Hukum perempuan yang berpergian ke luar negeri tanpa mahram dapat dijelaskan dalam point-point berikut ini :
1. Apabila berpergian dimaksud dalam rangka
melakukan sesuatu yang wajib, maka seorang perempuan boleh melakukan perjalanan
meski hanya ditemani oleh seorang perempuan, bahkan boleh melakukan perjalanan
sendiri jika diyakini aman terhadap dirinya. Ini sebagaimana dijelaskan oleh
pengarang I’anah al-Thalibin berikut ini :
أما الجواز فلها أن تخرج مع امرأة واحدة ثقة ولها
أيضا أن تخرج وحدها إذا تيقنت الأمن على نفسها كما في المغنى
Adapun dari sisi kebolehannya, maka seorang perempuan boleh keluar
dengan didampingi seorang perempuan lain dan bahkan boleh keluar sendiri jika
diyakini aman atas dirinya sebagaimana disebut dalam al-Mughni.(I’anah
al-Thalibin II/321)
Termasuk berpergian dalam katagori wajib diantaranya melaksanakan
ibadah haji wajib atau berpergian dalam rangka mencari nafkah apabila suami
tidak mampu memenuhi kewajiban nafkah isteri atau tidak mampu mencukupinya sesuai
dengan yang ma’ruf.
Keringanan pada katagori wajib ini karena perjalanan tersebut
hukumnya wajib, sehingga membedakan dengan hukum perjananan yang tidak wajib.
Ini merupakan pendapat dalam mazhab Syafi’i. Berbeda dengan mazhab Syafi’i,
misalnya dalam Mazhab Malik tetap mensyaratkan minimal ada perempuan yang
menemaninya dalam perjalanan dalam rangka melakukan sesuatu yang wajib.(Hasyiah
al-Dusuqi ‘ala Syarh al-Kabiir II/9). Menurut Imam Syafi’i hadits-hadits Nabi
SAW yang melarang perempuan melakukan perjalanan tanpa mahram, itu dimaksudkannya
dalam perjalanan yang tidak wajib. (Asnaa al-Mathalib I/448). Hadits tersebut
antara lain :
لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ
بِاَللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ يَوْمًا وَلَيْلَةً لَيْسَ
مَعَهَا ذُو حُرْمَةٍ
Tidak halal seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari
akhir melakukan perjalanan satu hari satu malam yang tidak ada mahram bersamanya
(H.R. Bukhari dan Muslim)
2. Berpergian dalam rangka melakukan sesuatu yang
tidak wajib, baik sunnah atau mubah. Katagori yang tidak wajib ini antara lain
melaksanakan ibadah haji sunnah atau mencari pekerjaan atau usaha untuk
mendapat sejumlah harta sebagai nafkah hidup, sedangkan suami atau walinya
masih sanggup memenuhinya. Terjadi perbedaan pendapat ulama dalam Mazhab
Syafi’i dalam menetapkan hukum untuk katagori ini, apakah boleh seseorang
perempuan melakukan perjalanan tanpa mahram dan hanya ditemani beberapa
perempuan atau seorang perempuan yang terpercaya. Imam al-Nawawi dalam Majmu’
Syarah al-Muhazzab menyebut pendapat-pendapat tersebut sebagai berikut :
(أَحَدُهُمَا)
يَجُوزُ كَالْحَجِّ (وَالثَّانِي) وَهُوَ الصَّحِيحُ بِاتِّفَاقِهِمْ وَهُوَ
الْمَنْصُوصُ فِي الْأُمِّ وَكَذَا نَقَلُوهُ عَنْ النَّصِّ لَا يَجُوزُ لِأَنَّهُ
سفر لبس بِوَاجِبٍ هَكَذَا عَلَّلَهُ الْبَغَوِيّ وَيُسْتَدَلُّ لِلتَّحْرِيمِ
أَيْضًا بِحَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ (لَا تُسَافِرْ امْرَأَةٌ ثَلَاثًا إلَّا وَمَعَهَا مَحْرَمٌ)
رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ
Pendapat yang pertama ; boleh sama hukumnya dengan melaksanakan
haji. Pendapat kedua pendapat yang shahih dengan sepakat para ulama ; tidak
boleh, karena itu adalah perjalanan tidak wajib. Demikian alasan yang
dikemukakan oleh al-Baghwi. Pendapat ini merupakan pendapat yang ada nash dalam
al-Um. Demikian juga ini telah dikutip oleh para ulama dari Nash Imam Syafi’i.
Dalil pendapat ini ada hadits Ibnu Umar, Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda :
“Seorang perempuan jangan melakukan perjalanan tiga hari kecuali bersamanya ada
mahram.” Diriwayat oleh Bukhari dan Muslim. (Majmu’ Syarah al-Muhazzab : V/87)
Teks ini menjelaskan kepada kita bahwa
pendapat yang shahih dalam Mazhab Syafi’i seorang perempuan tidak boleh
melakukan perjalanan bukan wajib kecuali bersamanya ada mahram. Namun pendapat
lain mengatakan, boleh seandainya ada bersamanya seorang perempuan terpercaya
atau lebih. Sebagian ulama zaman sekarang seperti Syeikh Ali Jum’ah (seorang
mufti Mazhab Syafi’i di Mesir) memahami hadits larangan melakukan perjalanan
bagi perempuan di atas sebagai larangan atas dasar kekuatiran keamanan atas
diri perempuan. Karena itu, selama kekuatiran tersebut tidak ada, maka larangan
tersebut tidak berlaku. Atas dasar ini, sebagian ulama Malikiyah berpendapat
larangan melakukan perjalanan hanya berlaku bagi perempuan muda yang ada potensi
syahwat. Adapun perempuan tua yang tidak ada lagi potensi syahwat bagi yang melihatnya,
maka boleh melakukan perjalanan dalam setiap kondisi tanpa suami dan mahram.
Pemahaman seperti ini juga didakwa oleh Ibnu Daqiq al-‘Id merupakan pilihan
dari Imam Syafi’i yang mengatakan:
أَنَّ
الْمَرْأَةَ تُسَافِرُ فِي الْأَمْنِ. وَلَا تَحْتَاجُ إلَى أَحَدٍ، بَلْ تَسِيرُ
وَحْدَهَا فِي جُمْلَةِ الْقَافِلَةِ، فَتَكُونُ آمِنَةً
Sesungguhnya perempuan dapat melakukan
perjalanan dalam keadaan aman, tidak membutuhkan kepada orang lain, bahkan
dapat melakukannya sendiri dalam rombongan kafilah, karena dia dalam keadaan
aman.(Ihkam al-Ahkam : II/55)
3. Adapun seorang isteri apabila
melakukan perjalananan keluar dari rumah suaminya tanpa izin suami, maka
tindakan tersebut merupakan perbuatan haram dan dihukum nusyuz (durhaka). Nabi
SAW bersabda :
إِذَا
اسْتَأْذَنَكُمْ نِسَاؤُكُمْ بِاللَّيْلِ إِلَى الْمَسْجِدِ فَأْذَنُوا لَهُنَّ
Apabila
istri kalian meminta izin kepada kalian untuk berangkat ke masjid malam hari,
maka izinkanlah. (H.R. Bukhari )
Imam Al-Nawawi mengatakan, hadis
ini dijadikan dalil bahwa wanita tidak boleh keluar dari rumah suaminya kecuali
dengan izin suaminya. (Fathulbarri, II/347-348).
Namun demikian, seorang isteri
apabila dalam keadaan darurat atau ada kepentingan mendesak, maka dibolehkan
keluar dari rumah suaminya meskipun tanpa izin suami, seperti takut kepada musuh,
kuatir tenggelam, membutuhkan kerja sementara belanja dari suaminya tidak
mencukupi. Ini sesuai dengan fatwa Ibnu Hajar al-Haitami yang mengatakan :
لها الخروج بغير إذن للضرورة كخوف هدم وعدو وحريق وغرق وللحاجة
للتكسب بالنفقة إذا لم يكفها الزوج وللحاجة الشرعية كالاستفتاء ونحوه إلا أن
يفتيها الزوج أو يسأل لها
boleh bagi isteri keluar tanpa izin suaminya karena
darurat seperti kuatir ada reruntuhan, takut sama musuh, kuatir terbakar, kuatir
tenggelam atau karena ada kepentingan kerja untuk memenuhi nafkah apabila tidak
dapat dipenuhi oleh suami ataupun ada keperluan syara’ seperti meminta fatwa
dan lainnya kecuali suaminya dapat memberikan fatwa atau dapat bertanya untuk isterinya.(al-Fatawa
al-Fiqhiyah al-Kubraa IV/205)
4. Seandainya yang terjadi merupakan perjalanan
yang dihukum haram oleh syara’ karena tidak memenuhi syarat kebolehan melakukan
perjalanan bagi perempuan, seperti melakukan perjalanan yang tidak wajib tanpa
ditemani seorang mahramnya sebagaimana pendapat shahih dalam mazhab Syafi’i dan
melakukan perjalanan tanpa izin suami, sementara itu tidak ada situasi darurat apapun, maka yang
menjadi haram hanyalah perjalanan itu sendiri. Adapun hasil pekerjaan berupa upah kerja atau
rezeki lainnya selama dalam perjalanan tersebut, maka itu tidak terkait langsung
dengan keharaman perjalanan. Artinya upah kerja atau rezeki lainnya itu adalah
halal selama upah atau rezeki tersebut merupakan imbalan dari pekerjaan yang
halal. Ini sebagaimana dihukum halal menggauli isteri dari pernikahan seseorang
yang menikah dengan tunangan orang lain, meskipun hukum meminang atas tunangan
orang lain adalah haram sebagaimana sabda Nabi SAW berbunyi :
وَلاَ يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ
أَخِيهِ، حَتَّى يَتْرُكَ الخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الخَاطِبُ
Jangan salah seorang dari kalian meminang
pinangan saudaranya sehingga peminang sebelumnya meninggalkannya atau
mengizinkannya. (H.R. Bukhari)
Wallahua’lam
bisshawab
Jazakallah ustaz..
BalasHapus