A. Pengertian bid’ah
Sebagian umat Islam ada yang mengatakan bahwa tepung tawar/peusijeuk merupakan amalan bid’ah yang tidak pernah ada contoh dari Nabi SAW dan sahabatnya. Sedangkan bid’ah tidak ada kecuali bid’ah sesat yang diharamkan dalam agama. Oleh karena itu, tepung tawar/peusijeuk ini diharamkan dalam agama. Untuk menjawab tuduhan ini, perlu ada pembahasan lebih dahulu mengenai apa itu bid’ah dan pembagiannya berdasarkan dalil-dalil syara’ yang menjadi pegangan umat Islam.
Perkataan bid’ah secara lughawi (bahasa) menunjukkan arti penciptaan sesuatu yang baru yang tidak ada contoh sebelumnya. Dalam Kamus Mukhtar al-Shihah disebutkan,
“abda’a al-syai’, artinya mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya”.
Ibnu Faris dalam Kamus Mu’jam Maqayis al-Lughat mengatakan :
“Huruf baa’ daal dan ‘ain ada dua asal, salah satunya memulai dan menciptakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya”.
Pengertian tersebut di atas didapati pada antara lain :
1. Firman Allah, Q.S. al-An’am : 101 ;
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَنَّى يَكُونُ لَهُ وَلَدٌ وَلَمْ تَكُنْ لَهُ صَاحِبَةٌ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya : Dia (Allah) adalah Pencipta langit dan bumi, bagaimana Dia mempunyai anak, padahal Dia tidak mempunyai isteri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.(Q.S. al-An’am : 101)
Lafazh “Badii’” pada ayat di atas menunjukkan bahwa Allah sebagai pencipta langit dan bumi tanpa ada contoh sebelumnya.
2. Firman Allah, Q.S. al-Ahqaf : 9 ;
قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ
Artinya : Katakanlah: "Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara Rasul-rasul (Q.S. al-Ahqaf; 9)
Lafazh “bid’an minarrasul” pada ayat di atas, mengandung arti yang pertama dari rasul-rasul. Artinya, tidak ada rasul sebelumnya. Jadi, maksud ayat di atas adalah Muhammad bukanlah rasul yang pertama yang pernah diturunkan Allah, tetapi pernah ada rasul-rasul yang diutus-Nya sebelumnya.
3. Perkataan orang Arab ;
ابتدع فلان بدعة
ِِArtinya : Si Fulan membuat perkara yang baru (bid'ah).
Dengan arti ia membuat suatu tatanan (cara)yang tidak dibuat oleh orang sebelumnya.1
4.Perkataan orang Arab ;
هذا أمر بديع
ِArtinya : Ini adalah perkara yang mengagumkan
Sebuah ungkapan yang ditujukan untuk sesuatu yang paling baik, yang tidak ada yang lebih baik darinya dan seakan-akan sebelumnya pun tidak ada yang sepertinya atau yang serupa dengannya.2
Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa semua perkara baru yang belum pernah ada sebelumnya, dinamakan sebagai bid'ah secara bahasa.
Adapun dalam pembahasan fiqh, berdasarkan keterangan para ulama setelah ini, dapat disimpulkan bahwa bid’ah terbagi dua, yaitu :
1.Bid’ah hasanah,
Yaitu : Amalan yang tidak ada contoh dari Nabi SAW tetapi mempunyai dalil umum atau qaidah agama lainnya yang mendukungnya. Bid’ah ini diterima amalannya.
2.Bid’ah dhalalah,
Yaitu :Amalan yang tidak ada contoh dari Nabi SAW dan tidak ada dalil umum atau qaidah agama lainnya yang mendukungnya. Bid’ah ini tidak diterima amalannya
B. Pendapat ulama mengenai amalan yang tidak ada contoh sebelumnya dari Nabi SAW
Berikut keterangan ulama mengenai kedudukan amalan yang tidak contoh dari Nabi SAW, selanjutnya amalan ini disebut dengan bid’ah, antara lain :
1.Imam Syafi’i membagi bid’ah kepada dua macam sebagaimana pernyataan beliau :
“Setiap perbuatan yang diadakan kemudian dan menyalahi kitab, sunnah, ijmak dan atsar adalah bid’ah yang sesat dan setiap perbuatan yang baik diadakan kemudian, tidak menyalahi sesuatupun dari demikian adalah bid’ah terpuji” 3.
2.Ibnu Mulaqqan mengatakan :
“Bid’ah adalah mengada-adakan sesuatu yang tidak ada sebelumnya. Maka yang menyalahi sunnah adalah bid’ah dhalalah dan yang sepakat dengan sunnah adalah bid’ah al-hudaa (terpetunjuk/benar).4
3.Syaikh Abu Muhammad bin Abdussalam dalam Kitabnya, al-Qawa’id membagi bid’ah dalam lima pembagian, yaitu : wajib, haram, makruh, mustahabbah dan mubah. Sayyed ad-Dimyathi setelah mengutip pernyataan Ibnu Abdussalam di atas, memberikan contoh-contoh bid’ah, yaitu sebagai berikut : contoh wajib : membukukan al-Qur’an dan syari’at apabila dikuatirkan hilang, contoh haram : bid’ah-bid’ah yang dilakukan oleh orang-orang dhalim seperti memungut pajak, contoh makruh : menghiasi mesjid dan mengkhususkan ibadah malam hanya malam Jum’at, contoh mustahabbah : melaksanakan Shalat Tarawih dengan berjama’ah, membangun perkumpulan dan madrasah-madrasah dan contoh mubah : berjabatan tangan setelah Shalat Subuh dan Ashar. 5 Pembagian model Abdussalam ini, bid’ah dikelompokkan sesuai dengan hukum syara’, yaitu wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah. Pembagian ini apabila kita perkecilkan, maka kelompok bid’ah haram, makruh, masuk dalam kelompok bid’ah dhalalah. Sedangkan kelompok bid’ah sunnah, mubah dan wajib, masuk kelompok bid’ah hasanah. Intinya, pembagian ini mengakui adanya bid’ah dhalalah dan bid’ah hasanah. Pembagian bid’ah seperti yang dilakukan oleh Abdussalam di atas juga dilakukan Imam an-Nawawi dalam Syarah Muslim. 6
4.Ibnu Hajar al-Haitamy dalam Fath al-Mubin berpendapat amalan yang tidak ada contoh dari Nabi SAW dapat diterima amalannya, asalkan ada dalil syara’ yang bersifat umum mendukungnya. Beliau mengatakan :
“Adapun yang tidak bertentangan dengan agama, yakni yang didukung oleh dalil syara’ atau qawaid syara’ maka tidak tertolak pelakunya, bahkan amalannya diterima”. 7
5.Senada dengan pendapat Ibnu Hajar al-Haitamy di atas adalah pendapat Al-Manawy, beliau mengatakan :
“Adapun yang ada azhidnya yakni didukung oleh dalil atau qaidah syara’, maka tidak tertolak bahkan amalannya diterima misalnya membangun seperti organisasi dan madrasah, mengarang ilmu pengetahuan dan lain-lain.”8
6.Badruddin al-‘Aini dari kalangan Mazhab Hanafi mengatakan :
“Bid’ah terbagi dua, jika termasuk dalam katagori baik pada syara’ , maka bid’ah hasanah dan jika termasuk dalam katagori keji pada syara’, maka bid’ah mustaqbihah (keji) 9
7.Dr. Wahbah al-Zuhaili (ulama Timur Tengah yang cukup terkenal pada zaman sekarang) mengatakan :
“Setiap bid’ah yang terjadi dari makhluk, tidak terlepas dari bahwa adakala ia ada dalilnya pada syara’ atau tidak ada dalilnya. Jika ada dalil pada syara’, maka ia termasuk dalam umum yang dianjurkan Allah dan Rasul-Nya kepadanya. Oleh karena itu, ia termasuk dalam katagori terpuji, meskipun yang sama dengannya tidak pernah ada sebelumnya seperti yang termasuk dalam katagori kebaikan, dermawan dan perbuatan ma’ruf. Maka semua perbuatan ini termasuk perbuatan terpuji, meskipun tidak ada yang melakukannya sebelumnya. Didukung ini oleh perkataan Umar r.a. “sebaik-baik bid’ah adalah ini” dengan sebab ini termasuk dalam katagori perbuatan baik dan katagori terpuji. Dan jika ia masuk dalam katagori menyalahi apa yang diperintah Allah dan Rasul-Nya, maka ia termasuk dalam katagori tercela dan ingkar. 10
C. Dalil bid’ah terbagi kepada hasanah dan dhalalah
1.Firman Allah
وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا فَآَتَيْنَا الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْهُمْ أَجْرَهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
Artinya : Dan Kami jadikan dalam hati orang- orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik.(Q.S. al-Hadid : 27)
Rahbaniyah adalah sikap meninggalkan kehidupan dunia dengan menjauhi perempuan dan menetap dalam gereja.11 Pada ayat di atas, Allah Ta’ala memberikan pahala kepada orang-orang beriman diantara mereka, yakni orang-orang yang melakukan bid’ah dengan melakukan rahbaniyah dan memeliharanya dengan semestinya. Penafsiran seperti ini dapat kita lihat antara lain dalam Tafsir al-Shawy, beliau mengatakan :
“Firman Allah Ta’ala “rahbaniyah ibtatada’uuha” maksudnya adalah orang-orang yang shaleh diantara mereka melakukan bid’ah dengan melakukan rahbaniyah. “Lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya”, yakni orang lain yang datang setelah mereka. “Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya”, yakni orang-orang yang melakukan bid’ah rahbaniyah karena mencari keredhaan Allah. “Dan banyak di antara mereka orang-orang fasik”, yakni orang-orang yang datang setelah mereka. 12
Menurut penjelasan Tafsir al-Shawy di atas, bid’ah yang dilakukan oleh orang-orang Nashrani yaitu bid’ah rahbaniyah justru mendapat pahala dari Allah Ta’ala karena dilakukan dengan keikhlasan mencari redha dari Allah. Ta’ala. Allah Ta’ala hanya mencela sekelompok orang dari mereka yang tidak memelihara bid’ah itu dengan pemeliharaan yang semestinya, yaitu menambahnya dengan trinitas, kekufuran dan lain-lain. Penafsiran yang serupa dapat kita perhatikan dari penafsiran yang dikemukakan oleh Abubakar al-Jashas, yaitu :
“Allah memberitakan tentang bid’ah yang mereka lakukan yaitu qurbah dan rahbaniyah, kemudian Allah mencela mereka karena meninggalkan pemeliharaan bid’ah itu dengan semestinya melalui firman Allah “Famaa ra’auha haqqa ri’ayatiha”.
Selanjutnya Abubakar al-Jashas mengutip sebuah hadits sebagai pendukung penafsirannya tersebut, yaitu riwayat dari Abi Umamah al-Bahily, beliau berkata :
“Orang-orang Bani Israil melakukan bid’ah yang tidak diwajibkan oleh Allah atas mereka hanya karena mereka mencari keredhaan Allah. Lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya, maka Allah mencela mereka dengan sebab meninggalkan pemeliharaan bid’ah tersebut.” 13
Berdasarkan penafsiran ahli tafsir di atas, dapat dipahami bahwa apa yang disebut dengan bid’ah itu tidak selamanya tercela, tetapi sebagiannya justru ada yang dianggap baik, bahkan mendapat pahala dari Allah Ta’ala sebagaimana kisah Bani Israil yang termaktub dalam firman Allah Surat al-Hadid di atas.
2. Hadits riwayat Aisyah, Rasulullah SAW bersabda :
من أحدث في أمرنا هذا ماليس منه فهو رد
Artinya : Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu (amalan) dalam urusan (agama) kami yang bukan dari agama kami, maka (amalan) itu tertolak.(H.R. Bukhari 14 dan Muslim 15 )
Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan bahwa makna “maa laisa minhu” (sesuatu yang bukan dari agama kami) adalah sesuatu yang bertentangan dengan agama atau tidak didukung oleh qawaid agama atau dalil-dalil agama yang bersifat umum. Dalam uraian beliau selanjutnya, beliau berkata :
“Adapun yang tidak bertentangan dengan agama, yakni yang didukung oleh dalil syara’ atau qawaid syara’ maka tidak tertolak pelakunya, bahkan amalannya diterima”.16
Mafhum mukhalafah yang dipahami oleh Ibnu Hajar al-Haitamy dari hadits di atas itulah yang dimaksud dengan bid’ah hasanah dalam pembahasan di sini. Dengan demikian, hadits di atas dapat menjadi dalil adanya bid’ah hasanah. Penjelasan serupa tentang pengertian perkataan “maa laisa minhu” pada hadits di atas, juga disampaikan Al-Manawy, beliau mengatakan :
“Artinya adalah suatu pemikiran yang tidak ada ‘azhid (sokongan) yang dhahir atau tersembunyi dari al-Kitab atau as-Sunnah, baik dalam bentuk lafazh maupun hasil istinbath”.
Selanjutnya beliau berkata :
“ Adapun yang ada azhid-nya yakni didukung oleh dalil atau qaidah syara’, maka tidak tertolak bahkan amalannya diterima misalnya membangun seperti organisasi dan madrasah, mengarang ilmu pengetahuan dan lain-lain.” 17
Ibnu al-Mulaqqan dalam memaknai hadits di atas mengatakan :
”Makna hadits adalah barangsiapa yang mengada-adakan pada syara’ sesuatu yang tidak didukung oleh dalil dari dalil-dalil agama, maka tidak boleh diamalkannya dan tidak melihat kepadanya.” 18
Dipahami dari penafsiran Ibnu Mulaqqan di atas, maka bid’ah yang ditolak adalah bid’ah yang tidak ada dalil dari dalil-dalil agama. Adapun bid’ah yang didukung oleh dalil agama, maka tidak ditolak berdasarkan hadits tersebut, bahkan dapat diterima jika dipahami dari mafhum mukhalafahnya.
3.Sabda Rasulullah SAW :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Artinya : Barangsiapa yang mengamalkan sebuah amalan yang tidak berdasarkan agama kami, maka tertolak (H.R. Muslim) 19
Pengertian hadits ini sama dengan pengertian hadits tersebut pada point kedua di atas. Pemahaman adanya bid’ah hasanah dari mafhum mukhalafah dua hadits di atas, juga didukung oleh hadits tersebut dibawah ini.
4.Sabda Rasulullah SAW
مَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بعده مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئ
Artinya : Barangsiapa yang membuat sunnah yang baik dalam Islam, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun. (HR Muslim) 20
Dalam mengomentari hadits di atas, Imam Nawawi mengatakan :
“Pada hadits tersebut ada ajakan sungguh-sungguh memulai melakukan perbuatan kebaikan, melakukan sunnah yang baik dan menjauhi mengada-ada yang bathil dan keji.”
Selanjutnya beliau berkata :
“Hadits ini mengkhususkan sabda Rasulullah SAW ;
كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
dan pengertian hadits tersebut adalah muhdats yang bathil dan bid’ah yang tercela.”21
Al-Nawawi telah menjadikan hadits riwayat Muslim yang tersebut pada dalil keempat di atas, sebagai pen-takhshis (yang mengkhususkan) hadits “semua bid’ah adalah sesat”. Dengan demikian, beliau telah menafsirkan perkataan “sunnah hasanah” pada hadits riwayat Muslim tersebut sebagai bid’ah hasanah.
Al-Sanadi, salah seorang tokoh ulama Mazhab Hanafi, setelah menjelaskan bahwa pengertian “sunnah hasanah” dalam hadits tersebut adalah jalan yang diridhai serta dijadikan sebagai pedoman, beliau membedakan antara sunnah yang baik dengan sunnah yang keji dengan mengatakan :
Perbedaan antara yang baik dengan yang keji adalah sesuai dengan ushul syara’ atau tidak sesuai” 22
Dengan kata lain, al-Sanadi ingin menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ”sunnah hasanah” dalam hadits tersebut adalah bid’ah hasanah. Karena pengertian bid’ah hasanah adalah sesuatu yang sesuai dengan ushul syara’, meskipun detilnya tidak ada contoh dari Nabi SAW dan sedangkan bid’ah dhalalah adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan ushul syara’.
Namun demikian, ada sekelompok umat Islam, dalam rangka menolak bid’ah hasanah, mereka mengartikan “sunnah” pada hadits tersebut adalah sunnah Nabi SAW yang sudah pernah dilupakan ummat. Sehingga makna hadits tersebut lengkapnya adalah :
“Barangsiapa yang menghidupkan sunnahku yang baik dalam Islam (yang sudah dilupakan ummat), maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun”
Jadi, pengertian hadits tersebut bukanlah membuat bid’ah yang baru, tetapi hanya menghidupkan kembali sunnah Nabi SAW yang sudah dilupakan orang. Pemahaman seperti ini jelas nampak keliru apabila ada keinginan memperhatikan dengan sebaik-baiknya argumentasi di bawah ini, antara lain :
a.Pemahaman tersebut khilaf dhahir hadits. Memahami nash syara’ menurut dhahirnya adalah wajib sebagaimana dimaklumi dalam ushul fiqh, kecuali ada qarinah (keadaan) yang memalingkannya
b.Pemahaman tersebut bertentangan dengan dalil-dalil yang telah disebut sebelum dan sesudah ini
c.Pemahaman tersebut akan menjadi rancu apabila dihadapkan kepada penggalan kedua dari hadits tersebut. Lengkapnya hadits tersebut dengan penggalan keduanya sebagaimana terdalam Shahih Muslim adalah sebagai berikut :
مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ
Apabila kita mengikuti pemahaman bahwa maksud hadits tersebut adalah menghidupkan kembali sunnah Nabi SAW yang sudah dilupakan orang, maka makna “sunnah” pada penggalan kedua dari hadits tersebut juga bermakna sama. Sehingga makna hadits tersebut, lengkapnya kurang lebih sebagai berikut :
“Barangsiapa yang menghidupkan sunnahku yang baik dalam Islam (yang sudah dilupakan ummat), maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun dan barangsiapa yang menghidupkan sunnahku yang keji dalam Islam, maka ia akan mendapatkan dosanya dan dosa orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi dosa mereka sedikitpun
Ini tentunya sama halnya dengan menuduh Nabi SAW mempunyai dua sunnah, yaitu sunnah yang baik dan sunnah yang keji. Padahal itu tidak mungkin terjadi pada Nabi SAW. Oleh karena itu, berdasarkan ini dan dalil-dalil sebelumnya dapat disimpulkan bahwa pemahaman sekelompok umat Islam tersebut terhadap hadits tersebut adalah keliru.
5.Sabda Nabi SAW :
ومن ابتدع بدعة ضلالة لا ترضي الله ورسوله كان عليه مثل آثام من عمل بها لا ينقص ذلك من أوزار الناس شيئا
Artinya : Barangsiapa yang melakukan bid’ah dhalalah, maka Allah dan Rasul-Nya tidak akan merestuinya dan ia akan ditimpa dosa sebagaimana dosa orang yang ikut melakukannya dengan tidak mengurangi dosa manusia sedikitpun. (H.R. Turmidzi, beliau mengatakan : Ini hadits hasan) 23
Yang dicela dalam hadits ini adalah bid’ah yang disebut dengan sifat dhalalah. Mafhum mukhalafah-nya, bid’ah yang tidak bersifat dengan dhalalah, yaitu bid’ah hasanah merupakan perbuatan tidak tercela.
6.Pengakuan Rasulullah SAW terhadap perbuatan atau perkataan sahabat yang dilakukan atau dikatakan oleh sahabat tanpa bersandar kepada dalil khusus dari al-Kitab atau al-Sunnah.
Penjabaran pernyataan di atas adalah seorang sahabat Rasulullah SAW melakukan (meng-ihdats) suatu tindakan dalam ibadah tanpa menyandarkan kepada dalil khusus, baik dari al-Qur’an maupun dari hadits, kemudian Rasulullah SAW mengetahui kasus tersebut, beliau diam atau mengatakan sesuatu yang menunjukkan bahwa beliau merestui tindakan tersebut. Pengakuan Rasulullah SAW ini menunjukkan adanya bid’ah hasanah, karena tindakan sahabat yang direstui oleh Rasulullah SAW tersebut meskipun tanpa mempunyai dalil khusus, tetapi didukung oleh dalil atau qawaid agama yang bersifat umum. Tindakan sahabat Nabi SAW yang termasuk katagori ini antara lain :
1). Hadits riwayat Rifa’ah bin Rafi’ al-Zarqy, beliau berkata :
كنا يوما نصلي وراء النبي صلى الله عليه وسلم، فلما رفع رأسه من الركعة، قال: سمع الله لمن حمده. قال رجل وراءه: ربنا ولك الحمد، حمدا طيبا مباركا فيه. فلما انصرف، قال: من المتكلم قال: أنا، قال: رأيت بضعة وثلاثين ملكا يبتدرونها، أيهم يكتبها أول.
Artinya : Dari Rifa’ah bin Raafi’ al-Zarqi, beliau berkata : “Pada suatu hari, kami shalat dibelakang Nabi SAW. Manakala Rasulullah mengangkat kepalanya dari rukuk, beliau berkata : “Sami’allahu liman hamidah, lalu berkata seorang laki-laki di belakang beliau : “Rabbana wa lakalhamdu hamdan thaiban mubarakan fiihi. Tatkala Rasulullah selesai (dari shalatnya) bertanya : “Siapa yang berkata tadi ?. Laki-laki itu menjawab : “Saya”. Rasulullah bersabda : “Aku melihat tiga puluh orang lebih malaikat yang berebutan pertama kali menulis amalnya”. (H.R. Bukhari) 24
Berkata Ibnu Hajar al-Asqalany :
“Dijadikan dalil dengan hadits tersebut, kebolehan mengihdats (mendatangkan dengan tanpa ada contoh sebelumnya) zikir yang tidak ma’tsur dalam shalat apabila zikir itu tidak bertentangan dengan zikir yang ma’tsur”. 25
Mendatangkan dalam shalat zikir yang tidak bertentangan dengan yang ma’tsur merupakan bid’ah hasanah. Sebaliknya zikir yang bertentangan dengan yang ma’tsur, termasuk bid’ah dhalalah. Karena bid’ah dhalalah merupakan sesuatu yang diada-adakan serta bertentangan dengan dalil-dalil agama.
2). Hadits Anas, beliau berkata :
أن رجلا جاء فدخل الصف وقد حفزه النفس. فقال:الحمد لله حمدا كثيرا طيبا مباركا فيه. فلما قضى رسول الله صلى الله عليه وسلم صلاته قال: "أيكم المتكلم بالكلمات؟" فأرم القوم. فقال "أيكم المتكلم بها؟ فإنه لم يقل بأسا" فقال رجل: جئت وقد حفزني النفس فقلتها. فقال "لقد رأيت اثني عشر ملكا يبتدرونها. أنهم يرفعها.
Artinya : Dari Anas, beliau berkata : “Seorang laki-laki tiba memasuki shaf (shaf shalat) dengan tersengal-sengal napasnya, lalu berkata : “Alhamdulillah hamdan katsiran thayiban mubaarakan fiihi. Manakala Rasulullah SAW selesai dari shalatnya, beliau bertanya : “Siapakah diantara kamu yang berbicara dengan beberapa kalimat ?” semua orang terdiam. Rasulullah bertanya lagi : “Siapakah diantara kamu yang berbicara dengan beberapa kalimat ?”. Tidak ada yang menjawab seorangpun. Maka berkata seorang laki-laki : “Aku tiba dengan tersengal-sengal napasku, karena itu aku katakan kalimat itu”. Maka Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya aku telah melihat dua belas orang malaikat berebutan mengangkatnya (pahalanya)”(H.R. Muslim)26
Rasulullah SAW tidak mencela sahabatnya mengucapkan Alhamdulillah hamdan katsiran thayiban mubaarakan fiihi dalam shalatnya, bahkan beliau memujinya, padahal ucapan tersebut tidak disandarkan kepada dalil khusus, baik al-Qur’an maupun al-Sunnah pada saat itu. Hal ini karena tindakan sahabat tersebut masuk dalam dalil atau qawaid agama yang bersifat umum. Ini menunjukkan adanya bid’ah hasanah.
3). Hadits Ibnu Umar, beliau berkata :
بينما نحن نصلي مع رسول الله صلى الله عليه وسلم إذ قال رجل من القوم: الله أكبر كبيرا. والحمد لله كثيرا. وسبحان الله بكرة وأصيلا. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم "من القائل كلمة كذا وكذا؟" قال رجل من القوم: أنا. يا رسول الله! قال "عجبت لها. فتحت لها أبواب السماء".قال ابن عمر: فما تركتهن منذ سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول ذلك
Artinya : Dari Ibnu Umar, beliau berkata : “Manakala kami shalat bersama Rasulullah SAW, berkata seorang laki-laki yang berasal dari suatu kaum : “Allahu Akbar kabiiraa walhamdulillah katsiraa wa subhanallah bukratan wa ashilaa”, Rasulullah SAW bertanya : “Siapa yang mengatakan kalimat seperti ini dan seperti ini ?. laki-laki dari kaum itu menjawab : “Aku Ya Rasulullah” Rasulullah bersabda : “Aku kagum karenanya, mudah-mudahan dibuka pintu langit untuknya”. Ibnu Umar berkata : “Aku tidak meninggalkannya selama setelah aku mendengar Rasulullah SAW mengatakan yang demikian”.(H.R. Muslim)27
Ucapan “Allahu Akbar kabiiraa walhamdulillah katsiraa wa subhanallah bukratan wa ashilaa”, diucapkan oleh seorang sahabat Rasulullah SAW dalam shalat tanpa menyandarkan kepada al-Kitab dan al-Sunnah. Namun ucapan tersebut mendapat pujian dari Rasulullah SAW, beliau mengatakan :
“Aku kagum karenanya, mudah-mudahan dibuka pintu langit untuknya”
Dengan demikian, peristiwa yang tersebut dalam hadits di atas menunjukkan kepada adanya bid’ah hasanah.
4) Kisah Bilal, salah seorang sahabat Nabi SAW yang selalu melakukan shalat dua rakaat setelah bersuci sebagaimana disebut dalam Shahih Bukhari. Perbuatan ini disetujui oleh Rasulullah SAW dan pelakunya diberi kabar gembira sebagai orang-¬orang yang lebih dahulu masuk surga, padahal perbuatan tersebut tidak ada contoh dari Nabi SAW sebelumnya. Riwayat tersebut adalah :
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : لِبِلاَلٍ عِنْدَ صَلاَةِ الْفَجْرِ يَا بِلاَلُ حَدِّثْنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي الإِسْلاَمِ فَإِنِّي سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي الْجَنَّةِ قَالَ مَا عَمِلْتُ عَمَلاً أَرْجَى عِنْدِي أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طُهُورًا فِي سَاعَةِ لَيْلٍ ، أَوْ نَهَارٍ إِلاَّ صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُورِ مَا كُتِبَ لِي أَنْ أُصَلِّيَ.
Artinya : Sesungguhnya Nabi SAW pernah bersabda kepada Bilal pada waktu Shubuh: "Hai Bilal, coba ceritakan kepadaku apa amalan yang paling disukai yang kamu kerjakan dalam Islam. Karena aku mendengar bunyi terompahmu di hadapanku di sorga.'' Bilal berkata; "Tidak ada amal yang paling di sukai di sisiku melainkan aku tidak bersuci (berwudhu’) pada satu sa’atpun pada malam atau siang kecuali aku shalat dengan kesucian itu sebagaimana telah ditentukan untukku."(H. R. Bukhari) 28
Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :
“Dipahami dari hadits tersebut kebolehan ijtihad mengenai waktu ibadah, karena Bilal telah melakukan apa yang telah kita sebutkan dengan istinbath beliau. Kemudian Nabi SAW membenarkannya.” 29
5). Hadits riwayat Bukhari tentang sahabat Khubaib yang melakukan shalat dua rakaat sebelum beliau dihukum mati oleh kaum kafir Quraisy, padahal shalat ini tidak ada contoh sebelumnya dari Nabi SAW sebagaimana digambarkan dalam riwayat di bawah ini :
فَلَمَّا خَرَجُوا بِهِ مِنَ الْحَرَمِ لِيَقْتُلُوهُ فِي الْحِلِّ قَالَ لَهُمْ خُبَيْبٌ دَعُونِي أُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ فَتَرَكُوهُ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ فَقَالَ وَاللَّهِ لَوْلاَ أَنْ تَحْسِبُوا أَنَّ مَا بِي جَزَعٌ لَزِدْتُ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ أَحْصِهِمْ عَدَدًا وَاقْتُلْهُمْ بَدَدًا ، وَلاَ تُبْقِ مِنْهُمْ أَحَدًا ثُمَّ أَنْشَأَ يَقُولُ. فَلَسْتُ أُبَالِي حِينَ أُقْتَلُ مُسْلِمًا عَلَى أَىِّ جَنْبٍ كَانَ لِلَّهِ مَصْرَعِي ، وَذَلِكَ فِي ذَاتِ الإِلَهِ وَإِنْ يَشَأْ يُبَارِكْ عَلَى أَوْصَالِ شِلْوٍ مُمَزَّعِ. ثُمَّ قَامَ إِلَيْهِ أَبُو سِرْوَعَةَ عُقْبَةُ بْنُ الْحَارِثِ فَقَتَلَهُ ، وَكَانَ خُبَيْبٌ هُوَ سَنَّ لِكُلِّ مُسْلِمٍ قُتِلَ صَبْرًا الصَّلاَةَ
Artinya : Ketika mereka keluar dari daerah Haram untuk membunuhnya di daerah Halal, Khubaib berkata kepada mereka: "Biarkanlah aku hendak shalat dua rakaat". Mereka membiarkan Khubaib dan dia shalat dua rakaat, kemudian berkata: "Seandainya kalian tidak menaruh sangkaan bahwa diriku tidak gelisah, niscaya aku berlama-lama shalat. Ya Allah, hitunglah mereka, dengan bilangan (yakni binasakanlah mereka semuanya). Aku tidak peduli, ketika aku terbunuh sebagai muslim, di lambung mana saja, di mana tergeletakku adalah karena Allah. Dan (pembunuhan) demikian adalah dalam Dzat Allah. Dan Bila Dia berkehendak niscaya Dia memberkati sendi-sendi badan yang terpotong-potong."Lalu Khubaib dibunuh oleh (Ugbah bin Harits). Dan adalah Khubaib (orang pertama) yang membuat sunah (amalan) shalat dua rakaat bagi setiap orang Islam yang hendak dibunuh dengan penahanan (diberi kesempatan).30
Khubaib r.a. seorang sahabat Nabi SAW, tentu tidak mungkin melakukan suatu amalan kalau memang amalan tersebut diharamkan. Bahkan beliau wafat sebagai seorang syuhada sebagaimana riwayat di bawah ini ;
Rasulullah SAW bersabda :
هو سيد الشهداء وهو رفيقي في الجنة
Artinya : Khubaib adalah penghulu syuhada dan kawanku dalam syurga”. 31
Namun demikian, tidak semua ihdats (bid’ah) sahabat diterima oleh Rasulullah SAW, tetapi ada juga yang beliau ingkarinya. Hal ini karena bertentangan dengan ruh dan qawaid agama yang bersifat umum. Ini dapat kita simak dari peristiwa antara lain :
1). Perkataan Abdullah bin ’Amr :
قَالَ لِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو بَلَغَنِى أَنَّكَ تَصُومُ النَّهَارَ وَتَقُومُ اللَّيْلَ فَلاَ تَفْعَلْ فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَظًّا وَلِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَظًّا وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَظًّا
Artinya : Rasulullah SAW bersabda kepadaku : ”Hai Abdullah bin ’Amr, telah sampai berita kepadaku, bahwa kamu berpuasa sepanjang hari dan shalat sepanjang malam, maka jangan kamu lakukan itu, karena tubuh, dua mata dan isterimu ada hak atasmu” (H.R. Muslim) 32
Rasulullah SAW mengingkari tindakan sahabat di atas, karena puasa dan shalat sepanjang masa bertentangan dengan sifat agama Islam yang hanif, tidak memberatkan dan lemah lembut.
2). Utsman bin Math’un pernah mencoba hidup dengan tabattul (membujang), tetapi Rasulullah melarangnya, sebab bertentangan dengan penjelasan al-Qur’an bahwa manusia diciptakan berpasang-pasangan dan qawaid agama yang menganjurkan mempunyai keturunan. Larangan Rasulullah SAW dapat disimak dalam hadits di bawah ini :
سَعْدَ بْنَ أَبِي وَقَّاصٍ يَقُولُ رَدَّ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ التَّبَتُّلَ وَلَوْ أَذِنَ لَهُ لاَخْتَصَيْنَا.
Artinya : Sa’ad bin Waqash berkata : Rasulullah SAW menolak permintaan Utsman bin Math’un melakukan tabattul (membujang). Seandainya Rasulullah SAW mengizinkannya, maka kami akan mengibiri. (H.R. Bukhari) 33
Beberapa perbuatan sahabat Nabi SAW yang lain yang menunjukkan adanya bid’ah hasanah, antara lain :
1.Tindakan Utsman bin Affan menambah azan pada shalat Jum’at menjadi dua kali sebagaimana tersebut dalam Kitab Shahih al-Bukhari 34
2.Tindakan Ibnu Umar menambah zikir pada tasyahud dalam shalat sebagaimana riwayat Abu Daud di bawah ini :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى التَّشَهُّدِ "التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُه" قَالَ ابْنُ عُمَرَ زِدْتُ فِيهَا وَبَرَكَاتُهُ."السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ". قَالَ ابْنُ عُمَرَ زِدْتُ فِيهَا وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ."وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ"
Artinya : Dari Ibnu Umar dari Rasulullah SAW tentang tasyahud ;
"التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ"
Ibnu Umar berkata : “Aku menambahkan :
"وَبَرَكَاتُهُ. السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ".
Ibnu Umar berkata : “Aku menambahkan
“وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَه وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ"
(H.R. Abu Daud) 35
Al-‘Ainy dalam syarah Sunan Abu Daud mengatakan : “sanad ini shahih” 36
Dengan memahami uraian di atas, maka semua hadits yang dhahirnya menunjukkan kepada keumuman tercela bid’ah, harus dipahami bahwa yang tercela itu hanya sebagian bid’ah saja, karena keumuman hadits tersebut sudah dikhususkan dengan dalil-dalil tersebut di atas.Termasuk yang dikhususkan oleh dalil-dalil tersebut adalah hadits Nabi SAW :
كل بدعة ضلالة
Artinya : Setiap bid’ah adalah sesat(H. R. Muslim) 37
Dengan demikian, makna hadits ini adalah sebagian bid’ah adalah tercela, bukan semuanya. Kesimpulan ini juga didukung oleh keterangan ulama sebagaimana disebut di bawah ini :
1). Imam al-Nawawi mengatakan :
”Hadits Nabi SAW, ”Setiap bid’ah adalah sesat” , ini termasuk ‘am makhshus (lafazh umum yang dikhususkan), karena bid’ah adalah setiap amalan yang tidak ada contoh sebelumnya.” 38
An-Nawawi menjelaskan, bahwa tidak setiap bid’ah merupakan amalan yang sesat, karena keumuman pada hadits tersebut dikhususkan hanya kepada sebagian bid’ah, yaitu bid’ah dhalalah, amalan yang yang tidak didukung dalil umum dan khusus dari syara’.
2). Dalam mengomentari hadits di atas, Ibnu Syaraf al-Nawawi mengatakan :
”Sesungguhnya lafazh muhdats dan lafazh bid’ah tidak dicela karena namanya, tetapi karena makna menyalahi sunnah dan mengarah kepada kesesatan dan tidak dicela yang demikian itu secara mutlaq.” 39
Bid’ah tidak dicela secara mutlak, tetapi hanya yang mengandung makna menyalahi sunnah dan mengarah kepada kesesatan saja. Komentar di atas, mafhumnya mengakui adanya bid’ah hasanah.
Namun demikian, ada juga ulama yang menafsirkan perkataan ”kullu bid’ah” pada hadits di atas bermakna mutlaq, yakni dengan makna ”semua bid’ah”, tidak dikhususkan hanya sebagian bid’ah saja. Tetapi berdasarkan pemahaman ini, perkataan bid’ah dipahami sebagai setiap perkataan atau perbuatan ataupun keadaan yang tidak dukung sama sekali oleh dalil syari’at yang sah, baik dalil yang umum maupun yang sifatnya khusus. Dengan demikian, maka bid’ah hasanah dengan makna sebagaimana disebut sebelum ini tidak termasuk dalam katagori bid’ah dengan makna ini, alias termasuk sunnah. Karena bid’ah hasanah menurut ulama yang membagi bid’ah kepada hasanah dan dhalalah, mempunyai dalil atau qawaid agama yang bersifat umum yang menjadi pendukungnya, meskipun amalan tersebut tidak ada contoh dari Rasulullah SAW.
Berdasarkan uraian ini, maka perbedaan penafsiran hadits diatas antara dua kelompok ulama ini bukanlah merupakan perbedaan yang substansial. Karena kedua kelompok ini sepakat bahwa amalan yang tidak ada contoh dari Rasulullah SAW tetapi didukung oleh dalil dan qawaid agama yang bersifat umum termasuk dalam katagori amalan yang diterima pada syara’. Mereka hanya berbeda pendapat dalam penamaannya saja. Kelompok pertama menamakan sebagai bid’ah hasanah, sedangkan kelompok kedua menamakannya sebagai amalan sunnah, tidak termasuk dalam katagori bid’ah. Ulama kelompok kedua ini mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan bid’ah pada hadits di atas adalah bid’ah syar’i sebagaimana makna yang disebutkan. Sedangkan bid’ah yang dibagi oleh ulama berdasarkan hukum syara’ yaitu wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah adalah merupakan bid’ah secara bahasa sebagaimana tergambar pada keterangan ulama di bawah ini :
1.Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :
“Yang dimaksud dengan sabda Nabi SAW, “setiap bid’ah adalah sesat” adalah sesuatu yang diada-adakan dan tidak ada dalil secara khusus atau umum dari syara’.” 40
2.Menurut Sayyed Alwi bin Ahmad As-Saqaf, setiap perkataan atau perbuatan ataupun keadaan yang tidak dukung oleh dalil syari’at yang sah adalah bid’ah yang tertolak. Pelakunya adalah orang yang tertipu, maksudnya adalah bid’ah menurut syara’ sebagaimana disebutkan dalam al-Fatawa al-Haditsah. Adapun bid’ah menurut bahasa terbagi dalam hukum yang lima, yaitu :
a.wajib kifayah seperti belajar ilmu Arabiyah yang tergantung padanya pemahaman kitab dan sunnah seperti Nahu, Sharaf, Ma’ani, Bayan, loghat, tidak termasuk ‘Arudh dan Qawafii dan lainnya.
b.haram seperti semua sikap ahli bid’ah yang berselisih dengan Ahlussunnah wal Jama’ah
c.sunat seperti setiap kebaikan yang tidak dikenal pada zaman awal dan seperti pembahasan yang mendalam dalam Tasauf
d.makruh seperti menghiasi mesjid dan menghiasi mashaf
e.mubah seperti berlapang-lapang pada melezatkan makanan dan minuman. 41
Sayyed Alwi bin Ahmad As-Saqaf sebagaimana uraian di atas, meskipun berpendapat bahwa bid’ah menurut syara’ hanya terbatas bid’ah dhalalah, namun beliau tetap mengakui bahwa perbuatan yang tidak ada contoh dari Nabi SAW terbagi sesuai dengan hukum syara’, yaitu wajib, mubah, haram, sunnah dan makruh. Bid’ah yang terbagi lima ini menurut Sayyed Alwi bin Ahmad As-Saqaf adalah bid’ah menurut bahasa. Penjelasan Sayyed Alwi bin Ahmad As-Saqaf ini pada hakikatnya juga mengakui adanya pembagian bid’ah kepada bid’ah dhalalah dan bid’ah hasanah.
3.Ibnu Katsir membagi bid'ah menjadi dua, yaitu :
a.Bid'ah menurut syar'i , seperti sabda Nabi SAW :
"Setiap yang diada-adakan adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah sesat."
b.Bid'ah secara bahasa, seperti ucapan Umar r.a. berkenaan dengan shalat tarawih berjama'ah pada bulan Ramadhan , beliau berkata :
"Sebaik-baik bid'ah adalah perbuatan ini.” 42
4.Berkata Ibnu Hajar al-Asqalany :
“Yang dimaksud dengan “muhdatsaat” adalah sesuatu yang diada-adakan dan tidak ada dalilnya pada syara’ dan dinamakannya pada ‘uruf syara’ sebagai bid’ah. Sesuatu yang ada dalil yang ditunjuki syara’ atasnya, maka tidak termasuk bid’ah. Oleh karena itu, maka bid’ah pada ‘uruf syara’ merupakan tindakan tercela, berbeda halnya bid’ah secara bahasa, maka setiap yang diada-adakan dengan tanpa contoh dinamakan sebagai bid’ah, baik ia terpuji maupun yang tercela. 43
Pada kali lain, Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :
“Yang dimaksud dengan sabda Nabi SAW, “setiap bid’ah adalah sesat” adalah sesuatu yang diada-adakan dan tidak ada dalil secara khusus atau umum dari syara’.” 44
D. Kriteria bid’ah hasanah
Isa bin Abdullah al-Humairy menyebutkan syarat-syarat sesuatu disebut sebagai bid’ah hasanah, yaitu45 :
1.termasuk dalam katagori urusan agama yang bersifat ibadah, bukan urusan-urusan ‘adiyah dan urusan kehidupan yang tidak bersifat ibadah. Ini sesuai dengan manthuq dan mafhum hadits :
“Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu (amalan) dalam urusan (agama) kami yang bukan dari agama kami, maka (amalan) itu tertolak”..(H.R. Bukhari dan Muslim)
Makna urusan agama dalam hadits tersebut adalah urusan yang bersifat ibadah. Oleh karena itu, tidak disebut sebagai bid’ah perbuatan seperti memakai mobil, sepeda motor dan lainnya, meskipun tidak ada contoh sebelumnya pada masa Nabi SAW
2.masuk di bawah pokok-pokok, maqashid syari’at atau perintah yang bersifat umum dari syari’at. Misalnya perayaan maulid Nabi SAW. Ini termasuk dalam pokok-pokok agama yang menganjurkan zikir kepada Allah dan memperbanyak shalawat kepada Nabi-Nya.
3.tidak bertentangan dengan nash-nash syari’at. Oleh karena itu, bid’ah hasanah tidak dapat dituduh sebagai sesuatu yang hanya didasarkan kepada hawa nafsu manusia.
4.dianggap oleh kaum muslimin sebagai perbuatan yang baik. Menurut Isa bin Abdullah al-Humairy, syarat terakhir ini telah disebut oleh Badruddin al-’Ainy. Persyaratan ini sesuai dengan hadits :
ما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
Artinya : Apa saja yang dianggap oleh kaum muslimin baik, maka di sisi Allah juga baik.
Hadits ini ditakhrij oleh Ahmad dalam Musnadnya. Menurut al-‘Ilaiy, hadits ini mauquf, yaitu perkataan Abdullah bin Mas’ud 46
Hukum tepung tawar/peusijeuk ditinjau dari sudut teori bid’ah
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami sebagai berikut :
1.Praktek tepung tawar/peusijeuk merupakan suatu amalan yang tidak pernah dilakukan pada masa Nabi SAW dan sahabat beliau, karena memang menurut pengetahuan penulis, tidak ada riwayat yang shahih yang meriwayatkan adanya amalan tepung tawar/peusijuk dari Nabi SAW atau sahabat.
2.Namun demikian, amalan tepung tawar/peusijeuk ini termasuk dalam jenis tafa-ul (apabila pelakunya meniatkan sebagai tafa-ul) atau termasuk jenis tabarruk (apabila pelakunya meniatkan tabarruk). Mengenai tafa-ul dan tabarruk ini dan alasan tepung tawar/peusijeuk termasuk dalam jenis tafa-ul atau tabarruk sudah dibahas sebelum ini pada masalah tafa-ul dan tabarruk
3.Mengingat tepung tawar/peusijeuk merupakan suatu amalan yang dianggap baik oleh umat Islam dan tidak pernah dilakukan pada masa Nabi SAW dan sahabat beliau, tetapi amalan ini termasuk dalam jenis dan keumuman pensyari’atan tafa-ul dan tabarruk, maka amalan tepung tawar/peusijeuk termasuk dalam katagori bid’ah hasanah sebagaimana dapat dilihat dalam kriteria-kriteria bid’ah hasanah pada pembahasan di atas.
V. Penutup
Di bagian akhir tulisan ini, penulis mencoba membuat kesimpulan dari pembahasan di atas, yaitu sebagai berikut :
1.Tepung tawar/peusijeuk yang dilakukan oleh masyarakat Aceh dan Melayu pada umumnya merupakan amalan tafa-ul yang dianjur dalam Islam
2.Tepung tawar/peusijeuk tersebut dapat menjadi amalan tabarruk apabila orang yang merencanakan acara tersebut meniatkan mencari keberkahan dengan benda-benda yang disentuh oleh orang-orang shaleh
3.Teupung tawar/peusijeuk termasuk dalam katagori amalan bid’ah hasanah, karena amalan tersebut termasuk dalam keumuman disyari’atkan tafa-ul atau tabbarruk, meskipun detilnya tidak ada contoh dari Nabi SAW
4.Berdasarkan uraian sebelum ini, maka tepung tawar/peusijeuk tidak termasuk dalam amalan menyerupai kafir yang diharamkan (tasyabbuh)
Sebagian umat Islam ada juga mengutip hadits di bawah ini sebagai hujjah kebolehan acara tepung tawar/peusijeuk, yaitu hadits dari Anas, beliau berkata :
قَالَ: جَاءَ أَبُو بَكْرٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَعَدَ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ! قَدْ عَلِمْتَ مُنَاصَحَتِي وَقِدَمِي فِي الإِسْلامِ، وَإِنِّي وَإِنِّي، قَالَ:وَمَا ذَلِكَ؟قَالَ: تُزَوِّجْنِي فَاطِمَةَ، فَسَكَتَ عَنْهُ، أَوْ قَالَ: فَأَعْرَضَ عَنْهُ، فَرَجَعَ أَبُو بَكْرٍ إِلَى عُمَرَ، فَقَالَ: هَلَكْتُ وَأَهْلَكْتَ، قَالَ: وَمَا ذَلِكَ؟ قَالَ: خَطَبْتُ فَاطِمَةَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَعْرَضَ عَنِّي، فَقَالَ: مَكَانَكَ حَتَّى آتِيَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَطْلُبُ مِثْلَ الَّذِي طَلَبْتَ، فَأَتَى عُمَرُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَعَدَ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ! قَدْ عَلِمْتَ مُنَاصَحَتِي وَقِدَمِي فِي الإِسْلامِ، وَإِنِّي وَإِنِّي، قَالَ:وَمَا ذَاكَ؟قَالَ: تُزَوِّجْنِي فَاطِمَةَ، فَأَعْرَضَ عَنْهُ فَرَجَعَ عُمَرُ إِلَى أَبِي بَكْرٍ، فَقَالَ: إِنَّهُ يَنْتَظِرُ أَمْرَ اللَّهِ فِيهَا، انْطَلِقْ بنا إِلَى عَلِيٍّ حَتَّى نَأْمُرَهُ أَنْ يَطْلُبَ مِثْلَ الَّذِي طَلَبْنَا، قَالَ عَلِيٌّ: فَأَتَيَانِي وَأَنَا فِي سَبِيلٍ، قَالا: بنتُ عَمِّكَ تُخْطَبُ، فَنَبَّهَانِي لأَمْرٍ، فَقُمْتُ أَجُرُّ رِدَائِي طَرَفٌ عَلَى عَاتِقِي، وَطَرَفٌ آخَرُ فِي الأَرْضِ حَتَّى أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَعَدْتُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ! قَدْ عَلِمْتَ قِدَمِي فِي الإِسْلامِ وَمُنَاصَحَتِي، وَإِنِّي وَإِنِّي، قَالَ:وَمَا ذَاكَ يَا عَلِيُّ؟قُلْتُ: تُزَوِّجْنِي فَاطِمَةَ، قَالَ:وَمَا عِنْدَكَ، قُلْتُ: فَرَسِي وَبُدْنِي، يَعْنِي دِرْعِي، قَالَ:أَمَّا فَرَسُكَ، فَلا بُدَّ لَكَ مِنْهُ، وَأَمَّا دِرْعُكَ فَبِعْهَا، فَبِعْتُهَا بِأَرْبَعَ مِائَةٍ وَثَمَانِينَ فَأَتَيْتُ بِهَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَضَعْتُهَا فِي حِجْرِهِ، فَقَبَضَ مِنْهَا قَبْضَةً، فَقَالَ:يَا بِلالُ، ابْغِنَا بِهَا طِيبًا، ومُرْهُمْ أَنْ يُجَهِّزُوهَا، فَجَعَلَ لَهَا سَرِيرًا مُشَرَّطًا بِالشَّرَيطِ، وَوِسَادَةً مِنْ أَدَمٍ، حَشْوُهَا لِيفٌ، وَمَلأَ الْبَيْتَ كَثِيبًا، يَعْنِي رَمَلا، وَقَالَ:إِذَا أَتَتْكَ فَلا تُحْدِثْ شَيْئًا حَتَّى آتِيَكَ، فَجَاءَتْ مَعَ أُمِّ أَيْمَنَ فَقَعَدَتْ فِي جَانِبٍ الْبَيْتِ، وَأَنَا فِي جَانِبٍ، فَجَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ:هَهُنَا أَخِي، فَقَالَتْ أُمُّ أَيْمَنَ: أَخُوكَ قَدْ زَوَّجْتَهُ بنتَكَ، فَدَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ لِفَاطِمَةَ:ائْتِينِي بِمَاءٍ، فَقَامَتْ إِلَى قَعْبٍ فِي الْبَيْتِ فَجَعَلَتْ فِيهِ مَاءً فَأَتَتْهُ بِهِ فَمَجَّ فِيهِ ثُمَّ قَالَ لَهَا:قَوْمِي، فَنَضَحَ بَيْنَ ثَدْيَيْهَا وَعَلَى رَأْسِهَا، ثُمَّ قَالَ:اللَّهُمَّ أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ، ثُمَّ قَالَ لَهَا:أَدْبِرِي، فَأَدْبَرَتْ فَنَضَحَ بَيْنَ كَتِفَيْهَا، ثُمَّ قَالَ:اللَّهُمَّ إِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ، ثُمَّ قَالَ:ائْتِينِي بِمَاءٍ، فَعَمِلْتُ الَّذِي يُرِيدُهُ، فَمَلأْتُ الْقَعْبَ مَاءً فَأَتَيْتُهُ بِهِ فَأَخَذَ مِنْهُ بِفِيهِ، ثُمَّ مَجَّهُ فِيهِ، ثُمَّ صَبَّ عَلَى رَأْسِي وَبَيْنَ يَدَيْ، ثُمَّ قَالَ:اللَّهُمَّ إِنِّي أُعِيذُهُ وَذُرِّيَّتَهُ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ، ثُمَّ قَالَ:ادْخُلْ عَلَى أَهْلِكَ بِسْمِ اللَّهِ وَالْبَرَكَةِ.
Artinya: Abu Bakar datang kepada Nabi SAW dan duduk dihadapan beliau dan berkata, “Wahai Rasulallah engkau telah mengajarkanku dan engkau menasehatiku dan lantas aku dulu masuk Islam dan seterusnya. Lalu Nabi SAW berkata, lantas ada apa? Abu Bakar berkata, nikahilah aku dengan Fathimah, lantas beliau diam (atau berkata perawi) beliau berpaling darinya, maka Abu Bakar kembali kepada Umar dan berkata kepadanya, celaka aku dan celaka aku, Umar berkata, kenapa demikian? Abu Bakar berkata, aku meminang Fatimah kepada Nabi SAW, dan Nabi SAW Berpaling dariku. Umar berkata, tetaplah ditempatmu, aku akan menemui Nabi SAW dan memintakan hal serupa. maka datanglah Umar kepada Nabi SAW dan duduk dihadapan Nabi SAW dan berkata, Wahai Rasulullah, Engkau telah mengajarkanku dan engkau menasehatiku dan lantas aku dulu masuk Islam, Beliau berkata, lantas ada apa? Umar berkata, nikahi saya dengan Fathimah, Rasulullah SAW-pun berpaling darinya, lalu kembalilah Umar kepada Abu Bakar dan berkata kepadanya bahwa Rasulullah menunggu perintah Allah, mari kita pergi kepada Ali sehingga ia meminta hal serupa. Ali berkata, keduanya mendatangiku, padahal aku sedang berada di jalan. Keduanya berkata, kamu harus meminang anak perempuan pamanmu, maka keduanya memberitahukan kepadaku suatu hal, lalu aku berdiri menjulur ujung rida’ku atas bahuku dan ujung satu lagi atas tanah sehingga aku menemui Nabi SAW dan aku duduk dihadapan Rasulullah SAW, maka aku katakan, Wahai Rasulallah engkau telah mengajarkanku dan engkau menasehatiku dan lantas aku dulu masuk Islam dan seterusnya. Lalu Nabi SAW berkata, lantas ada apa? Lalu aku mengatakan, nikahilah aku dengan Fathimah. Lantas Rasulullah SAW berkata, apa yang ada di sisimu ?Aku menjawab, kuda dan badanku (baju besi), Rasulullah SAW berkata, Adapun kudamu suatu yang sangat penting. Karena itu, juallah baju besimu. Maka aku menjualnya dengan harga empat ratus delapan puluh. Kemudian aku menemui Nabi SAW kembali dan meletakkan harga baju besi tadi pada pangkuan Nabi SAW, lalu beliau mengambilny, kemudian mengatakan, Ya Bilal !, Carilah untuk Fatimah wewangian dan suruh mereka menyiapkan segala sesuatu. Maka dibuatlah tempat tidur yang diikat dengan pita dan bantal dari kulit yang tepinya dipenuhi serabut serta membuat rumah dari pasir. Rasulullah SAW berkata, apabila dia datang kepadamu, maka jangan kamu bilang sesuatupun sehingga aku datang memenuhimu. Kemudian datanglah Fatimah bersama Ummul Aiman yang duduk pada satu sisi rumah dan aku duduk pada sisi lain. Nabi SAW pun muncul dan berkata, Ke sini! Hai saudaraku. Ummul Aiman menyela, saudaramu ingin kamu kawinkan dengan anakmu. lalu Rasulullah kemudian masuk kedalam rumah dan berkata kepada Fatimah, bawakan saya air ! maka Fatimah bangkit mengambil mangkok dalam rumah dengan mengisikan air dalamnya, lalu memberikan kepada Nabi SAW, kemudian beliau meludahi air itu dan berkata kepada Fatimah, Berdirilah! Maka Nabi SAW memercik dengan air antara hadapan dan atas kepalanya dengan mengatakan,
اللَّهُمَّ أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
Kemudian berkata, Membelakanglah, maka Fatimah membelakang, lalu Nabi SAW memercik air di antara dua bahunya dengan mengatakan,
اللَّهُمَّ إِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
Setelah itu, Nabi SAW berkata kepadaku, bawakan aku air. Aku sudah mengerti maksud beliau, maka aku isi mangkok dengan air dan berikan kepada beliau. Beliau mengambil, kemudian meludahinya, lalu memercik air itu atas kepalaku dan di antara hadapanku. Kemudian beliau mengatakan,
اللَّهُمَّ إِنِّي أُعِيذُهُ وَذُرِّيَّتَهُ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
Setelah selesai semua, Nabi SAW berkata, Temuilah isterimu dengan nama Allah dan keberkahan (H.R. al-Thabrany) 47
Namun menurut al-Haitsamy, salah seorang ahli hadits dalam kitab beliau , al-Majma’ al-Zawaid, hadits ini telah diriwayat oleh al-Thabrany dan dalam sanadnya terdapat Yahya bin Ya’la al-Aslami, sedangkan dia ini dha’if. 48 Hadits di atas juga diriwayat oleh Ibnu Hibban yang sanadnya juga berujung kepada Yahya bin Ya’la al-Aslami 49 Zainuddin al-‘Iraqi juga mengatakan bahwa Yahya bin Ya’la al-Aslami adalah dha’if.50 Dengan demikian, hadist ini kualiatasnya dha’if dan tentunya tidak dapat menjadi hujjah. Andai kata hadits ini shahih, maka perbuatan Nabi SAW memercik air dalam acara perkawinan Ali r.a. dan Fatimah r.a. tersebut merupakan amalan tafa-ul atau tabarruk yang dianjurkan dalam Syari’at Islam.
Perlu menjadi catatan, bahwa anggapan ulama kita bahwa acara tepung tawar/peusijeuk tidak bertentangan dengan Islam, bahkan dianjurkan bukanlah semata-mata karena berhujjah dengan hadits di atas, tetapi adalah karena tepung tawar/peusijeuk termasuk dalam katagori amalan tafa-ul atau tabarruk sebagaimana sudah dijelas sebelum ini. Oleh karena itu, kalau sebagian ulama kita ada yang mengutip hadits ini, hal itu hanyalah sekedar sebagai penguat dalil-dalil lain yang membolehkan tepung tawar/peusijeuk.
(----Selesai------)
DAFTAR PUSTAKA
1.Al-Syathibi, al-I’tisham, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 21
2.Al-Syathibi, al-I’tisham, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 21
3.Al-Bakri ad-Dimyathi, I’anah At-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal 271
4.Ibnu Mulaqqan, al-Tauzhih li Syarh al-Jami’i al-Shahih, al-Wazarah al-Auqaf wa Syu-un al-Islamiyah, Qathar, Juz. XIII, Hal. 554
5.Al-Bakri ad-Dimyathi, I’anah At-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal 271
6.An-Nawawi dalam Syarah Muslim, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut , Juz. VII, Hal. 104-105.
7.Ibnu Hajar al-Haitamy, Fath al-Mubin, al-‘Amirah al-Syarfiah, Mesir, Hal. 94
8.Al-Munawy, Faidh al-Qadir, Mausa’ Ya’qub, Juz. VI, Hal. 47, No. Hadits 8333
9.Badruddin al-‘Aini, ‘Umdah al-Qary Syarah al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. XVII, Hal. 155
10.Dr. Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 290
11.Al-Jalalain, Tafsir al-Jalalain, di cetak dalam Tafsir al-Shawy, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. IV, Hal. 177
12.Ahmad Shawy, Tafsir al-Shawy, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. IV, Hal. 177
13.Abubakar al-Jashas, Ahkam al-Qur’an, Darul Fikri, Beirut, Juz. III, Hal. 623
14.Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar Thauq an-Najah, Juz. III, Hal. 184, No. Hadits : 2697
15.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. III, Hal. 1343, No.Hadits 1718
16.Ibnu Hajar al-Haitamy, Fath al-Mubin, al-‘Amirah al-Syarfiah, Mesir, Hal. 94
17.Al-Munawy, Faidh al-Qadir, Mausa’ Ya’qub, Juz. VI, Hal. 47, No. Hadits 8333
18.Ibnu al-Mulaqqan, I’lam bi Fawaid ‘Umdah al-Ahkam, Darul ‘Ashimah, Juz. X, Hal. 10
19.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. III, Hal. 1344, No.Hadits 1718
20.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. II, Hal. 704-705, No.Hadits 1017
21.An-Nawawi, Syarah Muslim, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut, Juz. VII, Hal. 104
22.Al-Sanadi, Hasyiah al-Sanadi ‘ala Sunan Ibnu Majah, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 189
23.Al-Turmidzi, Sunan al-Turmidzi, Thaha Putra, Semarang, Juz. IV, Hal. 150-151, No. Hadits : 2818
24.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq al-Najh, Juz. I, Hal. 159, No. Hadits 799
25.Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barri, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 287
26.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 419, No. Hadits 600
27.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 419, No. Hadits 601
28.Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 67, No. Hadits : 1149
29.Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath al-Barri, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 34
30.Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 101-103, No. Hadits 3989
31.Dr. Mustafa Khan, Mustafa al-Bagha dan Ali al-Syarbaji, al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Mazhab Imam Syafi’i, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 152
32.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 166, No. Hadits : 2800
33.Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 5, No. Hadits : 5073
34.Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. II, Hal. 8, No. Hadits : 913
35.Abu Daud, Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. I, hal. 367, No. Hadits : 973
36.Al-‘Ainy, Syarah Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 250
37.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. II, Hal. 592, No. Hadits 867
38.An-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 519
39.Ibnu Syaraf al-Nawawi, Syarah al-Arba’in al-Nawawiyah, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 25
40.Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath al-Barri, Maktabah Syamilah, Juz. XX, Hal. 330
41.Sayyed Alwi bin Ahmad As-Saqaf , Fawaidul Makkiyah, dicetak dalam Sab’atul Kutubil Mufidah, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 12
42.Ibnu Katsir, Tafisr Ibnu Katsir, Darul Thaibah, Juz. I, Hal. 398
43.Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Barry, Maktabah Syamilah, Juz. XIII, Hal. 253
44.Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath al-Barri, Maktabah Syamilah, Juz. XX, Hal. 330
45.Isa bin Abdullah al-Humairy, al-Bid’ah al-Hasanah ashl min Ushul al-Tasyri, Hal. 115-120
46.Al-Suyuthi, al-Asybah wal-Nadhair, al-Haramain, Hal. 63
47.Al-Thabrany, al-Mu’jam al-Kabir, Maktabah Syamilah, Juz. XVI, Hal. 263-264. No. Hadits : 18454
48.Nuruddin Ali al-Haitsamy, Majma’ al-Zawaid, Maktabah Syamilah, IX, Hal. 331, No. Hadits : 15210
49.Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, Maktabah Syamilah, Juz. XV, Hal. 393-395, No. Hadits : 6944
50.Zainuddin al-‘Iraqi, Takhrij Ahadits al-Ihya, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 123
tgk saya mau tanya klo peusijeuk mau menepati rmh baru lebih bagus hari dan bulan apa? Trimakasih atas Penjelasannya. :)
BalasHapuskami belum menemukan dalil syara' secara khusus waktu yang utama utk peusijuk
Hapuswassalam