Renungan

Selasa, 19 September 2023

Ghibah, pengertian dan hukumnya

 

Pengertian Ghibah

Ghibah atau menggunjing adalah tindakan menceritakan keburukan seseorang kepada orang lain, yang jika orang itu mendengarnya tidak merasa senang. Dalam ghibah keburukan yang diceritakan itu adalah kondisi yang benar. Jika cerita keburukan itu tidak benar, maka termasuk fitnah atau bohong. Pengertian seperti sebagaimana ditegaskan Hadits Nabi SAW bersabda :

أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ؟ قالوا: اللهُ وَرَسُولُهُ أعْلَمُ، قَالَ: ذِكْرُكَ أخَاكَ بِما يَكْرَهُ قِيلَ: أفَرَأيْتَ إنْ كَانَ في أخِي مَا أقُولُ؟ قَالَ: إنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ، فقد اغْتَبْتَهُ، وإنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ بَهَتَّهُ

Apakah kalian mengetahui apa itu ghibah?, Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Rasulullah bersabda, “Membicarakan saudaramu dengan apa yang dibencinya”. Ada yang menimpali, “Apa pendapatmu ya Rasulullah, jika aku mengatakan sesuatu yang benar pada saudaraku”. Rasulullah menjawab, “Jika benar apa yang kamu katakan, maka kamu sudah melakukan ghibah dan jika tidak benar apa yang kamu katakan, maka kamu sudah melakukan kebohongan”. (H.R. Muslim)

 

Point penting yang perlu dipahami, bahwa kandungan pembicaraan dalam ghibah ini adalah suatu yang benar dengan kenyataan. Karena jika tidak benar, maka termasuk dalam katagori menyebar berita bohong. Berdasarkan ini, keliru anggapan sebagian orang awam bahwa membicarakan suatu kekurangan apa adanya (yang sebenarnya) yang ada pada seseorang bukanlah ghibah. Dalam merespon anggapan awam ini, Ibrahim al-Bajuri mengatakan,

ومن الضلال قول بعض العامة ليس هذا غيبة انما هو اخبار بالواقع

Termasuk salah satu kesesatan adalah perkataan sebagian awam, “Ini bukanlah ghibah, tetapi hanya menyampaikan yang sebenarnya.” (Tuhfah al-Murid ‘ala Jauharah al-Tauhid serta Ta’liq ‘Ali Jum’ah : 331)

 

Imam al-Ghazali menjelaskan pengertian ghibah sebagai berikut :

اعْلَمْ أَنَّ حَدَّ الْغِيبَةِ أَنْ تَذْكُرَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُهُ لَوْ بلغه سواء ذَكَرْتَهُ بِنَقْصٍ فِي بَدَنِهِ أَوْ نَسَبِهِ أَوْ فِي خُلُقِهِ أَوْ فِي فِعْلِهِ أَوْ فِي قَوْلِهِ أَوْ فِي دِينِهِ أَوْ فِي دُنْيَاهُ حَتَّى فِي ثَوْبِهِ وَدَارِهِ وَدَابَّتِهِ

Ketahuilah, sesungguhnya devinisi ghibah adalah membicarakan saudaramu dengan apa yang dibencinya bila sampai perkataanmu itu kepadanya, baik kamu menyebut kekurangan pada badan, nasab, kejadian, perbuatan, perkataan, agama dan dunianya sehingga perihal pakaian, rumah dan kenderaannya. (Ihya Ulumuddin : III/143)

 

Ibnu Hajar al-Asqalaniy yang hidup setelah al-Ghazali menjelaskan,

الْغَيْبَة هُوَ ذكر الرجل بِمَا يكره ذكره مِمَّا هُوَ فِيهِ

Ghibah adalah membicarakan seseorang dengan apa yang dibencinya, yaitu kekurangan  yang ada padanya. (Fathulbarri : I/164)

Ghibah tidak hanya dengan lisan

Yang dihukum sebagai ghibah tidaklah hanya melalui ucapan yang keluar dari lisan seseorang, akan tetapi bisa saja dalam bentuk tulisan atau isyarah ataupun dalam bentuk lainnya asal dapat dipahami sebagai pengungkapan kekurangan orang lain. Ibrahim al-Bajuri mengatakan,

وليس الغيبة مختصة بالذكر بل ضابطها كل ما افهمت به غيرك نقصان مسلم بلفظك او كتابتك او أشرت اليه بعينك او يدك او رأسك او نحو ذالك

Ghibah itu tidak khusus dengan lisan saja, akan tetapi ketentuannya adalah setiap yang dapat memberi pemahaman kepada selainmu kekurangan seorang muslim, baik dengan lisan, tulisan atau isyarat dengan matamu kepadanya, tangan, kepala atau lainnya. (Tuhfah al-Murid ‘ala Jauharah al-Tauhid serta Ta’liq ‘Ali Jum’ah : 331)

 

Dalam rangka berargumentasi bahwa ghibah tidak hanya dengan lisan, Imam al-Ghazali  mengatakan,

اعلم أن الذكر باللسان إنما حرم لأن فيه تفهيم الغير نقصان أخيك وتعريفه بما يكرهه فالتعريض بِهِ كَالتَّصْرِيحِ وَالْفِعْلُ فِيهِ كَالْقَوْلِ وَالْإِشَارَةِ وَالْإِيمَاءِ وَالْغَمْزِ وَالْهَمْزِ وَالْكِتَابَةِ وَالْحَرَكَةِ وَكُلُّ مَا يُفْهِمُ الْمَقْصُودَ فَهُوَ دَاخِلٌ فِي الْغِيبَةِ وَهُوَ حَرَامٌ فمن ذلك قول عائشة رضي الله عنها دخلت علينا امرأة فلما ولت أومأت بيدي أنها قصيرة فقال صلعم اغتبتيها ومن ذلك المحاكاة يمشي متعارجاً أو كما يمشي فهو غيبة بل هو أشد من الغيبة لأنه أعظم في التصوير والتفهيم

Ketahuilah, sesungguhnya membicarakan secara lisan, hukumnya haram karena padanya ada memberikan pemahaman kepada orang lain ada kekurangan saudaramu dan memperkenalkan saudaramu dengan kekurangan yang dibencinya. Karena itu, menyindir sama seperti penegasan, perbuatan sama seperti perkataan. Demikian juga isyarah, penunjukan dengan tangan, kedipan mata, penunjukan dengan kaki, tulisan, gerakan dan setiap yang dipahami maksudnya. Maka semua itu masuk dalam ghibah yang diharamkan. Termasuk dalam katagori ghibah perkataan ‘Aisyah r.a., “Masuk menemui kami, seorang perempuan. Manaakala ia berpaling, aku isyaratkan dengan tanganku bahwa ia pendek. Lalu Nabi SAW bersabda. “Kamu telah melakukan ghibah kepadanya”. Termasuk ghibah meniru berjalan pincang sebagaimana halnya seseorang berjalan. Maka itu ghibah, bahkan lebih berat dari ghibah, karena lebih kuat kesannya dalam menggambarkannya dan memberikan pemahaman. (Ihya Ulumuddin : III/144-145)

Al-‘Iraqi mengatakan, hadits ‘Aisyah r.a. ini telah ditakhrij oleh Ibnu Abi Dun’ya dan Ibnu Mardawiih dari riwayat Hisaan bin Makhariq. Ibnu Hiban menghukumnya terpercaya. Adapun perawi lainnya terpercaya. (Takhrij Ahadits Ihya Ulumuddin karya al-Zabidiy : IV/1753)

Hukum ghibah

Tidak diragukan lagi dalam Islam, ghibah merupakan perbuatan tercela dan diharamkan. Dalam al-Qur’an, Allah Ta’ala mencela ghibah dengan firman-Nya :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ

Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka. Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang. (Q. S. al-Hujurat : 12)

Dalam hadits Nabi SAW dijelaskan,

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَبْرَيْنِ فَقَالَ إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنْ الْبَوْلِ وَأَمَّا الْآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ ثُمَّ أَخَذَ جَرِيدَةً رَطْبَةً فَشَقَّهَا نِصْفَيْنِ فَغَرَزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ وَاحِدَةً قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ لِمَ صنعت هَذَا فقَالَ لَعَلَّهُ يُخَفِّفُ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا

Dari Ibnu Abbas r.a, ia berkata: Rasulullah SAW melewati dua buah kuburan. Lalu beliau bersabda, ”Sungguh keduanya sedang disiksa. Mereka disiksa bukan karena perkara besar (dalam pandangan keduanya). Salah satu dari dua orang ini, (semasa hidupnya) tidak menjaga diri dari kencing. Sedangkan yang satunya lagi, dia keliling menebar namiimah (menebar berita untuk menciptakan permusuhan).” Kemudian Beliau mengambil pelepah basah. Beliau belah menjadi dua, lalu Beliau tancapkan di atas masing-masing kubur satu potong. Para sahabat bertanya,”Wahai, Rasulullah. Mengapa Rasul melakukan ini?” Beliau menjawab,”Semoga mereka diringankan siksaannya, selama keduanya belum kering” (Muttafaqun ‘alaihi)

 

Imam al-Nawawi dalam pembahasan keharaman ghibah dan namimah dalam kitabnya, al-Azkar mengatakan sebagai berikut :

اعلم أن هاتين الخصلتين من أقبح القبائح وأكثرها انتشاراً في الناس، حتى ما يسلمُ منهما إلا القليل من الناس

Ketahuilah bahwa dua perkara ini (ghibah dan namimah) termasuk sejahat-jahat dari perilaku yang jahat. Kebanyakannya bertebarakan pada manusia sehingga tidak ada yang selamat darinya kecuali sedikit manusia. (Al-Azkar : 336)

Kemudian Imam al-Nawawi menegaskan :

وأما حكمهما، فهما محرّمتان بإجماع المسلمين

Adapun hukum keduanya (ghibah dan namimah) haram dengan ijmak kaum muslimin. (Al-Azkar : 336)

 

Ibrahim al-Bajuri mengatakan,

حكم الغيبة التجريم بالاجماع

Hukum ghibah adalah haram dengan ijmak ulama. (Tuhfah al-Murid ‘ala Jauharah al-Tauhid serta Ta’liq ‘Ali Jum’ah : 331)

 

Kemudian pada halaman berikutnya, Ibrahim al-Bajuri menjelaskan telah terjadi khilaf ulama dalam hal apakah ghibah termasuk dosa besar atau bukan?. Al-Quthubi salah seorang ulama Malikiyah berpendapat ghibah merupakan dosa besar tanpa khilaf dalam mazhabnya. Pendapat ini merupakan pendapat kebanyakan ulama Syafi’iyah. Pendapat lain mengatakan, ghibah merupakan dosa kecil. Pendapat ini adalah pendapat pengarang Kitab al-Iddah dan ulama-ulama yang mengikutinya. Alasanya, karena sudah sangat umum dan sedikit orang yang selamat dari ghibah. Adapun pendapat yang ditegaskan oleh Ibnu Hajar al-Haitamiy dalam Kitab Syarah al-Syamail, bahwa ghibah yang dilakukan orang yang berilmu dan orang yang mendalami al-Qur’an adalah dosa besar. Adapun ghibah yang dilakukan selainnya adalah dosa kecil. Menurut Ibrahim al-Bajuri, pendapat ini merupakan yang mu’tamad (yang kuat dalam mazhab). Selanjutnya beliau menegaskan, sebagaimana haram melakukan ghibah maka haram juga atas orang yang mendengarnya menyimak dan mengiyakan ghibah tersebut. Karena itu, wajib atas orang yang mendengar ghibah yang diharamkan melarangnya apabila tidak ada kekuatiran yang nyata. (Tuhfah al-Murid ‘ala Jauharah al-Tauhid serta Ta’liq ‘Ali Jum’ah : 332)

Ghibah yang dibolehkan

Sebelumnya, sudah dijelaskan bahwa ijmak ulama  ghibah adalah haram. Namun demikian dalam kondisi tertentu, ghibah dapat dibenarkan dalam agama dengan sebab beberapa pertimbangan. Imam al-Ghazali mengatakan,

اعلم أن المرخص في ذكر مساوي الغير هو غرض صحيح في الشرع لا يمكن التوصل إليه إلا به فيدفع ذلك إثم الغيبة وهي ستة أمور

Ketahuilah, hal yang membolehkan menyebut keburukan orang adalah sebuah tujuan yang dibenarkan menurut syar’i di mana tujuan tidak tercapai tanpa penyebutan tersebut. Hal itu adalah enam perkara.

Kemudian Imam al-Ghazali merincikan beberapa faktor yang menyebabkan ghibah  dibenarkan syara’, yaitu :

1.  Ghibah dalam rangka mengadukan kedhaliman. Orang yang didhalimi boleh mengadukan kedhaliman yang diterimanya kepada penguasa, hakim, dan lainnya yang memiliki kekuasaan atau kemampuan untuk memberikan keadilan dari orang yang mendhaliminya.

2.  Ghibah dalam rangka minta pertolongan mengubah kemungkaran. Seseorang mengatakan kepada orang yang diharap bisa mengubah kemungkaran itu, “Fulan melakukan ini, maka cegahlah darinya”, dan sejenisnya.

3.  Ghibah dalam rangka meminta Fatwa. Seseorang mengatakan kepada mufti, “Bapakku, atau saudaraku, atau suamiku telah menzalimiku. Bolehkah dia melakukan itu? Bagaimana cara saya agar bisa terlepas dari kezaliman tersebut?,” Namun Perkataan seperti ini dibolehkan hanya ukuran seperlunya saja.

4.  Ghibah dalam rangka mengingatkan dari sebuah keburukan dan menasehati. Ini bisa terjadi dengan beberapa bentuk. Di antaranya, keburukan seorang ahli fiqh yang berbuat bid’ah atau kefasikan, dimana dikuatirkan bid’ah dan kefasikannya itu dapat menular kepada orang lain. Contohnya lain menceritakan aib barang jual beli, karena diamnya dapat merugikan si pembeli.

5.  Ghibah dalam rangka mengenalkan. Jika seseorang dikenal dengan julukan tertentu, maka boleh mengenalkan dengan julukan itu. Seperti si fulan yang buta matanya, si fulan yang pincang kakinya. Tapi, penyebutan itu tidak dboleh dilakukan dalam rangka menghina, hanya sekedar untuk mudah mengenali. Yang lebih baik adalah mengenalinya dengan sebutan-sebutan yang baik.

6.  Ghibah dengan membicarakan perbuatan fasik seseorang yang dilakukan secara terang-terangan. Misalnya, orang yang secara terang-terangan minum khamar dan melakukan tindakan-tindakan bathil lainya, orang berperilaku seperti ini boleh digunjing tentang keburukan yang dia kerjakan secara terang-terangan. al-Hasan berkata :

ثلاثة لا غيبة لهم صاحب الهوى والفاسق المعلن بفسقه والإمام الجائر

Ada tiga orang yang tidak mengapa menghibahinya, yaitu pelaku bid’ah (yang terang-terangan bid’ahnya), orang fasik yang terang-terangan fasiknya dan pemimpin yang dhalim.

 

Selanjutnya, Imam al-Ghazali menjelaskan,

فهؤلاء الثلاثة يجمعهم أنهم يتظاهرون به وربما يتفاخرون به فكيف يكرهون ذلك وهم يقصدون إظهاره

Golongan tiga orang ini secara terang-terangan melakukan keburukannya, bahkan barangkali mereka bangga dengan keburukannya itu. Bagaimana mungkin mereka membencinya, sedangkan mereka sendiri mempunyai niat menampakkannya.

 

Namun demikian, tidak boleh menggunjing aib-aibnya yang lain kecuali jika ada sebab lain yang membolehkannya. (Ihya Ulumuddin : III/152-153)

Sebab-sebab yang memotivasi ghibah

Dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin, Imam al-Ghazali merangkum sebelas penyebab seseorang melakukan ghibah. Tujuh di antaranya berlaku secara umum, sedangkan sisanya tiga lagi  berlaku pada ahli agama. Adapun tujuh yang berlaku umum adalah sebagai berikut :

1.  Memuaskan rasa marah. Marah terhadap orang lain membuat seseorang ingin membeberkan aibnya kepada saudaranya yang lain. Jika kemarahan yang luar biasa, atau sebab kemarahan yang lama dipendam di dalam benaknya lalu ditumpahkan, biasanya seseorang mengeskpresikannya dengan membongkar aib orang yang ia jadikan objek kemarahan.

2.  Agar diterima dalam pergaulan Salah satu cara agar bisa diterima dalam suatu kelompok adalah mengikuti kebiasaan mereka. Secara tak sadar, sering kita masuk di suatu percakapan yang ternyata di dalamnya sedang membicarakan orang lain. Tentu tidak mudah untuk menghentikan obrolan itu karena kitia pasti dianggap berlebihan, kita justru turut larut dalam percakapan membahas aib orang lain.

3.  Merasa terhakimi Bila seseorang hendak menyerang atau membicarakan keburukan, langkah antisipasi biasanya balik menyerang duluan. Hal ini dilakukan agar seseorang yang hendak menyerangnya sudah jatuh terlebih dahulu derajat dan posisinya di mata publik. Agar publik tak mempercayai ucapan dan informasi yang disampaikannya tentang keburukan tersebut.

4.  Merasa tersudut dengan suatu tuduhan. Untuk melepaskan dirinya, melemparkan tuduhan tersebut kepada orang lain yang telah melakukannya. Sebenarnya upaya melepaskan dirinya bisa saja dilakukan tanpa perlu membawa serta nama orang lain. Atau membawa serta nama orang lain yang sama-sama ikut serta melakukannya, dengan harapan kesalahan yang dilakukan dapat dimaafkan.

5.  Keinginan untuk meninggikan dirinya. Keinginan tersebut dijelmakan dengan menyebut kekurangan orang lain. Seperti mengatakan, sipulan bodoh, pemahamannya kacau atau kalamnya lemah. Maksud ucapannya ini tidak lain untuk menunjukkan bahwa dia lebih hebat atau lebih berilmu dari sipulan atau dia lebih berhak untuk dihormati.

6.  Rasa dengki atau iri. Biasanya rasa dengki atau iri ini yang tersimpan tertuju pada orang yang populer dan dicintai oleh banyak orang. Rasa iri tersebut akan berdampak pada keinginan untuk menjatuhkan objek atau orang yang populer tersebut. Salah satu cara menurunkan reputasinya adalah dengan membuka aib-aibnya.

7.  Bercanda, bercengkrama dan menghabiskan waktu untuk tertawa. Salah satu cara membuat orang di depannya tertawa adalah dengan membicarakan keburukan orang lain. Sumbernya adalah ‘ujub dan takabbur.

8.  Meremehkan dan menghina Kadang-kadang seseorang meremehkan orang lain atau merendahkannya bisa dilakukan di depan orang tersebut atau juga di belakangnya. Jika melakukannya di belakang, maka caranya adalah dengan menyebutkan keburukan-keburukannya.

Selanjutnya tiga sebab yang hanya berlaku pada ahli agama, sebab-sebab ini sangat samar dan tersembunyi. Karena itu, kejahatan-kejahatannya disembunyikan setan dalam bingkai kebaikan. Di dalamnya ada kebaikan, akan tetapi setan mencampurinya dengan kejahatan. Adapun sebab-sebab tersebut adalah sebagai berikut :

1.  Digerak dari agama oleh faktor keheranan dalam mengingkari kemungkaran dan kesalahan dalam agama. Lalu dia mengatakan, “Aku heran apa yang aku lihat kemungkaran yang dilakukan si pulan”. Kadang dia benar dengan ucapannya itu. Adalah haknya merasa heran, akan tetapi itu dapat dilakukan tanpa menyebut nama. Namun dia dilalaikan setan, sehingga dia telah melakukan ghibah dan perbuatan dosa tanpa disadarinya. Termasuk dalam katagori ini perkataan seseorang, “Aku heran, bagaimana mungkin dia mencintai hamba sahayanya, padahal ia itu jelek” atau “Bagaimana mungkin dia sering menemui si pulan, padahal si pulan itu bodoh”.

2.  Rasa kasih sayang. Berduka cita dengan keburukan yang menimpa seseorang. Lalu ia mengatakan, “Kasian, sungguh melarat hidup si pulan, aku turut berduka cita dengan musibah yang menimpanya”. Dia benar dengan duka citanya, namun dia dilalaikan dari akibat buruk menyebut nama si pulan itu. Dengan sebabnya menjadikan dia sebagai orang yang melakukan ghibah tanpa disadarinya. Maka hilanglah pahala duka citanya.

3.  Marah karena Allah. Kadang-kadang seseorang marah atas kemungkaran yang dilihat atau didengarnya yang dilakukan manusia. Pada saat memuncak kemarahannya, dia menyebut nama pelaku kemungkaran tersebut. Semestinya yang wajib atasnya hanyalah memarahinya dalam rangka amar ma’ruf dan nahi mungkar, tidak perlu membicarakannya kepada orang lain atau dapat saja membicarakannya dengan menyembunyikan namanya dan tidak menyebut keburukannya itu. (Ihya Ulumuddin : III/146-147)

Tips menghindari ghibah

Imam al-Ghazali dalam menguraikan tips-tips menghindari ghibah, melakukan pendekatannya dengan dua cara, yaitu bersifat umum dan spesifik. Adapun yang bersifat umum adalah dengan menyadari bahwa jika melakukan ghibah akan menimbulkan murkanya Allah dan juga bahwa ghibah akan menghapus amal-amal kebaikan manusia. Kebaikan orang yang melakukan ghibah akan dipindahkan kepada orang yang dighibahinya dan keburukannya akan dipindahkan kepada orang yang melakukan ghibah sebagaimana banyak hadits yang menjelaskannya. Disamping itu, sering-seringlah memikirkan kekurangan diri sendiri. Dengan demikian, akan menyibuk dirinya memperbaiki kekurangan-kekurangan diri sendiri. Nabi SAW bersabda :

طُوبَى لِمَنْ شَغَلَهُ عَيْبَهُ عَنْ عُيُوبِ اَلنَّاسِ

Beruntunglah seseorang yang sibuk akan kekurangannya sendiri daripada menyibuk dirinya dengan aib orang lain.(H.R. al-Bazar)

 

Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan memahami bahwa orang yang dighibah akan merasakan tersakiti dengan sebab ghibahnya itu. Maka hal yang sama akan terjadi juga apabila ghibah itu menimpa diri kita sendiri. Apabila kita tidak ridha dighibah, maka seharusnya kita juga tidak ridha melakukan ghibah kepada orang lain.

Adapun tips-tips menghindari ghibah secara spesifik adalah dengan memperhatikan sebab-sebab yang menggerakkan ghibah yang telah disebutkan sebelum ini, kemudian menghilangkan sebab-sebab tersebut. Selanjutnya Imam al-Ghazali menjelaskan rinciannya sebagai berikut :

1.  Menghentikan marah. Biasanya saat marah dan tidak bisa melampiaskannya secara langsung, maka yang terjadi adalah menjelek-jelekkannya dari belakang sebagai ekspresi kemarahan. Kita harus sering mensugesti diri kita agar mengendalikan amarah. Hendaknya banyak memikirkan risiko jika mengeskspresikan marah dengan ghibah. Salah satu risikonya adalah mendapat murka di hari pembalasan.

2.  Menyadari bahwa Allah akan murka jika kita mencari ridha teman dengan turut mengghibahi seseorang. Seorang budak tentu lebih mendahulukan ridha tuannya daripada temannya. Sebagaimana kita sebagai seorang hamba jika benar-benar beriman pasti mendahulukan ridha Allah.

3.  Menyadari bahwa merasa lebih baik tidak perlu membicarakan orang lain. Karena sungguh, Allah akan murka jika kita melakukan ghibah.  Lalu betul-betul menyadari bahwa murka Allah lebih berat dari murka makhluq. Kesadaran itulah yang akan membuat kita hati-hati untuk membicarakan keburukan orang lain.

4.  Merenungkan perbuatan yang boleh diikuti dan tidak. Terlebih jika kita mengikuti perbuatan yang dilarang oleh Allah, salah satunya adalah ghibah hanya karena ikut-ikutan, sungguh itu merupakan tindakan bodoh. Apabila seseorang mengatakan, “Jika aku makan haram, itu karena dia juga makan haram” atau “Jika aku terima hadiah Sultan yang dhalim, itu karena dia juga menerimanya”, maka ini sungguh tindakan yang bodoh. karena sudah mengikuti orang yang tidak seharusnya diikuti.

5.  Menyadari dan memikirkan jika membicarakan orang lain justru akan merendahkan diri sendiri dan menghilangkan kelebihan diri sendiri di sisi Allah Ta’ala, Malaikat dan para Anbiya ‘alaihimussalam . Sedangkan diri kita seringkali lebih yakin kalau menjelekkan orang lain akan membuat kita terlihat unggul di mata orang lain. Padahal belum tentu orang lain akan menganggap kita unggul dengan mencela orang lain.

6.  Menyadari bahwa ghibah karena iri dan dengki, sesungguh telah mengumpulkan dua kerugian, yaitu merasa tersiksa dengan perasaan iri dan dengki di dunia dan juga mendapat siksaan di hari akhirat kelak. 

7.  Memikirkan kerugian jika kamu melakukan ghibah hanya dengan tujuan ingin merendahkan orang lain. Kamu rela merendahkan orang lain dengan imbalan justru hina di sisi Allah Ta’ala.

8.  Mengendalikan diri saat merasa kasihan ketika seseorang melakukan dosa. Memang bagus saat kita merasa kasihan dan peduli melihat orang lain melakukan dosa. Tapi bukan berarti kita bebas menghakimi dan mengurai-urai kesalahannya yang lain yang justru menghilangkan pahala kebaikan diri sendiri. Pada saat seperti ini, lalu siapa yang pantas dikasihani, apakah diri kita sendiri yang hilang pahala kebaikan ataukah orang yang kita ghibah yang mendapat transfer pahala kebaikan dari kita, karena kita melakukan ghibah kepadanya?.

9.  Marah karena melihat kemungkaran seharusnya tidak seharusnya disertai tindakan ghibah. Ketahuilah, setan menggerakkan dirimu untuk ghibah dengan harapan hilang pahala memarahi kemungkaran yang dianugerah Allah Ta’ala.

10.  Apabila keheranan atas kemungkaran yang dilakukan orang lain membuat diri kita melakukan ghibah, maka itu termasuk tindakan membinasakan diri sendiri dengan sebab agama dan dunia orang lain. Padahal kita sendiri juga belum aman dari kerugian. Bisa saja Allah membuka aib kita sendiri sebagaimana kita membuka aib orang lain. (Ihya Ulumuddin : III/149-150)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar