Renungan

Rabu, 18 Mei 2022

Ijazah, pengertian dan pembagiannya

 

Pengertian ijazah sebagaimana dikemukakan oleh Syeikh al-Syumuniy adalah :

اذن في الرواية لفطا او خطا يفيد الاخبار الاجمالي عرفا

Izin dalam meriwayat, baik dengan cara lafazh maupun tulisan. yang menunjukan memberitahukan khabar secara mujmal pada ‘uruf [1]

 

Sesuai dengan devinisi di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Ijazah merupakan izin seorang guru kepada muridnya dalam periwayatan

2. Ijazah dapat dilakukan secara lafazh ataupun tulisan

3. Izin yang dimaksud dalam ijazah adalah izin yang dapat dipahami memberitahukan khabar (berita) secara mujmal pada ‘uruf.

4. yang diijazahkan dapat berupa kitab atau bahan tertulis lainnya ataupun lafazh yang didengar.

 

Adapun rukun ijazah ada empat, yaitu :

1.  Mujiiz (yang memberikan ijazah)

2.  Mujaaz lahu (yang menerima ijazah)

3.  Mujaaz bihi (yang diijazahkan)

4.  Lafazh ijazah [2]

 

Pembagian Ijazah

Ijazah dapat dibagi menjadi tujuh pembagian, yaitu :

1.  Ijazah yang spesifik kepada yang spesifik

Contohnya : “Aku ijazahkan kepadamu atau kepada si pulan kitab pulan dari al-Bukhari”. Ini pembagian yang tertinggi derajatnya dari pembagian-pembagian ijazah yang tidak disertai munawalah. Boleh meriwayat dan mengamalkannya dengan cara ini menurut jumhur ulama, bahkan Qadhi ‘Iyadh mendakwa telah terjadi ijmak ulama. Yang benar, tahammul dengan cara ini derajadnya berada di bawah tahammul dengan cara sima’.

2.  Ijazah yang tidak spesifik kepada yang spesifik

Contohnya : “Aku ijazahkan semua yang aku dengar atau semua riwayatku”. Ini sama dengan sebelumnya (nomor pertama) dalam beramal dan riwayat.

3.  Ijazah yang tidak spesifik kepada yang tidak spesifik juga

Contohnya : “Aku ijazahkan semua riwayatku kepada semua kaum muslim atau penduduk zamanku atau setiap orang”. Menurut jumhur ulama, dibolehkan juga meriwayat dengan cara ini, akan tetapi menurut al-Iraqi yang lebih ihtiyath cara ini sebaiknya ditinggalkan. Syeikh Islam mengatakan, namun riwayat dengan cara ini secara garis besar lebih baik dari mendatangkan hadits mu’azzhal”.

4.  Ijazah kitab yang tidak jelas kepada yang spesifik atau ijazah kitab yang spesifik kepada orang yang tidak jelas

Contohnya : “Aku ijazahkan kepadamu kitab al-sunan”, sementara sipemberi ijazah ada meriwayat beberapa kitab al-sunan atau “Aku ijazahkan kepadamu sebagian yang aku dengar” atau “aku ijazahkan kepada sipulan”, sedangkan ada beberapa orang yang mempunya nama yang sama pada nama pulan ini.

Pada dua cara ini (majhul kitab dan majhul nama penerima ijazah) ada ketidakjelasan maksudnya. Karena itu, batal. Maka apabila jelas dengan qarinah hal, maka shahih. Seandainya seseorang mengatakan, “Aku ijazahkan kepada orang yang menginginkan meriwayat dariku”, maka menurut al-Iraqi yang shahih ini tidak sah. Berbeda dengan ucapan “Aku ijazah ini kepada si pulan apabila ia menginginkan meriwayat dariku”, atau “Aku ijazah ini kepadamu apabila kamu inginkan”, pengarang al-Taqrib mengatakan, yang lebih dhahir ini boleh. Adapun pembolehan beliau terhadap yang sebelumnya telah ditolak oleh para pensyarahnya.

5.  Ijazah  kepada yang ma’dum (yang belum ada)

Contohnya : “Aku ijazah kepada anakku yang akan lahir” atau “anak sipulan yang akan lahir”. Menurut pendapat yang shahih ini batal. Pendapat yang mengatakan batal ini mengecualikan apabila di athaf kepada yang maujud. Contohnya : “Aku ijazahkan kepada sipulan dan anaknya yang akan lahir” atau “kepadamu dan orang setelahmu” selama mereka berketurunan, maka ini menurut pendapat yang lebih shahih dibolehkan.

Adapun ijazah kepada anak-anak yang belum mumayyiz, maka shah menurut pendapat shahih. Adapun ijazah kepada orang gila sama dengan ijazah kepada anak-anak yang belum mumayyiz sebagaimana dikemukakan oleh al-Khathib.

Adapun ijazah kepada orang kafir dibolehkan oleh sebagian ulama. Berdasarkan ini, maka fasiq pelaku bid’ah lebih aula boleh. Keduanya ini dapat menyampaikan (ada’) riwayatnya kepada orang lain setelah hilang maani’-nya (pengahalangnya)

6.  Ijazah yang belum pernah diterima (tahammul) dengan cara apapun baik dengan cara sima’ maupun ijazah. Ijazah diberikan supaya dapat diriwayat oleh penerima ijazah apabila suatu saat sudah diterima oleh pihak pemberi ijazah

Qadhi ‘Iyadh mengatakan, menurut pendapat yang shahih terlarang cara ini. Karena ini termasuk mengijazahkan sesuatu yang tidak ada khabar di sisinya dan mengizinkan sesuatu yang belum pernah diterimanya serta memubahkan sesuatu yang belum diketahuinya. Karena itu, seseorang yang menginginkan meriwayat semua yang didengar oleh guru yang akan memberikan ijazah kepadanya seharusnya memeriksa dulu sehingga diketahui bahwa ini termasuk yang ditahammul oleh gurunya sebelum terjadi ijazah.

7.  Ijazah yang apa yang sudah diijazahkan kepada pemberi ijazah

Contohnya : “Aku ijazahkan semua apa yang sudah dijazahkan kepadaku” atau “semua yang diijazahkan riwayatnya kepadaku”. Imam al-Nawawi mengatakan, menurut pendapat yang shahih yang menjadi pegangan dalam beramal adalah boleh tahammul cara ini.[3]

 

 



[1] Alwiy al-Saqaf, al-Fawaid al-Makkiyah, (dicetak dalam kitab Sab’ah Kutub Mufidah), Maktabah Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 28

[2] Al-Suyuthi, Tadriib al-Raawi fi Syarh Taqriib al-Nawawi, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 467

[3] Alwiy al-Saqaf, al-Fawaid al-Makkiyah, (dicetak dalam kitab Sab’ah Kutub Mufidah), Maktabah Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 27

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar