Renungan

Sabtu, 20 April 2024

Qiyas al-‘akas dalam berargumentasi

 

Salah satu metode berargumetasi (istidlal) yang dibahas dalam ushul fiqh adalah qiyas al-‘akas. Dalam kitab Ghayah al-Wushul, Zakariya al-Anshari mendevinisikan qiyas al-‘akas sebagai berikut:

وهو إثبات عكس حكم شيء لمثله لتعاكسهما في العلة

Yaitu menetapkan lawan dari hukum sesuatu kepada yang sebanding dengannya karena berlawanan keduanya pada ‘illah hukum. (Ghayah al-Wushul: 144)

 

Al-Zarkasyi dalam menjelaskan qiyas al-‘akas mengatakan,

النَّوْعُ الثَّالِثُ قِيَاسُ الْعَكْسِ وَهُوَ إثْبَاتُ نَقِيضِ الْحُكْمِ فِي غَيْرِهِ لِافْتِرَاقِهِمَا فِي عِلَّةِ الْحُكْمِ، كَذَا عَرَّفَهُ صَاحِبُ الْمُعْتَمَدِ وَالْأَحْكَامِ وَغَيْرِهِمَا

Pembagian ketiga dari qiyas adalah qiyas al-‘akas, yaitu menetapkan lawan hukum pada selainnya karena berbeda keduanya pada ‘illah hukum. Demikian telah didevinisikannya oleh pengarang kitab al-Mu’tamad dan kitab al-Ahkam dan juga selain keduanya. (Bahr al-Muhith fi Ushul Fiqh: VII/60)

 

Dalam narasi yang lebih mudah dipahami, qiyas al-‘akas adalah sebuah qiyas dimana metode istidlalnya dengan cara menetapkan lawan dari hukum sesuatu pada kasus yang lain karena berlawanan keduanya pada ‘illah hukum.

Contoh qiyas al-‘akas yang sering dikemukakan para ulama adalah riwayat yang mencerita para sahabat Nabi SAW bertanya kepada Rasulullah SAW:

قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ، أَيَأتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ؟ قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ

Mereka bertanya, Wahai Rasulullah, apakah (jika) salah seorang di antara kami memenuhi syahwatnya, ia mendapat pahala?” Rasulullah SAW menjawab : “Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa, demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia mendapat pahala. (H.R. Muslim)


Dalam hadits ini, dalam rangka menjawab pertanyaan para sahabat, Rasulullah SAW membandingkan kasus memenuhi syahwat yang halal kepada kasus memenuhi syahwat yang haram. Artinya jika syahwat yang haram mendapat dosa karena haramnya, maka memenuhi syahwat yang halal akan mendapatkan pahala, karena halalnya. Berlawanan hukum dalam dua kasus ini karena berlawanan ‘illah hukum keduanya, yaitu yang satu haram sedangkan yang satu lagi adalah halal. Ini dinamakan sebagai qiyas al-‘akas dalam pembahasan istidlal dalam ushul fiqh. (Ghayah al-Wusul: 135)


Contoh lain qiyas al-‘akas terdapat dalam ucapan Ibnu Mas’ud r.a berikut ini:

قال رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم: من مات لا يشرك باللَّه شيئًا دخل الجنة وأنا أقول: من مات يشرك باللَّه شيئًا دخل النار

Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun, maka ia akan masuk surga. Aku (Ibnu Mas’ud) mengatakan, “Barangsiapa yang mati dalam keadaan menyekutukan Allah dengan sesuatu, maka ia akan masuk neraka.

 

Ibnu Hajar al-Haitamiy telah menjadikan ucapan Ibnu mas’ud r.a. di atas sebagai contoh qiyas al-‘akas.(al-Fath al-Mubin bi Syarh al-Arba’in: 440). Disebut sebagai qiyas al-‘akas, karena di sini Ibnu Mas’ud r.a telah mengambil kesimpulan seseorang akan masuk neraka dengan sebab menyekutukan Allah dan beliau berargumentasi  dengan  sabda Nabi SAW: “Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun, maka ia akan masuk surga”. Jika seseorang bisa masuk surga dengan sebab tidak menyekutukan Allah, maka ia juga bisa akan masuk neraka dengan sebab menyekutukan Allah. Perbedaan hukum antara keduanya karena berlawanan ‘illah hukumnya. Yang satu ‘illahnya karena tidak menyekutukan Allah, sedangkan yang satu lagi karena menyekutukan Allah.


Contoh lain lagi adalah firman Allah Ta’ala berbunyi:

لَوْ كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلا اللَّهُ لَفَسَدَتَا

Seandainya pada langit dan bumi ada tuhan-tuhan selain Allah, maka tentu keduanya telah binasa. (Q.S. al-Anbiya: 22).

 

Dalam ayat ini, Allah Ta’ala mengajarkan kita berargumentasi dengan qiyas al-‘akas. Yakni jika ada tuhan selain Allah, maka kedua langit dan bumi pasti binasa. Karena itu, jika sekarang nampak dalam kasat mata kita bahwa langit dan bumi tidak binasa, maka hanya Allah satu-satunya tuhan sekalian alam ini. Hukum keduanya berbeda, yang pertama ada tuhan selain Allah dan yang kedua, Allah satu-satunya tuhan sekalian alam. Perbedaan ini didasari karena ‘illahnya berbeda. Yakni ‘illah hukum yang pertama adalah telah binasa langit dan bumi, sedangkan ‘illah hukum yang kedua tidak binasa langit dan bumi. Contoh ini telah disebut sebagai qiyas al-‘akas oleh al-Zarkasyi.(Bahr al-Muhith fi Ushul Fiqh: VII/60).


Termasuk dalam contoh qiyas al-‘akas adalah kesimpulan wajib qadha shalat seorang perempuan yang menunda haidhnya dengan minum obat tertentu jika meninggalkannya pada waktu tersebut, jika kesimpulan ini dipahami dari perkataan yang dikemukakan oleh Imam al-Suyuthi berikut ini:

وَلَوْ شَرِبَتْ دَوَاءً فَحَاضَتْ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهَا قَضَاءُ الصَّلَاةِ قَطْعًا

Jika seorang perempuan minum obat dan karena obat tersebut ia berhaidh, maka tidak wajib atasnya qadha shalat tanpa khilaf. (al-Asybah wa al-Nadhair: 153)

 

Perkataan Imam al-Suyuthi ini menjelaskan kepada kita, tidak wajib qadha shalat apabila seorang perempuan yang tidak berhaidh, kemudian minum obat tertentu untuk memunculkan kembali haidhnya. Tidak wajib qadha karena perempuan tersebut memang tidak wajib shalat pada waktu itu, sehingga konsekwensi hukumnya tidak wajib qadha apabila ia meninggalkan shalat pada waktu berhaidh karena faktor rekayasa dengan obat. Alasan hukum yang dapat kita cerna dalam kasus ini, alasannya adalah berhaidh, meskipun faktor rekayasa dengan obat. Konsekwensi logis (qiyas ‘akas) dari alasan hukum ini adalah sebaliknya tetap wajib shalat dan wajib qadha apabila meninggalkannya jika terjadi rekayasa untuk tidak berhaidh dengan menggunakan obat tertentu. Artinya rekayasa berhaidh atau tidak berhaidh dengan menggunakan obat tertentu tidak mempengaruhi hukum. Yang menjadi tinjauan adalah seorang perempuan tersebut berhaidh atau tidak, baik berhaidh atau tidaknya  tersebut dengan cara alami maupun faktor rekayasa dengan menggunakan obat.

Perbedaan pendapat ulama dalam menggunakan qiyas al-‘akas dalam berargumentasi

Terjadi perbedaan ulama terkait keabsahan qiyas al-‘akas sebagai salah satu metode berargumentasi (istidlal). Namun sesuai dengan tarjih kebanyakan para ulama ushul fiqh dan para fuqaha, qiyas al-‘akas ini adalah metode berargumentasi (istidlal) yang shahih dalam menetapkan suatu hukum fiqh. Berikut ini penjelasan beberapa ulama tentang ini:

1.   Pernyataan Zakariya al-Anshari:

(و) دخل فيه (في الأصح قياس العكس)

Menurut pendapat yang lebih shahih, qiyas al-‘akas termasuk metode istidlal (Ghayah al-Wushul:144)

 

2.   Pernyataan Ibnu Hajar al-Haitamiy:

ومخالفةُ بعض الأصوليين في قياس العكس ضعيفٌ،

Penolakan qiyas al-‘akas oleh sebagian ulama ushul adalah dhaif (.(al-Fath al-Mubin bi Syarh al-Arba’in: 441)

 

3.   Pernyataan Imam al-Nawawi:

وَاخْتَلَفَ الْأُصُولِيُّونَ فِي الْعَمَلِ بِهِ وَهَذَا الْحَدِيثُ دليل لِمَنْ عَمِلَ بِهِ وَهُوَ الْأَصَحُّ

Terjadi perbedaan pendapat para ulama ushul dalam hal mengamalkan qiyas al-‘akas. Hadits ini (hadits pada contoh pertama di atas) merupakan dalil bagi orang yang mengamalkannya. Pendapat ini merupakan pendapat yang lebih shahih. (Syarah Muslim: VII/92)

 

Wallahua’lam bisshawab

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar