Renungan

Minggu, 05 November 2023

Jamak shalat dalam pandangan fiqh

 

Islam adalah agama yang memberi kemudahan bagi para pemeluknya. Salah satunya adalah keringanan bagi orang yang sedang melakukan perjalanan jauh dengan menjamak. Jamak adalah mengumpulkan dua pelaksanaan shalat fardhu dalam satu waktu shalat, seperti melaksanakan shalat Dhuhur dan Ashar pada waktu Dhuhur sekaligus. Shalat yang bisa dijamak adalah Dhuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya. Jika dilakukan di waktu shalat yang pertama (Dhuhur atau Maghrib) dinamakan jamak taqdim, jika dilakukan di waktu shalat yang kedua (Ashar atau Isya) dinamakan jamak ta’khir. Diantara hadits yang memberi petunjuk kebolehan jamak shalat adalah riwayat Anas bin Maalik r.a, beliau berkata,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ العَصْرِ، ثُمَّ يَجْمَعُ بَيْنَهُمَا، وَإِذَا زَاغَتْ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ رَكِبَ

Nabi SAW jika bepergian sebelum matahari condong ke barat (sebelum masuk waktu Dhuhur), maka beliau mengakhirkan salat Dhuhur di waktu Ashar, kemudian menjamak kedua salat tersebut. Jika beliau bepergian setelah matahari condong ke barat (setelah masuk waktu Dhuhur), beliau salat Dhuhur kemudian berangkat. (H.R. Bukhari dan Muslim)


Syarat jamak shalat karena musafir (perjalanan)

Adapun syarat-syarat jamak shalat antara lain:

1.  Jamak shalat dilakukan dengan melakukan shalat magrib pada waktu ‘Isya (jamak ta’khir) atau sebaliknya (jamak taqdim) dan shalat dhuhur pada waktu ‘Ashar (jamak ta’khir) atau sebaliknya (jamak taqdim)

2.  Dalam keadaan musafir panjang, yaitu jarak tempuhnya dua marhalah (Syarah al-Mahalli: I/299). Adapun ukuran jarak tempuh apabila menggunakan ukuran jarak tempuh zaman sekarang adalah 138,24 km atau lebih. Ini apabila merujuk kepada penghitungan yang dilakukan Tgk H. Muhammad Yusuf A. Wahab dan Tgk Tarmidzi al-Yusufi  (risalah Miqdar al-Syar’i: 11). Namun menurut Dr. Musthafa Al-Khin ukurannya adalah 81 km.atau lebih (al-Fiqh al-Manhajiy ‘ala Mazhab al-Imam al-Syafi’i: I/190). Yang mendekati pendapat yang terakhir ini adalah pendapat yang dikemukakan H. Sulaiman Rasjid, yaitu minimal menempuh jarak perjalanan 80,640 km.(Fiqh Islam: 120).

3.  Tujuan musafir bukan maksiat. Karena jamak shalat merupakan rukhsah (keringanan) dalam agama, sedangkan rukhsah tidak boleh karena faktor maksiat. Qaidah fiqh mengatakan :

الرخصة لا تناط بالمعصية

Rukhsah tidak digantung dengan maksiat.

 

4.  Keringanan kebolehan jamak shalat bisa hilang apabila:

a.  Sudah kembali ke kampung halaman.

b.  Sampai di tempat tujuan dengan niat menetap secara mutlaq di tempat tujuan tersebut (tanpa diqaitkan dengan jumlah hari)

c.  Sampai di tempat tujuan dengan niat menetap di tempat tujuan tersebut selama empat hari penuh atau lebih

d.  Sampai di tempat tujuan serta ada keyakinan atau dugaan dalam hati bahwa keperluannya akan selesai dalam empat hari penuh di tempat tujuan tersebut

Dalam Fath al-Mu’in disebutkan :

وينتهي السفر بعوده إلى وطنه، وإن كان مارا به، أو إلى موضع آخر، ونوى إقامته به مطلقا أو أربعة أيام صحاح، أو علم أن إربه لا ينقضي فيها

Habis masa musafir dengan kembalinya kepada tempat tinggal menetap seseorang, meskipun ia hanya melewatinya saja, atau dengan sebab sampai ketempat lain, dimana dia meniatkan menetap ditempat itu secara mutlaq atau empat hari penuh atau ia memaklumi bahwa ia selesai keperluannya dalam empat hari penuh.(Hasyiah I’anah al-Thalibin ‘ala Fathul Mu’in: II/101-102)

 

Hukum jamak shalat tidak dalam keadaan musafir

Adapun hukum jamak shalat tidak dalam keadaan musafir dapat disimak penjelasan Imam al-Nawawi dalam Majmu’ Syarah al-Muhazzab berikut :

(فَرْعٌ) فِي مَذَاهِبِهِمْ فِي الْجَمْعِ فِي الْحَضَرِ بِلَا خَوْفٍ ولا سفر وَلَا مَرَضٍ: مَذْهَبُنَا وَمَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ وَمَالِكٍ وَأَحْمَدَ وَالْجُمْهُورِ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ وَحَكَى ابْنُ الْمُنْذِرِ عَنْ طَائِفَةٍ جَوَازَهُ بِلَا سَبَبٍ قَالَ وجوزه بن سِيرِينَ لِحَاجَةٍ أَوْ مَا لَمْ يَتَّخِذْهُ عَادَةً

Masalah mazhab ulama tentang jamak shalat pada waktu hazhir (tidak musafir) tanpa faktor ketakutan, musafir dan sakit, yakni mazhab kita (Mazhab Syafi’i), Mazhab Abu Hanifah, Malik, Ahmad dan jumhur ulama berpendapat tidak boleh. Namun Ibnu al-Munzir menceritakan pendapat dari sekelompok ulama yang mengatakan boleh dengan tanpa sebab apapun. Ibnu Siriin membolehkannya karena kebutuhan atau selama tidak menjadikannya sebagai suatu kebiasaan. (Majmu’ Syarah al-Muhazzab IV/264)

 

Juga penjelasan Imam al-Nawawi  dalam Raudhah al-Thalibin :

وَقَدْ حَكَى الْخَطَّابِيُّ عَنِ الْقَفَّالِ الْكَبِيرِ الشَّاشِيِّ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ جَوَازَ الْجَمْعِ فِي الْحَضَرِ لِلْحَاجَةِ مِنْ غَيْرِ اشْتِرَاطِ الْخَوْفِ، وَالْمَطَرِ، وَالْمَرَضِ، وَبِهِ قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ مِنْ أَصْحَابِنَا

Al-Khathabiy sungguh telah menceritakan dari al-Qafal al-Kabiir al-Syaasyii dari Abu Ishaq al-Marwaziy boleh jamak pada waktu hazhir (tidak musafir) karena ada kebutuhan tanpa disyaratkan ada ketakutan, hujan dan sakit. Pendapat ini merupakan pendapat Ibnu al-Munzir dari pengikut Syafi’i. (Raudhah al-Thalibin I/401)

 

Sesuai dengan penjelasan al-Nawawi di atas, bahwa jumhur ulama, termasuk di dalamnya imam mazhab empat berpendapat jamak shalat shalat tanpa faktor musafir, hujan, ketakutan dan sakit tidak dibolehkan. Dengan demikian pendapat yang mengatakan boleh jamak shalat hanya karena hajat (kebutuhan) atau selama tidak menjadi kebiasaan bertentangan dengan mazhab yang empat dan jumhur ulama. Al-Ruyaaniy telah menyebut pendapat ini sebagai pendapat ghalzun (tersalah) (Bahr al-Mazhab II/350). Pendapat ini juga bertentangan dengan hadits Nabi SAW berbunyi :

من جمع بين صلاتين من غير عذر فقد أتى بابا من أبواب الكبائر

Barangsiapa yang melakukan jamak antara dua shalat dengan tanpa ‘uzur, maka dia telah mendatangkan pintu dari pintu-pintu dosa besar. (H.R. al-Turmidzi, al-Baihaqi dan lainnya)

 

Setelah menolak pendapat yang mengatakan boleh jamak shalat hanya karena hajat (kebutuhan) atau selama tidak menjadi kebiasaan dengan mengemukakan dalil-dalilnya, Ismail al-Zain (W. 1382 H), seorang ulama mazhab Syafi’i mutaakhirin, menyimpulkan :

إذا علم هذا فما عليه أئمة المذاهب الأربعة هو المعتمد وهو الذي يدين الله به من يريد الاستبراء للدين وما سوى ذلك لا يعول عليه ولا يجوز اعتماده ولا تقليد قائله

Apabila ini sudah dimaklumi, maka apa yang menjadi pegangan mazhab yang empat adalah mu’tamad (menjadi pegangan) dan dengannya orang-orang yang mau menjagakan diri bagi  agamanya, menundukkan diri kepada Allah. Tidak bersandar kepada selain itu (selain pendapat mazhab empat) dan tidak boleh berpegang dengannya dan juga tidak boleh taqlid kepada yang mengatakan pendapat tersebut. (Qurratul ‘Ain bi Fatawa Isma’il al-Zain :82)

 

Adapun hadits Nabi SAW berbunyi :

أن النبي صلى الله عليه وسلم جمع بالمدينة من غير خوف ولا مطر

Sesungguhnya Nabi SAW melakukan shalat secara jamak di Madinah tanpa ada sebab ketakutan dan hujan (H.R. Muslim)

 

Diantara takwil hadits ini yang dikemukakan jumhur ulama, yang dimaksud jamak dalam hadits ini adalah al-jam’u al-shuuri (seperti bentuk jamak), yakni melaksanakan shalat waktu pertama pada akhir waktunya dan melaksanakan shalat waktu kedua pada awal waktunya, sehingga kedua shalat tersebut berhampiran waktu pelaksanaannya, seolah-olah seperti shalat jamak. (Qurratul ‘Ain bi Fatawa Isma’il al-Zain :82)


Jamak shalat karena hujan

Dalam I’anah al-Thalibin dijelaskan syarat-syarat jamak shalat ketika hujan sebagai berikut :

a.  Boleh jamak shalat jamak taqdim saja

b.  Syarat2nya seperti syarat jamak taqdim dalam musafir (musafir tidak menjadi syarat)

c.  Wujud hujan pada ketika takbiratul ihram shalat pertama, ketika tahallul (sudah melakukan salam) shalat pertama dan sampai melakukan takbiratul ihram shalat kedua.

d.  Orang yang merencanakan melakukan jamak tersebut melakukan shalat secara berjama’ah di mesjid atau tempat lain yang jauh dari rumahnya. Ukuran jauh itu apabila orang tersebut pulang kerumahnya dapat menyebabkan basah bajunya. (I’anah al-Thalibin: II/105)


Jamak shalat karena ketakutan atau sakit

Imam al-Nawawi mengatakan,

المشهور في المذهب ‌والمعروف ‌من ‌نصوص ‌الشافعي وطرق الأصحاب أنه لا يجوز الجمع بالمرص والريح والظلمة ولا الخوف ولا الوحل

Pendapat yang masyhur dalam mazhab dan yang ma'ruf dalam nash-nash Imam Syafi'i serta jalur para ulama pengikut beliau adalah tidak boleh menjama' karena sakit, angin, gelap malam, takut ataupun karena lumpur. (Al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab: IV/383)

 

Sebelumnya, beliau mengatakan,

وأما الوحل والظلمة والريح والمرض والخوف فالمشهور من المذهب أنه لا يجوز الجمع بسببها وبه قطع المصنف والجمهور وقال جماعة من أصحابنا بجوازه

Adapun karena takut lumpur, kegelapan malam, angin, sakit dan rasa takut, maka menurut yang masyhur dalam mazhab tidak boleh jamak dengan sebabnya. Pendapat ini telah ditegaskan (qatha’) oleh pengarang al-Muhazzab dan Jumhur ulama. Namun demikian, satu jamaah dari kalangan ulama Syafi’iyah berpendapat boleh jamak. (Al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab: IV/381)

 

Sesuai dengan keterangan Imam al-Nawawi di atas, maka pendapat yang menjadi pegangan dalam mazhab Syafi’i adalah tidak boleh melakukan jamak shalat karena alasan ketakutan atau sakit. Namun demikian ada sekelompok ulama Syafi’iyah yang berpendapat boleh jamak shalat tersebut.

Wallahua’lam bisshawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar