Salah satu metode berargumetasi (istidlal) yang
dibahas dalam ushul fiqh adalah qiyas al-‘akas. Dalam kitab Ghayah al-Wushul,
Zakariya al-Anshari mendevinisikan qiyas al-‘akas sebagai berikut:
وهو إثبات عكس حكم شيء لمثله لتعاكسهما في العلة
Yaitu menetapkan lawan dari hukum sesuatu kepada yang
sebanding dengannya karena berlawanan keduanya pada ‘illah hukum. (Ghayah
al-Wushul: 144)
Al-Zarkasyi dalam menjelaskan qiyas al-‘akas
mengatakan,
النَّوْعُ الثَّالِثُ
قِيَاسُ الْعَكْسِ وَهُوَ إثْبَاتُ نَقِيضِ الْحُكْمِ فِي غَيْرِهِ
لِافْتِرَاقِهِمَا فِي عِلَّةِ الْحُكْمِ، كَذَا عَرَّفَهُ صَاحِبُ الْمُعْتَمَدِ
وَالْأَحْكَامِ وَغَيْرِهِمَا
Pembagian
ketiga dari qiyas adalah qiyas al-‘akas, yaitu menetapkan lawan hukum pada
selainnya karena berbeda keduanya pada ‘illah hukum. Demikian telah
didevinisikannya oleh pengarang kitab al-Mu’tamad dan kitab al-Ahkam dan juga
selain keduanya. (Bahr al-Muhith fi Ushul Fiqh: VII/60)
Dalam
narasi yang lebih mudah dipahami, qiyas al-‘akas adalah sebuah qiyas dimana
metode istidlalnya dengan cara menetapkan lawan dari hukum sesuatu pada kasus
yang lain karena berlawanan keduanya pada ‘illah hukum.
Contoh
qiyas al-‘akas yang sering dikemukakan para ulama adalah riwayat yang mencerita
para sahabat Nabi SAW bertanya kepada Rasulullah SAW:
قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ، أَيَأتِي
أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ؟ قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ
وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا
فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ
Mereka bertanya, Wahai Rasulullah, apakah (jika) salah seorang di
antara kami memenuhi syahwatnya, ia mendapat pahala?” Rasulullah SAW menjawab :
“Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia
berdosa, demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia
mendapat pahala. (H.R. Muslim)
Dalam hadits
ini, dalam rangka menjawab pertanyaan para sahabat, Rasulullah SAW
membandingkan kasus memenuhi syahwat yang halal kepada kasus memenuhi syahwat
yang haram. Artinya jika syahwat yang haram mendapat dosa karena haramnya, maka
memenuhi syahwat yang halal akan mendapatkan pahala, karena halalnya.
Berlawanan hukum dalam dua kasus ini karena berlawanan ‘illah hukum keduanya,
yaitu yang satu haram sedangkan yang satu lagi adalah halal. Ini dinamakan
sebagai qiyas al-‘akas dalam pembahasan istidlal dalam ushul fiqh. (Ghayah
al-Wusul: 135)
Contoh lain qiyas al-‘akas terdapat dalam ucapan Ibnu
Mas’ud r.a berikut ini:
قال رسول
اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم: من مات لا يشرك باللَّه شيئًا دخل الجنة وأنا أقول:
من مات يشرك باللَّه شيئًا دخل النار
Rasulullah
SAW bersabda: “Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak menyekutukan Allah
dengan sesuatupun, maka ia akan masuk surga. Aku (Ibnu Mas’ud) mengatakan,
“Barangsiapa yang mati dalam keadaan menyekutukan Allah dengan sesuatu, maka ia
akan masuk neraka.
Ibnu Hajar
al-Haitamiy telah menjadikan ucapan Ibnu mas’ud r.a. di atas sebagai contoh
qiyas al-‘akas.(al-Fath al-Mubin bi Syarh al-Arba’in: 440). Disebut sebagai
qiyas al-‘akas, karena di sini Ibnu Mas’ud r.a telah mengambil kesimpulan
seseorang akan masuk neraka dengan sebab menyekutukan Allah dan beliau
berargumentasi dengan sabda Nabi SAW: “Barangsiapa yang mati dalam
keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun, maka ia akan masuk surga”.
Jika seseorang bisa masuk surga dengan sebab tidak menyekutukan Allah, maka ia juga
bisa akan masuk neraka dengan sebab menyekutukan Allah. Perbedaan hukum antara
keduanya karena berlawanan ‘illah hukumnya. Yang satu ‘illahnya karena tidak
menyekutukan Allah, sedangkan yang satu lagi karena menyekutukan Allah.
Contoh lain
lagi adalah firman Allah Ta’ala berbunyi:
لَوْ كَانَ
فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلا اللَّهُ لَفَسَدَتَا
Seandainya
pada langit dan bumi ada tuhan-tuhan selain Allah, maka tentu keduanya telah
binasa. (Q.S. al-Anbiya: 22).
Dalam ayat
ini, Allah Ta’ala mengajarkan kita berargumentasi dengan qiyas al-‘akas. Yakni jika
ada tuhan selain Allah, maka kedua langit dan bumi pasti binasa. Karena itu,
jika sekarang nampak dalam kasat mata kita bahwa langit dan bumi tidak binasa,
maka hanya Allah satu-satunya tuhan sekalian alam ini. Hukum keduanya berbeda,
yang pertama ada tuhan selain Allah dan yang kedua, Allah satu-satunya tuhan
sekalian alam. Perbedaan ini didasari karena ‘illahnya berbeda. Yakni ‘illah
hukum yang pertama adalah telah binasa langit dan bumi, sedangkan ‘illah hukum yang
kedua tidak binasa langit dan bumi. Contoh ini telah disebut sebagai qiyas
al-‘akas oleh al-Zarkasyi.(Bahr al-Muhith fi Ushul Fiqh: VII/60).
Termasuk
dalam contoh qiyas al-‘akas adalah kesimpulan wajib qadha shalat seorang
perempuan yang menunda haidhnya dengan minum obat tertentu jika meninggalkannya
pada waktu tersebut, jika kesimpulan ini dipahami dari perkataan yang dikemukakan
oleh Imam al-Suyuthi berikut ini:
وَلَوْ شَرِبَتْ
دَوَاءً فَحَاضَتْ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهَا قَضَاءُ الصَّلَاةِ قَطْعًا
Jika seorang
perempuan minum obat dan karena obat tersebut ia berhaidh, maka tidak wajib
atasnya qadha shalat tanpa khilaf. (al-Asybah wa al-Nadhair: 153)
Perkataan Imam
al-Suyuthi ini menjelaskan kepada kita, tidak wajib qadha shalat apabila
seorang perempuan yang tidak berhaidh, kemudian minum obat tertentu untuk
memunculkan kembali haidhnya. Tidak wajib qadha karena perempuan tersebut
memang tidak wajib shalat pada waktu itu, sehingga konsekwensi hukumnya tidak
wajib qadha apabila ia meninggalkan shalat pada waktu berhaidh karena faktor
rekayasa dengan obat. Alasan hukum yang dapat kita cerna dalam kasus ini,
alasannya adalah berhaidh, meskipun faktor rekayasa dengan obat. Konsekwensi
logis (qiyas ‘akas) dari alasan hukum ini adalah sebaliknya tetap wajib shalat
dan wajib qadha apabila meninggalkannya jika terjadi rekayasa untuk tidak
berhaidh dengan menggunakan obat tertentu. Artinya rekayasa berhaidh atau tidak
berhaidh dengan menggunakan obat tertentu tidak mempengaruhi hukum. Yang
menjadi tinjauan adalah seorang perempuan tersebut berhaidh atau tidak, baik
berhaidh atau tidaknya tersebut dengan
cara alami maupun faktor rekayasa dengan menggunakan obat.
Perbedaan
pendapat ulama dalam menggunakan qiyas al-‘akas dalam berargumentasi
Terjadi perbedaan
ulama terkait keabsahan qiyas al-‘akas sebagai salah satu metode berargumentasi
(istidlal). Namun sesuai dengan tarjih kebanyakan para ulama ushul fiqh dan
para fuqaha, qiyas al-‘akas ini adalah metode berargumentasi (istidlal) yang shahih
dalam menetapkan suatu hukum fiqh. Berikut ini penjelasan beberapa ulama tentang
ini:
1. Pernyataan
Zakariya al-Anshari:
(و)
دخل فيه (في الأصح قياس العكس)
Menurut pendapat yang
lebih shahih, qiyas al-‘akas termasuk metode istidlal (Ghayah al-Wushul:144)
2. Pernyataan
Ibnu Hajar al-Haitamiy:
ومخالفةُ بعض الأصوليين في قياس العكس ضعيفٌ،
Penolakan qiyas al-‘akas
oleh sebagian ulama ushul adalah dhaif (.(al-Fath al-Mubin bi Syarh al-Arba’in:
441)
3.
Pernyataan Imam
al-Nawawi:
وَاخْتَلَفَ
الْأُصُولِيُّونَ فِي الْعَمَلِ بِهِ وَهَذَا الْحَدِيثُ دليل لِمَنْ عَمِلَ بِهِ
وَهُوَ الْأَصَحُّ
Terjadi perbedaan
pendapat para ulama ushul dalam hal mengamalkan qiyas al-‘akas. Hadits ini
(hadits pada contoh pertama di atas) merupakan dalil bagi orang yang mengamalkannya.
Pendapat ini merupakan pendapat yang lebih shahih. (Syarah Muslim: VII/92)
Wallahua’lam bisshawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar