Renungan

Jumat, 27 Mei 2022

Ilghaz (teka teki) dalam fiqh

 

Teka-teki dalam fiqh ini dinamakan dengan ilghaz. Dinamakan juga al-ahjiyah, karena al-hijaa bermakna akal, sedangkan ilghaz ini menguatkan akal atas ujian. Para ilmuan ilmu faraidh menamakannya ma’aayaah. Adapun pengertian ilghaz adalah :

الكلام المعمي أي المجعول فيه التعمي والخفاء

Kalam yang disamarkan, artinya yang dijadikan samar-samar dan tersembunyi.

 

Diantara kitab karya ulama mengenai ilmu ini antara lain, al-Injaz fi al-Ilghaz karya Abd al-Karim al-Rafi’i dan Tharaz al-Mahaaqil fi Ilghaz al-Masail karya al-Jamal Abd al-Rahim al-Asnawi.[1]

Contoh teka-teki dalam fiqh

1.  Siapakah yang wajib qadha shalat beberapa tahun dengan sebab mati orang lain?. Jawabannya : Ummul walad yang mati majikannya di negeri lain dan dia tidak mengetahuinya kecuali setelah berlalu masa beberapa tahun, padahal selama ini dia shalat dalam keadaan terbuka kepala. Maka shalatnya batal apabila kepalanya tidak ditutupi dengan segera dan tanpa perbuatan yang banyak.[2]

Catatan : Ummul walad merdeka dengan sebab mati majikannya dan tidak wajib menutup kepala dalam shalat selama dia masih berstatus hamba sahaya

2.  Siapakah seseorang yang berhadats dalam masjid, akan tetapi dapat membatalkan shalat orang yang sudah berada di rumahnya?

Jawabannya : salah seorang anggota bilangan jumat yang menghadiri jum’at hanya empat puluh orang, yang shalatnya tersisa satu raka’at lagi (masbuq). Ia batal shalatnya karena berhadats pada rakaat terakhirnya, sedangkan anggota bilangan jum;at lainnya sudah selesai shalatnya dan sudah pulang ke rumah masing-masing. Maka orang yang sudah berada di rumah tersebut juga batal shalatnya karena shalat jum’at harus sah shalatnya minimal empat puluh orang.[3]

3.  Siapa orangnya yang dapat jual beli dalam shalat, akan tetapi shalatnya tidak batal ?

Jawabannya : seseorang yang melakukan jual beli dalam shalat dengan menggunakan isyarah.[4]

4.       Bagaimana status seorang khatib yang shalat ‘Idul Adha bersama kita, kemudian khatib sendiri kita sembelih sebagai qurban ?

Jawabannya : khatib tersebut merupakan yang terlahir berbentuk manusia dan berakal dari perkawinan antar hewan yang boleh dimakan (hewan yang boleh diqurban). Karena anak yang terlahir dari perkawinan antar hewan yang boleh dimakan, hukumnya suci dan boleh dimakan.[5].

5.    Shalat apakah yang keluar waktunya, padahal belum masuk waktu ?.

Jawabannya : shalat rawatib ba’diyah yang shalat fardhunya sudah keluar waktu. Karena waktu shalat rawatib ba’diyah setelah shalat fardhu. Selama shalat fardhu belum dilaksanakan, maka waktunya belum masuk. Baru boleh dilakukan setelah shalat fardhu di qadhanya di luar waktu.[6]

6.    Siapakah orang yang tergantung sucinya atas suci orang lain?

Jawabannya : seseorang yang tayamum untuk shalat jenazah. Karena waktu tayamumnya diharuskan setelah selesai mandi jenazah.[7]

7.  Apa yang dibunuh oleh seorang yang melakukan ihram, atasnya wajib membayar dua harga?.

Jawabannya : Seorang yang ihram yang meminjam binatang buruan, kemudian membunuhnya. Maka atasnya wajib membayar harganya kepada si pemiliknya dan fidyah hewan ternak untuk hak Allah.[8]

8.       Jelaskan ucapan seseorang yang status sharihnya tergantung niat orang yang bertanya?

Jawabannya : ucapan “Na’am” jawaban dari seseorang untuk pertanyaan “Apakah kamu mentalaq isterimu?”. Jawaban “na’am” tersebut menjadi sharih talaq tergantung niat orang bertanya. Maka apabila yang bertanya meniatkan meminta melakukan talaq, maka ucapan “na’am” akan sama dengan ucapan “Isteriku tertalaq”.[9]



[1] Syeikh Yaasin al-Fadaniy al-Makkiy, Fawaid al-Janiyah Hasyiah al-Mawahib al-Saniyah Syarh al-Faraid al-Bahiyah fi Nadhm al-Qawaid al-Fiqhiyah, Dar al-Basyair al-Islamiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 103-104

[2] Syeikh Yaasin al-Fadaniy al-Makkiy, Fawaid al-Janiyah Hasyiah al-Mawahib al-Saniyah Syarh al-Faraid al-Bahiyah fi Nadhm al-Qawaid al-Fiqhiyah, Dar al-Basyair al-Islamiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 104

[3] Syeikh Nawawi al-Bantaniy, Nihayah al-Zain, Maktabah Syamilah, Hal. 137

[4] Abu Bakar Syathaa, I’anah al-Thalibin, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 21

[5] Abu Bakar Syathaa, I’anah al-Thalibin, Maktabah Symilah, Juz. IV, Hal. 113

[6] Abu Bakar Syathaa, I’anah al-Thalibin, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 288

[7] Sulaiman al-Jamal, Hasyiah al-Jamal ‘ala Syarh Manhaj al-Thulab, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 228-229

[8] Syeikh Yaasin al-Fadaniy al-Makkiy, Fawaid al-Janiyah Hasyiah al-Mawahib al-Saniyah Syarh al-Faraid al-Bahiyah fi Nadhm al-Qawaid al-Fiqhiyah, Dar al-Basyair al-Islamiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 104

[9] Syeikh Nawawi al-Bantaniy, Nihayah al-Zain, Maktabah Syamilah, Hal. 322

Tidak ada komentar:

Posting Komentar