Renungan

Selasa, 06 Desember 2022

Bermazhab dalam fiqh

 

1.  Pengertian bermazhab.

Yang wajib bagi umat Islam adalah mengikuti Allah dan Rasul-Nya. Namun tidak semua orang memahami petunjuk-petunjuk dalam kitab suci al-Quran dan al-hadits, karena tidak semua dari kita memahami bahasa al-Quran keduanya. Tetapi karena ada ayat-ayat dan hadits yang memerlukan analisis dan pendalaman yang untuk melakukannya dibutuhkan banyak syarat. Dari sini, mereka yang memenuhi syarat-syarat itu tampil melakukan apa yang dinamai ijtihad, dan hasil ijtihad mereka itulah yang dinamai mazhab. Dengan demikian mazhab pada hakikatnya adalah pemahaman terhadap firman Allah dan hadits Rasul SAW. Pada saat seseorang mengikutinya, pada hakikatnya dia tidak mengikuti seorang imam mazhab, tapi mengikuti Allah dan Rasul-Nya, sesuai dengan yang dipahami oleh imam mazhab itu.

Al-Syaikh Ramadhan al-Buthi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan bermazhab  adalah:

أن يقلد العامي أو من لم يبلغ رتبة الإجتهاد مذهب إمام مجتهد سواء التزم واحد بعينه أو عاش يتحول من واحد على آخر

Bertaklidnya orang awam atau orang yang belum mencapai peringkat mampu berijtihad kepada mazhab imam mujtahid, baik ia terikat pada satu mazhab tertentu atau ia hidup berpindah dari satu mazhab ke mazhab yang lainnya. (Alla Mazhabiyyah /17)

 

2.  Kewajiban bermazhab

Bermazhab merupakan konsekwensi logis ketika seseorang tidak mempunyai kemampuan memahami petunjuk-petunjuk dalam kitab suci al-Quran dan al-hadits. Dengan sebab demikian, orang yang termasuk dalam golongan ini berkewajiban mengikuti salah satu mazhab yang ada. Kita tidak dapat membayangkan bagaimana sebagian umat Islam yang yang tidak mengerti bahasa Al-Quran dan al-hadits serta tidak mengerti mutlaq, ‘am, asbabun nuzul, asbabul wurud hadits dan disiplin ilmu lainnya dipaksa memahami hukum fiqh yang terkandung di dalamnya. Alhasil, bermazhab merupakan satu satunya solusi bagi orang awam dan yang tidak mempunyai kemampuan berijtihad dalam mengamalkan ajaran Islam. Bermazhab sebagaimana dijelaskan di atas, pada hakikatnya dia tidak mengikuti seorang imam mazhab, tapi mengikuti Allah dan Rasul-Nya, sesuai dengan yang dipahami oleh imam mazhab itu. Allah Ta’ala berfirman :

فَاسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ

Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,(Q.S. al-Nahl : 43)

 

Ada dua golongan umat Islam dalam bermazhab, yang pertama ; ulama yang taqlid kepada qawaid imam mazhabnya, tidak pada furu’ fiqhnya. Mereka ini berijtihad pada hukum fiqh sebagaimana lumrahnya seorang mujtahid mutlaq, akan tetapi dalam berijtihad menggunakan metodelogi atau qawaid yang digunakan oleh imamnya. Dengan pertimbangan tersebut mereka ini sering menisbahkan dirinya atau mengaku bermazhab kepada imamnya. Pembagian pertama ini sering disebut sebagai mujtahid muntasib. Dalam mazhab Syafi’i, ulama seperti ini umumnya merupakan murid-murid dari Imam Syafi’i seperti al-Muzaniy, al-Buwaithiy dan lain-lain. Sehingga tidak heran, Imam Syafi’i melarang mereka taqlid kepada beliau dalam fiqh, karena mereka ini mempunyai kemampuan berijtihad, meskipun tetap bertaqlid dan menggunakan qawaid Imam Syafi’i. Larangan ini antara lain dapat diperhatikan  dari ucapan Imam al-Muzaniy

لاقربه على من اراده مع اعلاميه نهيه عن تقليده وتقليد غيره

Sesungguhnya telah aku mempermudah ilmu Syafi’i atas orang-orang yang menginginkannya serta ada pemberitahuan dari Syafi’i atas larangan taqlid kepada beliau dan kepada selainnya.(Mukhtashar al-Muzani I/7)

 

Yang kedua ; Yang tidak mampu berijtihad sama sekali. Mereka ini diharuskan bertaqlid tentang hukum fiqh kepada mazhab yang ada sebagaimana sudah dijelaskan di atas.

 

3.  Bermazhab dengan salah satu mazhab yang empat

Sebagaimana dijelaskan di atas, mazhab adalah hasil ijtihad imam mujtahid. Sebenarnya mazhab fiqh tidak terbatasi hanya empat mazhab. Dalam perkembangan sejarah fiqh, mazhab yang sempat hidup dan ada pengikut yang mempelajarinya sebagai sebuah disiplin ilmu mencapai lebih kurang sebelas mazhab, yakni mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, Sufyan Tsuriy, al-Laits bin Sa’ad, Ishaq bin Rahawaih, Ibn Jarir, Sufyan bin ;’Aiyinah, al-Auza’i dan mazhab Daud. (Sab’atul Kutubil Mufidah : 58) Namun seiring berjalannya waktu, sebagian mazhab-mazhab tersebut hilang dari peredaran dunia Islam dan kitab-kitab sebagai rujukannya juga tidak diketahui lagi. Hanya empat mazhab yang kita kenal hari ini, yakni mazhab Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hanbali yang dapat bertahan dan terus dipelihara oleh muridnya dari satu generasi ke generasi berikutnya sampai kepada zaman sekarang dengan semua penjelasannya (syarah dan hasyiahnya) dan bukan hanya sepenggal-sepenggal sebagaimana halnya mazhab lain yang sudah hilang. Karena itu, bermazhab dengan salah satu mazhab yang empat merupakan konsekwensi logis dari perkembangan mazhab fiqh dalam dunia Islam. Hanya empat mazhab fiqh yang ada hari ini yang masih dapat dipercaya keasliannya. Karena itu, seandainya mazhab selain yang empat masih dapat dipercaya keasliannya dan hukum fiqhnya lengkap dengan segala syarat dan yang berhubungan dengannya, maka tidak diragukan kebolehan mengikutinya juga. Abubakar Syatha mengatakan,

(قوله: لا غيرها) أي غير المذاهب الاربعة، وهذا إن لم يدون مذهبه، فإن دون جاز كما في التحفة ونصها: يجوز ‌تقليد كل من الأئمة الاربعة، وكذا من عداهم ممن حفظ مذهبه في تلك المسألة ودون حتى عرفت شروطه وسائر معتبراته، فالاجماع الذي نقله غير واحد على منع ‌تقليد الصحابة، يحمل على ما فقد فيه شرط من ذلك.اه

Perkataan pengarang : tidak boleh taqlid selain mazhab empat. Ini apabila mazhabnya tidak dibukukan. Adapun jika ada dibukukan, maka boleh sebagaimana penjelasan dalam Tuhfah. Nashnya : boleh taqlid setiap mazhab yang empat dan demikian juga mazhab selainnya yang terpelihara dan dibukukan mazhabnya dalam suatu masalah sehingga diketahui syarat-syaratnya serta yang berhubungan dengannya. Adapun ijmak yang dikutip bukan hanya satu orang terlarang taqlid mazhab para sahabat Nabi SAW dipertempatkan kepada yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. (I’anah al-Thalibin IV/250)

 

4.  Bermazhab lintas mazhab

Yang dimaksud bermazhab lintas mazhab di sini adalah seseorang tidak mengikat diri dalam beramal dengan satu mazhab saja. Tidak ada larangan seseorang berpindah dari satu mazhab kepada mazhab lainnya selama dia menguasai mazhab yang diamalkannya dengan segala syarat dan yang berhubungan dengannya serta selama tidak terjadi talfiq dan mencari-cari keringanan. Contoh talfiq, seseorang melakukan shalat dengan wudhu’nya yang hanya menyapu sebagian kepala karena taqlid kepada mazhab Syafi’i kemudian dia tidak melakukan sama’ sebab tersentuh jilatan anjing dengan taqlid kepada mazhab Maliki. Mencampurkan dua mazhab ini dalam shalat, tentu tidak diakui oleh kedua mazhab tersebut. Shalatnya tidak sah menurut mazhab Syafi’i, karena najis anjing dan tidak sah menurut mazhab Maliki, karena wudhu’nya tidak sempurna yang semestinya menurut mazhab Maliki harus disapu semua bagian kepala. Ibnu Hajar al-Haitamiy mengatakan,

وَأَنَّهُ يَجُوزُ لِلْعَامِّيِّ أَيْ مَنْ لَمْ يَتَأَهَّلْ لِمَعْرِفَةِ الْأَدِلَّةِ عَلَى قَوَانِينِهَا ‌تَقْلِيدُ مَنْ شَاءَ مِنْ الشَّافِعِيِّ وَمَالِكٍ وَغَيْرِهِمَا مَا لَمْ يَتَتَبَّعْ الرُّخَصَ أَوْ يَحْصُلْ تَلْفِيقٌ لَا يَقُولُ بِهِ أَحَدٌ مِمَّنْ قَلَّدَهُمْ

Boleh bagi orang awam yakni orang yang bukan ahli mengenal dalil-dalil sesuai dengan aturannya dibolehkan bertaqlid kepada imam mazhab mana saja, baik Syafi’i, Malik dan selain keduanya selama tidak sekedar mengikuti yang ringan-ringan saja atau terjadi talfiq yang tidak dikatakan oleh salah seorang dari para mujtahid yang ditaqlidnya. (Al-Fatawa al-Kubraa al-Fiqhiyah I/251)

 

Imam al-Nawawi mengatakan,

والذي يقتضيه الدليل أنه لا يلزمه التمذهب بمذهب، بل يستفتي من شاء أو من اتفق، لكن من غير تلقط الرخص، ولعل من منعه لم يثق بعدم تلقطه.

Adapun yang ditunjukkan oleh dalil adalah bahwa tidak wajib bagi seseorang untuk melazimi mazhab tertentu. Akan tetapi, dia boleh untuk meminta fatwa kepada ulama mujtahid siapa pun yang dia kehendaki atau yang dia temui, akan tetapi tidak boleh mencari-cari keringanan. Para ulama yang melarang hal ini bisa jadi tidak yakin akan tidak adanya perbuatan mencari-cari keringanan ini.(Raudhah al-Thalibin XI/117)

Wallahua’lam bisshawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar