(Posting
ini merupakan copi paste dari http://www.santridayah.com/2012/12/teungku-aidarus-sang-ulama-dan-pejuang)
Tengku ‘Aidarus yang akrab disapa dengan Abu Mesjid
Sabang dengan nama lengkap beliau adalah Syech Al Hajj ‘Aidarus Bin Al Hajj
Sulaiman. Beliau adalah salah seorang Ulama tinggi dimasa pra kemerdekaan
Republik Indonesia disamping itu beliau juga seorang pejuang dalam melawan
penjajahan Belanda khususnya di tanah Daya Lamno Jaya yang sekarang berkaputen
Aceh Jaya.
Teungku
‘Aidarus dilahirkan dari hasil pernikahan Teungku H. Khatib Sulaiman Ibnu
Nakhoda Muhammad Thaib dengan Hajjah Khadijah pada Tahun 1290 Hijriyah atau
yang bertepatan dengan 1871 Masehi (tanggal dan bulan tidak diketahui secara
pasti) di desa Leupee,Lamno. Dilihat dari Silsilah beliau memang di besarkan
dalam keluarga yang berlatar belakang Ulama. Ayahnya adalah seorang Ulama yang
masih memiliki hubungan darah dengan Sultan Alaiddin Ri’ayat Syah atau Po
Teumereuhom yang menjadi raja pada Kerajaan Daya di Lamno sekitar Abad 16 M.
Sebagaimana lazimnya anak-anak tempo dulu, bentuk
pendidikan dasar dilakukan oleh orang tua,disamping pada saat itu belum ada
pendidikan formal sehingga teungku ‘Aidarus belajar ilmu keagamaan pada
ayahandanya. setelah mengunyam pendidikan dasar dan belajar Al Qur’an hingga
khatam pada orang tuanya barulah teungku ‘Aidarus (kecil) melanjutkan
Pendidikan pada teungku Muhammad Saleh Lhue salah satu desa di daerah Lamno,
disini Teungku ‘Aidarus mulai belajar beberapa kitab Arab Jawi dan beliau juga
mulai belajar kitab-kitab berbahas Arab, khususnya kitab Nahu dan Sharaf
seperti kitab Awamil, Jarumiyah dan kitab mutammimah hingga tamat.
Sejak itu, Teungku ‘Aidarus sudah memperlihatkan
tanda-tanda kecerdasannya di antara murid-murid yang lain, beliau termasuk
murid yang jenius. Setiap pelajaran yang diberikan gurunya dapat dengan cepat
di fahami dan dengan mudah dapat dihafalkannya. melihat Semangat belajar
teungku ‘Aidarus (muda) sangat tinggi maka ayahandanya teungku H.Sulaiman terus
mendorong puteranya ini untuk melanjutkan pendidikan pada Teungku H. Muhammad
Arif seorang Ulama Ahli Fiqih dan Tasawuf kala itu.
Selama beberapa Tahun Belajar pada Teungku H. Muhammad
Arif, Teungku ‘Aidarus sudah menguasai ilmu Fiqih dan Tasawuf secara mendalam.
karena kejelian dan keuletan beliau dalam mengunyah ilmu sehingga sang guru
Teungku H. Muhammad Arif memberikan perhatian lebih kepada Teungku ‘Aidarus
sebagai salah satu murid kesayangannya. Hal itu di buktikan oleh sang guru
dengan sikap didikan yang menuntun segala kemampuan Teungku H. Muhammad Arif
dengan segala ilmunya di tempah kepada Teungku ‘Aidarus termasuk Ilmu
Akhlak sebagai Ilmu yang sangat di sukai oleh Teungku H.Muhammad Arif sendiri.
Setelah sekian lamanya berguru pada Teungku H. Muhammad
Arif, karena sang guru melihat bakat yang luar biasa pada Teungku ‘Aidarus sang
guru menyarankan agar Teungku ‘Aidarus melanjutkan pendidikan ke jenjang
yang lebih tinggi yaitu di Dayah Bung Cala, Aceh Besar yang dikala itu di
pimpin Oleh Teungku H. Ahmad Tanoeh Mirah. saran gurunya di sambut baik oleh
Teungku ’Aidarus sehingga Ia di antarkan oleh orang tuanya ke Dayah Teungku H.
Tanoh Mirah Aceh Besar. Hal ini sesuai permintaan Teungku H. Tanoh Mirah itu
sendiri disaat berkunjung ke kampung leupee Lamno dan bertemu dengan Teungku H.
Muhammad Arif, sang guru menceritakan kepada Teungku H. Tanoeh Mirah akan
kecerdasan dari muridnya ini.
Saat itulah rasa ketertarikan Teungku H. Tanoeh Mirah
untuk meminta agar Teungku ‘Aidarus dapat melanjutkan pendidikannya pada Dayah
yang di pimpinnya itu. Teungku ‘Aidarus sampai di Dayah Bung Cala bertepatan
dengan kenduri 40 hari syahidnya pahlawan Nasional Teungku H. Muhammad Saman di
Tiro yang lebih di kenal dengan sebutan Teungku Chik Di Tiro. Menurut riwayat Teungku
‘Aidarus sendiri sempat turut serta dalam pengajian Al quran dan berdoa serta
tahlilan pada malam kenduri 40 hari wafatnya Teugku Chik Di Tiro. Selama tiga
tahun beliau belajar pada teungku Tanoh Mirah di Aceh Besar, beliau telah
menguasai kitab-kitab yang paling pokok seperti, kitab Matan Minhajut Thalibin
karangan Imam Nawawi dan kitab Alat seperti Kitab Matan Alfiyah Karangan Imam
Malik, Kedua kitab ini bukan hanya sekedar bisa di baca tetapi dapat di artikan
dan di tela’ah serta di hafal di luar kepala (lancar).
Selain itu Teungku ‘Aidarus juga mendalami Ilmu
Manthiq (Logika), Bayan dan Ma’ani, disamping beliau belajar Ia juga sering
bertukar pikiran tentang ilmu yang telah di pelajari dengan Teungku Abdurrahman
Teumareum untuk menguji kemampuan yang mereka miliki. setelah tiga tahun beliau
menimba ilmu di Dayah Bung Cala Aceh Besar terpaksa harus berakhir karena
pimpinan Dayah termasuk Teungku Tanoh Mirah harus bergabung dengan para Ulama
lainnya melakukan Perang Fisabilillah meneruskan perjuangan Teungku Chik Di
Tiro.
Sebelum beliau meninggalkan Dayah Teungku Tanoh Mirah
di Aceh Besar sang guru terlebih dulu mengijazahkan muridnya untuk membuka
dayahnya sendiri disamping itu sang guru juga membekali Teungku ‘Aidarus dengan
berbagai ilmu Thariqat seperti Thariqat Thahariyah, Haddadiyah dan Berbagai doa
lainnya. ketika itu juga sang guru juga mewasiatkan kepada Teungku ‘Aidarus
agar setibanya di negeri Daya Lamno agar dapat menggerakkan umat Islam untuk
berjihad Fisabilillah mengusir penjajah Belanda di Bumi Aceh. Pesan Teungku
Tanoh Mirah ini sambil Ia menyerahkan sebilah pedang kepada Teungku ‘Aidarus.
setiba beliau di kampung halaman beliau langsung melaksanakan amanah sang guru
dengan menyerukan kepada masyarakat Lamno untuk jihad Fisabilillah melawan
Belanda yang kala itu menjajah kawasan Nanggroe Daya tersebut. Teungku ‘Aidarus
sendiri saat itu terjun lansung memimpin barisan melawan penjajah dengan
masyarakat di Lamno. sampai sekarang masyarakat Lamno masih dapat menunjukkan
bukti keterlibatan Teungku ‘Aidarus sebagai Ulama dan pemimpin perang melawan
Belanda yaitu tempat persembunyian lascar mujahidin pimpinan Teungku ‘Aidarus
di Guha Sejhik Beranak di kaki Gle Calhek Kuala Daya manakala pasukan Teungku
‘Aidarus di kejar oleh penjajah Belanda.
Dalam riwayat diceritakan bahwa sebelum beliau
memimpin gerilya kala umurnya berusia 25 tahun beliau menikah dengan Siti Hawa
yang berasal dari Lame, dari hasil perkawinannya dengan Nyak Ti Hawa
(panggilan Akrab Ummi Siti Hawa) di karuniailah dua orang putera yaitu Muhammad
Adam (meninggal dikala remaja) dan Muhammad Juned (meninggal di usia masih
kanak-kanak). Karena takdir sedemikian maka beliau mengadopsi Keponakannya
yaitu Teungku Darimi sebagai penerus jejak beliau. Di masa tersebut juga beliau
menunaikan Ibadah Haji bersama orang tuanya Teungku H. Sulaiman. Selama di
Mekah rasa kehausan beliau terhadap ilmu Allah kembali sangat terasa, beliau
mempergunakan kesempatan untuk mendalami ilmunya pada Ulama yang mengajar di
Masjidil Haram layaknya kata pribahasa Sambil menyelam minum Air itulah
filosofi dari Teungku ‘Aidarus. selama di Mekah beliau belajar tentang
perbandingan Empat Mazhab dan Ilmu Dalail Khairat serta Hizib-Hizib yang
terdapat pada pinggir kitab Dalail yang diajarkan oleh para Ulama disana di antaranya
Syech Said Ridwan bin Saidi Ridwan. rasa kehausan beliau terhadap ilmu terpaksa
terhenti perjalanannya karena mengingat beliau harus segera kembali ke negeri
Daya karena saat itu sedang di jajah oleh Belanda untuk memimpin barisan
melawan penjajah Belanda.
Sepulang dari Mekah, Teungku ‘Aidarus mengetahui bahwa
banyak diantara Ulama di Aceh Besar dan Pidie telah Syahid di medan perang maka
Teungku ‘Aidarus bertekad menghadapi tugas yang lebih berat lagi yaitu menyeru
ummat untuk terus berjihad di jalan Allah. Dalam riwayat di ceritakan, ketika
itu Teungku ‘Aidarus bermimpi bertemu dengan gurunya Teungku Tanoh Mirah, di
dalam mimpi sang guru berpesan kepada beliau agar dapat mengalihkan jihadnya
dari melawan kafir kepada jihad melawan kebodohan dengan mengembangkan
pendidikan Agama. Karena Isyarat sang guru itulah kemudian Teungku ‘Aidarus
mulailah membuka pengajian pertama kali di Meunasah Rayeuk Lamno. Berawal dari
sini para santri penuntut Ilmu Agama berdatangan untuk menimba ilmu yang
di ajarkannya didayah yang sederhana itu.
Setelah dua tahun beliau membuka pengajian di Meunasah
Rayeuk kemudian masyarakat Meukhan meminta agar beliau membuka pengajian di
Meukhan serta menetap di daerah itu juga. di tempat yang baru ini pengajian
terus berkembang pesat berbagai santri terus berdatangan selain dari masyarakat
Lamno juga terdapat santri dari luar daerah Daya, Lamno. diantaranya Aceh
Barat, Aceh Selatan dan Aceh lain yang mencari seberkah cahaya dari beliau.
Dengan demikian Dayah yang dipimpin oleh Teungku ‘Aidarus di Meukhan Lamno
semakin termasyhur dengan banyaknya santri yang datang dari berbagai pelosok
belajar pada dayah yang di pimpinnya itu, Semakain banyaknya murid yang
meudagang (menuntut ilmu Agama) pada beliau maka beliau mulai sedikit kewalahan
menampung para santrinya karena tempat pemondokan didayah pengajiannya agak
terbatas. Sehingga dengan berbagai pertimbangannya, Teungku ‘Aidarus harus
mengembangkan dayahnya secara permanen untuk dapat menampung hingga ratusan
yang menetap di dayahnya. Atas pertimbangan itulah Teungku ‘Aidarus harus
kembali lagi ke kampung asalnya yaitu kampung Leupee untuk membuka dayah yang
lebih besar dan permanen untuk menampung jumlah santri yang lebih luas.
Cita-cita itu kiranya telah menumbuhkan hasil sehingga
pada tahun 1911 M Teungku ‘Aidarus resmi Mendirikan Dayah secara teroganisir di
kampung Leupee, Dayah Masjid Sabang dengan nama ‘Aidarusiah atau yang lebih
akrab di kenal Dayah Masjid Sabang yang kemudian dayah ini berkembang sangat
pesat di bawah tampuk kepemimpinan Teungku ‘Aidarus. Sejalan dengan waktu yang
terus meranjak usia beliaupun sudah tua dan janji Allah pun datang menghampiri
Teungku ‘Aidarus. Beliau berpulang ke sisi Allah SWT. Pada tanggal 5 Ramadhan
1372 H atau bertepatan 18 Mei 1953 M di kala usia beliau 82 tahun.
Hilang sudah sang Mujahidin Islam dikala itu
masyarakat Lamno terpukul dengan berita wafatnya beliau dan rasa sedih
menyelimuti tanah Daya, Lamno. Kenapa begitu cepat beliau di panggil ke
hadhiratNya inilah salah satu bukti kebesaran Allah. Selama masa hidup beliau
juga terkenal sangat ‘alim dalam kajian Ilmu Nahu dan Fiqh sehingga banyak para
Ulama di masa beliau merujuk kepada Teungku ‘Aidarus untuk mencari Solusi
permasalan tentang hukum syar’i. Namun setelah Beliau wafat tidak ada warisan
selain amanah lanjutkan syiar Agama di muka bumi Allah itu salah satu amanah
pada detik-detik kepulangan Beliau kepada Allah SWT, dan kini tampuk
kepemimpinan dayah ‘Aidarusiah Mesjid Sabang di estafetkan dibawah pimpinan
keponakannya yaitu Teungku Darimi sampai sa’at ini. [TM]
Jadi tengku,,sekarang di dayah/pesantren2 masih mengajarkan kitab Daqaiqul Akhbar sebagai salah satu mata pelajaran dan santri2 pun banyak yang langsung bertaklid kepada kitab tersebut,saya sendiri pernah mengaji kitab ini dan banyak hal-hal ganjil diluar akal sehat kita, contohnya hulu sungai gangga dan sungai Nil berada sampai ke A'rasy,,apakah tidak sebaiknya kitab2 seperti ini dihentikan dulu untuk pengajiannya tetapi harus dilakukan pengkajian mendalam keotentikannya dulu? sebab para santri ini pergi mengaji biar mereka pintar bukannya malah bingung dan turun ke dalam masyarakat akan ikut membingungkan masyarakat,,mohon penjelasan teungku demi menyelamatkan ummat "Katakan yang benar walau itu pahit !" sebenarnya hal ini harus diluruskan juga bukan saja masalah2 aliran sesat,,, syukran...kami mohon jawabannya..
BalasHapusJika ini memang privacy bisa teungku kirim email ke hermansyahputra2004@gmail.com sekali lagi syukran katsiran.