musta’mal apabila dikumpulkan sehingga sampai dua qullah, hukum air tersebut kembali kepada menyucikan masih terjadi khilafiyah ulama. Berbeda halnya apabila seseorang dari awal memakai air dua qullah, maka ini tidak menjadi musta’mal tanpa khilaf. Perbedaan antara keduanya, banyak air pada kasus dari awal memakai air dua qullah (kasus kedua), mencegah, yakni mencegah hukum is’ti’mal, sedangkan memakai pada pertengahan (kasus pertama) adalah menghilangkan hukum is’ti’mal yang sudah ada. Sedangkan mencegah (daf’u’) lebih kuat dari menghilangkan (raf’u)

2.  Dibolehkan suami mencegah isterinya melakukan haji fardhu.  Namun apabila isteri sudah masuk dalam rukun haji tanpa izin suaminya, maka kebolehan bagi isteri melakukan tahallul (keluar dari ihram haji) terdapat dua pendapat ulama.

3.  Wujud air sebelum shalat bagi orang yang bertayamum mencegahnya melaksanakan shalat. Namun apabila air wujud pada pertengahan shalat tidak dapat membatalkan shalat karena gugur kewajiban shalat dengan sebabnya.

4.  Perbedaan keyakinan agama mencegah dan menolak dari awal melakukan akad nikah. Namun apabila perbedaan keyakinan agama ini muncul setelah akad nikah yang sah, maka keabsahan nikahnya tidak serta merta menjadi hilang (batal), akan tetapi tawaqquf atas lalu ‘iddah.

5.  Fasiq mencegah keabsahan imamah (menjadi pemimpin). Namun jika fasiq tersebut muncul pada pertengahan kepemimpinannya, maka tidak ter-’uzlah kepemimpinannya.[1]



[1] Imam al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair, Maktabah Syamilah, Hal. 138

Kamis, 07 April 2022

Mengenal Pengarang Maulid Al-Barzanji

Sayyid Ja‘far bin Hasan bin ‘Abdul Karim bin Muhammad bin Rasul Al-Barzanji, pengarang Maulid Barzanji, adalah seorang ulama besar keturunan Nabi SAW dari keluarga Sadah Al-Barzanji yang termasyhur, berasal dari Barzanj di Irak. Beliau lahir di Madinah Al-Munawwarah pada tahun 1126 H (1714 M). Datuk-datuk Sayyid Ja‘far semuanya ulama terkemuka yang terkenal dengan ilmu dan amalnya, keutamaan dan keshalihannya.

Sayyid Muhammad bin ‘Alwi bin ‘Abbas Al-Maliki dalam Hawl al-Ihtifal bi Dzikra al-Mawlid an-Nabawi asy-Syarif pada halaman 99 menulis sebagai berikut : “Al-Allamah Al-Muhaddits Al-Musnid As- Sayyid Ja`far bin Hasan bin `Abdul Karim Al-Barzanji adalah mufti Syafi`iyyah di Madinah Al-Munawwarah. Terdapat perselisihan tentang tahun wafatnya. Sebagian menyebutkan, beliau meninggal pada tahun 1177 H (1763 M). Imam Az-Zubaid dalam al-Mu`jam al-Mukhtash menulis, beliau wafat tahun 1184 H (1770 M). Imam Az-Zubaid pernah berjumpa beliau dan menghadiri majelis pengajiannya di Masjid Nabawi yang mulia. Beliau adalah pengarang kitab Maulid yang termasyhur dan terkenal dengan nama Mawlid al-Barzanji. Sebagian ulama menyatakan nama karangannya tersebut sebagai ‘Iqd al-Jawhar fi Mawlid an-Nabiyyil Azhar.

Kitab Maulid karangan beliau ini termasuk salah satu kitab Maulid yang paling populer dan paling luas tersebar ke pelosok negeri Arab dan Islam, baik di Timur maupun Barat. Bahkan banyak kalangan Arab dan non-Arab yang menghafalnya dan mereka membacanya dalam acara-acara (pertemuan-pertemuan) keagamaan yang sesuai. Kandungannya merupakan khulashah (ringkasan) sirah nabawiyyah yang meliputi kisah kelahiran beliau, pengutusannya sebagai rasul, hijrah, akhlaq, peperangan, hingga wafatnya.”

Kitab Mawlid al-Barzanji ini telah disyarahkan oleh Al-Allamah Al-Faqih Asy-Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Maliki Al-Asy‘ari Asy-Syadzili Al-Azhari yang terkenal dengan panggilan Ba‘ilisy dengan pensyarahan yang memadai, bagus, dan bermanfaat, yang dinamakan al-Qawl al-Munji ‘ala Mawlid al-Barzanji dan telah berulang kali dicetak di Mesir. Beliau seorang ulama besar keluaran Al-Azhar Asy-Syarif, bermadzhab Maliki, mengikuti paham Asy‘ari, dan menganut Thariqah Syadziliyyah. Beliau lahir pada tahun 1217 H (1802 M) dan wafat tahun 1299 H (1882 M).

Selain itu, ulama terkemuka kita yang juga terkenal sebagai penulis yang produktif, Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani Al-Jawi, pun menulis syarahnya yang dinamakannya Madarijush Shu‘ud ila Iktisa-il Burud. Kemudian, Sayyid Ja‘far bin Isma‘il bin Zainal ‘Abidin bin Muhammad Al- Hadi bin Zain, suami anak satu-satunya Sayyid Ja‘far Al-Barzanji, juga menulis syarah kitab Mawlid al-Barzanji tersebut yang dinamakannya al-Kawkabul-Anwar ‘ala ‘Iqd al-Jawhar fi Mawlidin-Nabiyyil-Azhar. Sebagaimana mertuanya, Sayyid Ja‘far ini juga seorang ulama besar lulusan Al-Azhar Asy-Syarif dan juga seorang mufti Syafi‘iyyah. Karangankarangan beliau banyak, di antaranya Syawahid al-Ghufran ‘ala Jaliy al-Ahzan fi Fadha-il Ramadhan, Mashabihul Ghurar ‘ala Jaliyyil Qadr, dan Taj al-Ibtihaj ‘ala Dhau’ al-Wahhaj fi al-Isra’ wa al-Mi‘raj.

Beliau pun menulis manaqib yang menceritakan perjalanan hidup Sayyid Ja‘far Al-Barzanji dalam kitabnya ar-Raudh al-‘Athar fi Manaqib as-Sayyid Ja‘far.

Kembali kepada Sayyidi Ja‘far Al-Barzanji. Selain dipandang sebagai mufti, beliau juga menjadi khatib di Masjid Nabawi dan mengajar di dalam masjid yang mulia tersebut. Beliau terkenal bukan saja karena ilmu, akhlaq, dan taqwanya, tetapi juga karena karamah dan kemakbulan doanya. Penduduk Madinah sering meminta beliau berdoa untuk mendatangkan hujan pada musim-musim kemarau. Diceritakan, suatu ketika di musim kemarau, saat beliau sedang menyampaikan khutbah Juma’tnya, seseorang meminta beliau beristisqa’ memohon hujan. Maka dalam khutbahnya itu beliau pun berdoa memohon hujan. Doanya terkabul dan hujan terus turun dengan lebatnya hingga seminggu, persis sebagaimana yang pernah terjadi pada zaman Rasulullah SAW dahulu. Sayyidi Ja‘far Al-Barzanji wafat di Madinah dan dimakamkan di Jannatul Baqi‘. Sungguh besar jasa beliau. Karangannya membawa umat ingat kepada Nabi SAW, membawa umat mengasihi beliau, membawa umat merindukannya.

Sayyid Ja’far Al-Barzanji adalah seorang ulama’ besar keturunan Nabi Muhammad saw dari keluarga Sa’adah Al Barzanji yang termasyur, berasal dari Barzanj di Irak. Datuk-datuk Sayyid Ja’far semuanya ulama terkemuka yang terkenal dengan ilmu dan amalnya, keutamaan dan keshalihannya. Beliau mempunyai sifat dan akhlak yang terpuji, jiwa yang bersih, sangat pemaaf dan pengampun, zuhud, amat berpegang dengan Al-Quran dan Sunnah, wara’, banyak berzikir, sentiasa bertafakkur, mendahului dalam membuat kebajikan bersedekah,dan pemurah. Nama nasabnya adalah Sayid Ja’far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad ibn Sayid Rasul ibn Abdul Sayid ibn Abdul Rasul ibn Qalandar ibn Abdul Sayid ibn Isa ibn Husain ibn Bayazid ibn Abdul Karim ibn Isa ibn Ali ibn Yusuf ibn Mansur ibn Abdul Aziz ibn Abdullah ibn Ismail ibn Al-Imam Musa Al-Kazim ibn Al-Imam Ja’far As-Sodiq ibn Al-Imam Muhammad Al-Baqir ibn Al-Imam Zainal Abidin ibn Al-Imam Husain ibn Sayidina Ali r.a.

Semasa kecilnya beliau telah belajar Al-Quran dari Syaikh Ismail Al-Yamani, dan belajar tajwid serta membaiki bacaan dengan Syaikh Yusuf As-So’idi dan Syaikh Syamsuddin Al-Misri.Antara guru-guru beliau dalam ilmu agama dan syariat adalah : Sayid Abdul Karim Haidar Al-Barzanji, Syeikh Yusuf Al-Kurdi, Sayid Athiyatullah Al-Hindi. Sayid Ja’far Al-Barzanji telah menguasai banyak cabang ilmu, antaranya: Shoraf, Nahwu, Manthiq, Ma’ani, Bayan, Adab, Fiqh, Usulul Fiqh, Faraidh, Hisab, Usuluddin, Hadits, Usul Hadits, Tafsir, Hikmah, Handasah, A’rudh, Kalam, Lughah, Sirah, Qiraat, Suluk, Tasawuf, Kutub Ahkam, Rijal, Mustholah.

Syaikh Ja’far Al-Barzanji juga seorang Qodhi (hakim) dari madzhab Maliki yang bermukim di Madinah, merupakan salah seorang keturunan (buyut) dari cendekiawan besar Muhammad bin Abdul Rasul bin Abdul Sayyid Al-Alwi Al-Husain Al-Musawi Al-Saharzuri Al-Barzanji (1040-1103 H / 1630-1691 M), Mufti Agung dari madzhab Syafi’i di Madinah. Sang mufti (pemberi fatwa) berasal dari Shaharzur, kota kaum Kurdi di Irak, lalu mengembara ke berbagai negeri sebelum bermukim di Kota Sang Nabi. Di sana beliau telah belajar dari ulama’-ulama’ terkenal, diantaranya Syaikh Athaallah ibn Ahmad Al-Azhari, Syaikh Abdul Wahab At-Thanthowi Al-Ahmadi, Syaikh Ahmad Al-Asybuli. Beliau juga telah diijazahkan oleh sebahagian ulama’, antaranya : Syaikh Muhammad At-Thoyib Al-Fasi, Sayid Muhammad At-Thobari, Syaikh Muhammad ibn Hasan Al A’jimi, Sayid Musthofa Al-Bakri, Syaikh Abdullah As-Syubrawi Al-Misri.

Syaikh Ja’far Al-Barzanji, selain dipandang sebagai mufti, beliau juga menjadi khatib di Masjid Nabawi dan mengajar di dalam masjid yang mulia tersebut. Beliau terkenal bukan saja karena ilmu, akhlak dan taqwanya, tapi juga dengan kekeramatan dan kemakbulan doanya. Penduduk Madinah sering meminta beliau berdo’a untuk hujan pada musim-musim kemarau.

Setiap kali karangannya dibaca, shalawat dan salam dilatunkan buat junjungan kita Nabi Muhammad SAW, selain itu juga tidak lupa mendoakan Sayyid Ja‘far, yang telah berjasa menyebarkan keharuman pribadi dan sirah kehidupan makhluk termulia di alam raya. Semoga Allah meridhainya dan membuatnya ridha.

Link Asal :

www.fb.com/groups/piss.ktb/355775214445293/

Senin, 04 April 2022

Tafsir Hadits Qiyam Ramadhan

 Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah SAW bersabda :

من ‌قامَ ‌رمضانَ إيمانًا واحتسابًا غُفِرَ لَهُ ما تقدَّمَ من ذنْبه

Barangsiapa yang mendirikan Ramadhan dengan iman dan ikhlas, maka diampuni dosanya yang sudah berlalu. (Muttafaqun ‘alaihi)[1]


Imam al-Bukhari menempatkan hadits ini dalam “Bab tathawu’ mendirikan Ramadhan dengan keimanan” dan “Bab fadhilah orang yang mendirikan Ramadhan”. Adapun Imam Muslim menempatkan hadits ini dalam “Bab menggemar mendirikan Ramadhan, yaitu tarawih”.

Dalam riwayat lain, hadits ini berbunyi :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرَغِّبُ فِي قِيَامِ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَأْمُرَهُمْ فِيهِ بِعَزِيمَةٍ، فَيَقُولُ: ‌مَنْ ‌قَامَ ‌رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ، فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ ثُمَّ كَانَ الْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ فِي خِلَافَةِ أَبِي بَكْرٍ، وَصَدْرًا مِنْ خِلَافَةِ عُمَرَ عَلَى ذَلِكَ

Dari Abu Hurairah, beliau berkata : “Rasulullah SAW menggemar mendirikan Ramadhan tanpa memerintahkan mereka dengan ‘azimah (kewajiban). Rasulullah bersabda : “Barangsiapa yang mendirikan Ramadhan dengan iman dan ikhlas, maka diampuni dosanya yang sudah berlalu.” (Ibnu Syihab (perawi) berkata) ; Kemudian Rasulullah SAW wafat, namun keadaan tetap seperti itu, kemudian tetap berlanjut hingga zaman kekhalifahan Abu Bakar dan awal kekhilafahan 'Umar.(H.R. Muslim)[2]

 

Tafsir hadits

1.  Menurut al-Nawawi yang dimaksud dengan qiyam Ramadhan dalam hadits ini adalah shalat tarawih.[3] Ini juga sesuai dengan penempatan Imam Muslim hadits ini dalam “Bab menggemar mendirikan Ramadhan, yaitu tarawih”. Namun Ibnu Hajar al-Asqalaniy memahami perkataan al-Nawawi tersebut bukan berarti qiyam Ramadhan tersebut identik dengan shalat Tarawih. Dalam Fathul Barri beliau mengatakan,

وَذَكَرَ النَّوَوِيُّ أَنَّ الْمُرَادَ بِقِيَامِ رَمَضَانَ صَلَاةُ التَّرَاوِيحِ يَعْنِي أَنَّهُ يَحْصُلُ بِهَا الْمَطْلُوبُ مِنَ الْقِيَامِ لَا أَنَّ قِيَامَ رَمَضَانَ لَا يَكُونُ إِلَّا بِهَا وَأَغْرَبَ الْكَرْمَانِيُّ فَقَالَ اتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ بِقِيَامِ رَمَضَانَ صَلَاةُ التَّرَاوِيح

Al-Nawawi menyebut bahwa yang dimaksud dengan qiyam Ramadhan adalah Tarawih, yakni terpenuhi tuntutan tersebut dengan qiyam, bukan dalam arti sesungguhnya qiyam Ramadhan tidak ada kecuali dengan shalat Tarawih. Bahkan pendapat al-Karmaniy sangat  gharib yang mengatakan, para ulama sepakat bahwa maksud qiyam Ramadhan adalah shalat Tarawih.[4]

 

2.  Iman artinya membenarkan bahwa mendirikan Ramadhan adalah haq yang diqashad  fadhilahnya. Adapun makna ihtisab hanya semata-mata qashad kepada Allah Ta’ala, tidak kepada penglihatan manusia dan tidak kepada lainnya yang menyalahi keikhlasan.[5]

3.  Al-Munawiy mengatakan, makna iman di sini adalah membenarkan janji Allah memberikan pahala dengan sebab melakukan qiyam Ramadhan. Adapun makna ihtisab adalah ikhlas. Dihimpun iman dan ihtisab dalam hadits ini. Karena seseorang yang membenarkan sesuatu kadang-kadang tidak ikhlas dalam melakukannya tetapi karena riya. Orang yang ikhlas dalam melakukan sebuah perbuatan, kadang-kadang tidak dalam posisi membenarkan adanya pahala perbuatan tersebut.[6]

4.  Dosa yang diampuni dalam hadits ini, menurut yang ma’ruf di sisi para fuqaha adalah khusus dosa kecil. Namun sebagian ulama mengatakan, mungkin juga bermakna diringankan dosa besar apabila tidak didapati dosa kecil.[7] Al-Zarkasyi mengatakan,

كل ما ورد من إطلاق غفران الذنوب كلها على فعل بعض الطاعات من غير توبة كهذا الحديث وحديث الوضوء يكفر الذنوب وحديث من صلى ركعتين لا يحدث فيهما نفسه غفر الله له فحملوه على الصغائر فإن الكبائر لا يكفرها غير التوبة

Setiap hadits yang warid dalam bentuk mutlaq ampunan semua dosa karena melakukan sebagian ketaatan tanpa taubat, seperti hadits ini dan hadits “Wudhu’ menjadi kifarat dosa-dosa” serta hadits “Barang siapa yang shalat dua rakaat dan tidak diselangi berbicara, maka Allah mengampuninya. Para ulama menempatkannya dengan makna dosa kecil. Karena dosa besar tidak ada kifarat selain taubat.[8]

5.  Para ulama sepakat bahwa qiyam Ramadhan merupakan perintah yang bersifat anjuran tidak bersifat sebuah kewajiban. Ini dipahami dari rangkaian sabda Nabi SAW di atas. Al-Nawawi mengatakan, sighat ini menunjukkan kepada menggemarkan dan anjuran, bukan kewajiban dan telah terjadi ijmak ummat atas qiyam Ramadhan tidaklah wajib, tetapi hanya bersifat anjuran.[9] Penafsiran ini juga sesuai dengan perkataan perawi (Abu Hurairah r.a.) dalam riwayat hadits kedua, “Rasulullah SAW menggemar mendirikan Ramadhan tanpa memerintahkan mereka dengan ‘azimah (kewajiban)”

6.  Terjadi khilafiyah ulama, apakah shalat Tarawih lebih baik dilakukan secara sendiri di rumah atau berjamaah di masjid. Imam Syafi’i dan jumhur pengikutnya, Abu Hanifah, Ahmad, sebagian al-Malikiyah dan lainnya berpendapat lebih baik dilakukan secara berjamaah sebagaimana yang telah dilakukan oleh Umar bin Khatab dan para sahabat Nabi lainnya serta diteruskan oleh kaum muslimin. Karena melakukannya secara berjamaah termasuk syi’ar yang nyata. Karena itu, lebih menyerupai shalat hari raya. Adapun Imam Malik, Abu Yusuf, sebagian Syafi’iyah dan lainnya berpendapat lebih baik dilakukan secara sendiri di rumah. Karena sabda Nabi SAW berbunyi :

أَفْضَلُ الصلاة صلاة المرء في بيته إلا المكتوبة

Sebaik-baik shalat adalah shalat seseorang dalam rumahnya kecuali shalat wajib.[10]

 

7.  Perkataan dalam hadits riwayat kedua di atas :

فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ ثُمَّ كَانَ الْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ فِي خِلَافَةِ أَبِي بَكْرٍ، وَصَدْرًا مِنْ خِلَافَةِ عُمَرَ عَلَى ذَلِكَ

merupakan perkataan perawi (Ibnu Syihab) sebagaimana terdapat dalam riwayat Imam al-Bukhari.[11] Adapun maksudnya, menurut al-Nawawi adalah keadaan masa ini berlanjut terus dengan keadaan dimana masing-masing orang melakukan qiyam Ramadhan dalam rumahnya secara sendiri-sendiri sehingga berlalu masa awal kekhalifahan Umar. Kemudian beliau mengumpulkan kaum muslimin ketika itu secara berjamaah mengikuti Ubay bin Ka’ab. Setelah ini qiyam Ramadhan terus berlangsung amalannya secara berjamaah.[12]

 



[1] Ibnu al-Mulaqqin, Tuhfah al-Muhtaj ilaa Adallah al-Minhaj, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 421

[2] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 523

[3] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 39

[4] Ibnu Hajar al-Asqalaniy, Fathul Barri, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 251

[5] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 39

[6] Al-Munawi, Faidhul Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 191

[7] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 39

[8] Al-Munawi, Faidhul Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 191

[9] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 40

[10] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 39-40

[11] Imam Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 44

[12] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 40