Adapun dasar hukum waqaf sebagai berikut
:
لَن تَنَالُواْ ٱلۡبِرَّ حَتَّىٰ
تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَۚ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيۡءٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ
عَلِيمٞ
Kamu sekali-kali tidak akan memperoleh
kebajikan sebelum kamu menginfaqkan sebagian harta yang kamu cintai. Apapun
yang kamu infaqkan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui tentangnya. (Q.S. Ali
Imran : 92)
Dan sabda Nabi SAW berbunyi :
إذَا مَاتَ الْمُسْلِمُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ
إلَّا مِنْ ثَلَاثٍ صَدَقَةٌ جَارِيَةٌ أَوْ عِلْمٌ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٌ
صَالِحٌ يَدْعُو لَهُ
Apabila seorang muslim meninggal dunia, maka terputus
amalnya kecuali tiga perkara ; sadaqah jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak
yang shaleh yang berdoa untuk orangtuanya. (H.R. Muslim)
Para ulama menafsirkan makna shadaqah
jariah dalam hadits ini bermakna waqaf. (Tuhfah al-Muhtaj VI/235)
Dasar hukum lain yang menjadi landasan
dari wakaf adalah perintah Nabi SAW kepada
Umar yang hendak melakukan waqaf kebun yang berlokasi di Khaibar, berbunyi :
احبس أصلها
وسبل ثمرتها
Tahanlah pokoknya dan salurkanlah hasilnya. (H.R. An-Nisa’i,
Ibnu Majah dan Syafi’i)
Dalam riwayat lain berbunyi :
إن شئت حبست
أصلها، وتصدقت بها، فتصدق بها عمر على أن لا تباع ولا توهب ولا تورث…
Jika kamu mau, kamu tahan pokoknya
dan kamu sadaqahkannya (hasilnya). Maka Umar menyedaqahkan kebun tersebut
dengan cara tidak membolehkan menjual, tidak menghibah dan juga tidak
mewariskan….(H.R. Bukhari, Muslim, Ahmad dan lainnya)
Dari dua
riwayat ini, dipahami bahwa harta yang diwaqaf disyaratkan kekal materinya.
Hanya manfaatnya saja yang diambil oleh penerima waqaf. Karena itu, harta yang
diwaqaf tersebut tidak boleh diperjualbelikan, dihibah dan diwarisi. Berdasarkan
ini, makanan tidak boleh diwaqafkan. Karena memanfaatkan makanan dapat
menghilangkan materi makanan tersebut (tidak kekal materinya) dengan cara
memakannya. Sesuai dengan penjelasan di atas, para ulama kita
mendevinisikan waqaf sebagai berikut :
حَبْسُ مَالٍ
يُمْكِنُ الِانْتِفَاعُ بِهِ مَعَ بَقَاءِ عَيْنِهِ بِقَطْعِ التَّصَرُّفِ فِي
رَقَبَتِهِ عَلَى مَصْرِفٍ مُبَاحٍ
Menahan
harta yang memungkinkan diambil manfaatnya dengan kekalnya materi harta
tersebut, serta terputusnya hak milik dari pewakaf, untuk disalurkan pada hal
yang mubah (Tuhfah al-Muhtaj VI/235)
Berdasarkan hadits-hadits dan devinisi
waqaf di atas, maka dapat dipastikan bahwa waqaf uang tidak sah. Karena
pemanfaatannya dengan cara menghilangkan penguasaan terhadap uang itu sendiri
dengan cara membeli benda lain. Misalnya seseorang yang mewaqafkan uang untuk
pembangunan masjid, maka tentunya dengan uang tersebut pengurus masjid membeli
bahan-bahan bangunan untuk pembangunan masjid. Dengan demikian uang yang
diwaqafkan hilang sebagai harta waqaf dengan sebab pemanfaatannya. Sedangkan
berdasarkan hadits-hadits diatas, diperintahkan menahan harta waqaf dan
diperintahkan mengambil manfaatnya saja.
Solusi untuk menghindari waqaf uang
Salah satu cara untuk menghindari terjadi
waqaf uang dapat dilakukan proses berikut ini :
1. Memberikan uang kepada panitia masjid, dayah
atau lainnya dengan akad wakalah (mewakilkan) untuk membeli tanah sesuai dengan
yang diinginkan
2. Setelah terjadi proses pembelian tanah oleh
panitia atas nama wakil dari pemilik uang, maka langkah selanjutnya pemilik
uang (sekarang sudah menjadi pemilik tanah) melakukan akad waqaf tanah kepada
panitia dimaksud di atas.
3. Dengan proses seperti ini, yang menjadi harta
waqaf adalah tanah, bukan uang.
4. Penyebutan tanah hanya sebagai contoh saja.
Contoh lain bisa dalam bentuk bahan bangunan atau yang sejenisnya yang kekal
materinya ketika dimanfaatkannya.
Wallahua’lam bisshawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar