Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap
muslim. Menjadi pribadi yang berilmu menjadikan diri kita memiliki derajat yang
lebih tinggi. Keabsahan sebuah ibadah tergantung tata cara ibadah yang kita
lakukan berdasarkan ilmu yang kita punya. Dengan demikian, ilmu sangat
menentukan bagaimana tata cara ibadah seseorang. Untuk itu, seharusnya seseorang
memiliki guru yang mempunyai kemampuan dan sanad keilmuan yang jelas. Ini
penting karena sanad ilmu menunjukkan pentingnya otoritas dalam berilmu agama.
Terlebih bagi masyarakat muslim yang masih awam dan tidak memiliki kemampuan
menggali serta meneliti suatu persoalan dalam ilmu agama, maka ia diwajibkan
memiliki guru yang dapat membimbingnya agar tidak tersesat dalam pemahamannya.
Fenomena hari ini yang membuat miris
sekaligus prihatin adalah banyaknya muslim yang kurang hati-hati dan selektif
dalam memilih ulama atau ustaz dalam belajar agama. Padahal di sisi lain,
masyarakat muslim memiliki tendesi untuk berhati-hati dan selektif dalam urusan
dunianya saja. Ambil contoh bila seseorang sedang sakit, maka ia akan sangat
hati-hati dalam mencari dokter sekaligus rumah sakit yang akan merawatnya. Ia
akan lebih memilih dokter spesialis yang
berpengalaman untuk membantunya mencapai kesembuhan. Lalu kenapa dalam
urusan agama kita tidak melakukan hal yang sama?. Abdullah bin Mubarak sebagaimana
dikutip oleh Imam Muslim dalam Kitab Shahihnya, beliau berkata:
الإسنادُ مِنَ
الدِّينِ، ولولا الإسناد لَقالَ مَن شاءَ ما شاء
Sanad adalah bagian dari agama. Kalau bukan
karena sanad, pasti siapapun bisa berkata dengan apa yang dia kehendaki.
Imam al-Bukhari dalam kitab Shahihnya,
mengutip perkataan ‘Uqbah bin ‘Aamir berkata :
تَعَلَّمُوا
قَبْلَ الظَّانِّينَ يَعْنِي الَّذِينَ يَتَكَلَّمُونَ بِالظَّنِّ
Menuntutlah ilmu sebelum kamu bertemu
dengan masanya orang yang berbicara ilmu yang hanya bermodalkan
prasangka.
Ucapan ‘Uqbah bin ‘Aamir ini kemudian ditafsir oleh Imam al-Nawawi
dalam kitabnya, Majmu’ Syarah al-Muhazzab,
beliau berkata :
وَمَعْنَاهُ
تَعَلَّمُوا الْعِلْمَ مِنْ أَهْلِهِ الْمُحَقِّقِينَ الْوَرِعِينَ قَبْلَ ذهابهم
ومجئ قَوْمٍ يَتَكَلَّمُونَ فِي الْعِلْمِ بِمِثْلِ نُفُوسِهِمْ وَظُنُونِهِمْ
التى ليس لها مستند شرعي
Maknanya menuntutlah ilmu dengan
bersungguh-sungguh kepada ahlinya yang benar-benar ahli dan ulama yang shalih sebelum
kamu bertemu dengan masanya orang yang berbicara ilmu yang hanya bermodalkan
prasangka tanpa sandaran syara’.
Dari penjelasan di atas, dipahami bahwa belajar agama tanpa guru dikhawatirkan akan terjerumus ke dalam
ajaran yang salah. Mempelajari agama Islam tanpa guru menyebabkan kebingungan
bagi diri sendiri karena tidak adanya keteguhan dalam belajar. Maka dari itu
hukum belajar agama tanpa guru terlarang dalam agama. Sehingga tidak heran,
kalau Abu Yazid Bustami seorang aulia Allah Ta’ala sebagaimana dikutip dalam
Kitab Ruh al-Bayan mengatakan :
من لم يكن له
شيخ فشيخه الشيطان
Barangsiapa yang tidak mempunyai guru,
maka gurunya adalah syaithan.
Imam al-Ghazali dalam kitabnya, Ihya
‘Ulumuddin mengatakan,
فكذلك المريد يحتاج
إلى شيخ وأستاذ يقتدى به لا محالة ليهديه إلى سواء السبيل فإن سبيل الدين غامض
وسبل الشيطان كثيرة ظاهرة فمن لم يكن له شيخ يهديه قاده الشيطان إلى طرقه لا محالة
Demikian juga murid membutuhkan guru dan
ustadz yang diikuti secara pasti agar mereka menunjukkannya ke jalan yang
lurus, karena jalan agama itu tersembunyi, sedangkan jalan-jalan setan banyak
dan nampak. Barangsiapa yang tidak mempunyai guru yang memberi petunjuk, maka
setan pasti menuntunnya ke jalannya.
Ibnu Siiriin, Malik dan lainnya sebagaimana dikutip oleh al-Nawawi
dalam Majmu’ Syarah al-Muhazzab mengatakan, :
هَذَا الْعِلْمُ
دِينٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ:
Ilmu ini adalah agama. Karena itu,
perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agamamu.
Pada zaman sekarang, berbagai informasi dan pengetahuan dengan
mudah dapat diakses di dunia maya (media sosial), bahkan banyaknya orang yang
menjadikan dunia maya sebagai seorang guru tempat bertanya dan mencari tahu.
Dan celakanya dari guru (dunia maya) inilah mereka lalu menyebarkan apa yang di
dapatnya kepada orang lain baik keluarganya maupun lingkungan lainnya tanpa
tabayyun lebih dahulu. Memang, tidak semua yang ada di dunia maya ini adalah
tidak benar. Banyak sekali kebenaran yang terserak di sana, akan tetapi kebohongan
dan kesesatan juga melimpah mencari mangsanya. Karena itu, selain membawa berkah,
dunia maya ini juga tak jarang mendatangkan musibah.
Lalu bagaimana hukumnya belajar agama
dari media sosial tanpa guru?
Memperhatikan uraian-uraian di atas dan
fenomena media sosial hari ini , maka menurut pemahaman kami, belajar melalui
media sosial tanpa guru sah-sah saja, asalkan memenuhi kriteria berikut ini :
1. Yang ingin belajar melalui media sosial ini
mempunyai pengetahuan dasar-dasar hukum agama yang didapatnya dari guru secara
saling berhadapan. Ini diperlukan sebagai pedoman dasar dalam memahami
tulisan-tulisan di media sosial sekaligus sebagai pedoman guna menghindari dari
aqidah yang menyesatkan.
2. Dapat dipastikan bahwa media sosial yang
diikutinya benar-benar milik seseorang yang diinginkan menimba ilmu darinya,
guna terhindari dari account-account
bodong yang mengatasnamakan orang lain.
3. Mengenal dengan baik pemilik/penulis media
sosial tersebut sebagai seorang yang dikenal mumpuni ilmunya dalam bidang agama
dan berasal dari golongan yang haq (benar), yakni ahlussunnah wal jama’ah. Karena dengan
membaca tulisan di media sosial seseorang akan menjadikannya sebagai guru dalam
bidang agama.
4. Tidak terburu-buru mengambil kesimpulan dalam
memahami tulisan di media sosial tersebut. Kalau ada yang sukar dipahami atau
yang mengganjal dalam pikirannya, hendaknya bertanya kepada guru disekitarnya yang
dapat dipercaya.
5. Menghindari belajar dan membaca melalui media
sosial masalah-masalah agama yang rumit dan pelik yang tidak akan dapat
dipahami kecuali dengan berguru langsung kepada yang ahlinya secara khusus saling
berhadapan. Misalnya masalah tasauf dan akidah yang sudah masuk pembahasan
tingkat tingggi. Ali bin Abi Thalib sebagaimana diriwayat oleh Imam al-Bukhari
dalam Shahihnya, mengatakan,
حَدِّثُوا
النَّاسَ بِمَا يَعْرِفُونَ، أَتُحِبُّونَ أَنْ يُكَذَّبَ اللهُ وَرَسُولُهُ؟
Sampaikanlah kepada manusia dengan apa yang dapat mereka pahami.
Apakah kamu menginginkan Allah dan Rasul-Nya didustai?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar