Renungan

Kamis, 13 Juni 2024

Hukum menyalurkan daging qurban di luar domisili yang berqurban

 

Pensyariatan qurban pada saat Hari Raya ‘Idul Adha merupakan salah satu syiar dalam agama Islam. Allah Ta’ala berfirman :

 إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ 

Sungguh, Kami telah memberimu telaga kautsar, maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu dan berqurbanlah. (QS Al-Kautsar: 1-2). 

 

Pelaksanaan qurban ini, substansinya adalah dalam rangka ihraqah al-dam (mengalirkan darah) sebagaimana firman Allah Ta’ala berbunyi :

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ اْلأَنْعَامِ

Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (qurban), supaya mereka menyebut nama Allah atas binatang ternak yang telah dirizkikan oleh Allah kepada mereka. (Al-Hajj : 34)

Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat di atas, mengatakan, Allah Ta’ala mengabarkan, senantiasa penyembelihan qurban dan ihraqah al-dam (mengalirkan darah) atas nama Allah menjadi syari’at pada semua agama Allah (Tafsir Ibnu Katsir : V/424). Bertolak dari ayat di atas dengan penafsiran Ibnu Katsir tersebut, dapat dipahami bahwa qurban adalah ibadah yang aspeknya adalah iraqah al-dam (penyembelihan) yang berarti tidak boleh digantikan dengan benda lain termasuk dalam bentuk uang. Kesimpulan ini lebih tegas lagi apabila kita memperhatikan hadits di bawah ini :

ما عمل ادمي من عمل يوم النهر أحب الى الله من إهراق الدم إنه ليأتي يوم القيامهة بقرونها وأشعارها و أظلافها

Tidak ada sebuah amalan pada hari raya dari pada amalan anak Adam yang terlebih cinta kepada Allah melebihi menumpah darah (saat sembelihan), karena sesungguhnya sembelihan itu akan datang pada hari kiamat dengan tanduk, bulu dan kukunya. (H.R. at-Turmidzi)

Karena itu, qurban haruslah terdiri dari hewan ternak dengan melakukan penyembelihan, tidak boleh diganti dalam bentuk lain seperti dihargakan dalam bentuk uang. Berdasarkan ayat di atas juga, Syeikh Zakaria al-Anshary mensyaratkan qurban dengan binatang ternak, yaitu unta, kerbau/lembu dan kambing/biri-biri, baik betina, khuntsa atau jantan, meskipun yang sudah dikebiri (Fathul Wahab : II/231).

Adapun daging qurban apabila qurban tersebut qurban sunnah, sebagiannya (dalam ukuran  terbenar disebut daging) wajib disadaqahkan kepada minimal satu orang fakir miskin dalam bentuk daging segar dan tidak dimasak. Selebihnya boleh di makan oleh yang berqurban sendiri dan untuk orang yang tidak termasuk katagori fakir miskin (Al-Mahalli IV/255). Penjelasan ini berdasarkan qiyas kepada hadyu tathawu’ dalam bab haji yang warid dalam firman Allah Ta’ala berbunyi :

فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ

Maka makanlah darinya dan beri makan orang yang sangat fakir (al-Hajj : 28)

 

Dan firman Allah yang berbunyi :

فَكُلُواْ مِنۡهَا وَأَطۡعِمُواْ ٱلۡقَانِعَ وَٱلۡمُعۡتَرَّۚ

Maka makanlah darinya dan beri makan peminta-minta dan yang tidak meminta-minta. (al-Hajj : 36)

 

Sedangkan qurban wajib dengan sebab nazar, yang berqurban sama sekali tidak boleh memakannya. (I’anah al-Thalibin II/378)


Menyalurkan daging qurban di luar domisili yang berqurban

Menjawab pertanyaan dari sdr Firmando Selian dari Aceh Tenggara Kutacane di atas, yang intinya apakah dimungkinkan dalam fiqh menyalurkan sebagian daging qurban ke daerah perbatasan Aceh di Aceh Tenggara. Untuk itu, dapat kami jawab sebagai berikut :

1.  Dalam mazhab Syfi’i yang mayoritas dianut di Aceh dan Indonesia, berpendapat memindahkan qurban keluar dari domisili yang berqurban tidak dibenarkan, sama halnya dengan hukum memindahkan zakat. Imam al-Ramli salah seorang ulama besar Syafi’iyah mengatakan :

وَيُمْتَنَعُ نَقْلُهَا عَنْ بَلَدِ الْأُضْحِيَّةِ كَالزَّكَاةِ

Terlarang memindahkan qurban dari domisili qurban sama halnya dengan zakat.(Nihayah al-Muhtaj : VIII/142)

 

Namun larangan pemindahan ini dimaksudkan adalah daging qurban wajib dengan sebab nazar atau sebab lainnya, atau daging qurban yang wajib disadaqahkan kepada fakir miskin setempat dalam hal qurban sunnah, yakni ukuran yang terbenar disebut daging, misalnya satu suap makan.

2.  Karena itu, apabila berqurban dengan cara mengirim sejumlah uang kepada seseorang yang berada di luar domisilinya agar membeli ternak, kemudian melakukan penyembelihan atas nama qurban pemilik uang, maka ini tidak termasuk yang terlarang. Demikian juga tidak terlarang menyalurkan daging qurban sunnah keluar domisili yang berqurban selain daging yang wajib disadaqahkan kepada fakir miskin. Dan demikian juga tidak terlarang  seseorang yang berqurban mengirim dalam bentuk ternak yang belum disembelih kepada seseorang yang berada di luar domisilinya agar kemudian melakukan penyembelihan atas nama qurban pemilik ternak.

Kesimpulan point no 1 dan 2 di atas berdasarkan nash-nash ulama besar dari kalangan Syafi’iyah berikut ini :

a.  Abubakar Syatha dalam I’anah al-Thalibin mengatakan :

ثم إنه علم مما تقرر أن الممنوع نقله هو ما عين للأضحية بنذر أو جعل، أو القدر الذي يجب التصدق به من اللحم في الأضحية المندوبة.وأما نقل دراهم من بلد إلى بلد أخرى ليشتري بها أضحية فيها فهو جائز.

Kemudian sesungguhnya dari apa yang sudah ada ketetapannya dimaklumi bahwa yang terlarang memindahnya adalah hewan qurban yang telah ditentukan untuk qurban (qurban wajib) dengan sebab nazar atau ja’al ataupun daging qurban kadar yang wajib disadaqahkan pada qurban sunnah. Adapun memindah dirham (mata uang) dari satu balad ke balad lain agar dibeli ternak qurban di balad tersebut, maka ini boleh.(I’anah al-Thalibin : II/380)

b.  Dalam Hasiyah al-Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj disebutkan :

 وَلَا يَجُوزُ نَقْلُ الْأُضْحِيَّةَ عَنْ بَلَدِهَا كَمَا فِي نَقْلِ الزَّكَاةِ مُغْنِي وَنِهَايَةٌ أَيْ مُطْلَقًا سَوَاءٌ الْمَنْدُوبَةُ، وَالْوَاجِبَةُ، وَالْمُرَادُ مِنْ الْحُرْمَةِ فِي الْمَنْدُوبَةِ حُرْمَةُ نَقْلِ مَا يَجِبُ التَّصَدُّقُ بِهِ عَلَى الْفُقَرَاءِ

Tidak boleh memindahkan qurban dari baladnya sebagaimana dalam hal pemindahan zakat. Demikian dalam muqhni dan nihayah. Yakni secara mutlaq baik qurban sunnah maupun wajib. Adapun maksud haram pada qurban sunnah adalah haram memindah daging yang wajib disadaqahkan kepada fakir miskin.(Hasyiah al-Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj : IX/365)

 

c.   ‘Ali Syibran al-Malasiy mengatakan,

(قَوْلُهُ: وَيُمْتَنَعُ نَقْلُهَا) أَيْ نَقْلُ الْأُضْحِيَّةِ مُطْلَقًا سَوَاءٌ الْمَنْدُوبَةُ وَالْوَاجِبَةُ وَالْمُرَادُ مِنْ الْمَنْدُوبَةِ حُرْمَةُ نَقْلِ مَا يَجِبُ التَّصَدُّقُ بِهِ مِنْهَا

(Perkataan pengarang terlarang memindahnya) maksudnya memindah qurban secara mutlaq, baik qurban sunnah maupun qurban wajib. Adapun maksud terlarang pada qurban sunnah adalah haram memindah daging qurban yang wajib disadaqahkannya.(Hasyiah ‘Ali Syibran al-Malasiy ‘ala Nihayah al-Muhtaj : VIII/142)

 

d.  Sulaiman al-Jamal mengatakan,

‌يَمْتَنِعُ ‌نَقْلُ الْأُضْحِيَّةِ فَهَلْ الْمُرَادُ أَنَّهُ يَجِبُ ذَبْحُهَا فِي الْمَكَانِ الَّذِي يَكُونُ بِهِ وَقْتَ الْوُجُوبِ أَوْ لَا يَجِبُ ذَلِكَ بَلْ فِي أَيِّ مَكَان أَرَادَ ذَبْحَهَا فِيهِ امْتَنَعَ نَقْلُهَا عَنْهُ بِخِلَافِ الْفِطْرَةِ حَيْثُ يَجِبُ إخْرَاجُهَا فِي مَكَانِ الْوُجُوبِ وَهُوَ الْمَكَانُ الَّذِي غَرُبَتْ فِيهِ الشَّمْسُ قَالَ م ر بِالثَّانِي بَحْثًا وَفَرَّقَ بِأَنَّهُ بِمُجَرَّدِ الْغُرُوبِ تَثْبُتُ الْفِطْرَةُ فِي الذِّمَّةِ وَبِمُجَرَّدِ مُضِيِّ الرَّكْعَتَيْنِ وَالْخُطْبَتَيْنِ مِنْ يَوْمِ النَّحْرِ لَا تَثْبُتُ الْأُضْحِيَّةُ فِي الذِّمَّةِ وَلَا يَتَعَلَّقُ بِهَا حَقُّ الْفُقَرَاءِ إلَّا بَعْدَ الذَّبْحِ بِالْفِعْلِ لِأَنَّهَا غَيْرُ وَاجِبَةٍ وَيَجُوزُ تَرْكُهَا

Terlarang memindahkan qurban, namun apakah maksudnya wajib disembelihnya pada tempat dimana waktu wajibnya pada tempat tersebut atau tidak wajib akan tetapi maksudnya adalah terlarang memindahnya dari tempat yang direncanakan sembelihnya. Ini berbeda dengan zakat fitrah yang wajib disalurkan pada tempat wajib zakatnya, yakni tempat dimana seseorang berada pada waktu terbenam matahari (malam satu syawal). Al-Ramli dalam pembahasannya berpendapat dengan pendapat kedua. Perbedaannya adalah dengan semata-mata terbenam matahari, zakat fitrah tsubut dalam zimmah. Adapun qurban, dengan semata-mata berlalu dua rakaat shalat ‘id serta dua khutbah pada Hari Raya ‘Id Adha tidak tsubut qurban dalam zimmah dan tidak tersangkut hak fakir miskin kecuali setelah terjadi penyembelihan secara nyata, karena qurban tidak wajib dan boleh meninggalkannya.. (Hasyiah al-Jamal ‘ala Syarah al-Manhaj : V/256)

Kesimpulan

Dalam rangka menyahuti kebutuhan saudara-saudara kita seiman dan seakidah di Aceh Tenggara sebagaimana diceritakan sdr Firmando Selian dalam pertanyaan di atas dan  berdasarkan uraian di atas, maka kaum muslimin yang berada di luar kawasan tersebut dapat melakukan sebagai berikut :

1.    Mengirim sejumlah uang kepada seseorang yang berada di kawasan muslim minoritas tersebut agar membeli ternak, kemudian melakukan penyembelihan atas nama qurban pemilik uang.

2.    Atau mengirim dalam bentuk ternak yang belum disembelih kepada seseorang yang berada di kawasan muslim minoritas tersebut agar kemudian melakukan penyembelihan atas nama qurban pemilik ternak.

3.    Ataupun menyalurkan daging qurban sunnah selain daging yang wajib disadaqahkan kepada fakir miskin tempat domisilinya ke kawasan muslim minoritas tersebut

 

 

Jumat, 26 April 2024

Berargumentasi dengan al-Dalil al-Naafii

 Salah satu cara berargumentasi dalam fiqh yang menjadi pembahasan dalam kajian ushul fiqh adalah dalil yang dinamai dengan al-naafi. Zakariya al-Anshari mengatakan,

.(و) دخل فيه قطعا (قولهم) أي العلماء (الدليل يقتضي أن لا يكون) الأمر (كذا خولف) الدليل (في كذا) أي في صورة مثلاً، (لمعنى مفقود في صورة النزاع فتبقى) هي (على الأصل) الذي اقتضاه الدليل

Termasuk dalam katagori istidlal tanpa khilaf adalah perkataan ulama, “Dalil menunjukkan bahwa suatu perkara tidaklah berlaku demikian, namun dalam hal ini (suatu kasus tertentu) akan menyalahi dalil tersebut karena ada makna (‘illah) yang tidak terdapat pada kasus yang menjadi perselisihan pendapat. Karena itu, kasus yang menjadi perselisihan pendapat tetap berada pada posisi asal yang merupakan petunjuk dalil. (Ghayah al-Wishul: 144)

 

Dalam narasi yang lebih mudah dipahami, al-dalil al-naafi adalah perkataan ulama ketika berargumentasi, “Menurut dalil  yang disepakati, suatu perkara tidak berlaku demikian, namun dalam satu kasus tertentu akan bisa berbeda hukumnya karena kekhususan  ‘illahnya, namun ‘illahnya itu tidak terdapat dalam kasus yang menjadi perselisihan pendapat. Karena itu, status hukum kasus yang menjadi perselisihan pendapat) tetap berada pada status hukum asalnya sesuai dengan keumuman dalil.”

Cara berargumentasi ini dinamai dengan al-naafi sebagaimana dikemukakan oleh Zarkasyi. (Tasmii’ al-Masaami’ bi Jam’i al-Jawami’: III/413)

Contohnya secara dalil yang bersifat umum ada larangan mengawini perempuan secara mutlaq, baik perkawinan yang dilakukan oleh walinya maupun oleh dirinya sendiri, karena itu merupakan penghinaan terhadap perempuan dengan melakukan persetubuhan atau lainnya. Karena kemuliaannya, mengawini perempuan merupakan tindakan yang tidak disenangi oleh sifat kemanusiaannya. Namun dalam kasus perkawinan dimana walinya (laki-laki) bertindak sebagai wali pernikahannya dapat dibenarkan, karena alasan sempurna akal walinya. Alasan ini (‘iilahnya) tidak terdapat dalam kasus seorang perempuan menikah dengan seorang laki-laki dimana yang bertindak sebagai wali adalah dirinya sendiri (kasus ini terjadi perbedaan pendapat antara ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah), karena dalam agama, perempuan dianggap kurang akalnya. Karena itu, masalah perempuan menikahkan dirinya sendiri dengan seorang laki-laki tanpa wali tetap berada dalam posisi hukum larangan sesuai dengan petunjuk dalil yang bersifat umum di atas. (Ghayah al-Wushul: 144).

Diantara dalil yang bersifat umum yang menjadi petunjuk larangan mengawini seorang perempuan adalah firman Allah berbunyi:

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ 

Sesungguhnya kami telah memuliakan anak-anak cucu Adam (Q.S. al-Isra’: 70).

 

Contoh lain yang dikemukakan oleh al-Zarkasyi, menurut dalil yang bersifat umum, membunuh manusia adalah terlarang. Namun dalam beberapa kasus pembunuhan dapat dibenarkan dalam agama karena adalah alasan hukum (‘illah) yang bersifat khusus sehingga dikecualikan dari pentunjuk dalil umum. (Tasmii’ al-Masaami’ bi Jam’i al-Jawami’: III/413). Berdasarkan ini, semua jenis pembunuhan selama tidak ada dalil atau ‘illah yang mengecualikannya tetap berada pada posisi larangan sesuai dengan petunjuk dalil yang bersifat umum.

Diantara dalil yang bersifat umum yang menjadi petunjuk larangan secara mutlaq melakukan pembunuhan adalah firman Allah berbunyi:

وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا

Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya. (Q.S. Al-Nisa’: 93)

 

Wallahua’lam bisshawab




Sabtu, 20 April 2024

Qiyas al-‘akas dalam berargumentasi

 

Salah satu metode berargumetasi (istidlal) yang dibahas dalam ushul fiqh adalah qiyas al-‘akas. Dalam kitab Ghayah al-Wushul, Zakariya al-Anshari mendevinisikan qiyas al-‘akas sebagai berikut:

وهو إثبات عكس حكم شيء لمثله لتعاكسهما في العلة

Yaitu menetapkan lawan dari hukum sesuatu kepada yang sebanding dengannya karena berlawanan keduanya pada ‘illah hukum. (Ghayah al-Wushul: 144)

 

Al-Zarkasyi dalam menjelaskan qiyas al-‘akas mengatakan,

النَّوْعُ الثَّالِثُ قِيَاسُ الْعَكْسِ وَهُوَ إثْبَاتُ نَقِيضِ الْحُكْمِ فِي غَيْرِهِ لِافْتِرَاقِهِمَا فِي عِلَّةِ الْحُكْمِ، كَذَا عَرَّفَهُ صَاحِبُ الْمُعْتَمَدِ وَالْأَحْكَامِ وَغَيْرِهِمَا

Pembagian ketiga dari qiyas adalah qiyas al-‘akas, yaitu menetapkan lawan hukum pada selainnya karena berbeda keduanya pada ‘illah hukum. Demikian telah didevinisikannya oleh pengarang kitab al-Mu’tamad dan kitab al-Ahkam dan juga selain keduanya. (Bahr al-Muhith fi Ushul Fiqh: VII/60)

 

Dalam narasi yang lebih mudah dipahami, qiyas al-‘akas adalah sebuah qiyas dimana metode istidlalnya dengan cara menetapkan lawan dari hukum sesuatu pada kasus yang lain karena berlawanan keduanya pada ‘illah hukum.

Contoh qiyas al-‘akas yang sering dikemukakan para ulama adalah riwayat yang mencerita para sahabat Nabi SAW bertanya kepada Rasulullah SAW:

قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ، أَيَأتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ؟ قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ

Mereka bertanya, Wahai Rasulullah, apakah (jika) salah seorang di antara kami memenuhi syahwatnya, ia mendapat pahala?” Rasulullah SAW menjawab : “Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa, demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia mendapat pahala. (H.R. Muslim)


Dalam hadits ini, dalam rangka menjawab pertanyaan para sahabat, Rasulullah SAW membandingkan kasus memenuhi syahwat yang halal kepada kasus memenuhi syahwat yang haram. Artinya jika syahwat yang haram mendapat dosa karena haramnya, maka memenuhi syahwat yang halal akan mendapatkan pahala, karena halalnya. Berlawanan hukum dalam dua kasus ini karena berlawanan ‘illah hukum keduanya, yaitu yang satu haram sedangkan yang satu lagi adalah halal. Ini dinamakan sebagai qiyas al-‘akas dalam pembahasan istidlal dalam ushul fiqh. (Ghayah al-Wusul: 135)


Contoh lain qiyas al-‘akas terdapat dalam ucapan Ibnu Mas’ud r.a berikut ini:

قال رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم: من مات لا يشرك باللَّه شيئًا دخل الجنة وأنا أقول: من مات يشرك باللَّه شيئًا دخل النار

Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun, maka ia akan masuk surga. Aku (Ibnu Mas’ud) mengatakan, “Barangsiapa yang mati dalam keadaan menyekutukan Allah dengan sesuatu, maka ia akan masuk neraka.

 

Ibnu Hajar al-Haitamiy telah menjadikan ucapan Ibnu mas’ud r.a. di atas sebagai contoh qiyas al-‘akas.(al-Fath al-Mubin bi Syarh al-Arba’in: 440). Disebut sebagai qiyas al-‘akas, karena di sini Ibnu Mas’ud r.a telah mengambil kesimpulan seseorang akan masuk neraka dengan sebab menyekutukan Allah dan beliau berargumentasi  dengan  sabda Nabi SAW: “Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun, maka ia akan masuk surga”. Jika seseorang bisa masuk surga dengan sebab tidak menyekutukan Allah, maka ia juga bisa akan masuk neraka dengan sebab menyekutukan Allah. Perbedaan hukum antara keduanya karena berlawanan ‘illah hukumnya. Yang satu ‘illahnya karena tidak menyekutukan Allah, sedangkan yang satu lagi karena menyekutukan Allah.


Contoh lain lagi adalah firman Allah Ta’ala berbunyi:

لَوْ كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلا اللَّهُ لَفَسَدَتَا

Seandainya pada langit dan bumi ada tuhan-tuhan selain Allah, maka tentu keduanya telah binasa. (Q.S. al-Anbiya: 22).

 

Dalam ayat ini, Allah Ta’ala mengajarkan kita berargumentasi dengan qiyas al-‘akas. Yakni jika ada tuhan selain Allah, maka kedua langit dan bumi pasti binasa. Karena itu, jika sekarang nampak dalam kasat mata kita bahwa langit dan bumi tidak binasa, maka hanya Allah satu-satunya tuhan sekalian alam ini. Hukum keduanya berbeda, yang pertama ada tuhan selain Allah dan yang kedua, Allah satu-satunya tuhan sekalian alam. Perbedaan ini didasari karena ‘illahnya berbeda. Yakni ‘illah hukum yang pertama adalah telah binasa langit dan bumi, sedangkan ‘illah hukum yang kedua tidak binasa langit dan bumi. Contoh ini telah disebut sebagai qiyas al-‘akas oleh al-Zarkasyi.(Bahr al-Muhith fi Ushul Fiqh: VII/60).


Termasuk dalam contoh qiyas al-‘akas adalah kesimpulan wajib qadha shalat seorang perempuan yang menunda haidhnya dengan minum obat tertentu jika meninggalkannya pada waktu tersebut, jika kesimpulan ini dipahami dari perkataan yang dikemukakan oleh Imam al-Suyuthi berikut ini:

وَلَوْ شَرِبَتْ دَوَاءً فَحَاضَتْ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهَا قَضَاءُ الصَّلَاةِ قَطْعًا

Jika seorang perempuan minum obat dan karena obat tersebut ia berhaidh, maka tidak wajib atasnya qadha shalat tanpa khilaf. (al-Asybah wa al-Nadhair: 153)

 

Perkataan Imam al-Suyuthi ini menjelaskan kepada kita, tidak wajib qadha shalat apabila seorang perempuan yang tidak berhaidh, kemudian minum obat tertentu untuk memunculkan kembali haidhnya. Tidak wajib qadha karena perempuan tersebut memang tidak wajib shalat pada waktu itu, sehingga konsekwensi hukumnya tidak wajib qadha apabila ia meninggalkan shalat pada waktu berhaidh karena faktor rekayasa dengan obat. Alasan hukum yang dapat kita cerna dalam kasus ini, alasannya adalah berhaidh, meskipun faktor rekayasa dengan obat. Konsekwensi logis (qiyas ‘akas) dari alasan hukum ini adalah sebaliknya tetap wajib shalat dan wajib qadha apabila meninggalkannya jika terjadi rekayasa untuk tidak berhaidh dengan menggunakan obat tertentu. Artinya rekayasa berhaidh atau tidak berhaidh dengan menggunakan obat tertentu tidak mempengaruhi hukum. Yang menjadi tinjauan adalah seorang perempuan tersebut berhaidh atau tidak, baik berhaidh atau tidaknya  tersebut dengan cara alami maupun faktor rekayasa dengan menggunakan obat.

Perbedaan pendapat ulama dalam menggunakan qiyas al-‘akas dalam berargumentasi

Terjadi perbedaan ulama terkait keabsahan qiyas al-‘akas sebagai salah satu metode berargumentasi (istidlal). Namun sesuai dengan tarjih kebanyakan para ulama ushul fiqh dan para fuqaha, qiyas al-‘akas ini adalah metode berargumentasi (istidlal) yang shahih dalam menetapkan suatu hukum fiqh. Berikut ini penjelasan beberapa ulama tentang ini:

1.   Pernyataan Zakariya al-Anshari:

(و) دخل فيه (في الأصح قياس العكس)

Menurut pendapat yang lebih shahih, qiyas al-‘akas termasuk metode istidlal (Ghayah al-Wushul:144)

 

2.   Pernyataan Ibnu Hajar al-Haitamiy:

ومخالفةُ بعض الأصوليين في قياس العكس ضعيفٌ،

Penolakan qiyas al-‘akas oleh sebagian ulama ushul adalah dhaif (.(al-Fath al-Mubin bi Syarh al-Arba’in: 441)

 

3.   Pernyataan Imam al-Nawawi:

وَاخْتَلَفَ الْأُصُولِيُّونَ فِي الْعَمَلِ بِهِ وَهَذَا الْحَدِيثُ دليل لِمَنْ عَمِلَ بِهِ وَهُوَ الْأَصَحُّ

Terjadi perbedaan pendapat para ulama ushul dalam hal mengamalkan qiyas al-‘akas. Hadits ini (hadits pada contoh pertama di atas) merupakan dalil bagi orang yang mengamalkannya. Pendapat ini merupakan pendapat yang lebih shahih. (Syarah Muslim: VII/92)

 

Wallahua’lam bisshawab

 

 

 

 

 

Menggunakan obat penunda haidh untuk ibadah haji/umrah dan puasa Ramadhan

 

Sebagian dari rukun haji atau umrah mengharuskan seorang perempuan suci dari haidh (menstruasi) karena ia harus tawaf dan sa’i di lingkungan Masjidil Haram. Belum lagi ketika seseorang berada di Madinah. Ia harus menggunakan kesempatannya untuk beribadah di Masjid Nabawi. Pada zaman sekarang, sudah ma’ruf di kalangan kaum perempuan yang akan berangkat haji atau umrah, mereka mesti mengonsumsi obat penunda haidh agar manasik mereka lancar di tanah suci. Karena jika tidak dikonsumsi, mereka akan kehilangan moment-moment ibadah penting kala itu. Bagaimana hukum Islam sendiri mengenai penggunaan obat penghalang haidh semacam ini? Demikian juga jika menggunakan obat penunda haidh demi untuk melaksanakan puasa Ramadhan.

Jawaban:

Pada dasarnya, usaha seorang perempuan menunda haidh dengan meminum obat tertentu hukumnya boleh dengan catatan tidak membahayakan bagi pelaku/pengguna dan ada izin dari suami apabila ia mempunyai suami. Dalam Ghayah Talkhish al-Murad min Fatawa Ibn Ziyad disebutkan:

 وَفِي فَتَاوَى الْقِمَاطِ مَا حَاصِلُهُ جَوَازُ اسْتِعْمَالِ الدَّوَاءِ لِمَنْعِ الْحَيْضِ  

Dan kesimpulan dalam Fatawa al-Qimath adalah boleh menggunakan obat-obatan untuk mencegah haidh.(Ghayah Talkhish al-Murad min Fatawa Ibn Ziyad (dicetak pada hamisy Bughyah al-Musytarsyidin), Hal. 247)

 

Perlu izin suami karena menunda haidh dengan menggunakan obat tertentu berpotensi terputus atau tertunda keturunan.

Namun apakah jika haidh terputus karena minum obat akan berlaku hukum perempuan suci dari haidh sebagaimana lazimnya?. Untuk menjawab ini kita kutip penjelasan Imam al-Nawawi berikut ini:

وَلَوْ شَرِبَتْ دَوَاءً للحيض فَحَاضَتْ لَمْ يَلزمها  القَضَاءُ

Jika seorang perempuan minum obat demi berhaidh, kemudian ia berhaidh, maka tidak wajib atasnya qadha. (al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab: III/ 10)

 

Hal yang sama juga dikemukan oleh Imam al-Suyuthi berikut ini:

وَلَوْ شَرِبَتْ دَوَاءً فَحَاضَتْ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهَا قَضَاءُ الصَّلَاةِ قَطْعًا

Jika seorang perempuan minum obat dan karena obat tersebut ia berhaidh, maka tidak wajib atasnya qadha shalat tanpa khilaf. (al-Asybah wa al-Nadhair: 153)

 

Dua keterangan di atas menjelaskan kepada kita, tidak wajib qadha shalat apabila seorang perempuan yang tidak berhaidh, kemudian minum obat tertentu untuk memunculkan kembali haidhnya. Tidak wajib qadha karena perempuan tersebut memang tidak wajib shalat pada waktu itu, sehingga konsekwensi hukumnya tidak wajib qadha apabila ia meninggalkan shalat pada waktu berhaidh karena faktor rekayasa dengan obat. Alasan hukum yang dapat kita cerna dalam kasus ini, alasannya adalah berhaidh, meskipun faktor rekayasa dengan obat. Konsekwensi logis (qiyas ‘akas) dari alasan hukum ini adalah sebaliknya tetap wajib shalat dan wajib qadha apabila meninggalkannya jika terjadi rekayasa untuk tidak berhaidh dengan menggunakan obat tertentu. Artinya rekayasa berhaidh atau tidak berhaidh dengan menggunakan obat tertentu tidak mempengaruhi hukum. Yang menjadi tinjauan adalah seorang perempuan tersebut berhaidh atau tidak, baik berhaidh atau tidaknya  tersebut dengan cara alami maupun faktor rekayasa dengan menggunakan obat.

Apabila kita sepakat dengan kesimpulan di atas, dapat dipahami bahwa seorang perempuan yang terputus haidhnya karena meminum obat tertentu akan berlaku hukum perempuan suci dari haidh. Dengan demikian, jawaban untuk kasus seorang perempuan yang menunda haidhnya dengan minum obat tertentu demi dapat melaksanakan rukun haji atau umrah yang mengharuskannya suci dari haidh seperti tawaf dapat dibenarkan syara’. Demikian juga dalam kasus menunda haidh dengan minum obat demi melaksanakan puasa Ramadhan.

Adapun qaidah fiqh berbunyi:

مَنْ اسْتَعْجَلَ شَيْئًا قَبْلَ أَوَانِهِ عُوقِبَ بِحِرْمَانِهِ

Barangsiapa yang menyegerakan sesuatu sebelum waktunya, maka ia akan diberikan sanksi keharaman sesuatu tersebut atasnya.

 

Menurut penjelasan Imam al-Suyuthi, nyaris tidak ada kasus yang dapat dimasukkan dalam qaidah fiqh ini. Karena kebanyakan fiqh Syafi’iyah berbeda dengan kandungan qaidah ini. Dalam mengomentari qaidah ini, Imam al-Suyuthi mengatakan,

إذَا تَأَمَّلْت مَا أَوْرَدْنَاهُ عَلِمْت أَنَّ الصُّوَرَ الْخَارِجَةَ عَنْ الْقَاعِدَةِ أَكْثَرُ مِنْ الدَّاخِلَةِ فِيهَا. بَلْ فِي الْحَقِيقَةِ، لَمْ يَدْخُلْ فِيهَا غَيْرُ حِرْمَانِ الْقَاتِلِ الْإِرْثَ.

Apabila kamu memikirkan apa yang telah kami datangkan di sini (contoh-contohnya), maka kasus-kasus yang keluar dari qaidah ini lebih banyak dari yang masuk di dalamnya, bahkan pada hakikatnya tidak masuk dalam qaidah ini kecuali haram atas  sipembunuh warisan dari orang yang dibunuhnya.(al-Asybah wa al-Nadhair: 153)

 

Wallahu’alam bisshawab

Minggu, 31 Maret 2024

Tanqih al-Manath dalam kajian Ushul Fiqh

 

Secara bahasa, tanqih artinya: menyaring atau memilah. Sedangkan al-manath bermakna tempat diikatkan atau disangkutkan sesuatu. Yang dimaksud dengan al-manath di sini adalah illat yang menjadi tempat diikatkan atau disangkutkan suatu hukum. Adapun tanqih al-mananth adalah usaha untuk menyaring atau memilah dengan jalan ijtihad dari sekian kemungkinan ‘illah hukum yang ada, sehingga bisa ditentukan mana ‘illah hukum yang paling tepat. Tanqih al-manath ini termasuk salah satu metode penetapan ‘illah hukum (masaalik ‘illah) yang dikaji dalam Ushul Fiqh. Para ulama membagi tanqih al-manath ini dalam dua pembagian, yaitu:

1.   Ijtihad dengan mengabaikan aspek khusus dari suatu sifat dan menjadikan aspek umumnya menjadi ‘illah hukum. Dalam menjelaskan pembagian ini, Zakariya al-Anshari mengatakan,

(التاسع) من مسالك العلة (تنقيح المناط بأن يدل نص ظاهر على التعليل) لحكم (بوصف فيحذف خصوصه عن الاعتبار بالاجتهاد ويناط) الحكم (بالأعم)

Yang ketujuh dari masaalik ‘illah adalah tanqih al-manath, yaitu ketika terdapat dalil secara dhahir menunjukkan illat sebuah hukum, imam mujtahid melakukan ijtihad dengan mengabaikan aspek khusus dari sifat tersebut dan menjadikan aspek umumnya menjadi illath hukum. (Ghayah al-Wushul: 133)

 

Misalnya kisah yang diceritakan oleh Abu Hurairah r.a, beliau mengatakan,

بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ قَالَ مَا لَكَ قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي وَأَنَا صَائِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا قَالَ لَا قَالَ فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ لَا فَقَالَ فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا قَالَ لَا قَالَ فَمَكَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Ketika kami sedang duduk bersama Nabi SAW tiba-tiba datang seorang laki-laki (seorang Arab Badui) lalu berkata: "Wahai Rasulullah, binasalah aku". Beliau bertanya: "Ada apa denganmu?". Orang itu menjawab: "Aku telah berhubungan dengan isteriku sedangkan aku sedang berpuasa". Maka Rasulullah SAW bertanya: "Apakah kamu memiliki budak, sehingga kamu harus membebaskannya?". Orang itu menjawab: "Tidak". Lalu Beliau bertanya lagi: "Apakah kamu sanggup bila harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut?". Orang itu menjawab: "Tidak". Lalu Beliau bertanya lagi: "Apakah kamu memiliki makanan untuk diberikan kepada enam puluh orang miskin?". Orang itu menjawab: "Tidak". Sejenak Nabi SAW terdiam. (H.R. Bukhari)

Di dalam hadits ini, Rasulullah SAW menetapkan hukum wajib membayar kafarat kepada a’rabi tersebut. Secara dhahir teks, ada beberapa sifat atau kriteria yang dimungkinkan menjadi illat atas hukum wajib kafarat;, yaitu:

a.    Melakukan jimak pada siang Ramadhan

b.    pelaku jimak yang a’rabi (Arab Badui)

c.     perempuan yang dijimak berstatus istri

d.    Jimak dilakukan di kemaluan qubul

Imam Malik dan Imam Abu Hanifah dalam memilah aspek-aspek yang disebut di dalam kandungan hadits di atas mengabaikan aspek khususnya dan mengambil aspek umumnya sebagai ‘illah hukum yaitu tindakan sengaja membatalkan puasa. Artinya, setiap tindakan sengaja membatalkan puasa baik dengan jimak atau yang lain mengakibatkan kewajiban kafarat. (Ghayah al-Wushul: 133). Mereka mengatakan, tidak ada perbedaan antara jimak dan lainnya seperti makan dan minum sebagai wasilah membatalkan puasa sebagaimana halnya wasilah pembunuhan, baik benda tajam atau benda tumpul yang berat. Karena itu, keduanya tetap mengakibatkan kewajiban kifarat apabila dengan sebabnya membatalkan puasa.

Contoh lain untuk pembagian ini sabda Nabi SAW berbunyi:

 لايحكم أحد بين اثنين وهو غضبان

Seseorang tidak memutuskan perkara antara dua orang yang bersengketa, sedangkan ia dalam keadaan marah (H.R. Bukhari)

 

Dalam memahami hadits ini, para ulama mengabaikan aspek khususnya, yaitu dalam keadaan marah dan mengambil aspek umumnya sebagai illah hukum, yaitu keadaan mengacaukan pikiran, baik disebabkan marah, sangat lapar atau haus ataupun dengan sebab lainnya. Sehingga seorang hakim makruh hukumnya memutuskan suatu perkara dalam keadaan marah, sangat lapar ataupun haus.

Contoh lainnya adalah firman Allah Ta’ala:

فَاِذَآ اُحْصِنَّ فَاِنْ اَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنٰتِ مِنَ الْعَذَابِۗ

Apabila mereka (hamba sahaya perempuan) telah berumah tangga (bersuami), tetapi melakukan perbuatan keji (zina), maka (hukuman) bagi mereka setengah dari apa (hukuman) perempuan-perempuan merdeka (yang tidak bersuami). (Q.S. al-Nisa’: 25)

 

Ayat ini menjelaskan kapada kita bahwa hamba sahaya perempuan yang berzina dikenakan hukum hudud setengah dari hukuman perempuan merdeka, yaitu lima puluh kali cambuk. Namun para ulama mengabaikan aspek khususnya, yaitu sifat keperempuanannya sebagai ‘illah hukum dan mengambil aspek umumnya, yaitu hamba sahaya, baik laki-laki maupun perempuan. Sehingga yang dikenakan hukuman cambuk lima puluh kali bukan hanya hamba sahaya perempuan saja, akan tetapi juga hamba sahaya laki-laki dengan cara mengqiyaskan kepada hamba sahaya perempuan dengan ‘illah hukumnya sama-sama hamba sahaya.

2.   Ijtihad dengan mengabaikan sebagian sifat dan menjadikan yang lain menjadi ‘illah hukum. Dalam menjelaskan pembagian yang kedua ini, Zakariya al-Anshari mengatakan,

)أو (بأن )تكون (في محل الحكم )أوصاف فيحذف بعضها (عن الاعتبار  بالاجتهاد )ويناط (الحكم )بباقيها(

atau terdapat beberapa sifat yang dimungkinkan menjadi ‘illah sebuah hukum, imam mujtahid melakukan ijtihad dengan mengabaikan sebagian sifat dan menjadikan yang lain menjadi ‘illah. (Ghayah al-Wushul: 133)

Misalnya, dalam memahami hadits di atas, Imam Syafi’i berbeda pendapat dengan Imam Malik dan Imam Abu Hanifah. Imam Syafi’i memilih hanya sifat jimak pada siang Ramadhan sebagai ‘illah hukum dan mengabaikan sifat-sifat yang lain yang disebut di atas. (Ghayah al-Wushul: 133). Adapun sifat-sifat yang lain diabaikan karena:

a.    Pelaku jimak yang a’rabi (Arab Badui). Sifat ini diabaikan karena hukum Islam berlaku universal, tidak mengkhususkan kepada suatu suku atau bangsa kecuali ada dalil yang mengkhususkannya.

b.    Perempuan yang dijimak berstatus istri. Sifat ini diabaikan karena bersetubuh dengan bukan isteri malah dosanya lebih besar. Karena itu tidak mungkin syara’ hanya memberlakukan kewajiban kifarat hanya pada persetubuhan dengan isteri saja.

c.     Jimak dilakukan di kemaluan qubul. Sifat ini diabaikan, karena dosa bersetubuh di kemaluan dubur dosanya lebih besar dibandingkan jimak di qubul.

Sedangkan hal-hal yang menjadi pertimbangan tidak memilih aspek umumnya sebagaimana halnya pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah di atas adalah sebagai berikut:

a.   Untuk menghadapi syahwat makan dan minum memadai dengan penetapan dosa bagi yang melakukannya di siang Ramadhan. Adapun syahwat jimak pada sebagian manusia disamping penetapan dosa, perlu dibaringi dengan hukuman di dunia dalam bentuk kifarat

b.   Kifarat disyari’atkan demi menghapus dosa maksiat. Maka atas orang yang mengugurkan puasanya dengan melakukan jimak, seharusnya layak atasnya diwajibkan kifarat. Ini berbeda dengan makan dan minum dimana syahwatnya lebih rendah dibandingkan syahwat jimak, maka upaya menahan diri dari makan dan minum di siang Ramadhan relatif  lebih mudah. Karenanya, tidak memadai demi menghapus dosanya dengan kifarat.

 

Wallahua’lam bisshawab