Renungan

Jumat, 26 Januari 2024

Tata cara tayamum saat ada luka yang diperban

 

Assalamu’alaikum wr. Wb.

Tgk,, saya mau nanya terkait hukum fiqih tentang mandi junub. Pada satu kejadian, bilamana seseorang dalam kondisi sakit dengan kaki diperban karena sebab operasi atau luka, dan mendapati dirinya dalam keadaan junub (semisalnya mengalami mimpi basah). lalu bagaimana dia mensucikannya? bolehkah dia tayamum atau tetap mandi dengan mengguyur air ke seluruh badannya?

Jawaban:

Wa’alaikumussalam wr. Wb.

Sebagaimana dimaklumi dalam fiqh, apabila seseorang dalam keadaan berjunub, maka wajib atasnya mandi hadats besar dengan membasuh seluruh tubuhnya. Apabila seseorang masih dalam keadaan berjunub haram atasnya (juga tidak sah) melakukan shalat, thawaf dan lainnya. Lalu muncul pertanyaan sebagaimana di atas, bilamana seseorang dalam kondisi sakit dengan kaki diperban karena sebab operasi atau luka, dan mendapati dirinya dalam keadaan junub. Apa yang harus dilakukannya?. Jawabannya adalah sebagai berikut:

1.   Jika dilepaskan perban tersebut dapat mendatangkan kemudharatan seperti  cacat, lambat sembuh, bertambah sakit atau kemudharatan lainnya, maka kewajiban mandi karena junub tetap wajib dilaksanakan sebatas yang memungkinkan. Karena itu, wajib membasuh semua anggota tubuh yang tidak luka (bagian tubuh yang sehat)

2.   Kemudian usap dengan tangan yang basah atas perban sebagai ganti membasuh anggota tubuh yang luka

3.   Kemudian bertayamumlah dengan mengusap debu pada wajah dan tangan sebagaimana diatur dalam bab tayamum. Tayamum ini sebagai ganti membasuh anggota tubuh yang sehat yang ditutupi perban. (menutup luka dengan perban tentunya juga akan menutupi sebagian tubuh yang sehat).

Zainuddin al-Malibari mengatakan,

وإذا امتنع استعماله في عضو وجب تيمم وغسل صحيح ومسح كل الساتر الضار نزعه بماء، ولا ترتيب بينهما لجنب.

Apabila terhalang menggunakan air pada satu anggota tubuh, maka wajib tayamum dan membasuh anggota yang sehat serta mengusap dengan air setiap bagian pembalutnya yang mendatangkan mudharat apabila dilepaskannya. Tidak ada tertib antara membasuh dan tayamum bagi yang  berjunub (I’anah al-Thalibin ‘ala Fath al-Mu’in: 1/72)

 

Yang dimaksud dengan pembalut anggota tubuh (saatir) di sini mencakup jabirah (kayu yang dibuat secara khusus untuk membalut anggota tubuh yang patah), plester luka, saleb, perban dan sejenisnya. Abu Bakar Syatha, pengarang I’anah al-Thalibin dalam menjelaskan pengertian saatir di atas, mengatakan,

والساتر كجبيرة، وهي أخشاب أو قصب تسوى وتشد على موضع الكسر ليلتحم، وكلصوق ومرهم وعصابة.

Saatir (pembalut) adalah seperti jabirah yaitu kayu atau rotan yang dibuat rapi kemudian diikat pada anggota tubuh yang patah agar dapat merapat kembali dan seperti plester luka, saleb dan perban. (I’anah al-Thalibin ‘ala Fath al-Mu’in: 1/72)

 

4.   Apabila perban terdapat pada anggota tayamum, maka tidak wajib mengusap debu atas perban dan memadai pada bagian lain yang sehat saja. Jalaluddin al-Mahalli dalam penjelasannya mengatakan,

وَاحْتَرَزَ بِمَاءٍ عَنْ التُّرَابِ فَلَا يَجِبُ مَسْحُهَا بِهِ إذَا كَانَتْ فِي مَحَلِّ التَّيَمُّمِ

Debu tanah dikecualikan dari hukum air. Karena itu, tidak wajib mengusap pembalut dengan debu apabila pembalut tersebut berada pada anggota tayamum. (Qalyubi ‘ala Syarh al-Mahalli: I/97)

 

Kemudian berikut ini beberapa catatan yang perlu diperhatikan, yaitu:

1.   Apabila perban terdapat pada anggota tayamum (wajah dan tangan), maka shalatnya wajib diulangi kembali ketika sehat. Karena  mandi dan tayamum, kedua-duanya tidak sempurna

2.   Apabila perban tidak terdapat pada anggota tayamum, akan tetapi perban tersebut menutupi anggota yang sehat dalam ukuran melebihi yang diperlukan sebagaimana biasanya kita lihat pada pasien di rumah sakit kita , maka shalatnya juga wajib diulangi kembali ketika sehat

3.   Demikian juga shalatnya wajib diulangi Kembali ketika sehat apabila seseorang pada saat meletakkan perban pembalut luka dalam keadaan berhadats. Ini berbeda halnya apabila seseorang dalam keadaan suci dari hadats kecil maupun besar saat diletakkan perban, kemudian datang junub, maka dalam kondisi ini, tidak perlu lagi mengulangi shalatnya dan memadai dengan shalat yang sudah dilakukan saat ada perban pada anggota tubuhnya.

Penjelasan di atas dapat diperhatikan dari keterangan berikut ini:

واعلم أن الساتر إن كان في أعضاء التيمم وجبت إعادة الصلاة مطلقا لنقص البدل والمبدل جيمعا، وإن كان في غير أعضاء التيمم فإن أخذ من الصحيح زيادة على قدر الاستمساك وجبت الإعادة، سواء وضعه على حدث أو وضعه على طهر وكذا تجب إن أخذ من الصحيح بقدر الاستمساك ووضعه على حدث،

Ketahuilah, sesungguhnya pembalut anggota tubuh yang sakit itu jika ada pada anggota tayamum, maka shalatnya wajib diulangi kembali secara mutlaq (baik pada saat perban diletakkan pada anggota sakit dalam keadaan berhadats atau tidak), karena tidak sempurna semuanya , yaitu pengganti (tayamum) dan yang diganti (mandi). Adapun jika pembalutnya tidak berada di atas anggota tayamum, akan tetapi menutupi anggota yang sehat melebihi ukuran yang diperlukan untuk mengokohkan pembalut tersebut, maka shalatnya wajib diulangi kembali, baik pembalut diletakkan dalam keadaan berhadats atau suci. Demikian juga wajib mengulangi shalatnya jika pembalut menutupi anggota yang sehat dalam ukuran yang diperlukan untuk mengokohkan pembalut tersebut, namun diletakkannya dalam keadaan berhadats. (I’anah al-Thalibin ‘ala Fath al-Mu’in: 1/72)

 

4.   Orang yang bertayamum hanya dapat menggunakan satu tayamumnya untuk satu shalat fardhu dan beberapa shalat sunnah. Karena itu, jika seseorang mau melaksanakan shalat fardhu lainnya, maka wajib tayamum lagi. Dalam penjelasan selanjutnya, Zainuddin al-Malibari mengatakan,

ولا يصلي به إلا فرضا واحدا ولو نذرا

Seseorang tidak melaksanakan shalat dengan tayamum kecuali satu fardhu, meskipun dalam bentuk shalat nadzar. (I’anah al-Thalibin ‘ala Fath al-Mu’in: 1/72)

 

Wallahua’lam bisshawab

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar