Renungan

Sabtu, 20 April 2024

Menggunakan obat penunda haidh untuk ibadah haji/umrah dan puasa Ramadhan

 

Sebagian dari rukun haji atau umrah mengharuskan seorang perempuan suci dari haidh (menstruasi) karena ia harus tawaf dan sa’i di lingkungan Masjidil Haram. Belum lagi ketika seseorang berada di Madinah. Ia harus menggunakan kesempatannya untuk beribadah di Masjid Nabawi. Pada zaman sekarang, sudah ma’ruf di kalangan kaum perempuan yang akan berangkat haji atau umrah, mereka mesti mengonsumsi obat penunda haidh agar manasik mereka lancar di tanah suci. Karena jika tidak dikonsumsi, mereka akan kehilangan moment-moment ibadah penting kala itu. Bagaimana hukum Islam sendiri mengenai penggunaan obat penghalang haidh semacam ini? Demikian juga jika menggunakan obat penunda haidh demi untuk melaksanakan puasa Ramadhan.

Jawaban:

Pada dasarnya, usaha seorang perempuan menunda haidh dengan meminum obat tertentu hukumnya boleh dengan catatan tidak membahayakan bagi pelaku/pengguna dan ada izin dari suami apabila ia mempunyai suami. Dalam Ghayah Talkhish al-Murad min Fatawa Ibn Ziyad disebutkan:

 وَفِي فَتَاوَى الْقِمَاطِ مَا حَاصِلُهُ جَوَازُ اسْتِعْمَالِ الدَّوَاءِ لِمَنْعِ الْحَيْضِ  

Dan kesimpulan dalam Fatawa al-Qimath adalah boleh menggunakan obat-obatan untuk mencegah haidh.(Ghayah Talkhish al-Murad min Fatawa Ibn Ziyad (dicetak pada hamisy Bughyah al-Musytarsyidin), Hal. 247)

 

Perlu izin suami karena menunda haidh dengan menggunakan obat tertentu berpotensi terputus atau tertunda keturunan.

Namun apakah jika haidh terputus karena minum obat akan berlaku hukum perempuan suci dari haidh sebagaimana lazimnya?. Untuk menjawab ini kita kutip penjelasan Imam al-Nawawi berikut ini:

وَلَوْ شَرِبَتْ دَوَاءً للحيض فَحَاضَتْ لَمْ يَلزمها  القَضَاءُ

Jika seorang perempuan minum obat demi berhaidh, kemudian ia berhaidh, maka tidak wajib atasnya qadha. (al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab: III/ 10)

 

Hal yang sama juga dikemukan oleh Imam al-Suyuthi berikut ini:

وَلَوْ شَرِبَتْ دَوَاءً فَحَاضَتْ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهَا قَضَاءُ الصَّلَاةِ قَطْعًا

Jika seorang perempuan minum obat dan karena obat tersebut ia berhaidh, maka tidak wajib atasnya qadha shalat tanpa khilaf. (al-Asybah wa al-Nadhair: 153)

 

Dua keterangan di atas menjelaskan kepada kita, tidak wajib qadha shalat apabila seorang perempuan yang tidak berhaidh, kemudian minum obat tertentu untuk memunculkan kembali haidhnya. Tidak wajib qadha karena perempuan tersebut memang tidak wajib shalat pada waktu itu, sehingga konsekwensi hukumnya tidak wajib qadha apabila ia meninggalkan shalat pada waktu berhaidh karena faktor rekayasa dengan obat. Alasan hukum yang dapat kita cerna dalam kasus ini, alasannya adalah berhaidh, meskipun faktor rekayasa dengan obat. Konsekwensi logis (qiyas ‘akas) dari alasan hukum ini adalah sebaliknya tetap wajib shalat dan wajib qadha apabila meninggalkannya jika terjadi rekayasa untuk tidak berhaidh dengan menggunakan obat tertentu. Artinya rekayasa berhaidh atau tidak berhaidh dengan menggunakan obat tertentu tidak mempengaruhi hukum. Yang menjadi tinjauan adalah seorang perempuan tersebut berhaidh atau tidak, baik berhaidh atau tidaknya  tersebut dengan cara alami maupun faktor rekayasa dengan menggunakan obat.

Apabila kita sepakat dengan kesimpulan di atas, dapat dipahami bahwa seorang perempuan yang terputus haidhnya karena meminum obat tertentu akan berlaku hukum perempuan suci dari haidh. Dengan demikian, jawaban untuk kasus seorang perempuan yang menunda haidhnya dengan minum obat tertentu demi dapat melaksanakan rukun haji atau umrah yang mengharuskannya suci dari haidh seperti tawaf dapat dibenarkan syara’. Demikian juga dalam kasus menunda haidh dengan minum obat demi melaksanakan puasa Ramadhan.

Adapun qaidah fiqh berbunyi:

مَنْ اسْتَعْجَلَ شَيْئًا قَبْلَ أَوَانِهِ عُوقِبَ بِحِرْمَانِهِ

Barangsiapa yang menyegerakan sesuatu sebelum waktunya, maka ia akan diberikan sanksi keharaman sesuatu tersebut atasnya.

 

Menurut penjelasan Imam al-Suyuthi, nyaris tidak ada kasus yang dapat dimasukkan dalam qaidah fiqh ini. Karena kebanyakan fiqh Syafi’iyah berbeda dengan kandungan qaidah ini. Dalam mengomentari qaidah ini, Imam al-Suyuthi mengatakan,

إذَا تَأَمَّلْت مَا أَوْرَدْنَاهُ عَلِمْت أَنَّ الصُّوَرَ الْخَارِجَةَ عَنْ الْقَاعِدَةِ أَكْثَرُ مِنْ الدَّاخِلَةِ فِيهَا. بَلْ فِي الْحَقِيقَةِ، لَمْ يَدْخُلْ فِيهَا غَيْرُ حِرْمَانِ الْقَاتِلِ الْإِرْثَ.

Apabila kamu memikirkan apa yang telah kami datangkan di sini (contoh-contohnya), maka kasus-kasus yang keluar dari qaidah ini lebih banyak dari yang masuk di dalamnya, bahkan pada hakikatnya tidak masuk dalam qaidah ini kecuali haram atas  sipembunuh warisan dari orang yang dibunuhnya.(al-Asybah wa al-Nadhair: 153)

 

Wallahu’alam bisshawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar