Renungan

Selasa, 06 Desember 2022

Perempuan berpergian keluar negeri tanpa mahram

 

Hukum perempuan yang berpergian ke luar negeri tanpa mahram dapat dijelaskan dalam point-point berikut ini :

1.  Apabila berpergian dimaksud dalam rangka melakukan sesuatu yang wajib, maka seorang perempuan boleh melakukan perjalanan meski hanya ditemani oleh seorang perempuan, bahkan boleh melakukan perjalanan sendiri jika diyakini aman terhadap dirinya. Ini sebagaimana dijelaskan oleh pengarang I’anah al-Thalibin berikut ini :

أما الجواز فلها أن تخرج مع امرأة واحدة ثقة ‌ولها ‌أيضا ‌أن ‌تخرج وحدها إذا تيقنت الأمن على نفسها كما في المغنى

Adapun dari sisi kebolehannya, maka seorang perempuan boleh keluar dengan didampingi seorang perempuan lain dan bahkan boleh keluar sendiri jika diyakini aman atas dirinya sebagaimana disebut dalam al-Mughni.(I’anah al-Thalibin II/321)

 

Termasuk berpergian dalam katagori wajib diantaranya melaksanakan ibadah haji wajib atau berpergian dalam rangka mencari nafkah apabila suami tidak mampu memenuhi kewajiban nafkah isteri atau tidak mampu mencukupinya sesuai dengan yang ma’ruf.

 

Keringanan pada katagori wajib ini karena perjalanan tersebut hukumnya wajib, sehingga membedakan dengan hukum perjananan yang tidak wajib. Ini merupakan pendapat dalam mazhab Syafi’i. Berbeda dengan mazhab Syafi’i, misalnya dalam Mazhab Malik tetap mensyaratkan minimal ada perempuan yang menemaninya dalam perjalanan dalam rangka melakukan sesuatu yang wajib.(Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Syarh al-Kabiir II/9). Menurut Imam Syafi’i hadits-hadits Nabi SAW yang melarang perempuan melakukan perjalanan tanpa mahram, itu dimaksudkannya dalam perjalanan yang tidak wajib. (Asnaa al-Mathalib I/448). Hadits tersebut antara lain :

لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاَللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ يَوْمًا وَلَيْلَةً لَيْسَ مَعَهَا ذُو حُرْمَةٍ

Tidak halal seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir melakukan perjalanan satu hari satu malam yang tidak ada mahram bersamanya (H.R. Bukhari dan Muslim)

 

2.  Berpergian dalam rangka melakukan sesuatu yang tidak wajib, baik sunnah atau mubah. Katagori yang tidak wajib ini antara lain melaksanakan ibadah haji sunnah atau mencari pekerjaan atau usaha untuk mendapat sejumlah harta sebagai nafkah hidup, sedangkan suami atau walinya masih sanggup memenuhinya. Terjadi perbedaan pendapat ulama dalam Mazhab Syafi’i dalam menetapkan hukum untuk katagori ini, apakah boleh seseorang perempuan melakukan perjalanan tanpa mahram dan hanya ditemani beberapa perempuan atau seorang perempuan yang terpercaya. Imam al-Nawawi dalam Majmu’ Syarah al-Muhazzab menyebut pendapat-pendapat tersebut sebagai berikut :

(أَحَدُهُمَا) يَجُوزُ كَالْحَجِّ (وَالثَّانِي) وَهُوَ الصَّحِيحُ بِاتِّفَاقِهِمْ وَهُوَ الْمَنْصُوصُ فِي الْأُمِّ وَكَذَا نَقَلُوهُ عَنْ النَّصِّ لَا يَجُوزُ لِأَنَّهُ سفر لبس بِوَاجِبٍ هَكَذَا عَلَّلَهُ الْبَغَوِيّ وَيُسْتَدَلُّ لِلتَّحْرِيمِ أَيْضًا بِحَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ (لَا تُسَافِرْ امْرَأَةٌ ثَلَاثًا إلَّا وَمَعَهَا مَحْرَمٌ) رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ

Pendapat yang pertama ; boleh sama hukumnya dengan melaksanakan haji. Pendapat kedua pendapat yang shahih dengan sepakat para ulama ; tidak boleh, karena itu adalah perjalanan tidak wajib. Demikian alasan yang dikemukakan oleh al-Baghwi. Pendapat ini merupakan pendapat yang ada nash dalam al-Um. Demikian juga ini telah dikutip oleh para ulama dari Nash Imam Syafi’i. Dalil pendapat ini ada hadits Ibnu Umar, Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “Seorang perempuan jangan melakukan perjalanan tiga hari kecuali bersamanya ada mahram.” Diriwayat oleh Bukhari dan Muslim. (Majmu’ Syarah al-Muhazzab : V/87)

Teks ini menjelaskan kepada kita bahwa pendapat yang shahih dalam Mazhab Syafi’i seorang perempuan tidak boleh melakukan perjalanan bukan wajib kecuali bersamanya ada mahram. Namun pendapat lain mengatakan, boleh seandainya ada bersamanya seorang perempuan terpercaya atau lebih. Sebagian ulama zaman sekarang seperti Syeikh Ali Jum’ah (seorang mufti Mazhab Syafi’i di Mesir) memahami hadits larangan melakukan perjalanan bagi perempuan di atas sebagai larangan atas dasar kekuatiran keamanan atas diri perempuan. Karena itu, selama kekuatiran tersebut tidak ada, maka larangan tersebut tidak berlaku. Atas dasar ini, sebagian ulama Malikiyah berpendapat larangan melakukan perjalanan hanya berlaku bagi perempuan muda yang ada potensi syahwat. Adapun perempuan tua yang tidak ada lagi potensi syahwat bagi yang melihatnya, maka boleh melakukan perjalanan dalam setiap kondisi tanpa suami dan mahram. Pemahaman seperti ini juga didakwa oleh Ibnu Daqiq al-‘Id merupakan pilihan dari Imam Syafi’i yang mengatakan:

أَنَّ الْمَرْأَةَ تُسَافِرُ فِي الْأَمْنِ. وَلَا تَحْتَاجُ إلَى أَحَدٍ، بَلْ تَسِيرُ وَحْدَهَا فِي جُمْلَةِ الْقَافِلَةِ، فَتَكُونُ آمِنَةً

Sesungguhnya perempuan dapat melakukan perjalanan dalam keadaan aman, tidak membutuhkan kepada orang lain, bahkan dapat melakukannya sendiri dalam rombongan kafilah, karena dia dalam keadaan aman.(Ihkam al-Ahkam : II/55)

 

3.  Adapun seorang isteri apabila melakukan perjalananan keluar dari rumah suaminya tanpa izin suami, maka tindakan tersebut merupakan perbuatan haram dan dihukum nusyuz (durhaka). Nabi SAW bersabda :

إِذَا اسْتَأْذَنَكُمْ نِسَاؤُكُمْ ‌بِاللَّيْلِ إِلَى الْمَسْجِدِ فَأْذَنُوا لَهُنَّ

Apabila istri kalian meminta izin kepada kalian untuk berangkat ke masjid malam hari, maka izinkanlah. (H.R. Bukhari )

 

Imam Al-Nawawi mengatakan, hadis ini dijadikan dalil bahwa wanita tidak boleh keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya. (Fathulbarri, II/347-348).

Namun demikian, seorang isteri apabila dalam keadaan darurat atau ada kepentingan mendesak, maka dibolehkan keluar dari rumah suaminya meskipun tanpa izin suami, seperti takut kepada musuh, kuatir tenggelam, membutuhkan kerja sementara belanja dari suaminya tidak mencukupi. Ini sesuai dengan fatwa Ibnu Hajar al-Haitami yang mengatakan :

لها الخروج بغير إذن للضرورة كخوف هدم وعدو وحريق وغرق وللحاجة للتكسب بالنفقة إذا لم يكفها الزوج وللحاجة الشرعية كالاستفتاء ونحوه إلا أن يفتيها الزوج أو يسأل لها

boleh bagi isteri keluar tanpa izin suaminya karena darurat seperti kuatir ada reruntuhan, takut sama musuh, kuatir terbakar, kuatir tenggelam atau karena ada kepentingan kerja untuk memenuhi nafkah apabila tidak dapat dipenuhi oleh suami ataupun ada keperluan syara’ seperti meminta fatwa dan lainnya kecuali suaminya dapat memberikan fatwa atau dapat bertanya untuk isterinya.(al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubraa IV/205)

 

4.  Seandainya yang terjadi merupakan perjalanan yang dihukum haram oleh syara’ karena tidak memenuhi syarat kebolehan melakukan perjalanan bagi perempuan, seperti melakukan perjalanan yang tidak wajib tanpa ditemani seorang mahramnya sebagaimana pendapat shahih dalam mazhab Syafi’i dan melakukan perjalanan tanpa izin suami, sementara itu  tidak ada situasi darurat apapun, maka yang menjadi haram hanyalah perjalanan itu sendiri.  Adapun hasil pekerjaan berupa upah kerja atau rezeki lainnya selama dalam perjalanan tersebut, maka itu tidak terkait langsung dengan keharaman perjalanan. Artinya upah kerja atau rezeki lainnya itu adalah halal selama upah atau rezeki tersebut merupakan imbalan dari pekerjaan yang halal. Ini sebagaimana dihukum halal menggauli isteri dari pernikahan seseorang yang menikah dengan tunangan orang lain, meskipun hukum meminang atas tunangan orang lain adalah haram sebagaimana sabda Nabi SAW berbunyi :

وَلاَ يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ، حَتَّى يَتْرُكَ الخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الخَاطِبُ

Jangan salah seorang dari kalian meminang pinangan saudaranya sehingga peminang sebelumnya meninggalkannya atau mengizinkannya. (H.R. Bukhari)

 

Wallahua’lam bisshawab

 

1 komentar: