Renungan

Jumat, 27 Mei 2022

Ilghaz (teka teki) dalam fiqh

 

Teka-teki dalam fiqh ini dinamakan dengan ilghaz. Dinamakan juga al-ahjiyah, karena al-hijaa bermakna akal, sedangkan ilghaz ini menguatkan akal atas ujian. Para ilmuan ilmu faraidh menamakannya ma’aayaah. Adapun pengertian ilghaz adalah :

الكلام المعمي أي المجعول فيه التعمي والخفاء

Kalam yang disamarkan, artinya yang dijadikan samar-samar dan tersembunyi.

 

Diantara kitab karya ulama mengenai ilmu ini antara lain, al-Injaz fi al-Ilghaz karya Abd al-Karim al-Rafi’i dan Tharaz al-Mahaaqil fi Ilghaz al-Masail karya al-Jamal Abd al-Rahim al-Asnawi.[1]

Contoh teka-teki dalam fiqh

1.  Siapakah yang wajib qadha shalat beberapa tahun dengan sebab mati orang lain?. Jawabannya : Ummul walad yang mati majikannya di negeri lain dan dia tidak mengetahuinya kecuali setelah berlalu masa beberapa tahun, padahal selama ini dia shalat dalam keadaan terbuka kepala. Maka shalatnya batal apabila kepalanya tidak ditutupi dengan segera dan tanpa perbuatan yang banyak.[2]

Catatan : Ummul walad merdeka dengan sebab mati majikannya dan tidak wajib menutup kepala dalam shalat selama dia masih berstatus hamba sahaya

2.  Siapakah seseorang yang berhadats dalam masjid, akan tetapi dapat membatalkan shalat orang yang sudah berada di rumahnya?

Jawabannya : salah seorang anggota bilangan jumat yang menghadiri jum’at hanya empat puluh orang, yang shalatnya tersisa satu raka’at lagi (masbuq). Ia batal shalatnya karena berhadats pada rakaat terakhirnya, sedangkan anggota bilangan jum;at lainnya sudah selesai shalatnya dan sudah pulang ke rumah masing-masing. Maka orang yang sudah berada di rumah tersebut juga batal shalatnya karena shalat jum’at harus sah shalatnya minimal empat puluh orang.[3]

3.  Siapa orangnya yang dapat jual beli dalam shalat, akan tetapi shalatnya tidak batal ?

Jawabannya : seseorang yang melakukan jual beli dalam shalat dengan menggunakan isyarah.[4]

4.       Bagaimana status seorang khatib yang shalat ‘Idul Adha bersama kita, kemudian khatib sendiri kita sembelih sebagai qurban ?

Jawabannya : khatib tersebut merupakan yang terlahir berbentuk manusia dan berakal dari perkawinan antar hewan yang boleh dimakan (hewan yang boleh diqurban). Karena anak yang terlahir dari perkawinan antar hewan yang boleh dimakan, hukumnya suci dan boleh dimakan.[5].

5.    Shalat apakah yang keluar waktunya, padahal belum masuk waktu ?.

Jawabannya : shalat rawatib ba’diyah yang shalat fardhunya sudah keluar waktu. Karena waktu shalat rawatib ba’diyah setelah shalat fardhu. Selama shalat fardhu belum dilaksanakan, maka waktunya belum masuk. Baru boleh dilakukan setelah shalat fardhu di qadhanya di luar waktu.[6]

6.    Siapakah orang yang tergantung sucinya atas suci orang lain?

Jawabannya : seseorang yang tayamum untuk shalat jenazah. Karena waktu tayamumnya diharuskan setelah selesai mandi jenazah.[7]

7.  Apa yang dibunuh oleh seorang yang melakukan ihram, atasnya wajib membayar dua harga?.

Jawabannya : Seorang yang ihram yang meminjam binatang buruan, kemudian membunuhnya. Maka atasnya wajib membayar harganya kepada si pemiliknya dan fidyah hewan ternak untuk hak Allah.[8]

8.       Jelaskan ucapan seseorang yang status sharihnya tergantung niat orang yang bertanya?

Jawabannya : ucapan “Na’am” jawaban dari seseorang untuk pertanyaan “Apakah kamu mentalaq isterimu?”. Jawaban “na’am” tersebut menjadi sharih talaq tergantung niat orang bertanya. Maka apabila yang bertanya meniatkan meminta melakukan talaq, maka ucapan “na’am” akan sama dengan ucapan “Isteriku tertalaq”.[9]



[1] Syeikh Yaasin al-Fadaniy al-Makkiy, Fawaid al-Janiyah Hasyiah al-Mawahib al-Saniyah Syarh al-Faraid al-Bahiyah fi Nadhm al-Qawaid al-Fiqhiyah, Dar al-Basyair al-Islamiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 103-104

[2] Syeikh Yaasin al-Fadaniy al-Makkiy, Fawaid al-Janiyah Hasyiah al-Mawahib al-Saniyah Syarh al-Faraid al-Bahiyah fi Nadhm al-Qawaid al-Fiqhiyah, Dar al-Basyair al-Islamiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 104

[3] Syeikh Nawawi al-Bantaniy, Nihayah al-Zain, Maktabah Syamilah, Hal. 137

[4] Abu Bakar Syathaa, I’anah al-Thalibin, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 21

[5] Abu Bakar Syathaa, I’anah al-Thalibin, Maktabah Symilah, Juz. IV, Hal. 113

[6] Abu Bakar Syathaa, I’anah al-Thalibin, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 288

[7] Sulaiman al-Jamal, Hasyiah al-Jamal ‘ala Syarh Manhaj al-Thulab, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 228-229

[8] Syeikh Yaasin al-Fadaniy al-Makkiy, Fawaid al-Janiyah Hasyiah al-Mawahib al-Saniyah Syarh al-Faraid al-Bahiyah fi Nadhm al-Qawaid al-Fiqhiyah, Dar al-Basyair al-Islamiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 104

[9] Syeikh Nawawi al-Bantaniy, Nihayah al-Zain, Maktabah Syamilah, Hal. 322

Selasa, 24 Mei 2022

Apakah Syekh Ibnu Kullab berakidah Ahlussunnah ?

 

Nama lengkap beliau adalah Abdullah bin Sa’id bin Muhammad bin Kullab al-Qathan al-Bashriy. Beliau salah seorang ahli kalam pada masa pemerintahan al-Makmun. Pengarang al-Mizan mengatakan dalam tarikhnya, beliau ini masih hidup setelah tahun 240 H.[1] Namun dalam Kitab Thabaqat al-Syafi’iyah, Qadhi Ibnu Syuhbah mengatakan beliau wafat setelah tahun 240 H.[2] Dalam kitab Thabaqat Syafi’iyah karangan Ibnu Subkiy disebutkan beliau wafat sedikit setelah tahun 240 H[3] Ibnu Kullab ini hidup sezaman dengan Ahmad bin Hanbal salah seorang imam mazhab fiqh yang empat, yang wafat pada tahun 241 H.

Penjelasan ulama dan ahli sejarah terkait akidah Ibnu Kullab

Sebagian kecil umat Islam (kelompok minoritas), sering meragukan akidah Ibnu Kullab ini, bahkan menuduh beliau ini termasuk ahli bid’ah yang sesat dan tidak termasuk dalam golongan Ahlussunnah, sekaligus menuduh Imam al-Asya’ri sesudah beliau menanggalkan akidah Mu’tazilah, masih belum secara penuh berakidah Ahlussunnah. Karena pada masa ini Imam al-Asy’ari masih mengikuti metode Ibnu Kullab dalam beragama.  Untuk itu, mari kita simak penjelasan ulama dan ahli sejarah tentang akidah Syeikh Ibnu Kullab ini sebagai berikut :

1.  Imam Abu Hasan al-Asy'ari sendiri meriwayatkan tentang aqidah Ibnu Kullab dalam kitabnya yang berjudul Maqalat al-Islamiyyin sebagai berikut:

 قال عبد الله بن كلاب: لم يزل الله عالماً قادراً حياً سميعاً بصيراً عزيزاً عظيماً جليلاً متكبراً جباراً كريماً جواداً واحداً صمداً فرداً باقياً أولاً رباً إلهاً مريداً كارهاً راضياً عمن يعلم أنه يموت مؤمناً وإن كان أكثر عمره كافراً، ساخطاً على من يعلم أنه يموت كافراً وإن كان أكثر عمره مؤمناً، محباً مبغضاً موالياً معادياً قائلاً متكلماً رحماناً بعلم وقدرة وحياة وسمع وبصر وعزة وعظمة وجلال وكبرياء وجود وكرم وبقاء وإرادة وكراهة ورضىً وسخط وحب وبغض ومولاة ومعاداة وقول وكلام ورحمة وأنه قديم لم يزل بأسمائه وصفاته، وكان يقول أن أسماء الله وصفاته لذاته لا هي الله ولا هي غيره وأنها قائمة بالله ولا يجوز أن تقوم بالصفات صفات، وكان يقول أن وجه الله لا هو الله ولا هو غيره وهو صفة له وكذلك يداه وعينه وبصره صفات له لا هي هو ولا غيره وأن ذاته هي هو ونفسه هي هو وأنه موجود لا بوجود وشيء لا بمعنى له كان شيئاً، وكان يزعم أن صفات البارئ لا تتغاير وأن العلم لا هو القدرة ولا غيرها وكذلك كل صفة من صفات الذات لا هي الصفة الأخرى ولا غيرها 

Abdullah bin Kullab berkata: Allah senantiasa Maha Mengetahui, Maha Berkuasa, Maha Hidup, Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Mulia, Maha Agung, Maha Mulia, Maha Membesarkan diri, Maha-Berkuasa Mutlak, Maha Mulia, Maha Pemurah, Maha Esa, Maha Sendiri, Maha Kekal, tak berawal, Sebagai Pengatur, Sebagai Tuhan yang disembah, Maha Berkehendak, Tidak suka, Ridha orang yang diketahuinya akan mati sebagai mukmin meskipun kebanyakan umurnya sebagai orang kafir. Marah terhadap orang yang diketahuinya akan mati kafir meskipun kebanyakan umurnya sebagai orang mukmin, Mencintai, Memarahi, Mengasihi, Memusuhi, Berfirman, Berkalam. Maha Rahman dengan sifat: Ilmu, Kekuasaan, Hidup, Mendengar, Melihat, Mulia, Agung, Mulia, Membesarkan diri, Pengasih, Terhormat, Kekal, Kehendak, Ketidaksukaan, Kerelaan, Kemarahan, Cinta, Kemarahan, Kasih, Permusuhan, Firman, Kalam dan Rahmat. Allah juga Qadim dengan semua nama dan sifat-Nya. Selanjutnya beliau mengatakan, Nama-nama dan sifat-sifat Allah bagi Dzat-Nya bukan Dzat itu sendiri dan juga bukan selain Dzat. Sifat-sifat itu melekat pada Allah dan sifat-sifat itu tak boleh punya sifat-sifat lain. Wajah Allah bukanlah Allah itu sendiri tapi bukan pula selain Allah, melainkan sifat Allah. Demikian juga kedua Yad-Nya, 'Ain-Nya dan Bashar-Nya adalah sifat-sifat bagi Allah. Itu semua bukan Dzat tapi juga bukan selain Dzat. Dan bahwasanya Dzat-Nya adalah Dia sendiri dan Dirinya adalah Dia sendiri. Allah itu maujud tanpa berasal dari keberadaan yang lain. Dia adalah Syai'un (sesuatu) tanpa makna yang harus dimiliki sesuatu agar menjadi sesuatu. Sifat-sifat Allah itu tak ada yang berubah. Sifat Ilmu Allah bukanlah sifat Qudrah atau sifat lainnya. Begitu pula masing-masing sifat bagi Dzat-Nya bukanlah sifat-sifat lainnya (kesemuanya adalah sifat yang berbeda) dan bukan pula selain sifat.[4]

2.  Ibnu Hajar al-Asqlaniy dalam mengomentarri ucapan al-Naadim yang  mengatakan Ibnu Kullab termasuk golongan al-Hasyawiyah mengatakan :

يريد من يكون على طريق السلف في ترك التأويل للآيات والأحاديث المتعلقة بالصفات ويقال لهم المفوضة

Maksud al-Nadim adalah bahwa Ibnu Kullab mengikuti jalan salaf dalam meninggalkan ta’wil terhadap ayat dan hadits sifat. Mereka ini yang disebut al mufawwidhah (menyerahkan makna kepada Allah).[5]

Golongan mufawwwidhah atau ahli tafwidh yang meninggalkan takwil ayat dan hadits sifat dan menyerahkan maknanya kepada Allah sebagaimana dimaklumi adalah golongan Ahlussunnah.

3.  Dalam Fathulbarri, Ibnu Hajar al-Asqalaniy berkata :

أَنَّ الْبُخَارِيَّ فِي جَمِيعِ مَا يُورِدُهُ مِنْ تَفْسِيرِ الْغَرِيبِ إِنَّمَا يَنْقُلُهُ عَنْ أَهْلِ ذَلِكَ الْفَنِّ كَأَبِي عُبَيْدَةَ وَالنَّضْرِ بْنِ شُمَيْلٍ وَالْفَرَّاءِ وَغَيْرِهِمْ وَأَمَّا المباحث الفقهيه فغالبها مستمدة من الشَّافِعِي وَأبي عبيد وَأَمْثَالِهِمَا وَأَمَّا الْمَسَائِلُ الْكَلَامِيَّةُ فَأَكْثَرُهَا مِنَ الْكَرَابِيسِيِّ وبن كِلَابٍ وَنَحْوِهِمَا

Sesungguhnya Imam al-Bukhari dalam semua yang ia sampaikan berupa tafsir kata-kata yang asing, tak lain hanyalah ia nukil dari orang yang ahli dalam bidangnya seperti Abi Ubaidah dan Nadlr bin Syumail, al-Farra' dan lainnya. Adapun tentang pembahasan-pembahasan fiqhiyah maka sebagian besar bersandar dari Imam Syafi'i, Abu Ubaid dan semisal keduanya. Adapun dalam masalah ilmu kalam, maka kebanyakan berasal dari al-Karabisi, Ibnu Kullab dan yang seperti keduanya.[6]

 

Ternyata yang mengikuti akidah Ibnu Kullab bukan hanya Imam al-Asy’ari, akan tetapi Imam al-Bukhari yang telah menyusun kitab hadits sekaliber kitab Shahih al-Bukhari  juga mengikuti Ibnu Kullab. Seandainya Ibnu Kullab sesat, ini sama dengan kita menuduh Imam al-Bukhari sesat juga.

4.  Ibnu Qadhi Syuhbah mengatakan,

عبد الله بن سعيد أبو محمد المعروف بابن كلاب - بضم الكاف وتشديد اللام. كان من كبار المتكلمين ومن أهل السنة وبطريقته وطريقة الحارث المحاسبي اقتدى أبو الحسن الأشعري وقد صنف كتباً كثيرةً في التوحيد والصفات   

Abdullah bin Said Abu Muhammad yang dikenal sebagai Ibnu kullab adalah tokoh besar para ahli kalam dan termasuk Ahlussunnah. Jalannya dan jalan  al-Haris al-Muhasibi adalah jalan yang ditempuh oleh Abu al-Hasan al-Asy'ari.  Dia telah menulis banyak kitab dalam tauhid dan sifat.[7]

5.    Berkata Ibnu al-Subkiy :

وابن كلاّب على كل حال من أهل السنة . . . . ورأيت الإمام ضياء الدين الخطيب والد الإمام فخر الدين الرازي قد ذكر عبدالله بن سعيد في آخر كتابه "غاية المرام في علم الكلام " فقال : ومن متكلمي أهل السنة في أيام المأمون عبدالله بن سعيد التميمي الذي دمّر المعتزلة في مجلس المأمون وفضحهم ببيانه

Dan Ibnu Kullab atas segala perihalnya adalah pengikut ahlus sunnah … dan aku melihat Imam Dhiyauddin al Khathib ayah Imam Fakhruddin ar-Razi menyebut Ibnu Kullab di akhir kitabnya Ghayatul Maram fi Ilmil Kalam, dan dia berkata : Dan termasuk ahli ilmu kalam Ahlussunnah di masa al-Makmun adalah Abdullah bin Sa’id at-Tamimy yang menghancurkan argumentasi Mu’tazilah di majelis al-Makmun dan membuka aib mereka dengan penjelasannya.[8]

6.  Berkata Ibnu Khaldun dalam kitab Tarikh Ibnu Khaldun,

إلى أن ظهر الشيخ أبو الحسن الأشعري . . . . وكان على رأي عبدالله بن سعيد بن كلاّب وأبي العباس القلانسي والحارث المحاسبي من أتباع السلف وعلى طريقة السنة

Sampai muncul Syaikh Abul Hasan al Asy’ari … …..dan dia mengikuti pendapat Abdullah bin Said bin Kullab, Abul Abbas al-Qalanisi dan al Harits al Muhasibi dari pengikut salaf dan menempuh jalan sunnah.[9]

Penjelasan Qadhi Syuhbah, Ibnu al-Subkiy dan Ibnu Khaldun di atas, secara tegas mengatakan bahwa Syeikh Ibnu Kullab termasuk ulama Ahlussunnah. Ketiga beliau ini merupakan ulama besar Islam yang ilmunya dalam bidang sejarah dan hadits tidak diragukan lagi.

7.  Ibnu Hajar al-Asqalaniy mengatakan,

وعلى طريفته مشي الاشعري في كتاب الابانة

Atas thariqat Ibnu Kullab, Imam al-Asy’ari berpendapat dalam kitab al-Ibanah.[10].

 

Ibnu Hajar al-Asqalaniy pengarang kitab Fathulbarri, seorang ulama ahli hadits terkenal, menjelaskan kepada kita, bahwa Imam al-Asy’ari mengikuti Ibnu Kullab dalam kitab beliau, al-Ibanah. Berdasarkan ini, maka tertolaklah anggapan mereka bahwa Imam al-Asy’ari telah meninggalkan akidah Ibnu Kullab dalam kitab al-Ibanah. Seandainya ada tulisan dalam kitab al-Ibanah tidak sesuai dengan akidah Ibnu Kullab, maka sudah seharusnya kita meragukan keaslian kitab tersebut dan bisa jadi kitab al-Ibanah cetakan tersebut sudah disulap oleh mereka agar sesuai dengan akidah mereka sebagaimana penjelasan beberapa ulama komtemporer.

 

Ibnu Kullab dan Ahmad bin Hanbal.

Berkata al-Hafidh Ibnu Abdil Barr al Maliki dalam kitab al Intiqa’

كانت بينه يعني الكرابيسي وبين أحمد بن حنبل صداقة وكيدة , فلمّا خالفه في القرآن عادت تلك الصداقة عداوة , فكان كلُّ واحد منهما يطعن على صاحبه , وذلك أن أحمد كان يقول : من قال القرآن مخلوق فهو جهمي , ومن قال القرآن كلام الله ولا يقول غير مخلوق ولا مخلوق فهو واقفي , ومن قال لفظي بالقرآن مخلوق فهو مبتدع . وكان الكرابيسي وعبدالله بن كلاّب وأبو ثور وداود بن علي وطبقاتهم يقولون : إن القرآن الذي تكلم الله به صفة من صفاته لا يجوز عليه الخلق , وإن تلاوة التالي وكلامه بالقرآن كسب له وفعل له وذلك مخلوق وإنه حكاية عن كلام الله  ليس هو القرأن اللذي تكلم الله به . . . وهجرت الحنبلية أصحاب أحمد بن حنبل حسيناً الكرابيسي وبدّعوه وطعنوا عليه وعلى كل من قال بقوله في ذلك.

Antara al-Karabisi dan Ahmad bin Hanbal ada persahabatan yang kuat, sampai timbul perbedaan antara keduanya dalam masalah kemakhluqan qur’an maka keduanya kemudian bermusuhan, yang satu mencela yang lain. Ini karena Imam Ahmad berkata : “Barangsiapa mengatakan al-Qur’an adalah makhluq, maka ia Jahmiyyah dan barangsiapa mengatakan al-Qur’an adalah kalam Allah dan tidak mengatakan bukan makhluq dan tidak juga mengatakan makhluq, maka ia sesuai denganku. Barangsiapa yang mengatakan ucapanku akan al-Qur’an adalah makhluq maka dia ahli bid’ah.” Adapun al-Karabisi, Abdullah bin Kullab, Abu Tsur, Daud bin ‘Ali dan pengikut mereka mengatakan, “Sesungguhnya Al-Qur’an dimana Allah berkalam dengannya adalah sifat dari sifat Allah yang tidak boleh dihukum penciptaan atasnya. Adapun ucapan orang yang membaca dan ucapannya akan al-Qur’an adalah merupakan usaha dan perbuatannya. Yang demikian adalah makhluq serta hikayah dari kalam Allah dan bukan al-Qur’an dimana Allah berkalam dengannya…..Kaum Hanabilah pengikut Ahmad bin Hanbal mengucil Husain al-Karabisi dengan menuduh pelaku bid’ah serta mencelanya dan juga mencela setiap orang yang sependapat dengannya.[11]

Mengomentari perdebatan Syeikh Ibnu Kullab dan Imam Ahmad bin Hanbal terkait masalah apakah al-Qur’an makhluq atau bukan, al-Zahabi yang terkenal sebagai seorang ahli hadits dan sejarah mengatakan,

‌وَلَا ‌رَيْبَ ‌أَنَّ ‌مَا ‌ابْتَدَعَهُ ‌الكَرَابِيْسِيُّ، وَحَرَّرَهُ فِي مَسْأَلَةِ التَّلَفُّظِ، وَأَنَّهُ مَخْلُوْقٌ هُوَ حَقٌّ، لَكِنْ أَبَاهُ الإِمَامُ أَحْمَدُ، لِئَلَاّ يُتَذَرَّعَ بِهِ إِلَى القَوْلِ بِخَلْقِ القُرْآنِ، فَسُدَّ البَابُ؛ لأَنَّكَ لَا تَقْدِرُ أَنْ تَفْرِزَ التَّلفُّظَ مِنَ المَلْفُوْظِ الَّذِي هُوَ كَلَامُ اللهِ إِلَاّ فِي ذِهْنِكَ

Tidak diragukan lagi bahwa yang didatangkan oleh al-Karabisi  dan yang beliau jelaskan pada masalah pengucapan al-Qur’an dan mengucapkannya itu adalah makhluq adalah merupakan yang benar.  Akan tetapi Imam Ahmad tidak menyukainya, supaya tidak terjadi perbantahan yang mengarahkan kepada mengatakan al-Qur’an makhluq.  Karena itu, beliau menutup pintu pembahasannya. Karena  engkau tidak akan mampu memisahkan pengucapan dari makna yang diucapkan yang merupakan kalam Allah kecuali hanya dalam pikiranmu. [12]

Alhasil perbedaan pendapat antara Imam Ahmad bin Hanbal dan Syeikh Ibnu Kullab bukanlah perbedaan yang substansi. Imam Ahmad hanya menghindari membahas masalah apakah al-Qur’an makhluq atau bukan. Sehingga beliau menutup pintu (sad al-zara’i) demi menghindari terjebak orang awam dalam kesesatan dan beliau menghukum orang yang mengatakan al-Qur’an makhluq sebagai pelaku bid’ah. Adapun Ibnu Kullab dan lainnya seperti al-Karabisi merincikan, al-Qur’an yang merupakan sifat Allah dan kalam-Nya adalah qadim, bukan makhluq, sedangkan ucapan kita akan ayat-ayat al-Qur’an yang terdapat dalam mashaf yang berhuruf dan bersuara , maka ini jelas adalah makhluq dan baharu.

 

 

 

 



[1] Ibnu Hajar al-Asqalaniy, Lisan al-Mizan, Juz. IV, Maktabah al-Mathbu’ah al-Islamiyah, Hal. 486-487

[2] Ibnu Qadli Syuhbah, Thabaqat al-Syafi’yah, Dairah al-Ma’aarif al-Ustmaniyah, Juz I, Hal. 33

[3] Ibnu Subkiy, Thabaqat Syafi’iyah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah Juz. Hal. 299

[4] Imam al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyin, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 138

[5] Ibnu Hajar al-Asqalaniy, Lisan al-Mizan, Juz. IV, Maktabah al-Mathbu’ah al-Islamiyah, Hal. 487

[6] Ibnu Hajar al-Asqalaniy, Fathulbarri, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 243.

[7] Ibnu Qadli Syuhbah, Thabaqat al-Syafi’yah, Dairah al-Ma’aarif al-Ustmaniyah, Juz I, Hal. 33

[8]. Ibnu Subkiy, Thabaqat Syafi’iyah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. II, Hal. 299

[9] Ibnu Khaldun, Tarikh Ibnu Khaldun, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 603-604

[10] Ibnu Hajar al-Asqalaniy, Lisan al-Mizan, Juz. IV, Maktabah al-Mathbu’ah al-Islamiyah, Hal. 487

[11] Ibnu Abdil Barr al Maliki, al-Intiqa’ Fazhail al-Aimmah al-Tsalatsah al-Fuqaha, Maktab al-Mathbu’ah al-Islamiyah, Halab, Hal. 165-166

[12] Al-Zahabi, Siyar A’lam al-Nubulaa, Maktabah Syamilah, Juz. XII, Hal. 82

Rabu, 18 Mei 2022

Ijazah, pengertian dan pembagiannya

 

Pengertian ijazah sebagaimana dikemukakan oleh Syeikh al-Syumuniy adalah :

اذن في الرواية لفطا او خطا يفيد الاخبار الاجمالي عرفا

Izin dalam meriwayat, baik dengan cara lafazh maupun tulisan. yang menunjukan memberitahukan khabar secara mujmal pada ‘uruf [1]

 

Sesuai dengan devinisi di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Ijazah merupakan izin seorang guru kepada muridnya dalam periwayatan

2. Ijazah dapat dilakukan secara lafazh ataupun tulisan

3. Izin yang dimaksud dalam ijazah adalah izin yang dapat dipahami memberitahukan khabar (berita) secara mujmal pada ‘uruf.

4. yang diijazahkan dapat berupa kitab atau bahan tertulis lainnya ataupun lafazh yang didengar.

 

Adapun rukun ijazah ada empat, yaitu :

1.  Mujiiz (yang memberikan ijazah)

2.  Mujaaz lahu (yang menerima ijazah)

3.  Mujaaz bihi (yang diijazahkan)

4.  Lafazh ijazah [2]

 

Pembagian Ijazah

Ijazah dapat dibagi menjadi tujuh pembagian, yaitu :

1.  Ijazah yang spesifik kepada yang spesifik

Contohnya : “Aku ijazahkan kepadamu atau kepada si pulan kitab pulan dari al-Bukhari”. Ini pembagian yang tertinggi derajatnya dari pembagian-pembagian ijazah yang tidak disertai munawalah. Boleh meriwayat dan mengamalkannya dengan cara ini menurut jumhur ulama, bahkan Qadhi ‘Iyadh mendakwa telah terjadi ijmak ulama. Yang benar, tahammul dengan cara ini derajadnya berada di bawah tahammul dengan cara sima’.

2.  Ijazah yang tidak spesifik kepada yang spesifik

Contohnya : “Aku ijazahkan semua yang aku dengar atau semua riwayatku”. Ini sama dengan sebelumnya (nomor pertama) dalam beramal dan riwayat.

3.  Ijazah yang tidak spesifik kepada yang tidak spesifik juga

Contohnya : “Aku ijazahkan semua riwayatku kepada semua kaum muslim atau penduduk zamanku atau setiap orang”. Menurut jumhur ulama, dibolehkan juga meriwayat dengan cara ini, akan tetapi menurut al-Iraqi yang lebih ihtiyath cara ini sebaiknya ditinggalkan. Syeikh Islam mengatakan, namun riwayat dengan cara ini secara garis besar lebih baik dari mendatangkan hadits mu’azzhal”.

4.  Ijazah kitab yang tidak jelas kepada yang spesifik atau ijazah kitab yang spesifik kepada orang yang tidak jelas

Contohnya : “Aku ijazahkan kepadamu kitab al-sunan”, sementara sipemberi ijazah ada meriwayat beberapa kitab al-sunan atau “Aku ijazahkan kepadamu sebagian yang aku dengar” atau “aku ijazahkan kepada sipulan”, sedangkan ada beberapa orang yang mempunya nama yang sama pada nama pulan ini.

Pada dua cara ini (majhul kitab dan majhul nama penerima ijazah) ada ketidakjelasan maksudnya. Karena itu, batal. Maka apabila jelas dengan qarinah hal, maka shahih. Seandainya seseorang mengatakan, “Aku ijazahkan kepada orang yang menginginkan meriwayat dariku”, maka menurut al-Iraqi yang shahih ini tidak sah. Berbeda dengan ucapan “Aku ijazah ini kepada si pulan apabila ia menginginkan meriwayat dariku”, atau “Aku ijazah ini kepadamu apabila kamu inginkan”, pengarang al-Taqrib mengatakan, yang lebih dhahir ini boleh. Adapun pembolehan beliau terhadap yang sebelumnya telah ditolak oleh para pensyarahnya.

5.  Ijazah  kepada yang ma’dum (yang belum ada)

Contohnya : “Aku ijazah kepada anakku yang akan lahir” atau “anak sipulan yang akan lahir”. Menurut pendapat yang shahih ini batal. Pendapat yang mengatakan batal ini mengecualikan apabila di athaf kepada yang maujud. Contohnya : “Aku ijazahkan kepada sipulan dan anaknya yang akan lahir” atau “kepadamu dan orang setelahmu” selama mereka berketurunan, maka ini menurut pendapat yang lebih shahih dibolehkan.

Adapun ijazah kepada anak-anak yang belum mumayyiz, maka shah menurut pendapat shahih. Adapun ijazah kepada orang gila sama dengan ijazah kepada anak-anak yang belum mumayyiz sebagaimana dikemukakan oleh al-Khathib.

Adapun ijazah kepada orang kafir dibolehkan oleh sebagian ulama. Berdasarkan ini, maka fasiq pelaku bid’ah lebih aula boleh. Keduanya ini dapat menyampaikan (ada’) riwayatnya kepada orang lain setelah hilang maani’-nya (pengahalangnya)

6.  Ijazah yang belum pernah diterima (tahammul) dengan cara apapun baik dengan cara sima’ maupun ijazah. Ijazah diberikan supaya dapat diriwayat oleh penerima ijazah apabila suatu saat sudah diterima oleh pihak pemberi ijazah

Qadhi ‘Iyadh mengatakan, menurut pendapat yang shahih terlarang cara ini. Karena ini termasuk mengijazahkan sesuatu yang tidak ada khabar di sisinya dan mengizinkan sesuatu yang belum pernah diterimanya serta memubahkan sesuatu yang belum diketahuinya. Karena itu, seseorang yang menginginkan meriwayat semua yang didengar oleh guru yang akan memberikan ijazah kepadanya seharusnya memeriksa dulu sehingga diketahui bahwa ini termasuk yang ditahammul oleh gurunya sebelum terjadi ijazah.

7.  Ijazah yang apa yang sudah diijazahkan kepada pemberi ijazah

Contohnya : “Aku ijazahkan semua apa yang sudah dijazahkan kepadaku” atau “semua yang diijazahkan riwayatnya kepadaku”. Imam al-Nawawi mengatakan, menurut pendapat yang shahih yang menjadi pegangan dalam beramal adalah boleh tahammul cara ini.[3]

 

 



[1] Alwiy al-Saqaf, al-Fawaid al-Makkiyah, (dicetak dalam kitab Sab’ah Kutub Mufidah), Maktabah Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 28

[2] Al-Suyuthi, Tadriib al-Raawi fi Syarh Taqriib al-Nawawi, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 467

[3] Alwiy al-Saqaf, al-Fawaid al-Makkiyah, (dicetak dalam kitab Sab’ah Kutub Mufidah), Maktabah Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 27