Renungan

Senin, 28 Januari 2013

Debat terbuka Status hukum gaji PNS yang lulus karena sogok


Kolom ini khusus diperuntukkan untuk debat terbuka mengenai masalah-masalah dalam Islam, akidah, fiqh dan tasauf. Semua pembaca, siapapun dia bebas berbicara, ya tentu dengan menggunakan etika islami, bebas mengemukakan pendapatnya , mengkritisi pendapat orang lain, berargumentasi mempertahankan pendapat yang dia yakini benar. Tidak perlu marah-marah, yang sangat penting argumentative, menerima kebenaran yang datang dari siapapun. Nah mudah kan!
Masalah yang kita coba angkat kali ini adalah masalah Status hukum gaji PNS yang lulus karena sogok

Pada prinsipnya, para ulama sepakat bahwa sogok menyogok adalah haram, berdasarkan hadits Nabi SAW berbunyi :
لَعَنَ اللَّهُ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ
Artinya : Allah melaknat penyogok dan yang menerima sogok. (H.R. Ahmad, Turmidzi, Ibnu Hibban dan Hakim.Turmidzi mengatakan, Hadits hasan)[1]

Namun rangka merspon perkembangan kasus sogok menyogok dalam penerimaan CPNS/PNS dewasa ini, para ilmuan Islam dewasa ini berbeda  pendapat mengenai hukum sogok untuk kelulusan PNS, yaitu :
Pendapat Pertama, sogok itu haram secara mutlaq.
Pendapat Kedua, Sogok tersebut menjadi boleh kalau dalam rangka mengembalikan haknya. Misalnya seseorang yang persyaratannya terpenuhi untuk lulus, namun kalau tidak menyogok maka dia tidak akan lulus, maka dalam katagori ini, sogok tersebut menjadi boleh.
Adapun mengenai hukum gaji PNS yang lulus karena sogok yang diharamkan terbelah dalam dua pendapat juga, yaitu :
Pendapat Pertama, gaji dari PNS yang lulus karena sogok tetap haram selama-lamanya. Alasannya gaji tersebut merupakan hak orang yang lain yang terzalimi karenanya.
Pendapat Kedua, meskipun sogokan itu diharamkan, namun status gaji tetap halal, karena gaji tersebut merupakan upah pekerjaan dia sebagai PNS dan tidak mempunyai hubungan dengan sogok yang diharamkan, selama PNS tersebut melaksanakan tugasnya sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Nah bagaimana komentar anda!




[1] Ibnu Mulaqqan, Badrul Munir, Maktabah Syamilah, Juz. IX, Hal. 573

Kamis, 24 Januari 2013

Menyimpan patung di dalam rumah sebagai hiasan


  
Menyimpan patung dalam rumah, hukumnya adalah haram. Dalilnya antara lain :
1. Menyimpan patung dalam rumah merupakan perbuatan yang biasa dilakukan oleh orang-orang jahiliah. Sedangkan menyerupai perbuatan jahiliah adalah terlarang sebagaimana firman Allah :
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
Artinya : Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu. (Q.S. Al Ahzab : 33).

2. Sabda Nabi SAW :
إِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَا تَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ الصُّورَةُ
Artinya : Sesungguhnya para malaikat tidak akan masuk dalam sebuah rumah yang di dalamnya ada patung (H.R. Bukhari) [1]

3. Sabda Nabi SAW :
إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الدَّمِ وَثَمَنِ الْكَلْبِ وَكَسْبِ الْبَغِيِّ وَلَعَنَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَالْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ وَالْمُصَوِّرَ
Artinya :  Sesungguhnya Nabi SAW melarang dari harga darah, harga anjing dan usaha pelacuran dan melaknat pemakan riba, wakilnya, pembuat tato, yang memintanya dan pembuat patung (H.R.Bukhari)[2] 

