Sebagian dari rukun haji atau umrah mengharuskan
seorang perempuan suci dari haidh (menstruasi) karena ia harus tawaf dan sa’i
di lingkungan Masjidil Haram. Belum lagi ketika seseorang berada di Madinah. Ia
harus menggunakan kesempatannya untuk beribadah di Masjid Nabawi. Pada zaman
sekarang, sudah
ma’ruf di kalangan kaum perempuan yang akan berangkat haji atau umrah, mereka
mesti mengonsumsi obat penunda haidh agar manasik mereka lancar di tanah suci.
Karena jika tidak dikonsumsi, mereka akan kehilangan moment-moment ibadah
penting kala itu. Bagaimana hukum Islam sendiri mengenai penggunaan obat
penghalang haidh semacam ini? Demikian juga jika menggunakan obat penunda haidh
demi untuk melaksanakan puasa Ramadhan.
Jawaban:
Pada
dasarnya, usaha seorang perempuan menunda haidh dengan meminum obat tertentu hukumnya
boleh dengan catatan tidak membahayakan bagi pelaku/pengguna dan ada izin dari
suami apabila ia mempunyai suami. Dalam Ghayah Talkhish al-Murad min Fatawa Ibn
Ziyad disebutkan:
وَفِي فَتَاوَى الْقِمَاطِ مَا حَاصِلُهُ جَوَازُ
اسْتِعْمَالِ الدَّوَاءِ لِمَنْعِ الْحَيْضِ
Dan kesimpulan
dalam Fatawa al-Qimath adalah boleh menggunakan obat-obatan untuk mencegah haidh.(Ghayah Talkhish al-Murad min Fatawa Ibn Ziyad (dicetak pada hamisy
Bughyah al-Musytarsyidin), Hal. 247)
Perlu
izin suami karena menunda haidh dengan menggunakan obat tertentu berpotensi
terputus atau tertunda keturunan.
Namun apakah jika haidh terputus karena
minum obat akan berlaku hukum perempuan suci dari haidh sebagaimana lazimnya?. Untuk
menjawab ini kita kutip penjelasan Imam al-Nawawi berikut ini:
وَلَوْ شَرِبَتْ
دَوَاءً للحيض فَحَاضَتْ لَمْ يَلزمها القَضَاءُ
Jika seorang
perempuan minum obat demi berhaidh, kemudian ia berhaidh,
maka tidak wajib atasnya qadha. (al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab: III/ 10)
Hal yang sama
juga dikemukan oleh Imam al-Suyuthi berikut ini:
وَلَوْ شَرِبَتْ
دَوَاءً فَحَاضَتْ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهَا قَضَاءُ الصَّلَاةِ قَطْعًا
Jika seorang
perempuan minum obat dan karena obat tersebut ia berhaidh, maka tidak wajib atasnya
qadha shalat tanpa khilaf. (al-Asybah wa al-Nadhair: 153)
Dua keterangan
di atas menjelaskan kepada kita, tidak wajib qadha shalat apabila seorang
perempuan yang tidak berhaidh, kemudian minum obat tertentu untuk memunculkan
kembali haidhnya. Tidak wajib qadha karena perempuan tersebut memang tidak
wajib shalat pada waktu itu, sehingga konsekwensi hukumnya tidak wajib qadha
apabila ia meninggalkan shalat pada waktu berhaidh karena faktor rekayasa
dengan obat. Alasan hukum yang dapat kita cerna dalam kasus ini, alasannya
adalah berhaidh, meskipun faktor rekayasa dengan obat. Konsekwensi logis (qiyas
‘akas) dari alasan hukum ini adalah sebaliknya tetap wajib shalat dan wajib qadha
apabila meninggalkannya jika terjadi rekayasa untuk tidak berhaidh dengan
menggunakan obat tertentu. Artinya rekayasa berhaidh atau tidak berhaidh dengan
menggunakan obat tertentu tidak mempengaruhi hukum. Yang menjadi tinjauan
adalah seorang perempuan tersebut berhaidh atau tidak, baik berhaidh atau tidaknya
tersebut dengan cara alami maupun faktor
rekayasa dengan menggunakan obat.
Apabila kita
sepakat dengan kesimpulan di atas, dapat dipahami bahwa seorang perempuan yang terputus haidhnya karena meminum obat tertentu akan
berlaku hukum perempuan suci dari haidh. Dengan demikian, jawaban untuk kasus
seorang perempuan yang menunda haidhnya dengan minum obat tertentu demi dapat
melaksanakan rukun haji atau umrah yang mengharuskannya suci dari haidh seperti
tawaf dapat dibenarkan syara’. Demikian juga dalam kasus menunda haidh dengan
minum obat demi melaksanakan puasa Ramadhan.
Adapun qaidah fiqh berbunyi:
مَنْ اسْتَعْجَلَ شَيْئًا قَبْلَ
أَوَانِهِ عُوقِبَ بِحِرْمَانِهِ
Barangsiapa
yang menyegerakan sesuatu sebelum waktunya, maka ia akan diberikan sanksi keharaman
sesuatu tersebut atasnya.
Menurut
penjelasan Imam al-Suyuthi, nyaris tidak ada kasus yang dapat dimasukkan dalam
qaidah fiqh ini. Karena kebanyakan fiqh Syafi’iyah berbeda dengan kandungan
qaidah ini. Dalam mengomentari qaidah ini, Imam al-Suyuthi mengatakan,
إذَا
تَأَمَّلْت مَا أَوْرَدْنَاهُ عَلِمْت أَنَّ الصُّوَرَ الْخَارِجَةَ عَنْ
الْقَاعِدَةِ أَكْثَرُ مِنْ الدَّاخِلَةِ فِيهَا. بَلْ فِي الْحَقِيقَةِ، لَمْ
يَدْخُلْ فِيهَا غَيْرُ حِرْمَانِ الْقَاتِلِ الْإِرْثَ.
Apabila kamu
memikirkan apa yang telah kami datangkan di sini (contoh-contohnya), maka
kasus-kasus yang keluar dari qaidah ini lebih banyak dari yang masuk di
dalamnya, bahkan pada hakikatnya tidak masuk dalam qaidah ini kecuali haram atas
sipembunuh warisan dari orang yang dibunuhnya.(al-Asybah
wa al-Nadhair: 153)
Wallahu’alam
bisshawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar