Renungan

Rabu, 22 Januari 2014

Melaksanakan Shalat Tarawih tidak mencukupi 20 raka’at berdasarkan Mazhab Syafi’i

Sebagaimana yang masyhur diketahui bahwa bilangan shalat Tarawih dalam Mazhab Syafi’i adalah dua puluh raka’at. Namun pernah sebagian teman-teman kita bertanya,  bagaimana hukumnya seandainya seseorang yang mengikuti pendapat bahwa shalat Tarawih adalah dua puluh raka’at sesuai dengan ulama Mazhab Syafi’i, namun melakukan shalat sebagian raka’atnya saja seperti delapan raka’at dengan niat Tarawih, apakah shalat tersebut sah dan dapatkah orang tersebut pahala Tarawihnya ?
Untuk mengetahui jawabannya, marilah kita simak pendapat dua tokoh ulama besar dalam mazhab Syafi’i, yaitu Ibnu Hajar al-Haitamy dan al-Ramli sebagai berikut :
1.        Ibnu Hajar al-Haitamy dalam Tuhfah al-Muhtaj menyebutkan :
وَلَوْ صَلَّى مَا عَدَا رَكْعَةَ الْوِتْرِ فَالظَّاهِرُ أَنَّهُ يُثَابُ عَلَى مَا أَتَى بِهِ ثَوَابَ كَوْنِهِ مِنْ الْوِتْرِ؛ لِأَنَّهُ يُطْلَقُ عَلَى مَجْمُوعِ الْإِحْدَى عَشْرَةَ وَكَذَا مَنْ أَتَى بِبَعْضِ التَّرَاوِيحِ وَلَيْسَ هَذَا كَمَنْ أَتَى بِبَعْضِ الْكَفَّارَةِ خِلَافًا لِمَنْ زَعَمَهُ؛ لِأَنَّ خَصْلَةً مِنْ خِصَالِهَا لَيْسَ لَهَا أَبْعَاضٌ مُتَمَايِزَةٌ بِنِيَّاتٍ مُتَعَدِّدَةٍ يَجُوزُ الِاقْتِصَارُ عَلَى بَعْضِهَا بِخِلَافِ مَا هُنَا عَلَى أَنَّهُ لَا جَامِعَ بَيْنَهُمَا كَمَا هُوَ وَاضِحٌ.
“Jikalau seseorang melakukan shalat witir selain satu raka’at (sepuluh raka’at), maka dhahirnya diberikan pahala sesuai dengan yang dilakukannya sebagai pahala shalat witir, karena selain satu raka’at tersebut disebut secara ithlaq atas kumpulan sebelas raka’at, demikian juga orang-orang yang melakukan sebagian Tarawih. Ini tidak termasuk seperti orang yang melakukan sebagian kifarat. Pendapat ini berbeda dengan yang mendakwakan sama dengan kifarat, karena satu perkara dari perkara-perkara kifarat tidak ada bagian yang dibedakan dengan niat yang berulang-ulang sehingga dibolehkan hanya melakukan sebagiannya saja, ini berbeda dengan apa yang di sini, lebih lebih lagi antara keduanya itu tidak ada persamaannya sebagaimana yang jelas terlihat.”[1]

Syeikh Abd al-Hamid al-Syarwani dalam komentarnya terhadap teks Tuhfah al-Muhtaj di atas mengatakan :
(قَوْلُهُ: وَكَذَا مَنْ أَتَى بِبَعْضِ التَّرَاوِيحِ) أَيْ كَالِاقْتِصَارِ عَلَى الثَّمَانِيَةِ فَيُثَابُ عَلَيْهِمْ ثَوَابَ كَوْنِهَا مِنْ التَّرَاوِيحِ، وَإِنْ قَصَدَ ابْتِدَاءً الِاقْتِصَارَ عَلَيْهَا كَمَا هُوَ الْمُعْتَادُ فِي بَعْضِ الْأَقْطَارِ
“(Perkataan pengarang : demikian juga orang-orang yang melakukan sebagian Tarawih.) maksudnya seperti melakukan hanya delapan raka’at, maka diberikan pahala kepada mereka sebagai pahala Tarawih, meskipun diqashadkan pada awalnya hanya melakukan delapan saja sebagaimana yang menjadi kebiasaan pada sebagian daerah.”[2]

2.        Imam al-Ramli dalam Nihayahnya mengatakan :
وَلَوْ صَلَّى مَا عَدَا أَخِيرَةِ الْوِتْرِ أُثِيبَ عَلَى مَا أَتَى بِهِ ثَوَابُ كَوْنِهِ مِنْ الْوِتْرِ فِيمَا يَظْهَرُ؛ لِأَنَّهُ يُطْلَقُ عَلَى مَجْمُوعِ الْإِحْدَى عَشْرَةَ، وَمِثْلُهُ مَنْ أَتَى بِبَعْضِ التَّرَاوِيحِ، وَلَيْسَ هَذَا كَمَنْ أَتَى بِبَعْضِ الْكَفَّارَةِ، وَإِنْ ادَّعَاهُ بَعْضُهُمْ؛ لِأَنَّ خَصْلَةً مِنْ خِصَالِهَا لَيْسَ لَهُ أَبْعَاضٌ مُتَمَيِّزَةٌ بِنِيَّاتٍ مُتَعَدِّدَةٍ بِخِلَافِ مَا هُنَا.
“Jikalau seseorang melakukan shalat witir selain raka’at akhir witir, maka diberikan pahala sesuai yang dilakukannya sebagai pahala witir menurut pendapat yang dhahir, karena selain raka’at akhir witir disebut secara ithlaq atas kumpulan sebelas raka’at, sama dengannya orang yang melakukan sebagian shalat Tarawih. Ini tidaklah sama dengan orang yang melakukan sebagian kifarat, meskipun didakwakan begitu oleh sebagian mereka, karena karena satu perkara dari perkara-perkara kifarat tidak ada bagian yang dibedakan dengan niat yang berulang-ulang, ini berbeda dengan apa yang di sini.”[3]

Kesimpulan
1.      Meskipun dalam mazhab Syafi’i jumlah bilangan raka’at Tarawih dua puluh raka’at, namun apabila seseorang melakukan shalat Tarawih dibawah dua puluh raka’at, misalnya delapan raka’at, maka shalatnya sah dan tetap dapat pahala shalat Tarawih, namun kadar pahalanya tentu tidak sama dengan shalat Tarawih yang dilakukan secara sempurna, yakni dua puluh raka’at, karena beramal dengan qawaid fiqh berbunyi :
ما كان اكثر فعلا كان اكثر فضلا
“Yang banyak perbuatan itulah yang banyak kelebihan.[4]

2.   Menurut al-Syarwani, mendapat pahala Tarawih di atas, meskipun dari awalnya memang mengqashad melakukan sebagiannya saja.




[1] Ibnu Hajar al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, Dicetak pada hamisy Hawasyi Syarwani, Cet. Mathba’ah Mushthafa Muhammad, Mesir, Juz. II, Hal. 225
[2] Syeikh Abd al-Hamid al-Syarwani, Hawasyi Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, Cet. Mathba’ah Mushthafa Muhammad, Mesir, Juz. II, Hal. 225
[3] Imam al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, Cet. Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 112
[4] Al-Suyuthi, al-Asybah wan Nadhair, al-Haramain, Singapura, Hal. 98

6 komentar:

  1. bagaimana kalau melakukan tarawih 8 rakaát, plus menganggap " bidáh tarawih yang 20 rakaat" ?
    ini adalah fakta yang riil di kalangan wahabi

    BalasHapus
    Balasan
    1. menuduh bid'ah shalat Tarawih 20 raka'aat ? itu artinya kita telah menuduh bid'ah kepada Umar bin khatab dan sahabat 2 nabi lainnya, karena beliau dan sahabat nabi pada zamannya juga melakukan Tarawih 20 raka'at .
      tentang jumlah raka'at tarawih, kunjungi posting berikut :
      http://kitab-kuneng.blogspot.com/2011/06/jumlah-rakaat-shalat-tarawih.html

      wassalam

      Hapus
    2. tolong ke ujung mata rantainya,teungku: apa hukum nya menganggap bidáh tarawih 20 rakaát??
      apakah berefek kepada Riddah?

      Hapus
    3. 1. riddah terjadi apabila mengingkari hukum Allah yang sharih dan terang yang ijmak atasnya tanpa ta'wil.(lihat i'anah al-thalibin, bab riddah)

      2. menurut hemat kami, yang menuduh bid'ah tarawih 20 , mereka tidak mengi'tiqad bahwa sahabat nabi melakukan bid'ah, meskipun lazim dari menuduh bid'ah tarawih 20 adalah menuduh sahabat nabi melakukan bid'ah, karena ada qaidah : lazim mazhab bukanlah mazhab. apalagi riwayat umar dan sahabat lain melakukan tarawih ada dua riwayat, riwayat pertama 20 dan satu riwayat lagi 8 raka'at. cuma jumhur ulama sepakat mentashihkan riwayat 20 raka'at.

      3. berdasarkan di atas, maka kami berpendapat menuduh tarawih 20 bid'ah, termasuk katagori mubtadi' (pelaku bid'ah), karena salaful shaleh terdahulu tidak pernah menuduh tarawih 20 bid'ah dan mereka golongan fasiq, karena telah menuduh orang lain tercela tanpa ilmu.

      wassalam

      Hapus
  2. trims, jawaban sangat objektif.
    namun sayang , membahas ilmu fiqh selalu bercabang dan ranting yg banyak. salah satunya;
    > kalau mereka kita klaim Fasiq, maka bagaimana respont teungku terhadap mubtadi'yang menjadi wali nikah , imam shalat, dst ( 'amal-'amal yang di syaratkan 'adalah) ??

    BalasHapus
    Balasan
    1. 1. tentu konsekwensinya berlaku untuk cabang2 fiqh lainnya, seperti dalam berjama'ah di mana imamnya ahli bid'ah/fasiq, maka dalam fiqh syafi'i makruh mengikutinya.

      2. masalah nikah, tentu kita tidak bisa memvonis semua pernikahan yg walinya ahli bid'ah/fasiq menjadi tidak sah nikah, karena tidak semua mazhab berpendapat tidak sah nikah kalau wali fasiq. mazhab syafi'i dan hambali mengatakan tidak sah nikah, sedangkan maliki dan hanafi berpendapat sah. bahkan imam ghazali (pengikut syafi'i ) dan beberapa ashab syafi'i lainnya berpendapat sah apabila dihilangkan wali dari kerabatnya yg fasiq akan menyebabkan berpindah wali tersebut kepada hakim yg fasiq juga seperti yg banyak terjadi zaman sekarang (zaman imam ghazali).

      wassalam

      Hapus