4. Sabda Nabi SAW :   
مَنْ صَوَّرَ صُورَةً فِي الدُّنْيَا كُلِّفَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنْ يَنْفُخَ فِيهَا الرُّوحَ وَلَيْسَ بِنَافِخٍ
Artinya : Barangsiapa yang membuat patung di dunia, maka pada hari kiamat, diperintahkan kepadanya meniup ruh pada patung itu, padahal dia tidak mampu meniupnya. (H.R. Bukhari) [3]

5. Sabda Nabi SAW
.أن لا تدع تمثالا إلا طمسته ولا قبرا مشرفا إلا سويته
Artinya : Janganlah engkau tinggalkan patung kecuali engkau telah membuatnya menjadi tidak berbentuk, dan jangan pula meninggalkan kuburan yang menjulang tinggi kecuali engkau meratakannya )H.R. Muslim)[4]

Menurut Imam Nawawi, hadits di atas menunjukkan adanya perintah merobah patung hewan yang bernyawa”.[5] Maksudnya perintah merobah patung dari bentuknya kepada bentuk yang tidak sebut lagi sebagai patung. Dengan demikian, dipahami dari makna hadits ini, bahwa gambar makhluk hidup yang tidak timbul, hanya dalam bentuk tulisan dan goresan tidak termasuk dalam katagori yang diharamkan. Pemahaman seperti ini lebih tegas lagi dapat dipahami dari hadits dari Abu Hurairah yang tersebut dalam sunan-sunan hadits, yaitu hadits telah ditashihkan oleh Turmidzi dan Ibnu Hibban, yakni  sabda Rasulullah SAW :
أتاني جبريل فقال: أتيتك البارحة فلم يمنعني أن أكون دخلت إلا أنه كان على الباب تماثيل، وكان في البيت قرام ستر فيه تماثيل، وكان في البيت كلب، فمر برأس التمثال الذي على باب البيت يقطع فيصير كهيئة الشجرة، ومر بالستر فليقطع فليجعل منه وسادتان منبوذتان توطآن، ومر بالكلب فليخرج، ففعل رسول الله صلى الله عليه وسلم
Artinya : Jibril pernah mendatangiku sambil berkata : “Aku mendatangimu semalam. Tidak ada yang menghalangiku masuk kecuali ada patung di pintu rumah dan di dalam rumah terdapat kain tirai yang ada patung dan juga ada anjing di dalamnya, maka suruhlah untuk menghilangkan kepala patung yang ada di rumah itu sehingga menjadi seperti bentuk pohon dan suruhlah potong tirai itu dengan dijadikan menjadi dua bantal yang dijadikan sandaran serta suruh keluarkan anjing tersebut. Kemudian Rasulullah SAW melakukan semuanya itu [6]

            Berdasarkan dua hadits terakhir ini dan sesuai pula menurut pemahaman Imam al-Nawawi di atas, maka keharaman membuat atau menyimpan patung tersebut tidaklah mencakup patung-patung yang sudah dirobah sehingga tidak berbentuk lagi sebagai layaknya sebuah patung. Demikian juga halnya gambar, lukisan makhluk hidup yang hanya dalam bentuk tulisan dan goresan-goresan. Dengan demikian, maka ia tidak termasuk dalam katagori yang diharamkan.





[1] Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. VII, Hal. 168, No. Hadits : 5958
[2] Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. VII, Hal. 169, No. Hadits : 5962
[3] Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. VII, Hal. 169, No. Hadits : 5963
[4] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. II, Hal. 666, No. Hadits : 969
[5] An-Nawawi, Syarah Muslim, Dar Ihya at-Turatsi al-Araby, Beirut,  Juz VII, Hal. 36
[6] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath al-Barri, Maktabah Syamilah, Juz. 10, Hal. 392

hukum masuk gereja


Pertanyaan yang belum terjawab dari pertanyaan Ihsan90
1.       Teungku, bagaimana hukum menghadiri tempat acara peribadatan non-muslim, tetapi tidak mengikuti ritual peribadatan mereka. yakni, kita berada pada ruangan lain tapi ruangan tsb masih berada dlm tempat yg sama dgn ruangan acara peribadatan mereka?

2. benarkah ada ulama yg membolehkan menghadiri acara peribadatan non-muslim tapi tidak mengukuti acara tsb?

Jawab :
1. Pada dasarnya memasuki gereja, hukumnya boleh saja selama tidak ada faktor-faktor yang mengharamkannya. Faktor-faktor yang mengharamkannya misalnya :
a.         Masuk tanpa izin pemiliknya, Dalam Hasyiah ‘Amirah ‘ala Syarah al-Mahalli disebutkan :
لَا يَجُوزُ لَنَا دُخُولُهَا إلَّا بِإِذْنِهِمْ وَإِنْ كَانَ فِيهَا تَصْوِيرٌ حَرُمَ مُطْلَقًا، وَكَذَا كُلُّ بَيْتٍ فِيهِ صُورَةٌ
Artinya : Tidak bolek masuk dalam gereja kecuali dengan izin mereka (pemilik gereja) dan seandainya dalam gereja tersebut ada patung-patung, maka haram secara mutlaq, demikian juga setiap rumah yang ada patung.[1]

Dalam Hasyiah al-Jamal disebutkan :
لَيْسَ لِلْمُسْلِمِ دُخُولُ كَنِيسَةٍ بِغَيْرِ إذْنِ أَهْلِهَا
Artinya : Tidak boleh bagi seorang muslim memasuki gereja dengan tanpa izin ahlinya.[2]
\
b.      Dalam gereja tersebut terdapat patung-patung sebagaimana penjelasan dalam kitab Hasyiah ‘Amirah ‘ala Syarah al-Mahalli dan Hasyiah al-Jamal di atas. Nabi SAW bersabda :
أتاني جبريل فقال: أتيتك البارحة فلم يمنعني أن أكون دخلت إلا أنه كان على الباب تماثيل، وكان في البيت قرام ستر فيه تماثيل، وكان في البيت كلب، فمر برأس التمثال الذي على باب البيت يقطع فيصير كهيئة الشجرة، ومر بالستر فليقطع فليجعل منه وسادتان منبوذتان توطآن، ومر بالكلب فليخرج، ففعل رسول الله صلى الله عليه وسلم
Artinya : Jibril pernah mendatangiku sambil berkata : “Aku mendatangimu semalam. Tidak ada yang menghalangiku masuk kecuali ada patung di pintu rumah dan di dalam rumah terdapat kain tirai yang ada patung dan juga ada anjing di dalamnya, maka suruhlah untuk menghilangkan kepala patung yang ada di rumah itu sehingga menjadi seperti bentuk pohon dan suruhlah potong tirai itu dengan dijadikan menjadi dua bantal yang dijadikan sandaran serta suruh keluarkan anjing tersebut. Kemudian Rasulullah SAW melakukan semuanya itu

Hadits ini telah ditashihkan oleh Turmidzi dan Ibnu Hibban. [3]

c.       Pakaian dan tingkah laku kita menyerupai kaum nasrani, ini sesuai dengan hadits Nabi SAW :
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Artinya : Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari kaum itu. (H.R. Abu Daud)[4]

Al-Sakhawy mengatakan, hadits ini diriwayat oleh Ahmad, Abu Daud dan al-Thabrany dalam al-Kabir dari hadits Muniib al-Jarsyi dari Ibnu Umar secara marfu’ dengan sanad dha’if, namun hadits ini telah disokong oleh hadits Huzaifah dan Abu Hurairah di sisi al-Bazar, di sisi Abu Na’im dalam Tarikh Ashbahan dari Anas dan di sisi al-Qadha’i dari hadits Thawus secara mursal.[5] Dengan demikian, hadits ini meskipun sanadnya dhaif, kualitasnya naik menjadi hasan karena ada sokongan dari jalur-jalur lain sebagaimana terlihat dari uraian di atas. Kesimpulan ini sesuai dengan pernyataan Ibnu Hajar al-Asqalani berikut :
”Hadits ini dikeluarkan Abu Daud dengan sanad hasan." [6]

d.      Memasuki gereja pada waktu hari raya atau ketika acara ritual mereka, karena hal ini menunjukkan kegembiraan atau persetujuan kita terhadap amalan mereka serta menyerupai dengan perilaku mereka. Allah berfirman
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
Artinya : Tolong menolonglah kepada kebajikan dan ketakwaan dan jangan tolong menolong kepada kemaksiatan dan permusuhan (Q.S. al-Maidah : 2)

         Umar r.a mengatakan :
لاَ تَعَلَّمُوا رَطَانَةَ الأَعَاجِمِ وَلاَ تَدْخُلُوا عَلَى الْمُشْرِكِينَ فِى كَنَائِسِهِمْ يَوْمَ عِيدِهِمْ فَإِنَّ السُّخْطَةَ تَنْزِلُ عَلَيْهِمْ.
Artinya : Janganlah kalian menemui orang-orang musyrik di gereja-gereja (tempat ibadah) mereka pada hari raya mereka, karena kemurkaan (Allah) turun kepada mereka.(H.R. Baihaqi)[7]

Jadi pertanyaan yang pertama di atas dapat dijawab bahwa hukumnya adalah haram kalau kaum gereja tersebut sedang melakukan ritual, meskipun berada dalam ruangan lain yang bukan ruangan acara ritual mereka, karena hal tersebut menunjukkan kegembiraan atau persetujuan kita terhadap amalan mereka serta menyerupai dengan perilaku mereka. Apalagi kalau dalam ruangan tersebut terdapat patung-patung. 
Kami belum menemukan ada ulama yang mu’tabar yang memboleh menghadiri acara peribadatan non-muslim tapi tidak mengukuti acara tsb. Karena hal itu bertentangan dengan dalil-dalil yang telah kami sebut di atas.





[1] ‘Amirah, Hasyiah Qalyubi wa Amirah ‘ala Syarh al-Mahalli, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. IV, Hal. 235
[2] Sulaiman al-Jamal, Hasyiah al-Jamal ‘ala Syarh al-Manhaj, Dar Ihya al-Turatsi al-Araby, Juz. III, Hal. 572
[3] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath al-Barri, Maktabah Syamilah, Juz. 10, Hal. 392
[4] Abu Daud, Sunan Abu Daud, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 441, Nomor hadits : 4031
[5] Al-Sakhawy, al-Maqashid al-Hasanah, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 639
[6] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath al-Barry, Maktabah Syamilah, Juz. X, Hal. 271
[7] Baihaqi, Sunan al-Kubra, Maktabah Syamilah, Juz. IX, Hal. 234, No. hadits : 18640

Rabu, 23 Januari 2013

Ghayatul Wushul (Terjemahan dan Penjelasannya) Pengertian ilmu, i'tiqad, dhan, waham dan ragu-ragu, Hal. 22


( وَجَازِمُهُ ) أى الحكم أى والحكم الجازم ( إِنْ لَمْ يَقْبَلْ  تَغَيُّرًا ) بأن كان لموجب من حس ولوباطنا أوعقل أوعادة فيكون مطابقا للواقع ( فَعِلْمٌ ) كالحكم بأن به جوعا أوعطشا أوبأن زيدا متحرك ممن رآه متحركا أو بأن العالم حادث أوبأن الجبل من حجر ( وَإِلاَّ ) أى وان قبل التغير بأن لم يكن لموجب مما ذكر طابق الواقع أولا اذ يتغير الأول بالتشكيك والثانى به أوبالإطلاع على ما فى نفس الأمر ( فَاعْتِقَادٌ ) وهو اعتقاد ( صَحِيْحٌ إِنْ طَابَقَ ) الواقع كاعتقاد المقلد سنية الضحى ( وَإِلاَّ ) أى وان لم يطابق الواقع ( فَفَاسِدٌ ) كاعتقاد الفلسفى قدم العالم ( وَ ) الحكم ( غَيْرُ الْجَازِمِ ظَنٌّ وَوَهْمٌ وَشَكٌّ لأَِنَّهُ ) أى غير الجازم اما ( رَاجِحٌ ) لرجحان المحكوم به على نقيضه فالظن ( أَوْ مَرْجُوْحٌ ) لمرجوحية المحكوم به لنقيضه فالوهم ( أَوْ مُسَاوٍ ) لمساواة المحكوم به من كل من النقيضين على البدل للآخر فالشك فهو بخلاف ما قبله حكمان  كما قال إمام الحرمين والغزالى وغيرهما الشك اعتقادان يتقاوم سببهما وقال بعض المحققين ليس الوهم والشك من التصديق أى بل من التصور اذ الوهم ملاحظة الطرف المرجوح والشك التردد فى الوقوع واللاوقوع فما ازيد ممامر من ان العقل يحكم بالمرجوح أوالمساوى عنده ممنوع على هذا وقد أوضحت ذلك فى الحاشية وقد يطلق العلم على الظن كعكسه مجازا فالأول كقوله تعالى " فإن علمتموهن مؤمنات" أى ظننتموهن والثانى كقوله تعالى " الذين يظنون انهم ملاقوا ربهم " أى يعلمون  ويطلق الشك مجازا كما يطلق لغة على مطلق التردد الشامل للظن والوهم ومن ذلك قول الفقهاء من تيقن طهرا أوحدثا وشك فى ضده عمل بيقينه
(Kepastiannya) yaitu kepastian hukum, maksudnya hukum yang pasti (apabila tidak menerima perubahan) dengan sebab ada faktor yang menentukan kepastiannya, baik faktor itu sesuatu yang dapat dirasakan, meskipun rasa tersebut adalah rasa batin, atau faktor ‘aqal maupun ‘adat. Karena itu, ia sesuai dengan kenyataan sebenarnya, (maka kepastian itu dinamakan dengan ilmu). Seperti menghukumkan bahwa bagi rasa ada lapar atau haus, bahwa si Zaid bergerak dari orang-orang yang pernah melihat si Zaid bergerak atau menghukum bahwa alam baharu ataupun bahwa gunung terdiri dari batu. (dan jika tidak), artinya jika menerima perubahan karena tidak ada faktor-faktor  penentu yang telah disebutkan, baik kepastian itu sesuai dengan kenyataan sebenarnya ataupun tidak, karena berubah yang pertama dengan muncul keragu-raguan dan yang kedua dengan keragu-raguan dan juga dengan sebab terbuka kenyataan yang sebenarnya (maka itu adalah i’tiqad). Dan ia adalah i’tiqad yang shahih apabila sesuai dengan kenyataannya, seperti i’tiqad muqallid disunnahkan shalat Dhuha (dan apabila tidak), yaitu apabila tidak sesuai dengan kenyataannya, (maka adalah fasid), seperti i’tiqad kaum filsafat qadim alam.
(Dan) hukum yang tidak pasti adakalanya dhan, waham atau ragu, karena ia) yaitu karena yang tidak pasti itu adakala (rajih) karena lebih rajih mahkumbih-nya(1) atas lawannya, maka ini adalah dhan (atau dha’if) karena dha’if mahkumbih dibandingkan lawannya, maka dinamakan dengan waham(2) (atau sama kuatnya) karena sama kuat mahkumbih-nya yaitu dari setiap dua sisi yang saling berlawanan atas jalan badal(3) bagi yang lain, maka dinamakan dengan ragu-ragu, karena itu, ragu-ragu merupakan dua hukum, berbeda dengan yang sebelumnya, sebagaimana Imam Haramain, al-Ghazali dan selain keduanya mengatakan : “Ragu-ragu adalah dua i’tiqad yang seimbang kuat sebab keduanya.” Sebagian ulama tahqiq mengatakan : “Waham dan ragu-ragu tidak termasuk tashdiq” artinya namun termasuk tasawwur, karena waham memperhatikan sisi yang dha’if dan ragu-ragu adalah taraddud pada terjadi nisbah atau tidak terjadi nisbah. Maka hal-hal yang aku lebihkan yaitu yang telah lalu berupa sesungguhnya akal tertegahlah menghukumkan sisi yang dha’if atau yang sama kuat di sisi akal berdasarkan pendapat ini, sesungguhnya sudah aku jelaskan hal itu dalam al-Hasyiah. Kadang-kadang ilmu dimaknai dengan dhan secara mutlaq seperti sebaliknya dengan jalan majaz. Yang pertama seperti firman Allah Ta’ala :
فإن علمتموهن مؤمنات
Maknanya, kamu sangka mereka. Yang kedua seperti firman Allah Ta’ala :
الذين يظنون انهم ملاقوا ربهم
Maknanya, mereka mengetahui. Perkataan “Syak” dimaknai secara majaz sebagaimana dimaknai secara bahasa dengan makna mutlaq taraddud yang mencakup dhan dan waham. Termasuk dalam katagori ini perkataan fuqaha :
من تيقن طهرا أوحدثا وشك فى ضده عمل بيقينه
Artinya : Barangsiapa yang pernah yakin suci atau berhadats, kemudian syak pada lawannya, maka hendaknya dia mengamalkan dengan keyakinannya.

Penjelasannya
(1). Mahkumbih adalah hukum yang ditetapkan atas sesuatu, seperti menetapkan hukum akan terjadi hujan karena sudah nampak mendung di langit. Penetapan hukum terjadi hujan (mahkumbih) lebih rajih dibanding lawannya (tidak hujan). Penetapan ini disebut dengan dhan.
(2). Seperti menetapkan tidak ada hujan di saat ada mendung
(3). Artinya secara bergantian, karena tidak mungkin ditetapkan dengan dua hukum atas sesuatu secara bersamaan.

Jumat, 18 Januari 2013

Abuya Tgk H. Zamzami Syam


Innalillahi wainnailaihi rajiun. Telah berpulang ke rahmatullah seorang ulama besar Aceh, pemimpin pondok pesantren Darul Hasanah Syekh Abdurrauf As Singkili, Abuya Tgk H. Zamzami Syam di kediamannya di komplek pesantren sekitar pukul 15.20 wib hari ini, Jumat, 18 Januari 2013.
Almarhum yang dilahirkan di Desa Tring Meuduro Kecamatan Sawang, Aceh Selatan, pada tahun 1921 meninggal dunia dalam usia 91 tahun. Almarhum merupakan tokoh ulama kharismatik di Kabupaten Singkil. Ketika Kabupaten Singkil belum terpisah dari Aceh Selatan pernah menjabat sebagai anggota DPRK Aceh Selatan selama tiga periode pada tahun 1977-1992 dari Partai Golkar.
Sebelum menjadi anggota DPRK, beliau mendirikan dayah/pesantren di Aceh Singkil, tepatnya di Desa Kilangan pada tahun 1972. Sebelumnya juga pernah mengelola sebuah dayah/pesantren di kecamatan Meukek Aceh Selatan. Beliau juga seorang tokoh pendiri tarikat Naqsabandiyah sekaligus tokoh pendiri terbentuknya Kabupaten Aceh Singkil dan salah seorang ulama Aceh yang sangat gigih mempertahankan I’qtikad Ahlussunnah Waljamaah dan bermazhab Syafi'i dalam fiqh
Almarhum meninggalkan seorang istri yaitu Hj. Juraidah dan empat putra-putri yaitu Fauzi Yati, Aini Yati, M Walisyam dan Eni Yusridar.

Guru-Guru beliau
Pernah berguru kepada ulama besar Abuya Syekh Zakaria Labaysati di Padang Malalo dan pada ulama besar Aceh, Abuya Syekh Mudawali pendiri Pesantren Darussalam Labuhan Haji, Aceh Selatan. 
(Sumber : Atjeh Post, Analisa dan berbagai sumber lainnya)