Pengertian ijazah sebagaimana dikemukakan oleh
Syeikh al-Syumuniy adalah :
اذن في الرواية
لفطا او خطا يفيد الاخبار الاجمالي عرفا
Izin dalam meriwayat, baik dengan cara lafazh
maupun tulisan. yang menunjukan memberitahukan khabar secara mujmal pada ‘uruf [1]
Sesuai dengan devinisi di atas dapat
dijelaskan sebagai berikut :
1. Ijazah merupakan izin seorang guru
kepada muridnya dalam periwayatan
2. Ijazah dapat dilakukan secara lafazh
ataupun tulisan
3. Izin yang dimaksud dalam ijazah adalah
izin yang dapat dipahami memberitahukan khabar (berita) secara mujmal pada
‘uruf.
4. yang diijazahkan dapat berupa kitab
atau bahan tertulis lainnya ataupun lafazh yang didengar.
Adapun rukun ijazah ada empat, yaitu :
1. Mujiiz (yang memberikan ijazah)
2. Mujaaz lahu (yang menerima ijazah)
3. Mujaaz bihi (yang diijazahkan)
4. Lafazh ijazah [2]
Pembagian Ijazah
Ijazah dapat dibagi menjadi tujuh
pembagian, yaitu :
1. Ijazah yang spesifik kepada yang spesifik
Contohnya : “Aku ijazahkan kepadamu atau kepada si pulan kitab
pulan dari al-Bukhari”. Ini pembagian yang tertinggi derajatnya dari
pembagian-pembagian ijazah yang tidak disertai munawalah. Boleh meriwayat dan
mengamalkannya dengan cara ini menurut jumhur ulama, bahkan Qadhi ‘Iyadh
mendakwa telah terjadi ijmak ulama. Yang benar, tahammul dengan cara ini
derajadnya berada di bawah tahammul dengan cara sima’.
2. Ijazah yang tidak spesifik kepada yang spesifik
Contohnya : “Aku ijazahkan semua yang aku dengar atau semua
riwayatku”. Ini sama dengan sebelumnya (nomor pertama) dalam beramal dan
riwayat.
3. Ijazah yang tidak spesifik kepada yang tidak spesifik
juga
Contohnya : “Aku ijazahkan semua riwayatku kepada semua kaum
muslim atau penduduk zamanku atau setiap orang”. Menurut jumhur ulama,
dibolehkan juga meriwayat dengan cara ini, akan tetapi menurut al-Iraqi yang
lebih ihtiyath cara ini sebaiknya ditinggalkan. Syeikh Islam mengatakan, namun
riwayat dengan cara ini secara garis besar lebih baik dari mendatangkan hadits
mu’azzhal”.
4. Ijazah kitab yang tidak jelas kepada yang
spesifik atau ijazah kitab yang spesifik kepada orang yang tidak jelas
Contohnya : “Aku ijazahkan kepadamu kitab al-sunan”,
sementara sipemberi ijazah ada meriwayat beberapa kitab al-sunan atau “Aku
ijazahkan kepadamu sebagian yang aku dengar” atau “aku ijazahkan kepada
sipulan”, sedangkan ada beberapa orang yang mempunya nama yang sama pada
nama pulan ini.
Pada dua cara ini (majhul kitab dan majhul nama penerima ijazah)
ada ketidakjelasan maksudnya. Karena itu, batal. Maka apabila jelas dengan
qarinah hal, maka shahih. Seandainya seseorang mengatakan, “Aku ijazahkan
kepada orang yang menginginkan meriwayat dariku”, maka menurut al-Iraqi
yang shahih ini tidak sah. Berbeda dengan ucapan “Aku ijazah ini kepada si
pulan apabila ia menginginkan meriwayat dariku”, atau “Aku ijazah ini
kepadamu apabila kamu inginkan”, pengarang al-Taqrib mengatakan, yang lebih
dhahir ini boleh. Adapun pembolehan beliau terhadap yang sebelumnya telah
ditolak oleh para pensyarahnya.
5. Ijazah
kepada yang ma’dum (yang belum ada)
Contohnya : “Aku ijazah kepada anakku yang akan lahir” atau
“anak sipulan yang akan lahir”. Menurut pendapat yang shahih ini batal.
Pendapat yang mengatakan batal ini mengecualikan apabila di athaf kepada yang
maujud. Contohnya : “Aku ijazahkan kepada sipulan dan anaknya yang akan
lahir” atau “kepadamu dan orang setelahmu” selama mereka
berketurunan, maka ini menurut pendapat yang lebih shahih dibolehkan.
Adapun ijazah kepada anak-anak yang belum mumayyiz, maka shah
menurut pendapat shahih. Adapun ijazah kepada orang gila sama dengan ijazah
kepada anak-anak yang belum mumayyiz sebagaimana dikemukakan oleh al-Khathib.
Adapun ijazah kepada orang kafir dibolehkan oleh sebagian ulama.
Berdasarkan ini, maka fasiq pelaku bid’ah lebih aula boleh. Keduanya ini dapat
menyampaikan (ada’) riwayatnya kepada orang lain setelah hilang maani’-nya
(pengahalangnya)
6. Ijazah yang belum pernah diterima (tahammul)
dengan cara apapun baik dengan cara sima’ maupun ijazah. Ijazah diberikan
supaya dapat diriwayat oleh penerima ijazah apabila suatu saat sudah diterima
oleh pihak pemberi ijazah
Qadhi ‘Iyadh mengatakan, menurut pendapat yang shahih terlarang
cara ini. Karena ini termasuk mengijazahkan sesuatu yang tidak ada khabar di
sisinya dan mengizinkan sesuatu yang belum pernah diterimanya serta memubahkan
sesuatu yang belum diketahuinya. Karena itu, seseorang yang menginginkan
meriwayat semua yang didengar oleh guru yang akan memberikan ijazah kepadanya
seharusnya memeriksa dulu sehingga diketahui bahwa ini termasuk yang ditahammul
oleh gurunya sebelum terjadi ijazah.
7. Ijazah yang apa yang sudah diijazahkan kepada
pemberi ijazah
Contohnya : “Aku ijazahkan semua apa yang sudah dijazahkan
kepadaku” atau “semua yang diijazahkan riwayatnya kepadaku”. Imam
al-Nawawi mengatakan, menurut pendapat yang shahih yang menjadi pegangan dalam
beramal adalah boleh tahammul cara ini.[3]
[1]
Alwiy al-Saqaf, al-Fawaid al-Makkiyah, (dicetak dalam kitab
Sab’ah Kutub Mufidah), Maktabah Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 28
[2] Al-Suyuthi,
Tadriib al-Raawi fi Syarh Taqriib al-Nawawi, Maktabah Syamilah,
Juz. I, Hal. 467
[3]
Alwiy al-Saqaf, al-Fawaid al-Makkiyah, (dicetak dalam kitab
Sab’ah Kutub Mufidah), Maktabah Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 27
Tidak ada komentar:
Posting Komentar