Renungan

Sabtu, 07 Januari 2023

Hukum memberikan zakat kepada orang miskin yang kesehariannya ditanggung oleh orang lain

 

Seseorang yang tidak punya kemampuan dalam hal nafkah pribadinya, namun ada yang menanggungnya dapat dikelompokan dalam dua katagori hukumnya, yaitu :

1.  Tidak boleh diberikan zakat hak fakir dan miskin kepadanya apabila nafkahnya diberikan oleh suami atau kerabat yang wajib nafkah atasnya seperti anak dan ayah, sedangkan nafkahnya tersebut mencukupi untuk kebutuhannya.

2.  Boleh diberikan zakat hak fakir dan miskin kepadanya dengan syarat :

a.    Nafkahnya diberikan oleh orang atau kelompok orang yang tidak wajib nafkah atasnya seperti kerabat jauh, tetangga dan lain-lain.

b.    Nafkahnya diberikan oleh suami atau kerabat yang wajib nafkah atasnya, akan tetapi tidak mencukupi.

Kesimpulan di atas sesuai dengan keterangan ulama berikut ini :

1.  Al-Khatib al-Syarbaini mengatakan :

(وَالْمَكْفِيُّ بِنَفَقَةِ قَرِيبٍ أَوْ) نَفَقَةِ (زَوْجٍ لَيْسَ فَقِيرًا) وَلَا مِسْكِينًا أَيْضًا فَلَا يُعْطَى مِنْ سَهْمِهِمَا (فِي الْأَصَحِّ) لِأَنَّهُ غَيْرُ مُحْتَاجٍ كَالْمُكْتَسِبِ كُلَّ يَوْمٍ قَدْرَ كِفَايَتِهِ، وَالثَّانِي: نَعَمْ؛ لِاحْتِيَاجِهِمَا إلَى غَيْرِهِمَا. تَنْبِيهٌ مَحَلُّ الْخِلَافِ إذَا كَانَ يُمْكِنُ الْأَخْذُ مِنْ الْقَرِيبِ وَالزَّوْجِ وَلَوْ فِي عِدَّةِ الطَّلَاقِ الرَّجْعِيِّ أَوْ الْبَائِنِ وَهِيَ حَامِلٌ كَمَا قَالَهُ الْمَاوَرْدِيُّ، وَإِلَّا فَيَجُوزُ الْأَخْذُ بَلَا خِلَافٍ، وَخَرَجَ بِذَلِكَ الْمَكْفِيُّ بِنَفَقَةِ مُتَبَرِّعٍ فَيَجُوزُ لَهُ الْأَخْذُ

Orang yang mencukupi nafkahnya dengan pemberian kerabat dekat atau suami bukanlah fakir dan bukan juga miskin. Karena itu, tidak diberikan hak fakir dan miskin kepadanya menurut pendapat yang lebih shahih, karena orang ini tidak membutuhkannya sama halnya orang yang selalu berusaha setiap harinya ukuran kebutuhannya. Pendapat kedua : boleh, karena kedua fakir dan miskin membutuhkan kepada selainnya. Catatan : Posisi khilafiyah adalah apabila memungkinkan mengambil kebutuhannya dari kerabat atau suami meskipun dalam ‘iddah thalaq raj’i atau talaq baa-in sementara dia dalam keadaan hamil sebagaimana dikemukakan oleh al-Mawardiy. Dan seandainya tidak memungkinkan mengambil dari kerabat atau suami, dibolehkan mengambil tanpa khilaf. Dengan penegasan di atas, maka tidak termasuk orang yang mencukupi nafkahnya dengan pemberian yang bertabarru’ (memberi bukan karena dasar wajib), maka dibolehkan mengambilnya.[1]

2.  Dalam mengomentari ucapan pengarang Fathul Wahab, Sulaiman al-Jamal mengatakan :

أَفْهَمَ تَعْبِيرُهُ بِالْكِفَايَةِ أَنَّ الْكَلَامَ فِي زَوْجٍ مُوسِرٍ أَمَّا مُعْسِرٌ لَا يَكْفِي فَتَأْخُذُ تَمَامَ كِفَايَتِهَا بِالْفَقْرِ وَيُفْهِمُ أَيْضًا أَنَّ مَنْ لَمْ يَكْفِهَا مَا وَجَبَ لَهَا عَلَى الْمُوسِرِ لِكَوْنِهَا أَكُولَةً تَأْخُذُ تَمَامَ كِفَايَتِهَا

Dipahami dari ungkapan pengarang dengan “kifayah” bahwa fokus pembahasannya adalah pada suami yang kaya. Adapun suaminya yang miskin tidak menjadikannya mencukupi. Karenanya, isteri mengambil kebutuhannya pada hak fakir. Dapat dipahami pula, bahwa isteri yang tidak mencukupi dengan apa yang wajib atas suami yang kaya karena keadaannya akuulah (banyak kebutuhan) dapat mengambil menyempurnakan kebutuhannya pada hak fakir.[2]

 

3.  Abu Bakar Syathaa dalam menjelaskan pengertian nafkah wajib di atas, beliau mengatakan :

)وقوله: ‌بنفقة ‌قريب) أي واجبة.وهي نفقة الأصل لفرعه، وبالعكس، ونفقة الزوج لزوجته - كما يستفاد من البيان بعده -.وخرج بها النفقة غير الواجبة، كنفقة الأخ على أخته، فلا تمنع الفقر والمسكنة

Perkataan pengarang Fath al-Mu’in “dengan nafkah kerabat dekat”, maksudnya adalah nafkah wajib, yaitu nafkah asal (ayah) kepada furu’ (anak) dan sebaliknya dan juga nafkah suami kepada isterinya sebagaimana dipahami dari penjelasan sesudahnya. Karenanya, tidak termasuk nafkah yang tidak wajib seperti nafkah saudara laki-laki kepada saudara perempuannya, maka tidak menghalangi hak fakir dan miskinnya.[3]

 

 

 

 

 



[1] Al-Khatib al-Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, Maktabah Syamilah, Juz.  IV, Hal. 174/175

 [2] Sulaiman al-Jamal, Hasyiah al-Jamal ‘ala Fathul Wahab, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 97-98

[3] Abu Bakar Syathaa, I’anah al-Thalibin, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 226

Jumat, 06 Januari 2023

Hukum non-muslim masuk masjid

Imam Syafi’i r.a. sebagaimana dikutip al-Mawardi dalam Kitab al-Hawi al-Kabir berkata:

وَلَا بَأْسَ أَنْ يَبِيتَ الْمُشْرِكُ فِي كُلِّ مَسْجِدٍ إِلَّا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ لِقَوْلِ اللَّهِ جَلَّ وَعَزَّ: فَلا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا

Tidak mengapa orang musyrik menetap dalam setiap masjid kecuali Masjid Haram, karena firman Allah Jalla wa ‘Azza :

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidilharam sesudah tahun ini (Q.S. al-Taubah : 28) [1]

 

Setelah mengutip ucapan Imam Syafi’i di atas, al-Mawardi membagikan orang musyrik dalam dua pembagian, yaitu :

1.   Mereka diterima sebagai ahli zimmi dengan syarat tidak boleh memasuki masjid. Maka mereka ini tidak boleh memasuki masjid dalam keadaan apapun

2.   Mereka yang tidak dibuat syarat apapun terkait masuk masjid. Kelompok ini terjadi perbedaan pendapat ulama dalam tiga pendapat terkaid apakah mereka dibolehkan masuk masjid atau tidak. Imam Syafi’i membolehkannya dengan izin pihak masjid kecuali masjid haram. Imam Malik tidak membolehkannya baik masjid haram maupun masjid lainnya. Sedangkan Imam Abu Hanifah membolehkan secara mutlaq, baik masjid haram maupun masjid lain.

Kemudian dengan mendasarkan kepada ayat di atas, al-Mawardi membantah pendapat Abu Hanifah yang membolehkan bagi kafir memasuki masjid tanpa pengecualian masjid haram. Demikian juga pendapat Malik yang berpendapat tidak boleh secara mutlak. Karena ayat di atas mengkhususkan larangan hanya pada masjid haram, maka dipahami bahwa bagi selain masjid haram berlaku hukum sebaliknya, yaitu boleh.[2]

Al-Zarkasyi juga ikut menguatkan pendapat Imam Syafi’i di atas, beliau mengatakan :

يمكن الكافر من دخول المسجد واللبس فيه وان كان جنوبا فان الكفار كانوا يدخلون مسجد صلعم ولا شك ان فيهم  الجنوب

Dipersilakan orang kafir masuk masjid dan menetap dalamnya meskipun mereka berjunub, karena kaum kafir masuk masjid Nabi SAW, padahal mereka berjunub.[3]

 

Kemudian dalam rangka pendalilian pendapat beliau, al-Zarkasyi mengatakan, Imam al-Bukhari telah membuat bab khusus tentang kaum musyrik masuk masjid dan beliau menyebut dalam bab tersebut hadits kisah seorang Arab Baduwi yang bertanya tentang Islam dan hadits kisah Yahudi yang mencerita seorang laki dan perempuan dari kalangan mereka yang berzina. [4]

Senada dengan al-Zarkasyi, al-Khatib al-Syarbaini mengatakan dalam kitabnya :

وَلَا يَجْرِي هَذَا الْحُكْمُ فِي حَرَمِ الْمَدِينَةِ لِاخْتِصَاصِ حَرَمِ مَكَّةَ بِالنُّسُكِ، وَثَبَتَ أَنَّهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - ‌أَدْخَلَ ‌الْكُفَّارَ ‌مَسْجِدَهُ، وَكَانَ ذَلِكَ بَعْدَ نُزُولِ " بَرَاءَةٌ "، فَإِنَّهَا نَزَلَتْ سَنَةَ تِسْعٍ، وَقَدِمَ الْوَفْدُ عَلَيْهِ سَنَةَ عَشْرٍ وَفِيهِمْ وَفْدُ نَصَارَى نَجْرَانَ، وَهُمْ أَوَّلُ مَنْ ضَرَبَ عَلَيْهِمْ الْجِزْيَةَ فَأَنْزَلَهُمْ مَسْجِدَهُ وَنَاظَرَهُمْ فِي أَمْرِ الْمَسِيحِ وَغَيْرِهِ

Hukum ini (haram memasuki haram Mekkah) tidak berlaku pada haram Madinah, karena terkhusus haram Mekkah dengan ibadah haji dan juga terdapat riwayat yang shahih, bahwa Nabi SAW memasukkan orang kafir ke dalam masjid beliau, dan itu terjadi setelah turun surat At-Taubah, surat ini turun di tahun 9 Hijriyah. Sementara beliau menerima tamu-tamu pada tahun 10 Hijriyah, dan diantara mereka ada orang Nasrani Najran. mereka suku pertama yang terkena kewajiban jizyah. Nabi SAW menyuruh mereka singgah di dalam masjid, dan beliau juga berdebat dengan mereka tentang al-Masih dan yang lainnya.[5]

 

Kesimpulan

1.   Non-muslim yang diterima sebagai ahli zimmi dengan persyaratan tidak boleh memasuki masjid, mereka ini tidak boleh memasuki masjid dalam keadaan apapun

2.   Non-muslim yang tidak dibuat syarat apapun terkait masuk masjid. Kelompok ini terjadi perbedaan pendapat ulama dalam tiga kelompok pendapat terkaid apakah mereka dibolehkan masuk masjid atau tidak. Imam Syafi’i membolehkannya dengan syarat ada izin pihak masjid kecuali masjid haram. Adapun masjid haram diharamkan bagi mereka dalam keadaan apapun

 

 



[1] Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 268

[2] Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 268

[3] Zarkasyi, I’lam Sajid bi Ahkam al-Masjid, Kairo, Hal. 318

[4] Zarkasyi, I’lam Sajid bi Ahkam al-Masjid, Kairo, Hal. 318

[5] Al-Khatib al-Syarbaini, Mughni al-Muhtaj,Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 68