Renungan

Sabtu, 03 Desember 2022

Belajar agama dari media sosial tanpa guru

 

Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim. Menjadi pribadi yang berilmu menjadikan diri kita memiliki derajat yang lebih tinggi. Keabsahan sebuah ibadah tergantung tata cara ibadah yang kita lakukan berdasarkan ilmu yang kita punya. Dengan demikian, ilmu sangat menentukan bagaimana tata cara ibadah seseorang. Untuk itu, seharusnya seseorang memiliki guru yang mempunyai kemampuan dan sanad keilmuan yang jelas. Ini penting karena sanad ilmu menunjukkan pentingnya otoritas dalam berilmu agama. Terlebih bagi masyarakat muslim yang masih awam dan tidak memiliki kemampuan menggali serta meneliti suatu persoalan dalam ilmu agama, maka ia diwajibkan memiliki guru yang dapat membimbingnya agar tidak tersesat dalam pemahamannya.

Fenomena hari ini yang membuat miris sekaligus prihatin adalah banyaknya muslim yang kurang hati-hati dan selektif dalam memilih ulama atau ustaz dalam belajar agama. Padahal di sisi lain, masyarakat muslim memiliki tendesi untuk berhati-hati dan selektif dalam urusan dunianya saja. Ambil contoh bila seseorang sedang sakit, maka ia akan sangat hati-hati dalam mencari dokter sekaligus rumah sakit yang akan merawatnya. Ia akan lebih memilih dokter spesialis yang  berpengalaman untuk membantunya mencapai kesembuhan. Lalu kenapa dalam urusan agama kita tidak melakukan hal yang sama?. Abdullah bin Mubarak sebagaimana dikutip oleh Imam Muslim dalam Kitab Shahihnya, beliau berkata:

الإسنادُ مِنَ الدِّينِ، ولولا الإسناد لَقالَ مَن شاءَ ما شاء

Sanad adalah bagian dari agama. Kalau bukan karena sanad, pasti siapapun bisa berkata dengan apa yang dia kehendaki.

Imam al-Bukhari dalam kitab Shahihnya, mengutip perkataan ‘Uqbah bin ‘Aamir berkata :

تَعَلَّمُوا قَبْلَ الظَّانِّينَ يَعْنِي الَّذِينَ يَتَكَلَّمُونَ بِالظَّنِّ

Menuntutlah ilmu sebelum kamu bertemu dengan masanya orang yang berbicara ilmu yang hanya bermodalkan prasangka. 

Ucapan ‘Uqbah bin ‘Aamir ini kemudian ditafsir oleh Imam al-Nawawi dalam kitabnya, Majmu’ Syarah al-Muhazzab,  beliau berkata :

وَمَعْنَاهُ تَعَلَّمُوا الْعِلْمَ ‌مِنْ ‌أَهْلِهِ ‌الْمُحَقِّقِينَ ‌الْوَرِعِينَ قَبْلَ ذهابهم ومجئ قَوْمٍ يَتَكَلَّمُونَ فِي الْعِلْمِ بِمِثْلِ نُفُوسِهِمْ وَظُنُونِهِمْ التى ليس لها مستند شرعي

Maknanya menuntutlah ilmu dengan bersungguh-sungguh kepada ahlinya yang benar-benar ahli dan ulama yang shalih sebelum kamu bertemu dengan masanya orang yang berbicara ilmu yang hanya bermodalkan prasangka tanpa sandaran syara’.

Dari penjelasan di atas, dipahami bahwa belajar agama tanpa guru dikhawatirkan akan terjerumus ke dalam ajaran yang salah. Mempelajari agama Islam tanpa guru menyebabkan kebingungan bagi diri sendiri karena tidak adanya keteguhan dalam belajar. Maka dari itu hukum belajar agama tanpa guru terlarang dalam agama. Sehingga tidak heran, kalau Abu Yazid Bustami seorang aulia Allah Ta’ala sebagaimana dikutip dalam Kitab Ruh al-Bayan mengatakan :

من لم يكن له شيخ فشيخه الشيطان

Barangsiapa yang tidak mempunyai guru, maka gurunya adalah syaithan.

 

Imam al-Ghazali dalam kitabnya, Ihya ‘Ulumuddin mengatakan,

فكذلك ‌المريد ‌يحتاج ‌إلى ‌شيخ وأستاذ يقتدى به لا محالة ليهديه إلى سواء السبيل فإن سبيل الدين غامض وسبل الشيطان كثيرة ظاهرة فمن لم يكن له شيخ يهديه قاده الشيطان إلى طرقه لا محالة

Demikian juga murid membutuhkan guru dan ustadz yang diikuti secara pasti agar mereka menunjukkannya ke jalan yang lurus, karena jalan agama itu tersembunyi, sedangkan jalan-jalan setan banyak dan nampak. Barangsiapa yang tidak mempunyai guru yang memberi petunjuk, maka setan pasti menuntunnya ke jalannya.

Ibnu Siiriin, Malik dan lainnya sebagaimana dikutip oleh al-Nawawi dalam Majmu’ Syarah al-Muhazzab mengatakan, :

هَذَا الْعِلْمُ دِينٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ:

Ilmu ini adalah agama. Karena itu, perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agamamu.

Pada zaman sekarang, berbagai informasi dan pengetahuan dengan mudah dapat diakses di dunia maya (media sosial), bahkan banyaknya orang yang menjadikan dunia maya sebagai seorang guru tempat bertanya dan mencari tahu. Dan celakanya dari guru (dunia maya) inilah mereka lalu menyebarkan apa yang di dapatnya kepada orang lain baik keluarganya maupun lingkungan lainnya tanpa tabayyun lebih dahulu. Memang, tidak semua yang ada di dunia maya ini adalah tidak benar. Banyak sekali kebenaran yang terserak di sana, akan tetapi kebohongan dan kesesatan juga melimpah mencari mangsanya. Karena itu, selain membawa berkah, dunia maya ini juga tak jarang mendatangkan musibah.

Lalu bagaimana hukumnya belajar agama dari media sosial tanpa guru?

Memperhatikan uraian-uraian di atas dan fenomena media sosial hari ini , maka menurut pemahaman kami, belajar melalui media sosial tanpa guru sah-sah saja, asalkan memenuhi kriteria berikut ini  :

1.  Yang ingin belajar melalui media sosial ini mempunyai pengetahuan dasar-dasar hukum agama yang didapatnya dari guru secara saling berhadapan. Ini diperlukan sebagai pedoman dasar dalam memahami tulisan-tulisan di media sosial sekaligus sebagai pedoman guna menghindari dari aqidah yang menyesatkan.

2.  Dapat dipastikan bahwa media sosial yang diikutinya benar-benar milik seseorang yang diinginkan menimba ilmu darinya, guna terhindari dari account-account  bodong yang mengatasnamakan orang lain.

3.  Mengenal dengan baik pemilik/penulis media sosial tersebut sebagai seorang yang dikenal mumpuni ilmunya dalam bidang agama dan berasal dari golongan yang haq (benar), yakni  ahlussunnah wal jama’ah. Karena dengan membaca tulisan di media sosial seseorang akan menjadikannya sebagai guru dalam bidang agama.

4.  Tidak terburu-buru mengambil kesimpulan dalam memahami tulisan di media sosial tersebut. Kalau ada yang sukar dipahami atau yang mengganjal dalam pikirannya, hendaknya bertanya kepada guru disekitarnya yang dapat dipercaya.

5.  Menghindari belajar dan membaca melalui media sosial masalah-masalah agama yang rumit dan pelik yang tidak akan dapat dipahami kecuali dengan berguru langsung kepada yang ahlinya secara khusus saling berhadapan. Misalnya masalah tasauf dan akidah yang sudah masuk pembahasan tingkat tingggi. Ali bin Abi Thalib sebagaimana diriwayat oleh Imam al-Bukhari dalam Shahihnya, mengatakan,

 حَدِّثُوا ‌النَّاسَ بِمَا يَعْرِفُونَ، أَتُحِبُّونَ أَنْ يُكَذَّبَ اللهُ وَرَسُولُهُ؟

Sampaikanlah kepada manusia dengan apa yang dapat mereka pahami. Apakah kamu menginginkan Allah dan Rasul-Nya didustai?

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar