Renungan

Kamis, 22 Desember 2022

Hukum menunda mandi junub karena datang haid

 

Jika orang berhadas besar disebabkan janabah, berhubungan badan, selang beberapa waktu, datang bulan (haidh) belum sempat mandi janabah. Apakah wajib mandi janabah segera. Walaupun sudah haid, atau sekalian saja nanti ketika suci. Kemudian apakah niatnya satu atau dua. Karena dua hadast besar? .

 Menjawab pertanyaan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :

1.  Orang berjunub atau hadats besar lainnya tidak harus segera mandi wajib, baik karena alasan udara yang dingin atau tanpa alasan apapun kecuali karena hendak melakukan suatu pekerjaan atau ibadah yang mewajibkan kita dalam keadaan suci seperti shalat, memegang mashaf al-Qur’an dan lain-lain. Dalam hal ini diriwayatkan :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّهُ لَقِيَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي طَرِيقٍ مِنْ طُرُقِ الْمَدِينَةِ، وَهُوَ جُنُبٌ فَانْسَلَّ فَذَهَبَ فَاغْتَسَلَ، فَتَفَقَّدَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا جَاءَهُ قَالَ: أَيْنَ كُنْتَ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، لَقِيتَنِي وَأَنَا جُنُبٌ فَكَرِهْتُ أَنْ أُجَالِسَكَ حَتَّى أَغْتَسِلَ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: سُبْحَانَ اللهِ ‌إِنَّ ‌الْمُؤْمِنَ ‌لَا ‌يَنْجُسُ

Dari Abu Hurairah r.a, sungguh Nabi SAW bertemu dengannya di salah satu jalan kota Madinah, padahal ia masih dalam kondisi junub. Lalu ia segera pergi menghindar dan segera mandi. Nabi SAW pun mencari-carinya. Kemudian saat ia mendatanginya. Nabi SAW  bersabda, ‘Kamu dari mana wahai Abu Hurairah?’ Ia menjawab, ‘Wahai Rasulullah, tadi Anda menjumpaiku saat itu dalam kondisi junub, maka aku tidak senang untuk duduk-duduk bersamamu sehingga aku mandi dahulu.’ Lalu Rasulullah SAW bersabda, ‘Subhanallah, sungguh orang mukmin itu tidak najis, (Muttafaqun ‘alaih)

 

Mengomentari hadits ini, Ibnu Hajar al-Asqalaniy mengatakan :

 

وَفِيهِ جَوَازُ تَأْخِيرِ الِاغْتِسَالِ عَنْ أَوَّلِ وَقت وُجُوبه

Dalam hadits dipahami kebolehan menunda mandi dari awal waktu wajib mandi. (Fathulbarri I/391

 

Namun demikian, meskipun tidak wajib, tetap dianjurkan menyegerakan mandi sebagaimana dimaklumi dalam hukum fiqh.

 

2.  Apabila seseorang sedang dalam keadaan berjunub, kemudian datang haid sebagaimana dalam kasus pertanyaan di atas, maka tidak wajib mandi dua kali. Bahkan mandi junub dimana seorang perempuan dalam keadaan berhaid tidak sah mandinya. Karena itu, perempuan tersebut memadai mandi di saat berakhir haidnya dengan satu kali mandi.

Imam as-Syafi’i dalam al-Umm menyatakan,

‌إذَا ‌أَصَابَتْ ‌الْمَرْأَةَ ‌جَنَابَةٌ ثُمَّ حَاضَتْ قَبْلَ أَنْ تَغْتَسِلَ مِنْ الْجَنَابَةِ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا غُسْلُ الْجَنَابَةِ وَهِيَ حَائِضٌ؛ لِأَنَّهَا إنَّمَا تَغْتَسِلُ فَتَطْهُرُ بِالْغُسْلِ وَهِيَ لَا تَطْهُرُ بِالْغُسْلِ مِنْ الْجَنَابَةِ وَهِيَ حَائِضٌ فَإِذَا ذَهَبَ الْحَيْضُ عَنْهَا أَجْزَأَهَا غُسْلٌ وَاحِدٌ

Ketika wanita berjunub, lalu mengalami haid sebelum mandi junub, dia tidak wajib untuk mandi junub selama masa haid. Karena fungsi mandi bisa menyebabkan orang menjadi suci, sementara dia tidak bisa suci dengan mandi junub, sementara dia dalam kondisi haid. Jika haidnya telah selesai, maka memadai mandi sekali. (al-Umm, 1/61).


Hal yang sama juga telah ditegaskan Imam al-Nawawi :

إذَا حَاضَتْ ثُمَّ أَجْنَبَتْ أَوْ أَجْنَبَتْ ثُمَّ حَاضَتْ لَمْ يَصِحَّ غُسْلُهَا عَنْ الْجَنَابَةِ فِي حَالِ الْحَيْضِ لِأَنَّهُ لَا فَائِدَةَ فِيهِ

Ketika wanita berhaid, lalu berjunub atau berjunub, lalu berhaid, maka tidak sah mandi junubnya pada saat berhaid. Karena tidak ada faedah mandinya (Majmu’ Syarh Muhazzab II/150)

 

3.  Karena memadai dengan satu kali mandi di saat berakhir haid, maka tentunya memadai dengan satu niat saja, yakni niat mengangkat hadats besar. Bahkan apabila mandi dengan niat mengangkat hadats salah satunya seperti niat mengangkat hadats sebab junub, tetap terangkat juga hadats sebab haid. Karena maksud dari mandi haid dan junub ini sama-sama mengangkat hadats besar. Qaidah fiqh mengatakan :

إذَا اجْتَمَعَ أَمْرَانِ مِنْ جِنْسٍ وَاحِدٍ وَلَمْ يَخْتَلِفْ مَقْصُودُهُمَا دَخَلَ أَحَدُهُمَا فِي الْآخَرِ غَالِبًا

Apabila berhimpun dua perkara yang sejenis, sedangkan maksud keduanya tidak berbeda, maka salah satunya masuk dalam yang lain pada kebiasaan. (al-Asybah wan Nadhair lil Suyuthi : 126)

Al-Imam ‘Amirah menegaskan :

قَوْلُ الشَّارِحِ: (أَوْ حَيْضٍ) لَوْ كَانَ عَلَى الْمَرْأَةِ حَيْضٌ وَجَنَابَةٌ فَنَوَتْ أَحَدَهُمَا فَقَطْ ارْتَفَعَ الْآخَرُ قَطْعًا، وَاسْتَشْكَلَ الْقَطْعَ مَعَ جَرَيَانِ الْخِلَافِ فِي نَظِيرِهِ مِنْ الْوُضُوءِ.

Perkataan pensyarah : (atau haid). Jika seorang perempuan mengalami haid dan junub, lalu ia meniatkan mandi salah satunya saja, maka terangkat hadats yang lain tanpa khilaf.(Hasyiah Qalyubi wa ‘Amirah I/74-75)

 

Wallahua’lam bisshawab

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar