Renungan

Minggu, 31 Maret 2024

Tanqih al-Manath dalam kajian Ushul Fiqh

 

Secara bahasa, tanqih artinya: menyaring atau memilah. Sedangkan al-manath bermakna tempat diikatkan atau disangkutkan sesuatu. Yang dimaksud dengan al-manath di sini adalah illat yang menjadi tempat diikatkan atau disangkutkan suatu hukum. Adapun tanqih al-mananth adalah usaha untuk menyaring atau memilah dengan jalan ijtihad dari sekian kemungkinan ‘illah hukum yang ada, sehingga bisa ditentukan mana ‘illah hukum yang paling tepat. Tanqih al-manath ini termasuk salah satu metode penetapan ‘illah hukum (masaalik ‘illah) yang dikaji dalam Ushul Fiqh. Para ulama membagi tanqih al-manath ini dalam dua pembagian, yaitu:

1.   Ijtihad dengan mengabaikan aspek khusus dari suatu sifat dan menjadikan aspek umumnya menjadi ‘illah hukum. Dalam menjelaskan pembagian ini, Zakariya al-Anshari mengatakan,

(التاسع) من مسالك العلة (تنقيح المناط بأن يدل نص ظاهر على التعليل) لحكم (بوصف فيحذف خصوصه عن الاعتبار بالاجتهاد ويناط) الحكم (بالأعم)

Yang ketujuh dari masaalik ‘illah adalah tanqih al-manath, yaitu ketika terdapat dalil secara dhahir menunjukkan illat sebuah hukum, imam mujtahid melakukan ijtihad dengan mengabaikan aspek khusus dari sifat tersebut dan menjadikan aspek umumnya menjadi illath hukum. (Ghayah al-Wushul: 133)

 

Misalnya kisah yang diceritakan oleh Abu Hurairah r.a, beliau mengatakan,

بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ قَالَ مَا لَكَ قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي وَأَنَا صَائِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا قَالَ لَا قَالَ فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ لَا فَقَالَ فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا قَالَ لَا قَالَ فَمَكَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Ketika kami sedang duduk bersama Nabi SAW tiba-tiba datang seorang laki-laki (seorang Arab Badui) lalu berkata: "Wahai Rasulullah, binasalah aku". Beliau bertanya: "Ada apa denganmu?". Orang itu menjawab: "Aku telah berhubungan dengan isteriku sedangkan aku sedang berpuasa". Maka Rasulullah SAW bertanya: "Apakah kamu memiliki budak, sehingga kamu harus membebaskannya?". Orang itu menjawab: "Tidak". Lalu Beliau bertanya lagi: "Apakah kamu sanggup bila harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut?". Orang itu menjawab: "Tidak". Lalu Beliau bertanya lagi: "Apakah kamu memiliki makanan untuk diberikan kepada enam puluh orang miskin?". Orang itu menjawab: "Tidak". Sejenak Nabi SAW terdiam. (H.R. Bukhari)

Di dalam hadits ini, Rasulullah SAW menetapkan hukum wajib membayar kafarat kepada a’rabi tersebut. Secara dhahir teks, ada beberapa sifat atau kriteria yang dimungkinkan menjadi illat atas hukum wajib kafarat;, yaitu:

a.    Melakukan jimak pada siang Ramadhan

b.    pelaku jimak yang a’rabi (Arab Badui)

c.     perempuan yang dijimak berstatus istri

d.    Jimak dilakukan di kemaluan qubul

Imam Malik dan Imam Abu Hanifah dalam memilah aspek-aspek yang disebut di dalam kandungan hadits di atas mengabaikan aspek khususnya dan mengambil aspek umumnya sebagai ‘illah hukum yaitu tindakan sengaja membatalkan puasa. Artinya, setiap tindakan sengaja membatalkan puasa baik dengan jimak atau yang lain mengakibatkan kewajiban kafarat. (Ghayah al-Wushul: 133). Mereka mengatakan, tidak ada perbedaan antara jimak dan lainnya seperti makan dan minum sebagai wasilah membatalkan puasa sebagaimana halnya wasilah pembunuhan, baik benda tajam atau benda tumpul yang berat. Karena itu, keduanya tetap mengakibatkan kewajiban kifarat apabila dengan sebabnya membatalkan puasa.

Contoh lain untuk pembagian ini sabda Nabi SAW berbunyi:

 لايحكم أحد بين اثنين وهو غضبان

Seseorang tidak memutuskan perkara antara dua orang yang bersengketa, sedangkan ia dalam keadaan marah (H.R. Bukhari)

 

Dalam memahami hadits ini, para ulama mengabaikan aspek khususnya, yaitu dalam keadaan marah dan mengambil aspek umumnya sebagai illah hukum, yaitu keadaan mengacaukan pikiran, baik disebabkan marah, sangat lapar atau haus ataupun dengan sebab lainnya. Sehingga seorang hakim makruh hukumnya memutuskan suatu perkara dalam keadaan marah, sangat lapar ataupun haus.

Contoh lainnya adalah firman Allah Ta’ala:

فَاِذَآ اُحْصِنَّ فَاِنْ اَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنٰتِ مِنَ الْعَذَابِۗ

Apabila mereka (hamba sahaya perempuan) telah berumah tangga (bersuami), tetapi melakukan perbuatan keji (zina), maka (hukuman) bagi mereka setengah dari apa (hukuman) perempuan-perempuan merdeka (yang tidak bersuami). (Q.S. al-Nisa’: 25)

 

Ayat ini menjelaskan kapada kita bahwa hamba sahaya perempuan yang berzina dikenakan hukum hudud setengah dari hukuman perempuan merdeka, yaitu lima puluh kali cambuk. Namun para ulama mengabaikan aspek khususnya, yaitu sifat keperempuanannya sebagai ‘illah hukum dan mengambil aspek umumnya, yaitu hamba sahaya, baik laki-laki maupun perempuan. Sehingga yang dikenakan hukuman cambuk lima puluh kali bukan hanya hamba sahaya perempuan saja, akan tetapi juga hamba sahaya laki-laki dengan cara mengqiyaskan kepada hamba sahaya perempuan dengan ‘illah hukumnya sama-sama hamba sahaya.

2.   Ijtihad dengan mengabaikan sebagian sifat dan menjadikan yang lain menjadi ‘illah hukum. Dalam menjelaskan pembagian yang kedua ini, Zakariya al-Anshari mengatakan,

)أو (بأن )تكون (في محل الحكم )أوصاف فيحذف بعضها (عن الاعتبار  بالاجتهاد )ويناط (الحكم )بباقيها(

atau terdapat beberapa sifat yang dimungkinkan menjadi ‘illah sebuah hukum, imam mujtahid melakukan ijtihad dengan mengabaikan sebagian sifat dan menjadikan yang lain menjadi ‘illah. (Ghayah al-Wushul: 133)

Misalnya, dalam memahami hadits di atas, Imam Syafi’i berbeda pendapat dengan Imam Malik dan Imam Abu Hanifah. Imam Syafi’i memilih hanya sifat jimak pada siang Ramadhan sebagai ‘illah hukum dan mengabaikan sifat-sifat yang lain yang disebut di atas. (Ghayah al-Wushul: 133). Adapun sifat-sifat yang lain diabaikan karena:

a.    Pelaku jimak yang a’rabi (Arab Badui). Sifat ini diabaikan karena hukum Islam berlaku universal, tidak mengkhususkan kepada suatu suku atau bangsa kecuali ada dalil yang mengkhususkannya.

b.    Perempuan yang dijimak berstatus istri. Sifat ini diabaikan karena bersetubuh dengan bukan isteri malah dosanya lebih besar. Karena itu tidak mungkin syara’ hanya memberlakukan kewajiban kifarat hanya pada persetubuhan dengan isteri saja.

c.     Jimak dilakukan di kemaluan qubul. Sifat ini diabaikan, karena dosa bersetubuh di kemaluan dubur dosanya lebih besar dibandingkan jimak di qubul.

Sedangkan hal-hal yang menjadi pertimbangan tidak memilih aspek umumnya sebagaimana halnya pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah di atas adalah sebagai berikut:

a.   Untuk menghadapi syahwat makan dan minum memadai dengan penetapan dosa bagi yang melakukannya di siang Ramadhan. Adapun syahwat jimak pada sebagian manusia disamping penetapan dosa, perlu dibaringi dengan hukuman di dunia dalam bentuk kifarat

b.   Kifarat disyari’atkan demi menghapus dosa maksiat. Maka atas orang yang mengugurkan puasanya dengan melakukan jimak, seharusnya layak atasnya diwajibkan kifarat. Ini berbeda dengan makan dan minum dimana syahwatnya lebih rendah dibandingkan syahwat jimak, maka upaya menahan diri dari makan dan minum di siang Ramadhan relatif  lebih mudah. Karenanya, tidak memadai demi menghapus dosanya dengan kifarat.

 

Wallahua’lam bisshawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar