Orang dengan sengaja merusak puasanya di
bulan Ramadhan dengan hubungan seksual (jimak), wajib melaksanakan kafarah dengan
urutannya sebagaimana kandungan hadits shahih berikut ini :
“Abu Hurairah meriwayatkan, ada
seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW, lantas berkata, “Celakalah aku!
Aku mencampuri istriku (siang hari) di bulan Ramadhan. Beliau bersabda,
“Merdekakanlah seorang hamba sahaya.” Dijawab oleh laki-laki itu, “Aku tidak
mampu.” Beliau kembali bersabda, “Berpuasalah selama dua bulan berturut-turut.”
Dijawab lagi oleh laki-laki itu, “Aku tak mampu.” Beliau kembali bersabda,
“Berikanlah makanan kepada enam puluh orang miskin,” (H.R al-Bukhari).
Sesuai
dengan hadits ini, para ulama menetapkan zhabit yang menjadi ukuran kewajiban
membayar kafarat di atas, yaitu terjadinya pembatalan puasa pada siang Ramadhan
dengan sebab jima’ yang berdosa dengan sebab puasa.(Syarah al-Mahalli : II/89).
Karena itu, tidak wajib kafarat apabila :
1.
Jima’ terjadi dalam
keadaan lupa, karena jima’ tersebut tidak membatalkan puasa
2.
Jima’ terjadi bukan di bulan Ramadhan seperti pada puasa
nazar atau qadha
3.
Membatalkan puasa bukan dengan jima’ tetapi dengan sebab seperti
onani, makan atau minum dengan sengaja
4.
Jima’ terjadi pada musafir, dimana dilakukannya karena
merasa memiliki rukhsah (keringanan). Seseorang boleh berbuka puasa pada saat
musafir. Karena itu, dia tidak berdosa dengan membatalkan puasanya dengan sebab
jima’. Orang sakit sama dengan orang musafir dalam masalah ini.
5.
Jima’ terjadi karena sangkaanya sedang malam, kemudian
ternyata sudah siang. Tidak wajib kafarat karena dia tidak berdosa dengan sebab
tersebut
6.
Jima’ secara sengaja terjadi setelah makan dalam keadaan
lupa yang disangkanya dapat membatalkan puasa. Meskipun puasanya batal dengan
sebab jima’, akan tetapi dia tidak berdosa. Karena itu, tidak mewajibkan
kafarat.
7.
Berzina karena lupa keadaanya berpuasa. Dosanya karena
zina, bukan karena puasa. Karena itu, tidak wajib kafarat
8.
Zina yang terjadi pada musafir, dimana dilakukannya karena
merasa memiliki rukhsah (keringanan) berbuka puasa. Berbuka puasa boleh bagi
musafir, meskipun dia berdosa karena zinanya. (Syarah al-Mahalli : II/89-90).
Perlu
menjadi catatan terkait kafarat hubungan suami isteri di siang
Ramadhan, yaitu :
1. Kewajiban kafarat hanya dibebankan kepada suami
atau laki-laki penzina. Karena yang menjadi penerima perintah dalam hadits di
atas adalah laki-laki
2. Yang melakukan jima’ selama dua hari dalam
bulan Ramadhan, wajib dua kali kifarat, karena dua kali membatalkan puasa
dengan sebab jima’. Adapun yang melakukan jima’ dua kali dalam sehari,
kafaratnya hanya sekali, karena jimak yang kedua tidak membatalkan puasa.
3. Disamping kewajiban kafarat di atas, hubungan
suami isteri di siang Ramadhan
mewajibkan mengqadha puasa yang batal di bulan lain. (Syarah al-Mahalli : II/90-91).
Wallahua’lam
bisshawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar