Seseorang yang tidak punya kemampuan
dalam hal nafkah pribadinya, namun ada yang menanggungnya dapat dikelompokan
dalam dua katagori hukumnya, yaitu :
1. Tidak boleh diberikan zakat hak fakir dan
miskin kepadanya apabila nafkahnya diberikan oleh suami atau kerabat yang wajib
nafkah atasnya seperti anak dan ayah, sedangkan nafkahnya tersebut mencukupi
untuk kebutuhannya.
2. Boleh diberikan zakat hak fakir dan miskin
kepadanya dengan syarat :
a.
Nafkahnya diberikan
oleh orang atau kelompok orang yang tidak wajib nafkah atasnya seperti kerabat
jauh, tetangga dan lain-lain.
b.
Nafkahnya diberikan
oleh suami atau kerabat yang wajib nafkah atasnya, akan tetapi tidak mencukupi.
Kesimpulan di atas sesuai dengan
keterangan ulama berikut ini :
1. Al-Khatib al-Syarbaini mengatakan :
(وَالْمَكْفِيُّ
بِنَفَقَةِ قَرِيبٍ أَوْ) نَفَقَةِ (زَوْجٍ لَيْسَ فَقِيرًا) وَلَا مِسْكِينًا
أَيْضًا فَلَا يُعْطَى مِنْ سَهْمِهِمَا (فِي الْأَصَحِّ) لِأَنَّهُ غَيْرُ
مُحْتَاجٍ كَالْمُكْتَسِبِ كُلَّ يَوْمٍ قَدْرَ كِفَايَتِهِ، وَالثَّانِي: نَعَمْ؛
لِاحْتِيَاجِهِمَا إلَى غَيْرِهِمَا. تَنْبِيهٌ مَحَلُّ
الْخِلَافِ إذَا كَانَ يُمْكِنُ الْأَخْذُ مِنْ الْقَرِيبِ وَالزَّوْجِ وَلَوْ فِي
عِدَّةِ الطَّلَاقِ الرَّجْعِيِّ أَوْ الْبَائِنِ وَهِيَ حَامِلٌ كَمَا قَالَهُ
الْمَاوَرْدِيُّ، وَإِلَّا فَيَجُوزُ الْأَخْذُ بَلَا خِلَافٍ، وَخَرَجَ بِذَلِكَ الْمَكْفِيُّ
بِنَفَقَةِ مُتَبَرِّعٍ فَيَجُوزُ لَهُ الْأَخْذُ
Orang yang mencukupi nafkahnya dengan
pemberian kerabat dekat atau suami bukanlah fakir dan bukan juga miskin. Karena
itu, tidak diberikan hak fakir dan miskin kepadanya menurut pendapat yang lebih
shahih, karena orang ini tidak membutuhkannya sama halnya orang yang selalu
berusaha setiap harinya ukuran kebutuhannya. Pendapat kedua : boleh, karena kedua
fakir dan miskin membutuhkan kepada selainnya. Catatan : Posisi khilafiyah
adalah apabila memungkinkan mengambil kebutuhannya dari kerabat atau suami
meskipun dalam ‘iddah thalaq raj’i atau talaq baa-in sementara dia dalam
keadaan hamil sebagaimana dikemukakan oleh al-Mawardiy. Dan seandainya tidak memungkinkan
mengambil dari kerabat atau suami, dibolehkan mengambil tanpa khilaf. Dengan
penegasan di atas, maka tidak termasuk orang yang mencukupi nafkahnya dengan
pemberian yang bertabarru’ (memberi bukan karena dasar wajib), maka dibolehkan mengambilnya.[1]
2. Dalam mengomentari ucapan pengarang
Fathul Wahab, Sulaiman al-Jamal mengatakan :
أَفْهَمَ تَعْبِيرُهُ بِالْكِفَايَةِ أَنَّ الْكَلَامَ فِي زَوْجٍ
مُوسِرٍ أَمَّا مُعْسِرٌ لَا يَكْفِي فَتَأْخُذُ تَمَامَ كِفَايَتِهَا بِالْفَقْرِ
وَيُفْهِمُ أَيْضًا أَنَّ مَنْ لَمْ يَكْفِهَا مَا وَجَبَ لَهَا عَلَى الْمُوسِرِ
لِكَوْنِهَا أَكُولَةً تَأْخُذُ تَمَامَ كِفَايَتِهَا
Dipahami dari ungkapan pengarang dengan “kifayah”
bahwa fokus pembahasannya adalah pada suami yang kaya. Adapun suaminya yang
miskin tidak menjadikannya mencukupi. Karenanya, isteri mengambil kebutuhannya
pada hak fakir. Dapat dipahami pula, bahwa isteri yang tidak mencukupi dengan apa
yang wajib atas suami yang kaya karena keadaannya akuulah (banyak kebutuhan) dapat
mengambil menyempurnakan kebutuhannya pada hak fakir.[2]
3. Abu Bakar Syathaa dalam menjelaskan
pengertian nafkah wajib di atas, beliau mengatakan :
)وقوله: بنفقة قريب) أي واجبة.وهي نفقة الأصل
لفرعه، وبالعكس، ونفقة الزوج لزوجته - كما يستفاد من البيان بعده -.وخرج بها
النفقة غير الواجبة، كنفقة الأخ على أخته، فلا تمنع الفقر والمسكنة
Perkataan pengarang Fath al-Mu’in “dengan nafkah
kerabat dekat”, maksudnya adalah nafkah wajib, yaitu nafkah asal (ayah) kepada
furu’ (anak) dan sebaliknya dan juga nafkah suami kepada isterinya sebagaimana
dipahami dari penjelasan sesudahnya. Karenanya, tidak termasuk nafkah yang
tidak wajib seperti nafkah saudara laki-laki kepada saudara perempuannya, maka
tidak menghalangi hak fakir dan miskinnya.[3]