Renungan

Selasa, 31 Mei 2011

Suami menghisap susu isteri

Seorang suami apabila menghisap susu isterinya, maka tidak ada akibat hukumnya, alias tidak apa-apa. Karena menyusui yang mengakibatkan keharaman adalah apabila yang menyusui itu masih berusia dibawah dua tahun.Al-Bakri al-Dimyathi mengatakan1 :

“Dengan perkataan : “yang tidak sampai usia dua tahun” keluarlah yang sampai dua tahun, maka penyusuannya tidak mengakibatkan keharaman”.

Selanjutnya Al-Bakri al-Dimyathi menyebut hadits di bawah ini sebagai dalilnya, yakni hadits dari Ibnu Umar, beliau bersabda :
سمعت عمر يقول لا رضاع إلا في الحولين في الصغر
Artinya : Aku mendengar Umar berkata : “Tidak ada penyusuan kecuali pada anak-anak usia dua tahun. (H.R. Darulquthni)2

Dalil lain pendapat ini, antara lain :
1. Firman Allah Q.S. al-Baqarah : 233 berbunyi :

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ
Artinya : Dan ibu-ibu hendaklah menyusukan anak-anak mereka selama dua tahun sempurna yaitu bagi orang yang hendak menyempurnakan penyusuannya. (Q.S. al-Baqarah : 233)

I’tibar penyusuan pada syara’ adalah dua tahun, karena penyusuan yang diwajibkan hanya dua tahun.
2. Hadits dari Ummi Salamah, Rasulullah SAW bersabda :
لَا يُحَرِّمُ مِنْ الرَّضَاعِ إِلَّا مَا فَتَقَ الْأَمْعَاءَ فِي الثَّدْيِ وَكَانَ قَبْل الْفِطَامِ
Artinya : Tidak susuan itu menyebabkan haram kecuali yang mengenyangkan usus,
melalui payudara dan sebelum disapih (H.R. at-Turmidzi)

Imam At-Turmidzi menyebut hadits ini pada Bab penyusuan tidak menyebabkan pengharaman kecuali atas anak-anak yang berusia di bawah dua tahun. Beliau mengatakan :
“Hadith ini hasan sahih dan mayoritas para ahli ilmu dari kalangan para sahabat Rasulullah SAW dan lainnya mengamalkan bahwa penyusuan tidak menyebabkan pengharaman kecuali atas anak-anak di bawah dua tahun dan penyusuan di atas usia dua tahun yang sempurna tidak menyebabkan pengharaman apapun”3

DAFTAR PUSTAKA
1.Al-Bakri al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 286
2.Darulquthni, Sunan Darulquthni, Darul Makrifah, Beirut, Juz. IV, Hal. 174, Kitab Ridha’, No. 11
3.At-Turmidzi, Sunan at-Turmidzi, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 311, No. Hadits : 1162

Fidyah shalat

Shalat merupakan ibadah badaniyah. Oleh karena itu, ibadah shalat tidak dapat diganti dengan amalan lainnya kecuali ada dalil yang membolehkannya. Berdasarkan ini, maka menurut pendapat yang rajih dalam mazhab Syafi’i, shalat tidak dapat diganti dengan fidyah, meskipun dalam kasus orang telah meninggal. Berikut pendapat ulama mengenai hukum fidyah shalat, antara lain :

1.Berkata Zakariya Anshary :
“Pada ibadah badaniyah, tidak boleh pada syara’ menggantikannya kecuali haji, umrah dan puasa setelah orangnya meninggal dunia”.1

2.Berkata Imam Nawawi :
“Kalau seseorang meninggal dunia, atasnya ada hutang shalat atau i’tiqaf yang ditinggalkannya, maka walinya tidak boleh melakukan shalat sebagai penggantinya dan tidak juga fidyah sebagai pengganti shalat”.

Qalyubi dalam mengomentari pernyataan Nawawi di atas, berkata :

“Dalam hal shalat ada satu pendapat (wajh), wali memberikan untuk setiap shalat satu mud makanan. Sebagian masyaikh kita mengatakan bahwa ini termasuk amalan untuk diri sendiri, maka boleh mengtaqlidnya, karena itu adalah muqabil ashah”.2

3.Berkata Zainuddin al-Malibary :
“Kalau seseorang meninggal dunia, atasnya ada hutang shalat yang ditinggalkannya, maka tidak ada qadha dan tidak juga fidyah”.

Selanjutnya beliau mengatakan :

“Ada pendapat yang menjadi pegangan kebanyakan ashhabina, diberikan untuk setiap shalat satu mud makanan”.3

4.Berkata al-Kurdy :
“al-Khuwarizmy pernah mengatakan : “Aku pernah melihat ulama dari sahabat-sahabat kita di Khurashan yang berfatwa dengan memberikan satu mud makanan untuk setiap shalat yang ditinggalkannya.” 4

Kesimpulan
1.Pendapat rajih dalam mazhab Syafi’i tidak boleh membayar fidyah sebagai pengganti shalat orang yang sudah meninggal dunia, karena shalat merupakan ibadah badaniyah. Seseorang yang meninggalkan shalat, baik sengaja atau tidak, maka tidak ada penggantinya kecuali dengan qadha pada waktu hidupnya Pendapat didukung oleh hadits Nabi SAW , antara lain hadits riwayat Bukhari dan Muslim :

مَنْ نَسِيَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا لاَ كَفَّارَةَ لَهَا إِلاَّ ذَلِكَ
Artinya : Barangsiapa yang lupa shalat, maka hendaklah dia shalat apabila sudah mengingatnya kembali, tidak ada kifarat untuknya kecuali itu.(H.R.Bukhari 5 dan Muslim 6)

2.Namun demikian, dalam prakteknya, kebanyakan ulama pengikut mazhab Syafi’i di Aceh memberikan fidyah sebagai pengganti shalat orang yang sudah meninggal dunia dengan mengikuti pendapat yang mengatakan boleh sebagaimana tersebut di atas.

DAFTAR PUSTAKA
1.Zakariya Anshary, Ghayah al-Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 66
2.An-Nawawi dan Qalyubi, Minhaj at-Thalibin dan Hasyiahnya, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 67
3.Zainuddin al-Malibary, Fath al-Muin, dicetak pada hamisy I’anah at-Thalibin,Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 244
4.Al-Bakri ad-Damyathi, I’anah at-Thalibin,Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 244
5.Bukhari, Shahih al-Bukahri, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 155, No. hadits : 597
6.Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 142, No. hadits : 1598

Hukum kredit dengan harga yang lebih mahal dari harga standarnya

Menjual suatu mata benda dengan cara hutang (kredit) dimana harganya lebih mahal dari harga benda apabila dijual dengan cara tunai, hukumnya adalah tidak sah, jika dibuat pensyaratan itu dalam shulbi akad.

1.Berkata Zainudin al-Malibary :
“Hutang dengan syarat berlaku manfaat bagi yang memperhutang, maka hukumnya fasid karena ada hadits:
كل قرض جرى منفعة فهو الربا
Artinya : Setiap hutang yang memberlakukan manfaat adalah riba.

Hadits ini dhaif tetapi telah dikuatkan dengan datang ma’nanya dari sekelompok sahabat. 1 Al-Bakri al-Dimyathi mengatakan bahwa menurut keterangan pengarang kitab Nihayah, hadits ini marfu’ tetapi dengan sanad dha’if. Tetapi al-Imam dan al-Ghazali telah mentashihkan marfu’nya. Baihaqi meriwayat maknanya dari satu jama’ah para sahabat. 2

2.Hadits Nabi SAW :
نهى رسول الله صلعم عن بيعتين في بيعة
Artinya : Rasulullah SAW melarang melakukan dua jual beli dalam dalam satu akad jual beli.(H.R. at-Turmidzi)3

At-Turmidzi menjelaskan bahwa hadits ini hasan sahih dan sebagian ahli ilmu menafsirkan bai’ataini fii bai’ah dengan arti seseorang berkata :
“Aku jual pakaian ini dengan harga sepuluh kalau tunai dan dengan harga dua puluh kalau berhutang”

Daftar Pustaka
1.Zainudin al-Malibary, Fathul Muin, dicetak pada hamisy I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz III, Hal. 53
2.Al-Bakri ad-Damyathi, I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 53
3.At-Turmidzi, Sunan at-Turmidzi, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. II, Hal. 350

Senin, 30 Mei 2011

Kedudukan Minhaj al-Thalibin dikalangan Syafi’iyah


Kitab al-Minhaj merupakan sebuah kitab fiqh yang sangat penting dan dianggap mu’tamad dalam Mazhab Syafi’i. Dengan mempelajari kitab ini, kita dengan mudah akan mengetahui mana yang merupakan pendapat Syafi’i dan mana yang merupakan pendapat para pengikutnya yang didasarkan kepada ushul Syafi’i dan juga dengan gamblang diketahui perbedaan pendapat, baik antara qaul Syafi’i sendiri maupun perbedaan pendapat dikalangan para pengikutnya dan sekaligus mengetahui pendapat mana yang rajih di antara pendapat-pendapat yang ada, sehinggga tidak heran jika kitab ini mendapat perhatian besar dikalangan ulama-ulama Syafi’iyah mutaakhirin. Karena kebesaran kitab al-Minhaj ini, maka banyak para ulama Syafi’iyah setelah beliau yang mensyarah, meringkasnya dan bahkan membuatnya dalam bentuk nadham sebagaimana terlihat dalam uraian sebelumnya. Mempunyai kedudukan yang utama dalam Mazhab Syafi’i, tidak lain adalah karena pengarang kitab ini sendiri mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam fatwa. Imam al-Nawawi, pengarang kitab ini dalam Mazhab Syafi’i merupakan seorang mujtahid tarjih yang fatwanya menjadi acuan dalam pengamalan, bahkan apabila bertentangan pendapatnya dengan pendapat ulama Syafi’iyah lainnya, maka pendapat al-Nawawi-lah yang harus diamalkan dan dianggap sebagai mazhab. 
Ibnu Hajar dan Ibnu ‘Alan mengatakan, diantara kitab-kitab al-Nawawi, kitab Minhaj al-Thalibin merupakan rujukan fatwa dalam mazhab Syafi’i setelah kitab Majmu’ Syarah al-Muhazzab, al-Tahqiq, al-Tanqih dan al-Raudhah.1
Kelebihan beliau dalam ilmu pengetahuan agama juga diikuti oleh kelebihan dalam pengamalan dan ketaqwaan. Hal ini terbukti dengan terjadinya beberapa kelebihan dalam bentuk karamah, antara lain sebagaimana yang diceritakan oleh Ibnu al-Naqib bahwa telunjuk jari beliau bersinar ketika padam lampu yang menyinari beliau saat beliau mengarang kitab.2

DAFTAR PUSTAKA

1.Sayyed Al-Bakry, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. IV, Hal. 234

2. Al-Faqih Sayyed Ahmad Miiqary Syamilah al-Ahdal, Sulam al-Muta’allim al-Muhtaj ila Ma’rifah Rumuz al-Minhaj, Hal. 16




Nikah secara tahlil (cina buta)

Nikah secara tahlil adalah : kesepakatan diantara wali perempuan dan calon suami bahwa jika ia menikahinya dan telah menyetubuhinya, maka dia harus mencerainya agar dapat kembali ke suaminya yang pertama. Bagaimana hukum nikah tahlil ini ?

Ulama Syafi’iyah dan lainnya berpendapat nikah tahlil haram dan tidak sah jika kesepakatan harus bercerai setelah melakukan persetubuhan disebut dalam tubuh akad (sulbi akad). Jika kedua calon suami isteri atau wali perempuan dan calon suami berkesepakatan di luar akad untuk bercerai setelah terjadi persetubuhan dan kesepakatan tersebut tidak disebut dalam akad, maka nikah itu sah dan tidak haram. Berikut kutipan pendapat ulama Syafi’iyah, antara lain :
1.Berkata ‘Ali Syibran al-Malusi :
“Adapun jika bersepakat keduanya sebelum melaksanakan akad untuk bercerai dalam dalam waktu tertentu dan tidak disebut dalam akad, maka tidak mengapa tetapi sepatutnya makruh”.1

2.Ibnu Hajar Haitamy mengatakan, :Jumhur Ulama menempatkankan maksud hadits “Allah melaknat muhallil dan muhallal lahu” apabila disebut secara terang dalam akad dengan mensyaratkan apabila sudah terjadi persetubuhan maka suami harus mencerainya. Termasuk yang menempatkan maksud hadits seperti itu adalah Al-Imam al-Muttaqin al-Hafidh al-Munshif Abu Amrin bin Abdulbar, salah seorang tokoh Malikiah, beliau berkata :
“Yang lebih dhahir makna hadits adalah menempatkannya kepada penyebutan secara terang (tashrih) dengan demikian itu, bukan atas niatnya, karena sesungguhnya isteri Rifa’ah ada menerangkan dia ingin kembali kepada suaminya yang pertama. Sesungguhnya hadits tersebut, mengandung pengakuan isteri Rifa’ah atas kesahihan nikahnya. Apabila niat isteri Rifa’ah tidak menjadi suatu yang salah, maka demikian juga niat suami pertama dan niat suami yang kedua yang akan menceraikannya lebih-lebih lagi tidak menjadi suatu yang salah. Oleh karena itu, tidak ada makna lain bagi hadits itu kecuali menempatkannya berdasarkan pendapat yang lebih dhahir di atas. Oleh karena itu, nikah tahlil itu (yang diharamkan) sama halnya dengan nikah mut’ah”2

Penjelasan Ibnu Hajar Haitamy di atas, juga disebut oleh al-Suyuthi dalam kitab beliau, al-Hawi lil Fatawa. 3

Kisah Rifa’ah dan isterinya di sebut di atas, terdapat dalam hadits riwayat Aisyah, beliau berkata :
جاءت امرأة رفاعة إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقالت كنت عند رفاعة فطلقني فبت طلاقي. فتزوجت عبدالرحمن بن الزبير. وإن ما معه مثل هدبة الثوب. فتبسم رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال أتريدين أن ترجعي إلى رفاعة ؟ لا. حتى تذوقي عسيلته ويذوق عسيلتك

Artinya : Isteri Rifa’ah datang kepada Nabi SAW, berkata : “Aku di sisi Rifa’ah, kemudian ia menceraikanku dengan talaq putus habis. Karena itu, aku kawin dengan Abdurrahman bin al-Zubir. Sesungguhnya keadaan bersamanya seperti rumbaian kain”. Rasulullah SAW tersenyum mendengarnya dan bersabda : “Apakah engkau merencanakan kembali kepada Rifa’ah, Tidak! Sehingga kamu merasakan madunya dan dia merasakan madu kamu”.)H.R. Muslim 4 dan Bukhari 5 )

3.Ulama-ulama Kufah berargumentasi keabsahan nikah apabila dengan qashad tahlil (cina buta) dengan keumuman firman Allah Q.S. al-Baqarah : 230, berbunyi :
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
Artinya : Kemudian jika si suami mentalaknya, Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. (Q.S. al-Baqarah : 230)

Pernikahan cina buta secara formal memenuhi syarat-syarat sebuah akad pernikahan, tidak beda apakah diniat tahlil atau tidak. Akad pernikahan membolehkan bersetubuh, mewajibkan mahar, nafkah dan kebolehan melakukan talaq. Hal tersebut tidak ada perbedaan, apakah ada diniat perkara-perkara tersebut seperti dikatakan : “Saya melakukan akad nikah karena ingin bersetubuh” atau tidak diniatkan sama sekali.6
Sebagian kelompok ulama mengharamkan nikah tahlil secara mutlaq dengan merujuk kepada dhahir maksud dari dalil-dalil berikut:
1.Sabda Rasulullah :
ﻠﻌﻥ ﺭﺴﻭﻝ ﺍﻠﻠﻪ ﺼﻠﻌﻡ ﻤﺤﻠﻝ ﻭﺍﻠﻤﺤﻠﻝ ﻠﻪ. هذا حديث حسن صحيح
Artinya : Rasulullah SAW melaknat muhallil (orang yang menikah untuk menghalalkan bagi suami pertama wanita yang telah dicerai tiga kali, pen.) dan muhallallah (orang yang dihalalkan dengan pernikahan atasnya.pen). Berkata At-Turmidzi : “Hadits ini hasan shahih”.. (H.R. At-Turmidzi)7

Hadits ini sebagaimana penjelasan di atas, diposisikan apabila persyaratan tahlil ini dilakukan dalam sulbi akad berdasarkan dalil-dalil yang telah disebut di atas.

2.firman Allah Qur’an Surat Al A'raaf: 189
وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا
Artinya : Dan dari padanya dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya.(Q.S. Al-A'raaf : 189)

dan firman Allah Qur’an Surat Ar-Ruum:21

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.(Q.S. ar-Ruum : 21)

Berdasarkan dua ayat di atas, dipahami bahwa perkawinan bertujuan untuk menciptakan rasa senang, tenteram dan memadu kasih sayang. Sedangkan dalam perkawinan tahlil, laki-laki mengawininya dengan rasa tidak senang/tenteram terhadap wanita itu dan wanita itu juga tidak merasa senang terhadap laki-laki tersebut. Dengan demikian hukum nikah untuk qashad tahlil tidak sah.

Jawaban terhadap dalil ini adalah rasa senang, tenteram dan memadu kasih sayang hanyalah merupakan hikmah perkawinan, bukan ‘illat yang dapat menjadi tempat bergantung hukum. Hukum tidak dapat digantung pada sebuah hikmah kecuali hikmah itu memenuhi persyaratan disebut sebagai ‘illat sebagaimana dimaklumi dalam ilmu ushul fiqh. Kalau hikmah ini merupakan standar sahnya sebuah perkawinan, tentunya pernikahan yang justru kadang-kadang menjadi kesengsaraan dengan sebab tidak mencukupi pendapatan rumah tangga, sering terjadi cekcok rumah tangga dan sebab-sebab lain akan menjadi sebuah pernikahan yang batal. Tentu yang demikian tidak ada ulama yang berpendapat seperti itu.

DAFTAR PUSTAKA
1.Al-Bakry ad-Dimyathy, I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 278
2.Ibnu Hajar Haitamy, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiah, Darul Fikri, Juz. IV, hal. 107. Lihat juga Ibnu Hajar Haitamy, al-Zawajir ‘an Iqtiraf al-Kabair, Juz. II, Hal. 29
3.al-Suyuthi , al-Hawi lil Fatawa, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 342
4.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. II, Hal. 1055-1056, No. Hadits : 1433
5.Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar Thauq al-Najh, Juz. VII, Hal. 56, No. Hadits : 5317
6.Ibnu Bathal, Syarah Shahih Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 480
7.At-Turmidzi, Sunan At-Turmidzi, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 294

Jumat, 27 Mei 2011

Onani dan hukumnya

Zainuddin al-Malibary, salah seoarang ulama Syafi’iyah dalam Kitabnya, Fath al-Mu’in mengatakan :
“tidak boleh mengeluarkan mani dengan tangannya sendiri meskipun dikuatirkan terjadi zina, ini berbeda dengan pendapat Ahmad” 1

Dalil pengharaman onani adalah sebagai berikut :
1.Firman Allah dalam Al-Qur’an :
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6) فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ (7)
Artinya : Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki ; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang dibalik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas (Q.S. Al-Mu’minun : 5-7)

2. Al-Bakry ad-Damyathy dalam Kitab I’anah at-Thalibin, dalam pendalilian keharaman onani menyebut hadits di bawah ini, yaitu :
لعن الله من نكح يده و ان الله أهلك أمة كانوا يعبثون بفروجهم
Artinya : Allah melaknat orang-orang yang menikahi tangannya (onani). Sesungguhnya Allah telah menghancurkan umat yang suka bermain-main dengan kemaluannya.2

3.Imam al-Rafi’i, salah seorang ulama terkenal dikalangan Syafi’iyah menyebut hadits di bawah ini sebagai dalil pengharaman onani, yaitu ;
مَلْعُون من نكح يَده
Artinya : terlaknat orang-orang yang menikahi tangannya (onani) 3

Bagi orang-orang yang besar nafsunya sedangkan untuk kawin belum mampu sehingga dikuatirkan terjadi zina hendaknya sering-sering berpuasa, sebagaimana hadits Nabi SAW :
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Artinya : Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu menikah, maka hendaklah dia menikah karena nikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Sedang barangsiapa yang belum mampu maka hendaknya dia berpuasa karena puasa itu akan menjadi tameng baginya (H.R. Bukhari)4

DAFTAR PUSTAKA
1.Zainuddin al-Malibary, Fathul Mu’in, dicetak pada hamisy I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 340
2 Al-Bakry ad-Damyathy, I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 340
3 Ibnu Mulaqqan, Badr al-Munir, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 662
4.Bukhari, Shahih Bukhari, Darul Thauq an-Najh, Juz. VII, Hal. 3

Suami menghisap susu isteri

Seorang suami apabila menghisap susu isterinya, maka tidak ada akibat hukumnya, alias tidak apa-apa. Karena menyusui yang mengakibatkan keharaman adalah apabila yang menyusui itu masih berusia di bawah dua tahun. Al-Bakri al-Dimyathi mengatakan 1 :
“Dengan perkataan : “yang tidak sampai usia dua tahun” keluarlah yang sampai dua tahun, maka penyusuannya tidak mengakibatkan keharaman”.

Selanjutnya Al-Bakri al-Dimyathi menyebut hadits di bawah ini sebagai dalilnya, yakni hadits dari Ibnu Umar, beliau bersabda :
سمعت عمر يقول لا رضاع إلا في الحولين في الصغر
Artinya : Aku mendengar Umar berkata : “Tidak ada penyusuan kecuali pada anak-anak usia dua tahun. (H.R. Darulquthni)2

Dalil lain pendapat ini, antara lain :
1. Firman Allah Q.S. al-Baqarah : 233 berbunyi :

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ
Artinya : Dan ibu-ibu hendaklah menyusukan anak-anak mereka selama dua tahun sempurna yaitu bagi orang yang hendak menyempurnakan penyusuannya. (Q.S. al-Baqarah : 233)

I’tibar penyusuan pada syara’ adalah dua tahun, karena penyusuan yang diwajibkan hanya dua tahun.
2. Hadits dari Ummi Salamah, Rasulullah SAW bersabda :
لَا يُحَرِّمُ مِنْ الرَّضَاعِ إِلَّا مَا فَتَقَ الْأَمْعَاءَ فِي الثَّدْيِ وَكَانَ قَبْل الْفِطَامِ
Artinya : Tidak susuan itu menyebabkan haram kecuali yang mengenyangkan usus,
melalui payudara dan sebelum disapih (H.R. at-Turmidzi)

Imam At-Turmidzi menyebut hadits ini pada Bab penyusuan tidak menyebabkan pengharaman kecuali atas anak-anak yang berusia di bawah dua tahun. Beliau mengatakan :
“Hadith ini hasan sahih dan mayoritas para ahli ilmu dari kalangan para sahabat Rasulullah SAW dan lainnya mengamalkan bahwa penyusuan tidak menyebabkan pengharaman kecuali atas anak-anak di bawah dua tahun dan penyusuan di atas usia dua tahun yang sempurna tidak menyebabkan pengharaman apapun”3

DAFTAR PUSTAKA
1.Al-Bakri al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 286
2.Darulquthni, Sunan Darulquthni, Darul Makrifah, Beirut, Juz. IV, Hal. 174, Kitab Ridha’, No. 11
3.At-Turmidzi, Sunan at-Turmidzi, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 311, No. Hadits : 1162

Poligami dalam Islam

Para ulama baik salaf maupun khalaf, sepakat bahwa seorang laki-laki merdeka boleh menikahi dengan menghimpun satu, dua, tiga atau empat orang perempuan merdeka (poligami). Kebolehan poligami ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala dalam al-Qur’an :
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.(Q.S. An-Nisa’ : 3)

Berikut perkataan ulama tafsir tentang tafsir ayat di atas, antara lain :
1.Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat di atas, mengutip perkataan Imam Syafi’i, yaitu :

“Sunnah Rasulullah SAW yang menjadi penjelasan bagi firman Allah sesungguhnya menunjukkan kepada tidak boleh bagi seseorang selain Rasulullah SAW menghimpun isteri-isteri lebih banyak dari empat orang”.

Selanjutnya Ibnu Katsir berkata :

“Perkataan Syafi’i r.a. ini merupakan ijmak para ulama kecuali pendapat yang diceritakan dari satu kelompok Syi’ah yang membolehkan menghimpun isteri-isteri lebih banyak dari empat sampai dengan sembilan orang”.1

2.Berkata al-Khazin :
“Berkata para ulama : “boleh bagi orang merdeka menghimpun empat orang perempuan merdeka”. 2

Pada zaman moderen ini, ada orang yang berpendapat bahwa poligami dilarang dalam Islam dengan alasan poligami yang dibolehkan adalah dengan syarat mampu berbuat adil. Sedangkan berbuat adil kepada beberapa orang isteri merupakan sesuatu yang tidak mungkin mampu dilakukan oleh laki-laki. Alasan ini katanya berdasarkan firman Allah Ta’ala :
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
Artinya : Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu cenderung dalam semua kecenderungan (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain seperti perempuan yang terkatung-katung (tidak mempunyai suami tetapi bukan janda) dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(Q. S. an-Nisa’ : 129)

Pendapat ini kita bantah dengan mengutip penafsiran ulama tafsir yang mu’tabar mengenai ayat di atas, antara lain :
1.Dalam tafsir Ibnu katsir di jelaskan bahwa ayat di atas diturunkan mana kala Rasulullah SAW lebih mencntai Asiyah r.a. dibanding isteri beliau yang lain.3
2.Al-Khazin dalam menafsirkan ayat di atas berkata :
“Ya’ni kamu tidak sekali-kali mampu berlaku adil di antara isteri-isterimu dalam hal cinta dan kecenderungan hati, karena yang demikian itu termasuk dalam hal-hal yang kamu tidak akan kuasa dan mampu atasnya”. 4

3.Dalam tafsir Jalalain dikatakan :
“Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara isteri-isterimu dalam hal cinta, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu cenderung dalam semua kecenderungan kepada isteri yang kamu cintai dalam hal pembagian malam dan nafkah”. 5

Menurut penafsiran dan asbabun nuzul ayat yang tersebut di atas, jelaslah bahwa ketidakmampuan berlaku adil itu adalah dalam hal cinta, karena cinta merupakan kecenderungan hati. Kecenderungan hati tentunya tidak mungkin ditolak dan dipaksa-paksa. Pada saat hati mengatakan lebih mencintai salah seorang isteri, tentunya kita tidak dapat menolaknya. Namun demikian perasaan lebih mencintai salah seorang isteri itu tidak boleh merembes dalam hal pembagian malam dan nafkah. Pembagian malam dan nafkah ini tetap wajib diberlakukan dengan adil. Oleh karena itu, Allah selanjutnya berfirman :
“Janganlah kamu cenderung dalam semua kecenderungan (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain seperti perempuan yang terkatung-katung”.

Jadi yang dilarang adalah kecenderungan dalam semua hal kepada salah seorang isteri. Kesimpulannya, kecenderungan kepada salah seorang isteri dalam hal cinta saja yang dibolehkan, sedangkan pembagian malam dan nafkah tetap wajib berlaku adil dan sama di antara isteri-isteri. Kesimpulan ini sesuai dengan perkataan As-Shawy dalam tafsirnya, 6 yaitu :
“Adapun kecenderungan hati kepada salah seorang isteri adalah tidak mengapa, karena itu bersabda Nabi SAW :

اللهم إن هذا القسمي فيما أملك فلا تؤاخذني فيما لا املك
ِArtinya : Ya Allah, sesungguhnya ini adalah pembagianku yang aku miliki, maka janganlah Engkau menyiksaku dalam hal-hal yang tidak aku miliki.

Maksud do’a Rasulullah SAW di atas adalah beliau telah melakukan pembagian secara adil diantara isteri-isteri beliau dalam hal pembagian malam dan nafkah, karena pembagian tersebut mampu beliau lakukan, sedangkan pembagian cinta secara adil tentunya sebagaimana manusia, beliau tidak mampu melakukannya, oleh karena itu beliau berdo’a semoga Allah mengampuninya.

SebenarnyA teori keadilan seperti ini tidak hanya berlaku dalam masalah seorang pria yang berpoligami, tetapi juga berlaku dalam kasus-kasus lain, seperti dalam bernegara, seorang ayah dengan anak-anaknya dan lain-lain. Dalam bernegara, seorang pemimpin atau seorang hakim diperintahkan Allah untuk memimpin dan menetapkan hukum untuk rakyatnya dengan adil sebagaimana firman Allah SWT berbunyi :
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.(Q.S. al-Nisa’ : 58)

Namun bukan berarti seorang pemimpin atau hakim tidak boleh lebih mecintai anggota keluarganya atau kerabatnya, tetapi yang tidak boleh hanyalah sifat lebih mencintai anggota keluarga atau kerabatnya tersebut membuat dia tidak berlaku adil dalam tindakan nyata dia sebagai seorang pemimpin atau hakim, seperti lebih mengutamakan anggota keluarga atau kerabatnya dalam memberikan pelayanan negara atau seperti tidak berlaku adil dalam menetapkan hukum dan lain-lain. Mewajibkan berlaku adil atas pemimpin atau seorang hakim dalam hal mencintai dan kecenderungan hati antara rakyatnya adalah suatu hal yang mustahil, karena sifat lebih mencintai dan lebih cenderung jiwa kepada seseorang merupakan fitrah manusia yang tidak dapat ditolak. Oleh karena itu, Allah tidak membebankan kepada manusia sesuatu yang tidak mampu dipikulnya. Allah SWT berfirman :
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Artinya : Allah tidak membebani seseorang kecuali menurut kemampuannya (Q.S. al-Baqarah : 286)

Contoh lain adalah perlakuan adil orangtua terhadap anak-anaknya. Orangtua tidak wajib berlaku adil terhadap anak-anaknya dalam hal cinta dan kecenderungan hati, karena kecenderungan hati yang lebih kepada salah satu dari anak-anak yang kadang-kadang muncul adalah merupakan suatu perasaan yang tidak dapat dipungkiri dan ditolak. Nam. Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Darul Thaibah, Juz. II, Hal. 430
. Al-Khazin, Tafsir al-Khazin, Darul Fikri, Beirut, Juz, I, Hal. 609
. al-Jalaluddin al-Mahalli dan as-Suyuthi, Tafsir Jalalain, dicetak dalam Tafsir as-Shawy, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 250
un demikian, kecenderungan yang lebih kepada salah satu anak-anaknya tersebut tidak boleh mempengaruhinya dalam berlaku adil dalam tindakan nyata, seperti dalam hal pemberian sebagaimana hadits Nabi SAW :
ِاعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلاَدِكُمْ فِي الْعَطِيَّةِ
Artinya :As-Shawy, Tafsir as-Shawy, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 250
Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 206.
Berlaku adillah kepada anak-anakmu dalam pemberian (H.R. Bukhari)7

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa ketidakmampuan seseorang dalam berlaku adil dalam perihal cinta dan kecenderungan hati diantara isteri-isterinya tidak menjadi alasan dilarang poligami dalam Islam, sebagaimana sifat ini juga terjadi dalam diri seorang pemimpin, hakim dan orangtua dan juga Q. S. an-Nisa’ : 129 di atas tidak dapat menjadi hujjah atas larangan poligami

DAFTAR PISTAKA
1.Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Darul Thaibah, Juz. II, Hal. 209
2.Al-Khazin, Tafsir al-Khazin, Darul Fikri, Beirut, Juz, I, Hal. 475
3 Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Darul Thaibah, Juz. II, Hal. 430
4.Al-Khazin, Tafsir al-Khazin, Darul Fikri, Beirut, Juz, I, Hal. 609
5.al-Jalaluddin al-Mahalli dan as-Suyuthi, Tafsir Jalalain, dicetak dalam Tafsir as-Shawy, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 250
6.As-Shawy, Tafsir as-Shawy, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 250
7.Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 206.

Selasa, 24 Mei 2011

Syeikh Ismail bin Abdul Muthallib al-Asyi. Oleh Wan Mohd. Shaghir Abdullah

PENYELIDIKAN pertama terhadap ulama yang berasal dari Acheh ini dimulai dengan pengesanan artikel-artikel karya beberapa orang ulama yang beliau kumpulkan dalam satu kitab yang cukup terkenal di dunia Melayu yang diberi judul olehnya ``Jam'u Jawami'il Mushannafat''. Selain itu juga kitab yang diberi judul oleh beliau dengan ``Tajul Muluk''. Setelah itu dijumpai pelbagai judul karya beliau sendiri dan beberapa buah kitab yang ditashhihnya.

Galakkan
Dalam fail surat Syeikh Ahmad al-Fathani 1323 Hijrah - 1325 Hijrah dijumpai beberapa lembar surat Syeikh Ahmad al-Fathani, di Mekah, kepada Syeikh Ismail bin `Abdul Muthallib al-Asyi di Kaherah, Mesir. Dari surat- surat itu dapat diambil kesimpulan bahawa Syeikh Ismail bin `Abdul Muthallib al-Asyi itu adalah termasuk murid Syeikh Ahmad al-Fathani. Beliau dilantik oleh Syeikh Ahmad al-Fathani menjadi Ketua Pelajar-Pelajar Melayu di Kaherah, sedang Syeikh Muhammad Tahir Jalaluddin dilantiknya sebagai Ketua Pelajar Putera Diraja Riau di Kaherah juga. Dipercayai bahawa Syeikh Ismail bin `Abdul Muthallib al-Asyi adalah sebagai Ketua Pelajar Melayu di Kaherah yang pertama sekali. Ada pun perintis jalan orang Melayu yang pertama belajar di Masjid Al-Azhar ialah Syeikh Ahmad al-Fathani (tahun 1292 Hijrah sampai 1299 Hijrah). Setelah Syeikh Ahmad al-Fathani kembali ke Mekah beliau menggalakkan murid-muridnya belajar di Mesir terutama sekali di Al-Azhar. Maka sangat ramai pelajar kita yang berasal dari dunia Melayu pergi ke Mesir itu. Selain Syeikh Ismail al-Asyi dan Syeikh Muhammad Tahir Jalaluddin Minangkabau termasuk peringkat awal ke Mesir juga di antaranya ialah: Syeikh Ahmad Tahir Khathib Kerue (Lampung), Syeikh `Abdur Razzaq bin Muhammad Rais Lampung, Syeikh Muhammad Nur al-Fathani, dan ramai lagi.

PENDIDIKAN
Pendidikan asas di Acheh tidak dapat diketahui secara pasti. Dari tulisannya sendiri yang termaktub dalam cetakan Zahratul Murid karya Syeikh `Abdus Shamad al-Falimbani, beliau menyebut, ``Adapun silsilah haqir Ismail bin `Abdul Muthallib al-Asyi, maka telah mengambil talqin zikir dan bai'ah daripada Syeikh Muhammad `Ali. Ia mengambil daripada Syeikh Muhammad As'ad. Ia mengambil daripada Syeikh Sa'id....'', dan seterusnya sama dengan silsilah Thariqat Syathariyah versi Syeikh Daud bin `Abdullah al-Fathani. Tidak jelas ``Syeikh `Ali'' yang disebutkannya dalam silsilah itu, apakah berasal dari Acheh atau tempat lainnya. Yang menjadi kemusykilan ialah bahawa apabila kita semak bererti ``Syeikh `Ali'' itu seperguruan dengan Syeikh Daud bin `Abdullah al-Fathani, kerana Syeikh Daud bin `Abdullah al-Fathani juga menerima Thariqat Syathariyah daripada Syeikh Muhammad As'ad itu.
Syeikh `Ali al-Asyi adalah ulama Acheh yang seperguruan dengan Syeikh Daud bin `Abdullah al-Fathani. Syeikh `Ali al-Asyi lebih muda dari Syeikh Daud bin `Abdullah al-Fathani, kemungkinan beliau berumur panjang sehingga Syeikh Ismail al-Asyi sempat menerima thariqat daripadanya. Sebaliknya Syeikh Ahmad al-Fathani tidak sempat bertemu dengan Syeikh Daud bin `Abdullah al-Fathani, yang menjadi murid ulama Patani itu ialah Syeikh Muhammad Zain al-Fathani (ayah beliau).

PENTASHHIH KARYA ACHEH
Sumbangan yang besar Syeikh Ismail al-Asyi ialah mentashhih kitab-kitab karya ulama Acheh. Beliau adalah orang yang pertama memberi catatan nota beberapa kosa kata dari bahasa Acheh diberikan maknanya ke bahasa Melayu yang umum digunakan pada masa itu. Jadi bererti aktiviti tashhih kitab Melayu/Jawi yang diasaskan oleh Syeikh Ahmad al-Fathani di Mekah itu, bahagian penelitian bahasa Acheh ditangani oleh Syeikh Ismail al-Asyi. Syeikh Ismail al-Asyi mulai melibatkan diri dalam usaha Syeikh Ahmad al-Fathani itu sejak permulaan lagi, bersama-sama dengan Syeikh Daud bin Ismail al-Fathani, Syeikh Idris bin Husein al-Kalantani, Syeikh Abdur Rahman Gudang al-Fathani, ketiga-tiganya merupakan orang kepercayaan Syeikh Ahmad al-Fathani dalam semua permasalahan tashhih. Kitab-kitab yang ditashhih oleh Syeikh Ismail al-Asyi pada peringkat awal dikumpulkan dalam Jam'u Jawami'il Mushannafat ialah:
1. Hidayatul `Awam karya Syeikh Jalaluddin bin Kamaluddin Acheh.
2. Faraidh al-Quran, tanpa nama pengarang.
3. Kasyful Kiram karya Syeikh Muhammad Zain al-Asyi.
4. Talkhishul Falah karya Syeikh Muhammad Zain
5. Syifaul Qulub karya `Arif Billah Syeikh `Abdullah Acheh.
6. Mawaizhul Badi'ah karya Syeikh `Abdur Rauf Fansuri
7. Dawaul Qulub karya Syeikh Muhammad bin Syeikh Khathib Langien.
8. I'lamul Muttaqin karya Syeikh Jamaluddin bin Syeikh `Abdullah.

Cetakan awal kitab di atas diusahakan oleh Mathba'ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah. Halaman terakhir cetakan ke lapan, 1320 H/1902 M disebutkan bahawa pada cetakan itu ditambah dua naskhah lagi iaitu, Fathul `Arifin, Paal Kamalullah dan Paal Nabi S.A.W. Syeikh Ismail al-Asyi mencatatkan, ``... dan ditashhihkan dengan cermat dan ditaruhkan pula pada tepinya hasyiah yakni tafsir kalam yang payah jadi mudah''. Maksudnya bahawa beliau memberi nota bahasa Acheh disesuaikan dengan maknanya dengan bahasa Melayu, dan memberikan huraian pada kalimat yang tidak jelas. Pada cetakan yang kemudian dari cetakan tersebut terdapat puisi Syeikh Ismail al-Asyi 18 bait yang terdiri dari dua rangkap-dua rangkap. Kitab yang diusahakan oleh Syeikh Ismail al-Asyi itu mendapat sambutan masyarakat luas di dunia Melayu, sampai sekarang masih banyak diajar dan masih mudah mendapatkannya di kedai-kedai kitab.
Dalam kitab yang berjudul Tajul Muluk terkumpul pula beberapa buah karangan, juga diusahakan oleh Syeikh Ismail al-Asyi. Cetakan awal yang telah ditemui ialah yang diusahakan oleh Mathba'ah al- Miriyah al-Kainah, Mekah, 1311 Hijrah/1893 Masehi. Pada mukadimah Tajul Muluk terdapat 34 bait puisi Syeikh Ismail al-Asyi yang terdiri dua rangkap-dua rangkap. Syeikh Ismail al-Asyi memulakan kumpulan Tajul Muluk dengan karya Syeikh `Abbas al-Asyi yang berjudul Sirajuz Zhalam, yang membicarakan ilmu hisab dan falakiyah. Pada akhir kitab Sirajuz Zhalam karya Syeikh `Abbas al-Asyi, Syeikh Ismail al-Asyi mencatat, ``Maka telah selesai hamba salin kitab ini dalam negeri Mekah yang Musyarrafah pada masa hijrah Nabi S.A.W 1306 tahun, pada hari Sabtu, pada 28 hari bulan Rabiulawal ... `` Kitab terakhir dalam Tajul Muluk ialah yang berjudul Hidayatul Mukhtar karya Syeikh Wan Hasan bin Wan Ishaq al-Fathani.

Manuskrip
Sebuah karya Syeikh `Abdus Shamad bin `Abdur Rahman al-Falimbani yang berjudul Zahratul Murid fi Bayani Kalimatit Tauhid yang sebelumnya hanya ditemui manuskripnya saja, dalam bulan April 1993 saya temui cetakannya, pada halaman terakhir terdapat silsilah Syeikh Ismail bin `Abdul Muthallib al-Asyi dan beliau juga menyalin silsilah Thariqat Qadiriyah dan Thariqat Syathariyah Syeikh `Abdur Rauf al-Fansuri, ditashhihkan oleh Syeikh Idris bin Husein al-Kalantani. Saya berkesimpulan bahawa kitab Zahratul Murid karya Syeikh `Abdus Shamad al-Falimbani itu diusahakan bersama-sama Syeikh Ismail al-Asyi dan Syeikh Idris bin Husein al-Kalantani, dicetak oleh Mathba'ah at-Taraqqil Majidiyah al-'Utsmaniyah Makkah, 1331 Hijrah/1912 Masehi.

KARYA DAN PEMIKIRAN
Selain karya yang bercorak tashhih seperti tersebut di atas, Syeikh Ismail al-Asyi juga menghasilkan karya sendiri, di antaranya yang telah ditemui ialah:
1. Muqaddimatul Mubtadi-in, diselesaikan pada hari Rabu, 30 Safar, di Mekah, tanpa menyebut tahun. Dicetak oleh Mathba'ah al-Miriyah, Mekah, 1307 Hijrah/1889 Masehi. Pada halaman tercantum 19 bait puisi beliau yang terdiri dua rangkap-dua rangkap.
2. Tuhfatul Ikhwan fi Tajwidil Quran, diselesaikan pada waktu Dhuha hari Jumaat dua likur Jamadilawal 1311 Hijrah/1893 Masehi. Cetakan pertama Mathba'ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah, 1311 Hijrah/1893 Masehi. Terdapat lagi cetakan Mathba'ah al-Miriyah, Mekah, 1324 Hijrah/1906 Masehi.
3. Fat-hul Mannan fi Bayani Ma'na Asma-illahil Mannan, diselesaikan tahun 1311 Hijrah/1893 Masehi. Cetakan kedua oleh Mathba'ah al-Miriyah al-Kainah, Makkah, 1311 Hijrah/1893 Masehi.
4. Fat-hul Mannan fi Hadits Afdhal Waladi `Adnan, diselesaikan tahun 1311 Hijrah/1893 Masehi. Hanya diketemukan cetakan Mathba'ah al-Kamaliyah, Kota Bharu, Kelantan, 1379 Hijrah/1960 Masehi yang diusahakan oleh Haji Muhammad bin Ahmad, Kampung Gong, Kelantan, dengan catatan, ``Dengan izin waris pengarangnya dan anak muridnya yang di Mekah al-Mukarramah pada tahun hijrah 1377.''

Kesimpulan bahawa karya Syeikh Ismail al-Asyi meliputi beberapa disiplin ilmu, ialah `aqidah (Muqaddimatul Mubtadi-in), tajwid (Tuhfatul Ikhwan), hikmah dan fadhail (Fat-hul Mannan, nombor 3), hadis (Fat-hul Mannan, nombor 4), bahasa (pada kitab-kitab yang ditashhihnya) dan sastera (puisi), yang berbentuk syair dua rangkap-dua rangkap. Syair yang digubahnya dalam bahasa Melayu memang indah susunan bahasanya, tetapi sayang kadang-kadang bercampur dengan bahasa Acheh yang sukar dimengerti oleh masyarakat dunia Melayu umumnya.

Contoh beberapa bait syair Syeikh Ismail al-Asyi, ialah:
``Wahai ikhwan yang Muslimin,
orang yang yakin akan Rabbana,
Karangan ini intan ku karang,
segala maknikam himpun di sana.''
(Jam'u Jawami'il Mushannafat)

``Barangsiapa tiada makrifat,
segala ibadat tiada guna.
Kitab ini baik sekali,
makrifat Rabbi di sini nyata.''
(Muqaddimatul Mubtadi-in)

KETURUNAN
Keturunan Syeikh Ismail al-Asyi ramai di Mekah, mengenai ini dapat diketahui di antaranya tercatat dalam kitab Durrul Faraid karya Syeikh Nuruddin ar-Raniri cetakan pertama Mathba'ah al-Miriyah al-Kainah, Makkah, 1311 H/1893 M, tertulis, ``Maka orang yang empunya kitab ini Tuan Haji Ahmad anak Tuan Syeikh Ismail anak Tuan `Abdul Muthallib al-Asyi ... Dia duduk di muka pintu, di dalam Maq'ad, di sanalah empunya kitab ini.'' Syeikh Ismail bin `Abdul Muthallib al-Asyi meninggal dunia di Kaherah, Mesir, demikian tersebut dalam buku Student Indonesia di Mesir.

Sumber :
http://www.acehforum.or.id/showthread.php/2855-Syeikh-Ismail-Al-Asyi-Ketua-Mahasiswa-Melayu-pertama-di-Mesir?s=310af30e814c2c727a4492f1722a88e3

Rabu, 11 Mei 2011

Syeikh Nuruddin Ar-Raniry

Riwayat Hidup Beliau
Nuruddin Ar-Raniri adalah negarawan, ahli fikih, teolog, sufi, sejarawan dan sastrawan penting dalam sejarah Melayu pada abad ke-17. Nama aslinya adalah Nuruddin bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hamid Ar-Raniri. Ia lahir di Ranir (Rander), Gujarat, India, dan mengaku memiliki darah suku Quraisy, suku yang juga menurunkan Nabi Muhammad SAW. Ayahnya adalah seorang pedagang Arab yang bergiat dalam pendidikan agama (Piah dkk., 2002: 59-60).

Ilmu Yang Dikuasainya
Nuruddin adalah seorang yang berilmu tinggi, yaitu orang yang pengetahuannya tak terbatas dalam satu cabangpengetahuan saja. Pengetahuannya sangat luas, meliputi bidang sejarah, politik, sastra, filsafat, fikih, tasawwuf, perbedaan agama, dan sufism. ia menulis kurang-lebih 29 kitab, yang paling terkenal adalah "Bustanul Salatin". Namanya kini diabadikan sebagai nama perguruan tinggi agama (IAIN) di Banda Aceh.

Guru Beliau
Beliau di katakan telah berguru dengan Sayyid Umar Abu Hafis Abdullah Basyeiban yang yang di India lebih dikenal dengan Sayyid Umar Al-Idrus kerna adalah khalifah Tariqah Al-Idrus Alawi di India. Ar-Raniri juga telah menerima Tariqah Rifaiyyah dan Qadariyah dari gurunya.
Putera Abu Hafs yaitu Sayyid Abdul Rahman Tajudin yang datang dari Balqeum, Karnataka, India pula telah menikah setelah berhijrah ke Jawa dengan Syarifah Khadijah, puteri Sultan Cirebon dari keturunan Sunan Gunung Jati.
Nuruddin mula-mula mempelajari bahasa Melayu di Aceh, lalu memperdalam pengetahuan agama ketika melakukan ibadah haji ke Mekah. Sepulang dari Mekah, ia mendapati bahwa pengaruh Syamsuddin as-Sumatrani sangat besar di Aceh. Karena tidak cocok dengan aliran wujudiyah yang disebarkan oleh Syamsuddin as-Sumatrani, Nuruddin pindah ke Semenanjung Melaka dan memperdalam ilmu agama dan bahasa Melayu di sana.

Selama di Semenanjung Malaka
Selama tinggal di semenanjung, Nuruddin menulis beberapa buah kitab. Ia juga membaca Hikayat Seri Rama dan Hikayat Inderaputera, yang kemudian dikritiknya dengan tajam, serta Hikayat Iskandar Zulkarnain. Ia juga membaca Taj as-Salatin karya Bukhari al-Jauhari dan Sulalat as-Salatin yang populer pada masa itu. Kedua karya ini memberi pengaruh yang besar pada karyatamanya sendiri, Bustan as-Salatin (Piah dkk., 2002: 60)

Kembali Ke Aceh
Pada tahun 1637 ia kembali ke Aceh dan tinggal di sana selama tujuh tahun. Saat itu Syeh Syamsuddin as-Sumatrani telah meninggal. Berkat keluasan pengetahuannya, Sultan Iskandar Tani (1636-1641) mempercayainya untuk mengisi jabatan yang ditinggalkan oleh Syamsuddin. Nuruddin menjabat sebagai Kadi Malik al-Adil, Mufti Besar, dan Syeikh di Masjid Bait al-Rahman.

Pada saat ia berjaya sebagai pejabat kesultanan inilah, dengan dibantu oleh Abdul Rauf as-Singkili, ia melakukan gerakan pemberantasan aliran wujudiyah yang diajarkan oleh Hamzah Fansuri dan Syamsudin as-Sumatrani. Karya-karya kedua ulama sufi itu dibakar dan para penganut aliran wujudiyah dituduh murtad serta dikejar-kejar karena dituduh bersekongkol untuk membunuh istri Sultan, Ratu Safiatun Johan Berdaulat.

Keadaan berbalik melawan Nuruddin ketika Sultan Iskandar Tani mangkat dan digantikan oleh istrinya, Sultanah Safiatuddin Johan Berdaulat (1641-1675). Polemik antara Nuruddin dan aliran wujudiyah bangkit kembali. Kali ini yang menang adalah seorang tokoh yang namanya sama dengan salah satu karya Hamzah Fansuri, yaitu Saif ar-Rijl, yang berasal dari Minangkabau dan baru kembali ke Aceh dari Surat (Braginsky, 1998: 473). Saif ar-Rijl mendapat dukungan sebagian besar kalangan Aceh, yang merasa tidak senang dengan besarnya pengaruh orang asing di istana Aceh. Untuk menyelesaikan pertikaian itu mereka mencari nasihat sang ratu, tetapi sang ratu menolak dengan dalih tidak berwenang dalam soal ketuhanan.

Sesudah berpolemik selama sekitar satu bulan, Nuruddin terpaksa meninggalkan Aceh dengan begitu tergesa-gesa, sehingga ia tidak sempat menyelesaikan karangannya yang berjudul Jawahir al-‘Ulum fi Kasyfi al-Ma‘lum (Hakikat Ilmu dalam Menyingkap Objek Pengetahuan) (Takeshi Ito, 1978: 489-491; via Braginsky, 1998: 473-474). Nuruddin akhirnya ia kembali ke Ranir. Ia meninggal di kota kelahirannya pada tanggal 21 September 1658 (Piah dkk., 2002: 60).

Karya
Secara keseluruhan, Nuruddin Ar-Raniri menulis sekitar dua puluh sembilan naskah, di antaranya adalah:
Karya-karya Besar Syeikh Nurruddin Ar-Raniry:
1. Kitab Al-Shirath al-Mustaqim (1634)
2. Kitab Durrat al-faraid bi Syarh al-‘Aqaid an Nasafiyah (1635)
3. Kitab Hidayat al-habib fi al Targhib wa’l-Tarhib (1635)
4. Kitab Bustanus al-Shalathin fi dzikr al-Awwalin Wa’l-Akhirin (1638)
5. Kitab Nubdzah fi da’wa al-zhill ma’a shahibihi 6. Kitab Latha’if al-Asrar
7. Kitab Asral an-Insan fi Ma’rifat al-Ruh wa al-Rahman
8. Kitab Tibyan fi ma’rifat al-Adyan
9. Kitab Akhbar al-Akhirah fi Ahwal al-Qiyamah
10. Kitab Hill al-Zhill
11. Kitab Ma’u’l Hayat li Ahl al-Mamat
12. Kitab Jawahir al-‘ulum fi Kasyfi’l-Ma’lum
13. Kitab Aina’l-‘Alam qabl an Yukhlaq
14. Kitab Syifa’u’l-Qulub
15. Kitab Hujjat al-Shiddiq li daf’I al-Zindiq
16. Kitab Al-Fat-hu’l-Mubin ‘a’l-Mulhiddin
17. Kitab Al-Lama’an fi Takfir Man Qala bi Khalg al-Qur-an
18. Kitab Shawarim al- Shiddiq li Qath’I al-Zindiq
19. Kitab Rahiq al-Muhammadiyyah fi Thariq al-Shufiyyah.
20. Kitab Ba’du Khalg al-samawat wa’l-Ardh
21. Kitab Kaifiyat al-Shalat
22. Kitab Hidayat al-Iman bi Fadhli’l-Manaan
23. Kitab ‘Aqa’id al-Shufiyyat al-Muwahhiddin
24. Kitab ‘Alaqat Allah bi’l-‘Alam
25. Kitab Al-Fat-hu’l-Wadud fi Bayan Wahdat al-Wujud
26. Kitab ‘Ain al-Jawad fi Bayan Wahdat al-Wujud
27. Kitab Awdhah al-Sabil wa’l-Dalil laisal li Abathil al-Mulhiddin Ta’wil
28. Kitab Awdhah al-Sabil laisan li Abathil al-Mulhiddin Ta’wil.
29. Kitab Syadar al-Mazid

(Sumber : http://ashabirrasul.blogspot.com)

Selasa, 10 Mei 2011

Suara Perempuan Bukan Aurat

Berikut pendapat ulama mengenai hukum mendengar suara perempuan, antara lain :
1.Umairah mengatakan
“Suara perempuan bukan aurat berdasarkan pendapat sahih, maka tidak haram mendengarnya dan tidak batal shalat dengan sebabnya seandainya dijihar ” 1

2.Berkata Zainuddin al-Malibary :
“Suara tidak termasuk aurat, karena itu tidak haram mendengarnya kecuali dikuatirkan fitnah atau berlezat-lezat dengannya sebagaimana yang telah dibahas oleh Zarkasyi”.2

Pendapat ini didasarkan kepada bahwa Al-Qur'an memperbolehkan laki-laki bertanya kepada isteri-isteri Nabi SAW dari balik tabir? Bukankah isteri-isteri Nabi itu mendapatkan tugas dan tanggung jawab yang lebih berat daripada istri-istri yang lain, sehingga ada beberapa perkara yang diharamkan kepada mereka yang tidak diharamkan kepada selain mereka? Allah berfirman:
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
Artinya : Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Yang demikian itu lebih menyucikan hatimu dan hati mereka. (Q.S. al-Ahzab: 53)

Permintaan atau pertanyaan (dari para sahabat) itu sudah tentu memerlukan jawaban dari Ummahatul Mukminin (ibunya kaum mukmin: istri-istri Nabi). Mereka juga biasa memberi fatwa kepada orang yang meminta fatwa kepada mereka dan meriwayatkan hadits-hadits bagi orang yang ingin mengambil hadits dari mereka, baik perempuan maupun laki-laki.
Kita juga mengetahui seorang wanita muda, putri Nabi Syu'aib yang berbicara dengan Musa, sebagai dikisahkan dalam Al-Qur'an:

فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ قَالَتْ إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا فَلَمَّا جَاءَهُ وَقَصَّ عَلَيْهِ الْقَصَصَ قَالَ لَا تَخَفْ نَجَوْتَ مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
Artinya : Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata: "Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami". Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu'aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu'aib berkata: "Janganlah kamu takut. kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu". (Q.S. al-Qashash: 25)

Sedangkan syariat nabi-nabi sebelum kita menjadi syari’at kita selama syari’at kita tidak menghapuskannya, sebagaimana pendapat yang terpilih.Yang dilarang bagi wanita ialah melunakkan pembicaraan untuk menarik laki-laki, yang oleh Al-Qur'an diistilahkan dengan al-khudhu bil-qaul (tunduk/lunak/memikat dalam berbicara), sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا
Artinya : Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik. (Q.S. al-Ahzab: 32)

Allah melarang khudhu’, yakni cara bicara yang bisa membangkitkan nafsu orang-orang yang hatinya "berpenyakit." Namun dengan ini bukan berarti Allah melarang semua pembicaraan wanita dengan setiap laki-laki. Perhatikan ujung ayat dari surat di atas: "Dan ucapkanlah perkataan yang baik"

DAFTAR PUSTAKA
1.Umairah, Hasyiah Qalyubi wa ‘Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 177
2.Zainuddin al-Malibary, Fath al-Mu’in, dicetak pada hamisy I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 260

Sabtu, 07 Mei 2011

Rebonding

A.Pengertian
Rebonding adalah meluruskan rambut agar rambut jatuh lebih lurus dan lebih indah. Namun rebonding sering menyebabkan rambut kita rusak, merah, kasar dan bercabang, sehingga perlu perawatan lanjutan dengan shampoo khusus. Misalnya untuk produk yang cukup trend adalah merk makarizo (vitamin sesudah keramas) atau Johny Andrean (ion rebonding). Kemudian seminggu sekali untuk melembutkan rambut, digunakan hair mask dan hair tonic. Rebonding menyebabkan helai rambut berubah bentuk secara permanent. Pemulihan rambut yang terlihat, bukan dari bagian helai rambut yang terkena perlakuan rebonding, karena bagian tersebut memang telah rusak dan tidak bisa pulih, tetapi dari bagian helai rambut yang baru muncul menggantikan rambut yang telah rusak.
Dalam proses mengubah tatanan rambut, bisa saja menggunakan bahan-bahan dan peralatan yang tidak menyebabkan perubahan permanent, misalnya, roll (menggulung rambut) tanpa proses kimiawi atau menjalin rambut kecil-kecil agar lebih lurus ketika dibuka jalinannya. Semua hal ini bila tidak mengubah struktur ikatan protein rambut, tidak akan bersifat permanen. Kritria terakhir inilah yang membedakan antara rebonding dengan roll ( menggulung rambut). Berdasarkan uraian di atas, menurut hemat penulis, rebonding adalah suatu tindakan merubah ciptaan Allah.
B. Hukum melakukan rebonding
Dengan pemahaman rebonding merupakan tindakan merubah ciptaan Allah, maka tindakan rebonding dapat dikatagori kemungkaran dan kemaksiatan yang disebut dalam nash-nash syara’ berikut :
1.Q.S. An-Nisa’ ayat 119, Allah SWT menceritakan perkataan syaithan, berfirman :
وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا
Artinya : Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya. Barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.(Q.S. An-Nisa’: 119)

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah mencela upaya setan menyuruh umat manusia mengubah ciptaan Allah. Dengan demikian merobah ciptaan Allah SWT adalah suatu yang haram.
2. Hadits Nabi SAW :
لعن الله الواشمات والمستوشمات والنامصات والمتنمصات والمتفلجات للحسن المغيرات خلق الله
Artinya : Allah melaknat wanita pembuat tato dan yang bertato, wanita yang mencukur alis dan yang dicukur alisnya, dan dikikir giginya, dengan tujuan mempercantik diri dan mereka merubah ciptaan Allah Ta’ala.(H.R. Muslim) 1

Imam Nawawi menjelaskan :
“Adapun sabda Nabi SAW muflijaat lil husn, maknanya adalah dilakukan itu untuk kelihatan cantik. Ini mengisyaratkan yang diharamkan adalah yang dilakukan untuk kelihatan cantik. Adapun kalau karena ada hajad seperti karena obat atau aib pada gigi dan seumpamanya, maka tidak mengapa”.2

Senada dengan fatwa ini adalah fatwa yang dikemukakan oleh al-Bakri ad-Damyathi, beliau berkata :

“Haram memperhalus dan menjarangkan gigi dengan alat kikir dan seumpamanya supaya nampak cantik ”3

dan Almarhum Syekh Muda Wali al-Khalidy, salah seorang ulama terkenal di Aceh, berkata :
“Haram memotong gigi kalau untuk hendak bagus, tetapi kalau karena ada hajad seperti untuk obat, boleh”.4

Dalam hadits di atas, berdasarkan penafsiran para ulama, dapat dipahami bahwa membuat tato, mencukur alis bagi wanita dan mengkikir gigi diharamkan meskipun karena kecantikan.

3. Hadits Nabi SAW :
أن جارية من الأنصار تزوجت، وأنها مرضت فتمعط شعرها، فأرادوا أن يصلوها، فسألوا النبي صلى الله عليه وسلم فقال: لعن الله الواصلة والمستوصلة
Artinya : Seorang wanita Anshar hendak menikah, dia dalam keadaan sakit dan rambutnya rontok, mereka hendak menyambungkan rambutnya, lalu mereka bertanya kepada Rasulullah SAW, Beliau menjawab: “Allah melaknat wanita penyambung rambut dan yang disambung rambutnya.(HR.Bukhari 5 dan Muslim 6 )

Dalam hadits ini juga dijelaskan bahwa pengharaman menyambung rambut tetap berlaku meskipun untuk kecantikan Bahkan dari hadits ini, dipahami menyambung rambut untuk menyenangkan hati suaminya juga tidak dibenarkan. Karena permintaan kepada Nabi SAW tersebut adalah untuk seorang gadis yang rambuknya rontok dan akan menjadi pengantin. Hadits serupa dengan ini adalah hadits tersebut di bawah ini
4. Hadits Nabi SAW :

سألت امرأة النبي صلى الله عليه وسلم فقالت: يا رسول الله، إن ابنتي أصابتها الحصبة، فامرق شعرها، وإني زوجتها، أفأصل فيه؟ فقال: لعن الله الواصلة والمستوصلة
.Artinya : Ada seorang wanita bertanya kepada Rasulullah SAW : “Wahai Rasulullah, anak gadis saya terkena penyakit yang membuat rontok rambutnya dan saya hendak menikahkannya, apakah boleh saya sambung rambutnya?” Beliau bersabda: “Allah melaknat wanita penyambung rambut dan yang disambung rambutnya.(HR.Bukhari)7

Kesimpulan
1.Rebonding adalah termasuk dalam tindakan merubah ciptaan Allah. Dengan demikian rebonding, hukumnya adalah haram sebagaiman Q.S. An-Nisaa’ : 119
2.Rebonding tetap haram meskipun untuk kecantikan ataupun untuk menyenangkan hati suami, dengan dikiaskan kepada hukum membuat tato, mencukur alis ataupun mengkikir gigi

DAFTAR PUSTAKA
1.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. III, Hal. 1678, No. Hadits : 2125
2.Nawawi, Syarah Muslim, Dar Ihya al-Turatsi al-Araby, Beirut, Juz. XIV, Hal 106-107
3.Al-Bakri ad-Damyathi, I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 340
4.Syekh Muda Wali al-Khalidy, al-Fatawa, Nusantara, Bukit Tinggi, hal. 6
5.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. VII, Hal. 165, No. Hadits : 5934
6.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. III, Hal. 1677, No. Hadits : 2123
7.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. VII, Hal.166, No.Hadits :5941

Ghayatul Wushul (terjemahan & penjelasannya), masalah baik dan jahat, hal. 7

( وَعِنْدَنَا ) ايها الاشاعرة ( أَنَّ الْحُسْنَ وَالْقُبْحَ ) لشئ ( بِمَعْنَىْ تَرَتُّبِ ) المدح و( الذَّمِّ حَالاً ) والثواب ( والْعِقَابِ مَآلاً )كحسن الطاعة وقبح المعصية ( شَرْعِيَّانِ ) أى لا يحكم بهما الا الشرع المبعوث به الرسل أى لايدرك الا به ولايؤخذ الا منه اما عند المعتزلة فعقليان أى يحكم بهما العقل بمعنى انه طريق الى العلم بهما يمكن إدراكه به من غير ورود سمع لما فى الفعل من مصلحة أومفسدة يتبعها حسنه أوقبحه عند الله أى يدرك العقل ذلك اما بالضرورة كحسن الصدق النافع وقبح الكذب الضار أوبالنظر كحسن الكذب النافع وقبح الصدق الضار وقيل العكس والشرع يؤكد ذلك أو بإعانة الشرعى فيما خفى على العقل كحسن صوم آخر يوم من رمضان وقبح صوم أول يوم من شوال وتركت كالأصل المدح والثواب للعلم بهما من ذكر مقابلهما الأنسب بأصول المعتزلة اذ العقاب عندهم لايتخلف ولايقبل الزيادة والثواب يقبلها وان لم يتخلف ايضا وخرج بمعنى ترتب ما ذكر الحسن والقبح بمعنى ملائمة الطبع ومنافرته كحسن الحلو وقبح المر وبمعنى صفة الكمال والنقص كحسن العلم وقبح الجهل فعقليان أى يحكم بهما العقل اتفاقا( وَ ) عندنا ( أَنَّ شُكْرَ الْمُنْعِمِ ) وهو صرف العبد جميع ما انعم الله به عليه من السمع وغيره الى ما خلق له ( وَاجِبٌ بِالشَّرْعِ ) لا بالعقل فمن لم يبلغه دعوة نبى لا يأثم بتركه خلافا للمعتزلة
(Menurut kita) hai pengikut Asy’ary , (sesungguhnya baik dan buruk) sesuatu (dengan makna terjadi ) pujian dan (celaan pada saat ini) serta pahala (dan siksaan pada saat akan datang) seperti baik ta’at dan buruk maksiat (keduanya adalah syar’i), artinya tidak ditetapkan baik dan buruk kecuali oleh syara’ yang diutus rasul dengan sebabnya. Yaitu tidak didapati hukum kecuali dengan syara’ dan tidak dipahami hukum kecuali dari syara’. Adapun Mu’tazilah berpendapat bahwa baik dan buruk, keduanya adalah ‘aqli, (1) yaitu baik dan buruk ditetapkan oleh akal dengan makna, akal merupakan jalan untuk mengetahui baik dan buruk, dimana akal mungkin mengetahuinya tanpa datang berita, karena kemaslahatan dan keburukan yang ada pada suatu perbuatan diikuti oleh baik dan buruk di sisi Allah. Artinya akal mengetahui hal demikian adakalanya dengan dharurah (mudah) seperti baik benar yang bermanfa’at dan buruk dusta yang mudharat dan adakalanya dengan adanya pendalaman berpikir seperti baik dusta yang bermanfa’at dan buruk benar yang mudharat. Dikatakan, sebaliknya. Sedangkan syara’ menguatkannya. Adakalanya akal mengetahuinya dengan pertolongan syara’ dalam hal perkara-perkara yang tersembunyi bagi akal, seperti baik puasa pada hari terakhir Ramadhan dan buruk puasa pada hari pertama bulan syawal. Saya, sama halnya dengan Asal meninggalkan perkataan “madh” dan “tsawab” karena sudah maklum dengan menyebut lawannya dan untuk menyesuaikan dengan ushul Mu’tazilah. Karena menurut mereka, siksaan tidak akan menyalahi dan tidak menerima penambahan. Sedangkan pahala menerimanya, meskipun tidak menyalahi juga. Dengan perkataan “dengan makna terjadi yang telah disebutkan” keluarlah baik dan buruk dengan makna sesuai dengan tabi’at dan tidak sesuai dengannya seperti baik manis dan buruk pahit dan dengan makna sifat sempurna dan kurang seperti baik ilmu dan buruk bodoh, maka keduanya itu adalah ‘akli,artinya ditetapkan oleh akal dengan sepakat.
(Dan) menurut pendapat kita, (bersyukur kepada yang memberi nikmat) yaitu penggunaan sihamba sekalian nikmat yang diberi Allah kepadanya kepada tujuan diciptakannya (wajib dengan syara’), tidak dengan sebab akal. Maka barangsiapa tidak sampai kepadanya dakwah Nabi, maka tidak berdosa ia meninggalkan syukur,(2) khilaf dengan Mu’tazilah.
Penjelasan
(1) Menurut al-Zarkasyi dalam Bahr al-Muhith, pembahasan ini memunculkan tiga mazhab, Pertama, pendapat Asy’ary : baik dan buruk, pahala dan siksa adalah syar’i. Kedua, pendapat Mu’tazilah : baik dan buruk, pahala dan siksa adalah ‘aqli. Ketiga, baik dan buruk sesuatu ditetapkan dengan akal. Sedangkan masalah pahala dan siksa tergantung kepada datang syara’. Akal menetapkan sesuatu dengan baik dan buruk sebelum datang syara’, tetapi tidak diberikan atasnya pahala dan siksa. Pendapat terakhir ini merupakan yang dipegang kebanyakan mutaakhirun ushuliyun dan ahli ilmu kalam.1
(2) Kalangan Ahlussunnah sepakat bahwa ahli fatarah yaitu orang-orang yang berada antara zaman Nabi Ismail a.s. dan Nabi Muhammad SAW tidak ditaklif dengan furu’ syari’at. Tetapi mereka berbeda pendapat mengenai kewajiban beriman dan bertauhid atas ahli fatarah,. Imam Nawawi berpendapat diazab ahli fatarah apabila meninggalkan iman dan tauhid, karena pernah datang rasul kepada mereka seperti Ibrahim dan lainnya, meskipun tidak diutus kepada mereka. Kebanyakan pengikut Asya’ri, baik dari kalangan mutakallimin, ushuliyun dan fuqaha Syafi’iyah berpendapat sebaliknya, mereka berpendapat ahli fatarah tidak diazab karena meninggalkan iman dan tauhid. Adapun hadits yang menyatakan ahli fatarah mendapat azab adalah hadits ahad. Sedangkan hadits ahad tidak dapat disebandingkan dengan dalil-dalil qath’i yang menjelaskan bahwa ahli fatarah tidak diazab karena meninggalkan iman dan tauhid.2

DAFTAR PUSTAKA
1.Al-Jauhari, Hasyiah ‘ala Ghayatul Wushul, dicetak dalam Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 7
2.Al-Banany, Hasyiah al-Banany ‘ala Syarah Jam’ al-Jawami’, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 62-63

Minggu, 01 Mei 2011

Hukum memanfaatkan agunan gadai

Gadai (rahn) adalah menjadikan benda (harta) yang boleh djual sebagai jaminan utang yang dapat dibayar dengannya ketika hutang tidak dapat ditunai.1 Berdasarkan devinisi di atas, dipahami bahwa agunan merupakan harta yang dijadikan jaminan utang (pinjaman) agar bisa dibayar dengan harganya oleh pihak yang wajib membayarnya, jika dia gagal (berhalangan) menunaikannya. Gadai disyariatkan dalam Islam, sesuai dengan firman Allah :
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ
Artinya : Jika kalian dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sementara kalian tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).(Q.S. al-Baqarah : 283).

dan hadits Nabi SAW :
اشْتَرَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا بِنَسِيئَةٍ وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ
Artinya : Rasulullah SAW pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo (kredit) dan beliau mengagunkan baju besinya.”(HR Bukhari).2

Akad ar-rahn merupakan tawtsîq bi ad-dayn, yaitu agar al-murtahin percaya untuk memberikan utang (pinjaman) atau bermuamalah secara tidak tunai dengan ar-râhin. Tentu saja itu dilakukan pada saat akad utang (pinjaman) atau muamalah kredit. Pemberi pinjaman (murtahin) tidak boleh mengambil manfaat atas barang agunan tersebut. Lebih jelasnya berikut adalah pendapat ulama mengenai hukum pemanfaatan agunan gadai oleh pemberi pinjaman (murtahin)
1.Berkata Imam Nawawi :
“Jika syarat tersebut memberi manfaat kepada pemberi pinjaman dan memudharatkan peminjam, seperti syarat manfaat agunan atau kelebihannya untuk pemberi pinjaman, maka batal syarat dan demikian juga akad gadai menurut pendapat yang lebih dhahir”.3
2.Berkata al-Bakri ad-Damyathi :
“Sesungguhnya manfaat agunan seperti mendiami rumah dan menggunakan kenderaan adalah hak sipemimjam.”4

Pendapat di atas berdasarkan dalil antara lain :
1. Hadits Nabi SAW :
لَا يَغْلَقُ اَلرَّهْنُ مِنْ صَاحِبِهِ اَلَّذِي رَهَنَهُ, لَهُ غُنْمُهُ, وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ
Artinya : Agunan itu tidak boleh dihalangi dari pemiliknya yang telah mengagunkannya. Ia berhak atas kelebihan (manfaat)-nya dan wajib menanggung kerugian (penyusutan)-nya.”(H.R. Daraquthni dan Hakim)5

Mengomentari hadits di atas, Darulquthni mengatakan :
“Isnad ini hasan dan muttashil (bersambung)”6

3.Hadits Nabi SAW :
كل قرض جر منفعة فهو ربا
Artinya : Setiap utang yang memberlakukan manfaat adalah riba.

Menurut penjelasan Zainuddin al-Malibary, hadits ini dha’if, namun dikuatkan dengan datang maknanya dari satu jama’ah dari sahabat.7 Menurut keterangan pengarang kitab Nihayah hadits ini marfu’ tetapi dengan sanad dha’if. Tetapi al-Imam dan al-Ghazali telah mentashihkan marfu’nya. Baihaqi meriwayat maknanya dari satu jama’ah para sahabat.8

DAFTAR PUSTAKA
1.Zainuddin al-Malibary, Fath al-Mu’in, dicetak pada hamisy I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal.54
2.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. III, Hal. 62, No. Hadits : 2096
3.An-Nawawi, Minhaj at-Thalibin, dicetak pada hamisy Hasyiah Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal.261
4.Al-Bakri ad-Damyathi, I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal.57
5.Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulugh al-Maram, Hal.183
6.Imam al-Nawawi, Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. XIII, Hal. 228
7.Zainuddin al-Malibary, Fath al-Mu’in, dicetak pada hamisy I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz.III, Hal.53
8.Al-Bakri ad-Damyathi, I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz.III, Hal.53

Hukum bersalaman dengan wanita

Muhammad Amin al-Kurdy, salah tokoh ulama dalam mazhab Syafi’i mengatakan bahwa bersalaman dengan wanita yang bukan muhrimnya dengan tanpa lapik adalah haram.1 Fatwa beliau tersebut berdasarkan hadist di bawah ini :
1.Hadits riwayat Ma’qal bin Yasar, Rasulullah SAW bersabda :
لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ
Artinya : Sekiranya kepala seorang dari kamu ditusuk dengan jarum dari besi, hal itu lebih baik baginya dari pada dia menyentuh wanita yang tidak halal untuknya. (H.R. Al-Thabrany, Berkata al-Haitsamy : Perawinya shahih. Al-Munziry mengatakan : perawinya terpercaya)2

2.Rasulullah SAW tidak pernah bersalaman dengan wanita yang tidak halal baginya berdasarkan hadits riwayat Aisyah, beliau berkata :
لَا وَاللَّهِ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَ امْرَأَةٍ قَطُّ.
Artinya : Demi Allah tangan Rasulullah SAW tidak pernah menyentuh tangan seorang perempuanpun. (H.R. Bukhari)3

DAFTAR PUSTAKA
1.Muhammad Amin al-Kurdy,, Tanwirul Qulub, Thaha Putra, Semarang, Hal. 199
2.Al-Manawy, Faidh al-Qadir, Mauqa’ al-Ya’sub, Juz. V, Hal. 329, No. Hadits : 7216
3.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. VII, Hal. 49, No. Hadits : 5288