Renungan

Senin, 26 Desember 2016

Apakah kalau tidak beramal, tidak boleh amar ma’ruf (Penafsiran Q.S. al-Baqarah : 44 menurut al-Subki)

Ada sebagian kita yang tidak mau melaksanakan amar ma’ruf, karena beralasan dirinya sendiri tidak mengamalkannya. Ayat al-Qur’an yang sering dijadikan agumentasinya adalah Q.S. al-Baqarah : 44, yang berbunyi sebagai berikut :
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
Artinya :Apakah kalian memerintah manusia dengan kebajikan, sementara kalian melupakan diri kalian sendiri. Padahal kalian membaca al-Kitab. Apakah kalian tidak berpikir. (Q.S. al-Baqarah : 44)

              Lalu bagaimana penafsirannya yang benar?.
                          Imam al-Subki menjelaskan kepada kita, apabila terjadi pelarangan dari dua perbuatan atau satu perbuatan yang dikaidkan atas perbuatan yang lain, maka terdapat beberapa pembagian, yakni :
1.      Masing-masing perbuatan itu mubah, tidak tercela. Yang tercela hanyalah  mengumpulkan keduanya. Masing-masing keduanya merupakan bagian dari ‘illah (alasan) tercela. Contohnya perkataan manusia :
لا تأكل السمك وتشرب اللبن
Jangan kamu makan ikan dan minum susu.

2.      Salah satunya terpuji dan yang lain tercela. Akan tetapi tercelanya yang tercela lebih besar disaat bersama yang terpuji, dibandingkan tercela tersendiri tanpa bersama yang terpuji. Contohnya Q.S. al-Baqarah : 44 di atas. Kebanyakan yang kedua ini apabila bentuknya dimulai dengan yang terpuji, kemudian baru disebut yang tercela sebagaimana ayat di atas.
Penjelasannya, sebab datang ayat dalam uslub ini adalah qashad mendahulukan sebab (amar ma’ruf) atas musabbab (mengamalkan untuk diri sendiri), karena perintah kebajikan kepada manusia sepatutnya merupakan sebab memerintahkan diri sendiri untuk mengamalkannya. Karena itu, apabila seseorang yang melakukan amar ma’ruf, tetapi dia tidak mengamalkannya, maka itu sangatlah keji dan itu lebih keji dari pada datang sebuah perintah seperti : “Kerjakanlah dan jangan kamu lupakan dirimu sendiri”.
Mendekati uslub ini antara lain hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim berbunyi :
اذا كان يوم صوم احدكم فلا يرفث ولا يفسق
Apabila salah seorang kamu dalam keadaan berpuasa, maka jangan berkata kejji dan melakukan perbuatan pasiq.(H.R. al-Bukhari dan Muslim)

Berkata keji dan melakukan perbuatan fasiq dilarang, baik atas orang berpuasa ataupun yang tidak berpuasa, namun berkata keji dan melakukan perbuatan fasiq lebih keji apabila dilakukan oleh orang yang sedang berpuasa. Karena puasa merupakan sebab yang kuat menjauhkan perkataan keji dan perbuatan fasiq.
Sebelum menafsirkan Q.S. al-Baqarah : 44 sebagaimana penafsiran di atas, Imam al-Subki meletakkan pondasi penafsiran kepada kita sebagai berikut :
a.    Amar ma’ruf merupakan kebajikan dan wajib dikerjakan, baik seseorang itu mengamalkan atau tidak mengamalkannya.
b.      apabila seseorang tidak mengamalkannya serta juga tidak melakukan amar ma’ruf, maka atasnya dua dosa, yakni dosa meninggalkan amar ma’ruf dan dosa tidak mengamalkan kewajiban.

Kesimpulan
            Amar ma’ruf tetap terpuji (wajib), meski datangnya bersamaan dengan meninggalkan pengamalannya untuk diri sendiri. Namun dosa meninggalkan pengamalannya akan lebih besar disaat bersamaan dengan amar ma’ruf.

(Lihat Fatawa al-Subki, Cet. Darul Ma’rifah, Beirut, Juz. I, Hal. 19-20)
             




Minggu, 25 Desember 2016

Pengertian perkataan ahli hadits “La Ashla lahu”

Sering kita jumpai ahli hadits mengatakan “La Ashla lahu” dalam menilai sebuah hadits. Dari beberapa rujukan kitab karya ahli hadits kita jumpai bahwa pengertiannya itu berkisar antara hadits mauzhu’ dan hadits dhaif. Jadi tidak serta merta dipahami sebagai hadits mauzhu’.
Berikut ini beberapa rujukan kitab dimaksud, yakni :
1.        Al-Suyuthi dalam kitabnya Tadriib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Rawi mengatakan :
قولهم هذا الحديث ليس له اصل او لا اصل له, قال ابن تيمية معناه ليس له اسناد
Perkataan mereka (ahli hadits), tidak ada baginya asal atau tidak ada asal baginya. Ibnu Taimiyah mengatakan, maknanya adalah tidak isnad baginya.[1]

2.    Dalam mengomentari hadits :
امرت ان احكم بالظاهر...,
Al-Shakhawi mengatakan :
ولا وجود له في كتب الحديث المشهورة ولا الاجزاء المنثورة وجزم العراقي بانه لا اصل له وكذا انكره المزي وغيره
Tidak terdapat hadits tersebut dalam kitab-kitab hadits yang masyhur dan tidak juga dalam juzu’-juzu’ yang tersebar. Al-Iraqi telah memastikan hadits itu tidak ada asal baginya. Demikian juga al-Mazzi dan lainnya telah mengingkarinya.[2]

3.    Dalam kitab al-‘Ilal karya Ibnu Abi Hatim disebutkan :
وسألتُ أَبِي عَنْ حديثٍ رَوَاهُ كَثِير ابن هِشَامٍ عَنْ كُلْثوم بْنِ جَوْشَن، عَنْ أيُّوبَ السَّخْتِياني، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ؛ قَالَ: قَالَ رسولُ الله صلعم : التَّاجِرُ الصَّدُوقُ الأَميِنُ المُسْلِمُ مَعَ الشُّهَداءِ يَوْمَ القِيَامَةِ؟ قَالَ أَبِي: هَذَا حديثٌ لا أصلَ لَهُ، وكُلْثومٌ ضعيفُ الْحَدِيثِ.
Aku bertanya kepada bapakku tentang hadits yang diriwayat oleh Katsir ibn Hisyam dari Kaltsum bin Jusyan dari Ayyub al-Sakhtiyani dari Nafi’ dari Ibnu Umar, beliau berkata, Rasulullah SAW bersabda : “Pedagang yang jujur, amanah dan muslim adalah bersama orang syahid pada kiamat.” Bapakku menjawab : “Hadits ini tidak ada asal baginya, sedangkan Kultsum dhaif hadits.”[3]

Dhahir dari pernyataan Abi Hatim di atas, maksud beliau, “la ashla lahu” bermakna dhaif, bukan mauzhu’ dan bukan tidak ada isnad sama sekali.
4.    Al-Marwadzi pernah bertanya kepada Yahya bin Ma’in :
سَأَلْتُ يَحْيَى بْنَ مَعِينٍ عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ، يَعْنِي حَدِيثَ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تَفْتَرِقُ أُمَّتِي قَالَ: لَيْسَ لَهُ أَصْلٌ، قُلْتُ: فَنُعَيْمُ بْنُ حَمَّادٍ؟ قَالَ نُعْيَمٌ ثِقَةٌ، قُلْتُ: كَيْفَ يُحَدِّثُ ثِقَةٌ بِبَاطِلٍ؟! قَالَ: شُبِّهَ لَهُ.
Aku pernah menanyai kepada Yahya bin Ma’in tentang hadits ini, yakni hadits ‘Auf bin Malik dari Nabi SAW : “Umatku akan pecah.....”. Yahya bin Ma’in mengatakan, tidak ada baginya asal. Aku katakan, “Nu’aim bin Humad?”. Beliau menjawab, “Nu’aim tsiqqah”. Bagaimana seorang tsiqqah mendatangkan hadits batil?. Jawaban beliau, “menyerupai itu”.[4]
           
Dhahir dari pernyataan Yahya bin Ma’in di atas, maksud beliau, “la ashla lahu” bermakna dhaif, bukan mauzhu’ dan bukan tidak ada isnad sama sekali, karena hadits ini banyak sanadnya.
            Thariq bin ‘Awadhillah seorang ahli hadits kontemporer, mengatakan tidaklah serta merta maksud dari perkataan ahi hadits “tidak ada asal baginya” merupakan nafi jenis isnad, hanya saja itu menafikan hadits tersebut sebagai asal dalam rujukan, yakni sebagai sumber yang sahih, atau isnad yang shahih sebagai hujjah dalam rujukan.[5]





[1] Al-Suyuthi, Tadriib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Rawi, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 162
[2] Al-Shakhawi, al-Maqashid al-Hasanah, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut,  Hal. 91
[3] Ibnu Abi Hatim, al-‘Ilal, (Versi Maktabah Syamilah), Juz. III, Hal. 642, No. 1156
[4] Khatib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, (Versi Maktabah Syamilah), Juz. XIII, Hal. 309
[5] Thariq bin ‘Awadhillah, Syarh Lughah al-Muhaddits, Maktabah Ibnu Taimiyah,  Hal. 427

Selasa, 20 Desember 2016

Kasus kewarisan anak dari saudara laki-laki terhalang waris oleh saudari perempuan

Ada pertanyaan dari salah seorang sahib kita, yakni masalah kewarisan. Kasusnya adalah seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris sebagai berikut :
1.      Seorang isteri
2.      5 orang anak perempuan
3.      2 orang saudari perempuan
4.      1 orang anak laki-laki dari saudara laki-laki.

Penyelesaiannya adalah sebagai berikut :
1.      Seorang isteri              =1/8 (karena ahli waris punya anak)
2.      5 anak perempuan       = 2/3
3.      2 saudari perempuan   = ashabah
4.      Anak laki-laki dari saudara laki-laki tidak dapat warisan karena dihalangi oleh 2 saudari perempuan (anak laki-laki dari saudara laki-laki dihalangi oleh saudari-saudari perempuan yang menjadi ashabah apabila dalam ahli waris terdapat anak-anak perempuan)
Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan :
وَإِنَّ بَنِي الْإِخْوَةِ لَا يَرِثُونَ مَعَ الْأَخَوَاتِ إذَا كُنَّ عَصَبَاتٍ مَعَ الْبَنَاتِ بِخِلَافِ آبَائِهِمْ
Sesungguhnya anak-anak laki-laki dari saudara laki-laki tidak mendapat warisan bersama saudari-saudari perempuan, seandainya saudari-saudari perempuan tersebut merupakan ashabah dengan sebab bersama anak-anak perempuan. Ini berbeda dengan bapak mereka.[1]

Dengan demikian, maka penyelesaiannya warisan di atas adalah :
1.      Seorang isteri              =1/8 x 24 = 3/24
2.      5 anak perempuan       = 2/3x 24 = 16/24
3.      2 saudari perempuan   = 5/24 (sisa harta)


  




[1] Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, Mathbaah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. 6, Hal. 408

Hadits “Hati adalah rumah tuhan”

Lafazhnya adalah sebagai berikut :
القلب بيت الرب
Hati adalah rumah tuhan

Ismail al-‘Ajaluni mengatakan al-Zarkasyi, al-Shakhawi dan al-Suyuthi mengatakan, hadits ini tidak asalnya.[1] Mulla Ali al-Qaari mengatakan al-Zarkasyi dan lainnya mengatakan, hadits ini tidak ada asal baginya. Ibnu Taimiyah mengatakan, mauzhu’.[2] 
Dalam al-Maqashid al-Hasanah, al-Shakhawi mengatakan, tidak ada asal baginya yang marfu’.[3] Dalam kitabnya al-Tazakkurah fi Ahadits al-Musytahirah, al-Zarkasyi mengatakan, ini bukanlah kalam Nabi SAW.[4]



[1] Al-‘Ajaluni, Kasyf al-Khufa, Maktabah al-Qudsi, Kairo, Hal. 99
[2] Mulla Ali al-Qaari, al-Masnu’ fi Ma’rifah al-Hadits al-Mauzhu’, Maktabah al-Mathbu’ah al-Islamiyah, Halab, Hal. 131
[3] al-Shakhawi, al-Maqashid al-Hasanah, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Hal. 308
[4] Al-Zarkasyi, al-Tazakkurah fi Ahadits al-Musytahiah, (Versi Maktabah Syamilah), Hal. 136

Senin, 19 Desember 2016

Hadits “Agama adalah akal....”

الدين هو العقل ولا دين لمن لا عقل له
Agama adalah akal dan tidak agama bagi orang yang tidak ada akal baginya.
Dalam kitab , Zail al-Lala’i  Masnu’ah, karya al-Suyuthi disebutkan : al-Nasa’i mengatakan, hadits ini batil dan mungkar. Al-Azdi mengatakan, Basyar tidak dikenal (salah satu perawinya adalah Abu Malik Basyar bin Ghalib bin Basyar).[1]
Mulla Ali al-Qaari juga telah mengutip perkataan al-Nasa’i di atas dalam kitabnya, al-Masnu’ fi Ma’riah al-Hadits al-Mauzhu’.[2]
Dalam kitab , Zail al-Lala’i  Masnu’ah, karya al-Suyuthi juga disebut sebuah hadits yang serupa dengan hadits di atas, yakni :
قوام امرئ عقله ولا دين لمن لا عقل له
Yang meluruskan seseorang adalah akalnya dan tidak ada agama bagi orang yang tidak akal baginya.

            Hadits ini telah ditakhrij oleh al-Baihaqi dari jalur Hamid bin Adam dari Abu Ghanim dari Abi Zubair. Kemudian al-Baihaqi mengatakan, Hamid menyendiri, sedangkan dia dituduh berdusta.[3]



[1] Al-Suyuthi, Zail al-Lala’i  Masnu’ah, Maktabah al-Maarif, Riyadh, Hal. 66
[2] Mulla Ali al-Qaari,  al-Masnu’ fi Ma’riah al-Hadits al-Mauzhu’, Maktab al-Mathbu’ah al-Islamiyah, Halab, Hal. 207, No. 398
[3] Al-Suyuthi, Zail al-Lala’i  Masnu’ah, Maktabah al-Maarif, Riyadh, Hal. 56

Minggu, 18 Desember 2016

Hadits qudsi “Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi...”

كنت كنزاً لا أعرف، فأحببت أن أعرف فخلقت خلقاً فعرفتهم بي فعرفوني
Aku pada mulanya adalah perbendaharaan yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Kuciptakan makhluk untuk memperkenalkanku kepada mereka, maka merekapun mengenal-Ku
Berikut perkataan ahli hadits dalam mengomentari hadits di atas :
1.      Al-Shakhawi mengatakan :
“Ibnu al-Taimiyah mengatakan, ini bukan kalam Nabi SAW, tidak dikenal sanadnya, baik shahih maupun dha’if. Pendapat ini juga telah diikuti oleh al-Zarkasyi dan guru kami (Ibnu Hajar al-Asqalani).[1]

2.      Al-Suyuthi mengatakan :
“Hadits ini tidak ada asal baginya.”[2]

3.      Mulla Ali al-Qaari mengatakan :
“Para Hafizh seperti Ibnu al-Taimiyah, al-Zarkasyi dan al-Shakawi telah menjelaskan bahwa tidak ada asal bagi hadits ini.”[3]



[1] Al-Sakhawi, al-Maqashid al-Hasanah, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Hal. 327, No. 838
[2] Al-Suyuthi, al-Durar al-Muntatsarah fi al-Ahadits al-Muntatsirah, (Dicetak pada hamisy kitab al-Fatawi al-Haditsiah), Darul Fikri, Beirut,  Hal. 187
[3] Mulla Ali al-Qaari, al-Masnu’ fi Ma’rifah al-Hadits al-Mauzhu’, Maktab al-Mathbu’aat al-Islamiyah, Halab, Hal. 141, No. 232

Jumat, 25 November 2016

Wa ana minal muslimin atau wa ana awwalul muslimin (diskusi dalam kolom komentar blok ini yang kami posting kembali)

Slm tgk..
Pada akhir do'a iftitah trdpt kata "Wa ana minal muslimin.. Ada jg wa ana awwalul muslimin.. Mn yg benar?
Dalam majmu' syarah al-Muhazzab, Imam al-Nawawi mengatakan : Do'a iftitah sebagiannya berdasarkan sebagian riwayat baihaqi adalah dengan "wa ana awwalul muslimin" dan sebagian riwayat lain dengan "Wa ana minal muslimin"
al-Syairazi dalam al-Muhazzab mengatakan, sesungguhnya nabi Muhammad SAW merupakan orang pertama dari kaum muslimin.karena itu, selain Nabi Muhammad tidakBOLEHhttp://cdncache-a.akamaihd.net/items/it/img/arrow-10x10.pngmengatakan "wa ana awwalul muslimin" (lihat majmu' Syarh al-Muhazzab, Juz. III, Hal. 271-272 (cet. Maktabah al-Irsyad, Jeddah)

berdasarkan keterangan di atas, maka kata2 "wa ana awwalul muslimin" hanya khusus untuk Nabi Muhammad SAW, kita tidak boleh mengatakannya, sedangkan pada kita diucapkan : "Wa ana minal muslimin"

wassalamhttp://img1.blogblog.com/img/blank.gif
wa ana minal muslimin....
boleh di baca wa ana awwalul muslimin tapi dengan syarat tidak diqasad pd waktu mmbaca kalimat trsbut yg bahwa kita lah awal2 orang islam.... wa illa, fala yajuz wa kafara
hal ini berdasarkan teks albajuri juz 1 hal.166...
او يقول وانااول المسلمين نظرا للفظا لاية ولايقصد بذلك انه اول المسلمين حقيقة والا كفر......

dan juga nas dalam hasyiah qulyubi juz 1 hal.147...
ويجوزالاتيان بنظم الاية وانا اول المسلمين علي ارادة معني ما قبله او مطلقا.........

dan juga nas dalam kitab i'anatutthalibin juz 1 hal170......


kiban kon nyoe meunan guree....?
terima kasih atas infonya, dengan demikian penjelasan al-Syairazi tentang larangan tersebut di atas apabila diqashadkan maknanya. kaid ini sesuai dengan 'illah larangan yang dibawa al-Syairazy, yaitu "sesungguhnya nabi Muhammad SAW merupakan orang pertama dari kaum muslimin"

wassalama
QS Al-An'aam (6) ayat 162 dan 163 mengindikasikan petunjuk dari Allah agar kita senantiasa menjadi muslim yg paling awal diri yg selamat dan menyelamatkan orang sekelilingnya. Mohon membuka Al-Qur'an.
Saya kurang setuju dengan terjemahan Al-Qur'an versi yg banyak keluar di pasaran : "saya adalah muslim yg pertama menyerahkan diri".
Saya pun kurang setuju dengan kitab2 buatan manusia karena pernyataan yg mana khusus mengenai hal yg kita bicarakan ini adalah berkebalikan dengan kalam Al-Qur'an.

Al-Qur'an menyuruh utk menjadi awalun / orang yg paling awal / pelopor yg menyelamatkan (awwalul muslimiin), mengingat kondisi kita sekarang pun Islam sedang lemah dan kebathilan di atas Islam pada hari ini.
Untuk itu, pemuda Islam tidakBOLEHhttp://cdncache-a.akamaihd.net/items/it/img/arrow-10x10.png
 di dalam jiwanya hanya untuk menjadi pengikut (minal muslimiin), tetapi harus tampil mempelopori keselamatan dan kesejahteraan seluruh ummat.

Bacaan do'a iftitah Anda kembalikan saja kepada "Wa ana Awwalul muslimiin" sesuai dengan QS 6 : 162-163 supaya Do'a Iftitah Anda dengan anda memahami Do'a tersebut isinya Anda sedang berjanji kepada Allah untuk me-......................... juga untuk menjadi seorang muslim2 yang paling awal menyelamatkan baik diri maupun lingkungannya. Karena hal lain utk mempertegas juga, minal muslimin tidak ada di dalam Al-Qur'an.
1. kami tidak tahu apa sdr juga gak percaya kepada hadits nabi mengingat nabi juga manusia, sedangkan sdr mengatakan : "Saya pun kurang setuju dengan kitab2 buatan manusia........"

2. dalam shahih muslim I/534 (versi maktabah syamilah) disebutkan :
عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّهُ كَانَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ، قَالَ: «وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا، وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ، إِنَّ صَلَاتِي، وَنُسُكِي، وَمَحْيَايَ، وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، لَا شَرِيكَ لَهُ، وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ

3. apa yang disebut dlm QS 6 : 162-163, tidak bertentangan dgn apa dlm hadits ini, karena dalam al-qur'an tidak disebut kata2 tersebut diperintah baca dlm shalat, cuma merupakan perintah baca kepada Nabi Muhammad secara mutlaq.
 

4. namun kalaupun mau dibaca dgn "wa ana awwalul muslimin" boleh2 saja karena ada hadits riwayat lain dgn menggunakan "wa ana awwalul muslimin" namun dgn pemaknaan yang tidak bertentangan dgn akidah kita bahwa nabi Muhammad merupakan orang pertama yang muslim.

wassalam


Kamis, 27 Oktober 2016

Hadits al-Qur’an penolong orang yang gemar membacanya di dalam alam kubur

assalamu'alaikum WW mhn pencerehan Ustadz tentang beredarnya didunia maya masalah keshohehan hadits yg menjelaskan tentang pertolongan Al-Qur'an di Alam Qubur terima ksih Wassalam...

Jawab  :
Ibnu al-Jauzi dalam kitabnya al-Mauzhu’at (hadits-hadits palsu) menyebut hadits ini dalam bab Pahala Pembaca al-Qur’an dengan sanad Ali Abddullah bin Nashr-Abu Ja’far Muhammad bin Ahmad bin al-Maslamah – Isma’il bin Sa’id bin Suwaid – Abu Bakar Muhammad bin al-Qasim al-Anbari – al-Kudaimi – Yunus bin Ubaidillah al-Umairi – Daud bin Bahr al-Karmani – Muslim bin Syadad – Ubaid bin Umair- Ubadah bin al-Shamid dengan redaksi sebagai berikut :
قَالَ رَسُول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنَ اللَّيْلِ فَلْيَجْهَرْ بِقِرَاءَتِهِ فَإِنَّهُ يَطْرُدُ بِقِرَاءَتِهِ مَرَدَةَ الشَّيَاطِينِ وَفُسَّاقَ الْجِنِّ، وَإِنَّ الْمَلائِكَةَ الَّذِينَ فِي الْهَوَاءِ وَسُكَّانَ الدَّارِ يُصَلُّونَ بِصَلاتِهِ وَيَسْمَعُونَ لِقِرَاءَتِهِ، فَإِذَا مَضَتْ هَذِهِ اللَّيْلَةُ أَوْصَتِ اللَّيْلَةَ الْمُسْتَأْنَفَةَ فَقَالَتْ تَحَفَّظِي لِسَاعَاتِهِ وَكُونِي عَلَيْهِ خَفِيفَةً، فَإِذَا حَضَرَتْهُ الْوَفَاةُ جَاءَ الْقُرْآنُ فَوَقَفَ عِنْدَ رَأْسِهِ وَهُمْ يُغَسِّلُونَهُ، فَإِذَا غَسَّلُوهُ وَكَفَّنُوهُ جَاءَ الْقُرْآنُ فَدَخَل حَتَّى صَارَ بَيْنَ صَدْرِهِ وَكَفَنِهِ، فَإِذَا دُفِنَ وَجَاءَ مُنْكَرٌ وَنَكِيرٌ خَرَجَ حَتَّى صَارَ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَهُمَا فَيَقُولانِ إِلَيْكَ عَنَّا فَإِنَّا نُرِيدُ أَنْ نَسْأَلَهُ، فَيَقُولُ: وَاللَّهِ مَا أَنَا بِمُفَارِقِهِ أَبَدًا حَتَّى أُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ، فَإِنْ كُنْتُمَا أمرتما فِيهِ بشئ فَشَأْنُكُمَا. قَالَ: ثُمَّ يَنْظُرُ إِلَيْهِ فَيَقُولُ هَلْ تَعْرِفُنِي؟ فَيَقُولُ: مَا أَعْرِفُكَ فَيَقُولُ: أَنَا الْقُرْآنُ الَّذِي كنت أسهر ليلك وأظمى نَهَارَكَ وَأَمْنَعُكَ شَهْوَتَكَ وَسَمْعَكَ وَبَصَرَكَ فأبشر فَمَا عَلَيْك بعد مَسْأَلَة مُنْكَرٍ وَنَكِيرٍ مِنْ هَمٍّ وَلا حَزَنٍ
Rasulullah SAW bersabda apabila salah seorang kamu mendirikan malam, lalu menjihar qiraahnya, maka dengan sebab qiraahnya dapat menjauhkan keinginan syaithan dan jin fasiq dan sesungguhnya malaikat yang berada di udara dan penduduk-penduduk negeri shalat mengikuti shalatnya serta mendengar qiraahnya. Ketika berlalu malam itu, maka malam tersebut berwasiat kepada malam berikutnya, “Jagalah untuk waktu-waktunya dan jadikanlah kemudahan atasnya.” Apabila seseorang dijemput maut, maka al-Qur’an (yang menyerupai makhluq yang pandai bicara) datang menemuinya, berdiri tepat di kepalanya, sedangkan saudara-saudaranya sedang sibuk dengan memandikannya. Setelah memandikan dan mengkafaninya, al-Qur’an mendekati berdiri di antara dada dan kain kafan simati. Setelah pengebumian, dua malaikat Mungkar dan Nakir, datang, keluarlah al-Qur’an dan berdiri antara simati dan kedua  malaikat tersebut, maka kedua malaikat berkata : “Jauhkan dirimu dari kami, karena kami ingin menyoal lelaki yang telah meninggal itu.”  Akan tetapi al-Qur’an ini menjawab : “Demi Allah aku tidak akan meninggalkannya selama-lama sehingga dia masuk surga. Seandainya kalian diperintah dengan itu, maka itu urusan kalian. Selanjutnya Rasulullah SAW bersabda, kemudian al-Qur’an seraya melihat kepada simati  bertanya : “Apakah kamu mengenal aku?”.  “Aku tidak mengenalmu.” Jawab simati. “Aku adalah al-Qur’an yang kamu berjaga malam karenanya, menggelapkan siang harimu, mencegah syahwat, pendengaran dan penglihatanmu. Maka bergembiralah, kamu tidak akan ada duka dan kegundahan setelah soal dari Mungkar dan Nakir. (ini sebagian dari penggalan redaksi haditsnya)

            Ibnu al-Jauzi menjelaskan, hadits ini juga telah diriwayat oleh al-‘uqaili dari Ibrahim bin Muhammad dari ‘Amr bin Marzuq dari Daud dengan redaksi lebih panjang dari redaksi di atas. Kemudian Ibnu al-Jauzi mengatakan, hadits ini tidak sah dari Rasulullah SAW, karena Daud dituhmah. Yahya bin Ma’in mengatakan, Daud al-Thafawi telah diriwayat hadits-hadits darinya tentang al-Qur’an yang tidak dianggap. Al-‘Uqaili mengatakan, hadits Daud bathil, tidak ada asal. Kemudian Ibnu al-Jauzi mengatakan, dalam sanadnya ada al-Kudaimi pemalsu hadits.[1] Al-Zahabi mengatakan, hadits ini mauzhu’. Dalam sanadnya ada al-Kudaimi, beliau ini dituhmah. Sedangkan Daud orang yang celaka.[2]
Menurut Imam al-Suyuthi, al-Kudaimi terlepas dari hadits ini. Karena dalam jalur-jalur lain, al-Kudaimi yang dituduh sebagai pemalsu hadits tidak terdapat dalam sanadnya. Jalur-jalur itu antara lain, al-Harits dalam Musnadnya, Ibnu Abi al-Dun-ya dalam kitab al-Tahajjud, Ibnu al-Zhurais dalam Fadhail al-Qur’an, Muhammad Nasr dalam Kitab al-Shalat dan jalur riwayat al-‘Uqaili. Kemudian al-Suyuthi menjelaskan bahwa hadits ini ada pendukungnya, yakni hadits dengan makna serupa dari riwayat Khalid bin Ma’daan dari Mu’az bin Jabal secara marfu’ yang telah disebut oleh al-Bazar dalam Musnadnya. Namun al-Bazar mengatakan, Khalid tidak mendengar hadits dari Mu’az bin Jabal.[3]
Disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bahwa ketika seorang mukmin meninggal dunia untuk menuju negeri akhirat, dikatakan kepadanya :
فَأَفْرِشُوهُ مِنَ الْجَنَّةِ، وَأَلْبِسُوهُ مِنَ الْجَنَّةِ، وَافْتَحُوا لَهُ بَابًا إِلَى الْجَنَّةِ. قَالَ: فَيَأْتِيهِ مِنْ رَوْحِهَا، وَطِيبِهَا، وَيُفْسَحُ لَهُ فِي قَبْرِهِ مَدَّ بَصَرِهِ  قَالَ: وَيَأْتِيهِ رَجُلٌ حَسَنُ الْوَجْهِ، حَسَنُ الثِّيَابِ، طَيِّبُ الرِّيحِ، فَيَقُولُ: أَبْشِرْ بِالَّذِي يَسُرُّكَ، هَذَا يَوْمُكَ الَّذِي كُنْتَ تُوعَدُ، فَيَقُولُ لَهُ: مَنْ أَنْتَ؟ فَوَجْهُكَ الْوَجْهُ يَجِيءُ  بِالْخَيْرِ، فَيَقُولُ: أَنَا عَمَلُكَ الصَّالِحُ، فَيَقُولُ: رَبِّ أَقِمِ السَّاعَةَ  حَتَّى أَرْجِعَ إِلَى أَهْلِي، وَمَالِي
Hamparkanlah untuknya (permadani) dari surga, pakaikanlah untuknya (pakaian) dari surga, dan bukakanlah baginya pintu yang menuju surga. Maka sampailah kepadanya aroma dan keindahan surga itu, dan kubur pun dilapangkan baginya sejauh mata memandang. Kemudian datang kepadanya seorang lelaki yang berwajah tampan, pakaiannya bagus dan aromanya wangi sembari berkata, 'Bergembiralah dengan sesuatu yang telah menyenangkanmu, ini adalah hari yang dahulu kamu dijanjikan.' Ia (orang mukmin) pun bertanya, 'Siapakah kamu, wajahmu adalah wajah yang membawa kebaikan?' Ia menjawab, 'Aku adalah amal shalihmu.' Akhirnya ia (orang mukmin) berkata, 'Wahai Tuhanku, tegakkanlah kiamat agar aku bisa kembali kepada keluargaku dan hartaku. (H.R. Ahmad)[4]

Berdasarkan keterangan di atas, dengan memperhatikan penjelasan al-Suyuthi, maka menurut pemahaman kami, hadits tersebut di atas tidak tepat dikatakan sebagai hadits mauzhu’ (palsu). Minimal hadits tersebut adalah dhaif (bukan mauzhu’), mengingat hadits tersebut diriwayat dari banyak jalur, tanpa ada al-Kudaimi yang dituduh sebagai pemalsu hadits dalam sanadnya. Bahkan bisa saja hadits ini menjadi hasan lighairihi mengingat ada pendukungnya (‘azhid) dari hadits al-Bazaar dan menurut kami secara umum juga didukung oleh hadits riwayat Ahmad di atas.  Alhasil meskipun hadits ini dinilai sebagai hadits dhaif, maka boleh saja hadits ini dikemukakan sebagai nasehat dalam bab fazhailul amal sebagaimana dimaklumi dalam ilmu hadits.




[1] Ibnu al-Jauzi, al-Mauzhu’aat, Maktabah al-Salafiyah, Madinah, Hal. 251-252
[2] Al-Zahabi, Talkhis al-Mauzhu’aat, Maktabah al-Rusyd, Riyadh, Hal. 71
[3] Al-Suyuthi, al-Lala-i  al-Masnu’ah fi al-Ahadits al-Mauzhu’ah, Darul Ma’riffah, Beirut,  Hal. 241-242.
[4] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Maktabah Syamilah, Juz. XXX, Hal. 501,, No. 18534