Renungan

Jumat, 19 Januari 2024

Tiga perkara yang tidak terputus apabila ajal tiba

 

Ada tiga perkara yang tidak terputus apabila seseorang sudah meninggalkan alam fana ini, yakni sadaqah jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang saleh yang berdoa kepada ibu bapaknya. Penjelasan ini merupakan kandungan makna harfiyah dari hadits di bawah ini. Nabi SAW bersabda:

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Apabila seorang manusia menimpa ajalnya, maka amalnya terputus kecuali tiga perkara, yaitu sadaqah jariah, ilmu yang dimanfaatkan orang lain dan anak shaleh yang berdoa untuknya. (H.R. Muslim)

 

Al-Iraqi mengatakan hadits ini telah diriwayat oleh Muslim, Abu Daud dan al-Turmudzi. Al-Turmidzi mengatakan hadits ini hasan shahih.(Takrij Ahadits Ihya Ulumuddin, karya al-Zabidiy: I/79)

Tafsir hadits

Bila kita ingin memahami lebih dalam makna hadits ini, ada beberapa penjelasan berikut ini yang perlu diketengahkan di sini, yaitu:

1.   Yang terputus bukanlah amal sebagaimana makna dhahirnya. Karena tidak ada makna penegasan putus amal, karena nyawa seseorang apabila sudah meninggalkan raganya, tentunya tidak dapat beramal tanpa ada pengecualian. Karena itu, para ulama memahami bahwa yang terputus dalam hadits ini adalah pahala amal, bukan amalnya. Dalam kitab  I’anah al-Thalibin disebutkan:

وقوله انقطع عمله، أي ثواب عمله

Sabda Nabi SAW: terputus amalnya, artinya terputus pahala amalnya (I’anah al-Thalibin: III/186)

 

Dalam penjelasan Imam al-Nawawi tentang hadits ini, beliau mengatakan,

قَالَ الْعُلَمَاءُ مَعْنَى الْحَدِيثِ أَنَّ عَمَلَ الْمَيِّتِ يَنْقَطِعُ بِمَوْتِهِ وَيَنْقَطِعُ تَجَدُّدُ الْثوَابِ لَهُ إِلَّا فِي هَذِهِ الْأَشْيَاءِ الثَّلَاثَةِ لِكَوْنِهِ كَانَ سَبَبَهَا فَإِنَّ الْوَلَدَ مِنْ كَسْبِهِ وَكَذَلِكَ الْعِلْمُ الَّذِي خَلَّفَهُ مِنْ تَعْلِيمٍ أَوْ تَصْنِيفٍ وَكَذَلِكَ الصَّدَقَةُ الْجَارِيَةُ وَهِيَ الْوَقْفُ

Para ulama mengatakan, makna hadits ini adalah amal orang yang sudah mati terputus dengan sebab mati dan terputus mengalir pahala yang baru baginya kecuali pada tiga perkara ini, karena ia merupakan sebab bagi tiga perkara tersebut. Anak merupakan hasil usahanya, demikian juga ilmu yang ia tinggalkan dalam bentuk mengajar atau tulisan. Dan demikian juga sadaqah jariah, yakni waqaf.(Syarah Muslim: XI/85)

 

2.   Sebagaimana lafazh hadits di atas, yang teputus adalah pahala amal yang pernah dilakukan si mati pada masa hidupnya. Karena itu, hadits ini tidak dapat dijadi hujjah untuk menafikan pahala amal orang yang masih hidup yang diperuntukkan bagi si mati seperti doa bagi si mati, sadaqah yang diniatkan pahalanya untuk si mati, haji badal dan lain-lain.

3.   Pengertian sadaqah jariah adalah sadaqah yang pahalanya terus mengalir. Pahalanya bukan hanya pahala sekali beramal sebagaimana umumnya ibadah lainnya, akan tetapi setelah diperuntukkan suatu pahala karena sadaqahnya tersebut, bagi yang melakukannya terus menerus mengalir pahala yang sama selama sadaqahnya itu dimanfaatkan (tajaddud tsawab) dan itu tidak terputus dengan sebab kematian. Sadaqah model ini adalah sadaqah dalam bentuk waqaf sebagaimana penafsiran Imam al-Nawawi di atas. Karena itu tidak heran kalau para ulama mensyaratkan waqaf haruslah dalam bentuk kekal bendanya, tidak boleh seperti makanan yang hilang wujud bendanya apabila dimanfaatkan dengan memakannya.

4.   Pengertian ilmu yang dimanfaatkan oleh orang lain adalah seperti mengajar dan mengarang. Namun menurut Imam al-Subkiy mengarang lebih utama dibandingkan mengajar, karena tulisan dalam bentuk karangan lebih lama bertahan dalam perjalanan masanya. Al-Munawi mengutip perkataan al-Subkiy sebagai berikut:

والتصنيف أقوى لطول بقائه على ممر الزمان

Mengarang lebih kuat karena lama kekalnya dalam perjalanan masanya. (Faidh al-Qadir, karangan al-Munawi: I/437)

 

Namun demikian, al-Munawi menyambung pernyataan al-Subkiy di atas dengan perkataan beliau:

لكن شرط بعض شراح مسلم لدخول التصنيف فيه اشتماله على فوائد زائدة على ما في الكتب المتقدمة فإن لم يشتمل إلا على نقل ما فيها فهو تحبير للكاغد فلا يدخل في ذلك وكذا التدريس فإن لم يكن في الدرس زيادة تستفاد من الشيخ مزيدة على ما دونه الماضون لم يدخل

Akan tetapi sebagian pensyarah hadits Muslim untuk masuk mengarang di dalam “Ilmu yang dimanfaatkan orang lain” mensyaratkan harus mencakup faedah-faedah yang merupakan tambahan dari kitab-kitab yang lebih duluan ada. Karena itu, apabila karangan tersebut hanya merupakan kutipan dari kitab-kitab sebelumnya, maka itu hanya tinta pada kertas. Karenanya tidak masuk dalam “ilmu yang dimanfaatkan orang lain”. Demikian juga mengajar apabila dalam pengajaran tersebut tidak ada tambahan dari apa yang diterima dari gurunya melebihi dari apa yang sudah pernah dibukukan oleh orang-orang sebelumnya, maka juga tidak termasuk dalamnya. (Faidh al-Qadir, karangan al-Munawi: I/437)

 

Pengutamaan mengarang dari mengajar ini tidak berlaku mutlaq. Menurut ‘Ali Syibran al-Malasiy, apabila di sebuah kawasan tertentu tidak terdapat seorang pengajar, maka dalam kondisi seperti ini, mengajar akan menjadi lebih utama dari mengarang. Tersebut dalam Hasyiah Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj:

وَاَلَّذِي يُتَّجَهُ أَنَّهُ إنْ كَانَ ثَمَّ مَنْ يَقُومُ عَنْهُ بِالتَّعْلِيمِ كَانَ التَّصْنِيفُ أَوْلَى وَإِلَّا فَالتَّعْلِيمُ أَوْلَى اهـ.ع ش

Pendapat yang dianggap kuat adalah apabila terdapat orang yang mampu mengajar, maka mengarang lebih utama. Adapun jika tidak ada, maka mengajar lebih utama. Demikian dari ‘Ali Syibran al-Malasiy (Hasyiah Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj: VI/236)

 

5.   Pengertian anak shaleh yang berdoa untuknya. Pengertian shaleh di sini adalah muslim, baik dia shaleh atau tidak. Disebut shaleh di sini karena ghalibnya hanya anak yang shaleh yang mau berdoa kepada orangtuanya. Dalam kitab  I’anah al-Thalibin disebutkan:

وقوله أي مسلم، أي أن المراد بالصالح: المسلم، فأطلق الخاص وأراد العام

Perkataan pengarang “maksudnya muslim” bermakna sesungguhnya makna shaleh adalah muslim. Di sini disebut khusus, akan tetapi maksudnya umum.(I’anah al-Thalibin: III/187)

 

Sejatinya doa bukan hanya dari anak kepada orangtuanya saja dapat bermanfaat, tetapi bisa juga dari yang bukan anaknya. Di sini ada penyebutan secara khusus pada anak karena dalam rangka menggerakkan hati anak untuk sungguh-sungguh berdoa kepada orangtuanya. Ini sebagaimana dikemukakan oleh Abu Bakar Syatha di berikut ini:

(قوله أو ولد) فائدة التقييد به، مع أن دعاء الغير ينفعه، تحريض الولد على الدعاء لأصله.

Sabda Nabi SAW: ”atau anak…”. Faedah mengkhususkan dengan anak, sementara doa selain anak juga bermanfaat karena menggerakkan anak untuk berdoa kepada orangtuanya. .(I’anah al-Thalibin: III/187)

 

Alhasil, anak yang beriman dan berakidah muslim, baik shaleh maupun tidak, yang berdoa untuk orangtuanya dapat bermanfaat doanya itu untuk orangtua dan termasuk dalam tiga perkara yang tidak terputus pahala amal seseorang yang dilakukan pada masa hidupnya. Dinyatakan sebagai amal orangtuanya karena orangtua menjadi sebab wujud anaknya, menjadi sebab keshalihannya dan terpetunjuk kepada kebenaran. Al-Munawi mengatakan,

(أو ولد صالح) أي مسلم (يدعو له) لأنه هو السبب لوجوده وصلاحه وإرشاده إلى الهدى

Atau anak yang shaleh, yaitu seorang muslim yang berdoa untuknya. Karena dia menjadi sebab wujud anaknya, keshalihan dan terpetunjuknya kepada kebenaran. (Faidh al-Qadir, karangan al-Munawi: I/437)

 

Suatu doa disebut bermanfaat apabila tujuan doanya itu berhasil diraih. Ini tentunya apabila Allah Ta’ala menjawab doanya, sedangkan jawaban terhadap doa hanya semata-mata merupakan karunia Allah Ta’ala. Adapun pahala berdoa itu sendiri karena doa merupakan suatu ibadah hanya diperuntukkan untuk orang yang berdoa. Namun memperhatikan hadits di atas, khusus doa anak yang shaleh untuk orangtuanya, manfaatnya bukan hanya jawaban doa dari Allah, akan tetapi pahala berdoa juga bisa sampai kepada orangtua. Berdasarkan ini, maka ada dua manfaat doa seorang anak kepada orangtuanya, yaitu jawaban Allah atas doa yang dituju kepada orangtua (syafaat doa) dan pahala berdoa itu sendiri. Jadi di sini ada dua variabel yaitu syafaat doa dan pahala berdoa itu sendiri. Berbeda dengan doa orang lain, menfaatnya hanya syafa’at doa, tidak pahala berdoanya. Abu Bakar Syatha mengatakan,

أما نفس الدعاء وثوابه فهو للداعي، لانه شفاعة أجرها للشافع، ومقصودها للمشفوع له نعم، دعاء الولد يحصل ثوابه نفسه للوالد الميت، لان عمل ولده لتسببه في وجوده من جملة عمله، كما صرح به خبر ينقطع عمل ابن آدم إلا من ثلاث ثم قال: أو ولد صالح، أي مسلم، يدعو له حمل دعاءه من عمل الوالد

Adapun doa itu sendiri dan pahalanya adalah untuk diri orang yang berdoa, karena doa adalah syafaat dimana pahalanya bagi yang memberi syafaat, sedangkan tujuan syafaat diperuntukkan bagi yang diberikan syafaat. Akan tetapi doa seorang anak, pahala doanya itu sendiri juga diperuntukkan bagi orangtuanya yang sudah mati, karena amalan anaknya termasuk dalam katagori amalan orangtua karena orangtua menjadi sebab wujud anaknya sebagaimana diterangkan dalam hadits “Terputus amal anak Adam kecuali tiga perkara, kemudian berkata, “atau anak shaleh (muslim) yang berdoa kepadanya, maka dipertempatkan doa anak  dalam amalan orangtuanya. .(I’anah al-Thalibin: III/257)

 

Wallahua’lam bisshawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar