Para ulama membagikan orang yang meninggalkan shalat
dalam dua katagori, yakni : 1. Meninggalkan shalat serta mengingkari
kewajibannya
2. Meninggalkan shalat bukan karena mengingkari
kewajibannya, akan tetapi hanya karena malas melakukannya.
Adapun meninggalkan shalat serta mengingkari
kewajibannya, ini disepakati dapat menjadi kafir, karena mengingkari kewajiban
shalat sama halnya mengingkari al-Qur’an dan as-Sunnah. Karena kewajiban shalat
termasuk dalam katagori perintah yang sharih dan jelas disebut dalam al-Qur’an
dan as-Sunnah serta menjadi ijmak ulama. Dalam kitab Raudhah al-Thalibin
disebutkan :
وَهُوَ ضَرْبَانِ.أَحَدُهُمَا: تَرْكُهَا
جَحْدًا لِوُجُوبِهَا، فَهُوَ مُرْتَدٌّ تَجْرِي عَلَيْهِ أَحْكَامُ الْمُرْتَدِّينَ،
إِلَّا أَنْ يَكُونَ قَرِيبَ عَهْدٍ بِالْإِسْلَامِ، يَجُوزُ أَنْ يَخْفَى
عَلَيْهِ وُجُوبُهَا، وَيَجْرِي هَذَا الْحُكْمُ فِي جُحُودِ كُلِّ حُكْمٍ
مُجْمَعٍ عَلَيْهِ.قُلْتُ: أَطْلَقَ الْإِمَامُ الرَّافِعِيُّ الْقَوْلَ
بِتَكْفِيرِ جَاحِدِ الْمُجْمَعَ عَلَيْهِ، وَلَيْسَ هُوَ عَلَى إِطْلَاقِهِ، بَلْ
مَنْ جَحَدَ مُجْمَعًا عَلَيْهِ فِيهِ نَصٌّ، وَهُوَ مِنْ أُمُورِ الْإِسْلَامِ
الظَّاهِرَةِ الَّتِي يَشْتَرِكُ فِي مَعْرِفَتِهَا الْخَوَاصُّ وَالْعَوَامُّ،
كَالصَّلَاةِ، أَوِ الزَّكَاةِ، أَوِ الْحَجِّ، أَوْ تَحْرِيمِ الْخَمْرِ، أَوِ
الزِّنَا، وَنَحْوِ ذَلِكَ، فَهُوَ كَافِرٌ
Yang
meninggalkan shalat terbagi dua. Salah satunya meninggalkan shalat dengan
mengingkari kewajibannya, maka dia murtad, berlaku atasnya hukum orang murtad
kecuali orang yang masih baru dalam Islam dimana bisa jadi dia masih belum tahu
kewajiban shalat atasnya. Hukum ini berlaku pada mengingkari setiap hukum yang
ijmak atasnya. Aku (al-Nawawi) mengatakan, Imam al-Rafi’i menyebut secara
mutlaq pernyataan kafir orang yang mengingkari hukum yang ijmak, padahal itu
tidak berlaku secara mutlaq, akan tetapi itu hanya pada orang yang mengingkari
hukum yang ijmak yang ada nash atasnya serta termasuk perkara Islam yang dhahir
yang diketahui baik khawas maupun awam, seperti kewajiban shalat, zakat, haji,
haram khamar, zina dan lain-lain. Maka yang mengingkarinya adalah kafir.[1]
Terjadi perbedaan pendapat para ulama mengenai orang
yang meninggalkan shalat bukan karena mengingkari kewajibannya, akan tetapi
hanya karena malas melakukannya. Ibn al-Mubarak, Ahmad, Ishaq dan Ibn Habib
dari pengikut mazhab Malik dan sebagian ulama dari pengikut mazhab Syafi’i berpendapat menjadi kafir. Pendapat
ini juga dihikayah dari Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas dan al-Hukm al-‘Ayyinah.
Jumhur ulama berpendapat sebaliknya, yakni tidak menjadi kafir orang yang
meninggalkan shalat bukan karena mengingkari kewajibannya, akan tetapi hanya
karena malas melakukannya. Pendapat ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Malik,
Syafi’i dan salah satu riwayat dari Ahmad.[2] Dalam
Syarah Muslim, Imam al-Nawawi mengatakan, Malik, Syafi’i dan jumhur ulama salaf
dan khalaf berpendapat orang yang meninggalkan shalat bukan karena mengingkari
kewajibannya, akan tetapi hanya karena malas melakukannya tidak menjadi kafir,
akan tetapi hanya fasiq dan diminta taubat. Seandainya tidak mau taubat, maka
dibunuh sebagai hukuman hudud. Sekelompok ulama salaf lainnya berpendapat
menjadi kafir. Pendapat ini diriwayat sebagai pendapat Ali bin Abi Thalib dan
salah satu pendapat Ahmad bin Hanbal. Pendapat ini juga merupakan pendapat Ibn
al-Mubarak, Ishaq bin Rahawaih dan sebagian pengikut mazhab Syafi’i. Abu
Hanifah, satu jama’ah dari penduduk Kufah dan al-Muzani berpendapat tidak
menjadi kafir dan tidak dihukum dengan bunuh, akan tetapi dita’zir dan ditahan
dalam penjara sehingga mau melakukan shalat.[3]
Dalil yang dikemukakan Jumhur Ulama
Adapun dalil jumhur ulama yang berpendapat tidak menjadi
kafir orang yang meninggalkan shalat karena malas adalah sebagai berikut :
1. Ijmak kaum Ahlussunnah wal Jama’ah dosa besar tidak
menjadikan seseorang yang beriman menjadi kafir. Imam al-Nawawi dalam Syarah
Muslim menyebutkan :
مَعَ إِجْمَاعِ أَهْلِ الْحَقِّ عَلَى
أَنَّ الزَّانِيَ وَالسَّارِقَ وَالْقَاتِلَ وَغَيْرَهُمْ مِنْ أَصْحَابِ
الْكَبَائِرِ غَيْرِ الشِّرْكِ لَا يَكْفُرُونَ بِذَلِكَ بَلْ هُمْ مُؤْمِنُونَ
نَاقِصُو الْإِيمَانِ إِنْ تَابُوا سَقَطَتْ عُقُوبَتُهُمْ وَإِنْ مَاتُوا
مُصِرِّينَ عَلَى الْكَبَائِرِ كَانُوا فِي الْمَشِيئَةِ
Ijmak ulama
ahlulhaq bahwa penzina, pencuri, pembunuh dan lainnya dari orang –orang yang
berbuat dosa besar selain syirik adalah tidak menjadi kafir, akan tetapi mereka
adalah orang mukmin yang kurang imannya, seandainya mereka taubat, maka
gugurlah siksaan atas mereka dan seandainya mati dalam keadaan tetap dengan
dosa besar, maka mereka berada dalam kehendak Allah.[4]
Imam al-Thahawi al-Hanafi
mengatakan :
لا نكفر احدا من اهل القبلة بذنب ما لم يستحله
Kita tidak mengkafirkan seseorang dari
ahli qiblat dengan sebab dosa selama tidak menghalalkannya.[5]
Dalam kitab Jauharah
al-Tauhid disebutkan :
اذ جائز غفران غير الكفر فلا نكفر مؤمنا بالوزر
Karena boleh
mengampuni dosa selain kufur, karena itu, kita tidak mengkafirkan orang mukmin
dengan sebab dosanya.[6]
I’tiqad Ahlusunnah wal Jama’ah sebagaimana dijelaskan
di atas, ini didasakan antara lain :
a. Firman Allah berbunyi :
إِنَّ
اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ
يَشَاء
Sesungguhnya
Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang
berada di bawah syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. (QS. An Nisa’ : 48)
Dalam
tafsirnya, Al-Allusi mengatakan syirik ada bermakna i’tiqad bagi Allah ada
sekutu baginya, baik pada uluhiyah maupun pada rububiyah-Nya dan ada juga
bermakna kufur secara mutlaq. Makna yang kedua yang dimaksudkan di sini.
Selanjutnya beliau mengatakan, dengan demikian Yahudi masuk dalam kandungan maksud
syirik dalam ayat ini secara aula (lebih patut) dari pada kekufuran lainnya,
karena ada nash syara’ yang menyebut Yahudi sebagai syirik.[7]
Al-Razi dalam tafsirnya, mengatakan bahwa Yahudi masuk dalam maksud syirik pada
ayat ini. Ada dua alasan yang beliau kemukakan : Alasan pertama ; ayat ini
menerangkan selain syirik dimaafkan jika Allah berkehendak. Seandainya Yahudi
tidak masuk dalam kandungan maksud syirik pada ayat ini, maka sungguh Yahudi
termasuk dalam golongan yang dimaafkan berdasarkan ayat ini. Ini tentu
bertentangan dengan ijmak yang mengatakan Yahudi tidak dimaafkan. Alasan kedua
; ayat ini bersambung dengan ayat sebelumnya yang menerangkan celaan terhadap
Yahudi. Karena itu, Yahudi masuk dalam maksud syirik di sini.[8]
Berdasarkan
penjelasan di atas, dipahami bahwa Yahudi termasuk dalam kandungan maksud
syirik dalam ayat di atas. Sementara itu, diketahui Yahudi tidaklah masuk dalam
katagori syirik dengan makna menduakan Allah. Dengan demikian, maka pengertian
syirik dalam ayat ini adalah kufur secara mutlaq, baik itu ada unsur syirik (dengan
makna menduakan Allah) atau tidak, sebagaimana telah dijelaskan oleh al-Allusi
dalam tafsirnya di atas.
Dengan
penjelasan ini, karena meninggalkan
shalat bukan karena mengingkari kewajibannya, akan tetapi hanya karena malas
melakukannya, maka tidak
termasuk dalam kandungan maksud syirik. Tidak masuknya karena beralasan :
1). Tidak ada i’tiqad menduakan Allah
2). Tidak ada pengingkaran perintah Allah (kufur)
Dengan tidak masuknya meninggalkan shalat bukan karena mengingkari
kewajibannya, akan tetapi hanya karena malas melakukannya dalam katagori syirik
pada ayat ini, maka orang yang meninggalkan shalat tipe ini masuk dalam firman
Allah “Dia
mengampuni segala dosa yang berada di bawah syirik bagi siapa yang
dikehendaki-Nya”. Sedangkan orang yang diampuni dosanya, disepakati
para ulama adalah orang-orang yang masih dalam keadaan beriman. Alhasil
berdasarkan ayat ini, meninggalkan shalat bukan karena mengingkari
kewajibannya, akan tetapi hanya karena malas melakukannya tidaklah
menyebabkannya menjadi kafir.
2.
Hadist riwayat Abu Sa’id r.a. sesungguhnya Nabi
SAW bersabda :
إِذَا دَخَلَ أَهْلُ
الجَنَّةِ الجَنَّةَ، وَأَهْلُ النَّارِ النَّارَ، يَقُولُ اللَّهُ: مَنْ كَانَ
فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ مِنْ إِيمَانٍ فَأَخْرِجُوهُ،
فَيَخْرُجُونَ قَدْ امْتُحِشُوا وَعَادُوا حُمَمًا، فَيُلْقَوْنَ فِي نَهَرِ
الحَيَاةِ، فَيَنْبُتُونَ كَمَا تَنْبُتُ الحِبَّةُ فِي حَمِيلِ السَّيْلِ
Ketika ahli
surga masuk surga dan ahli neraka masuk neraka, Allah berfirman, barangsiapa
yang ada dalam hatinya iman meski seberat biji sawi, maka keluarkanlah (dari
neraka). Lalu mereka dikeluarkan, sedangkan mereka sudah terbakar dan kembali
dalam keadaan gosong. Kemudian
mereka di bawa ke dalam sungai Hayah (air kehidupan). Maka mereka tumbuh
sebagaimana tumbuhnya bibit tanaman di aliran air (H.R. Bukhari).[9]
Dalam hadits ini ditegaskan, seseorang yang mempunyai
iman meski hanya sebesar biji sawi setelah disiksa dalam api neraka karena
dosa-dosa yang dilakukannya, Allah memerintahkan supaya mereka dikeluarkan
darinya. Dengan demikian, orang yang meningggalkan shalat dan
kewajiban-kewajiban lainnya selama masih mengimani kewajiban tersebut tidaklah
kekal dalam api neraka. Karena itu, tidak meninggalkan shalat dan kewajiban
lainnya selama mengingkari kewajiban tersebut, maka orangnya masih dikatagori
mukmin. Karena hanya orang mukmin yang tidak kekal dalam api neraka. Selainnya
abadi dalam neraka.
3. Hadist riwayat Ubadah bin As-samit, ia berkata:
aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:
خَمْسُ صَلَوَاتٍ افْتَرَضَهن اللَّهُ من احسن وضوءهن
وصلاهن لوقتهن واتم ركوعهن وخشوعهن كان له عند الله عهد ان يغفرله ومن لم يفعل
فليس له عند الله عهد إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ ، وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ
Lima
waktu shalat yang diwajibkan Allah. Barangsiapa yang memperbaguskan wudhu’nya
dan shalat mereka dalam waktu serta menyempurnakan rukuk dan khusyu’nya, maka
dia memiliki janji dengan Allah mengampuninya dan barangsiapa yang tidak
melakukannya, maka dia tidak mempunyai janji dengan Allah. Apabila berkehendak,
Allah akan mengazabnya dan apabila berkehendak, Allah akan mengampuninya.(H.R.
Abu Daud, al-Nisa-i dan Ibnu Majah dengan isnad shahih).[10]
Hadits ini menegaskan orang yang tidak menyempurnakan
shalat tidak mempunyai janji dengan Allah (mendapat azab), namun demikian azab
Allah tersebut masih ada kemungkinan ampunan dari-Nya. Hanya orang mukmin yang
mendapat ampunan dosa di hari akhirat kelak. Dengan demikian, orang yang meninggalkan shalat dan kewajiban lainnya selama tidak
mengingkari kewajibannya masih dalam katagori beriman, tidak menjadi kafir.
4. Sabda Nabi SAW berbunyi :
مَنْ مَاتَ وَهُوَ
يَعْلَمُ أَنْ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
Barangsiapa
yang mati dalam keadaan meyakini bahwa tidak ada tuhan selain Allah, maka dia
masuk surga (H.R. Muslim)[11]
Hadits ini
menjelaskan kepada kita keyakinan tauhid menjamin seseorang masuk surga kelak,
meskipun diazab lebih dahulu karena berbuat maksiat. Artinya maksiat tidak
menyebabkan hilang iman seseorang. Maksiat karena meninggalkan shalat temasuk
dalam katagori ini.
5. Hadist Aisyah r.a. dengan sanad marfu’, Rasulullah SAW
bersabda :
الدَّوَاوِينُ عِنْدَ
اللَّهِ - عَزَّ وَجَلَّ - ثَلَاثَةٌ فَدِيوَانٌ لَا يَعْبَأُ اللَّهُ بِهِ
شَيْئًا، وَدِيوَانٌ لَا يَتْرُكُ اللَّهُ مِنْهُ شَيْئًا، وَدِيوَانٌ لَا
يَغْفِرُهُ اللَّهُ. فَأَمَّا الدِّيوَانُ الَّذِي لَا يَغْفِرُهُ اللَّهُ
فَالشِّرْكُ بِاللَّهِ، قَالَ اللَّهُ - عَزَّ وَجَلَّ -: مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ
فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَأَمَّا الدِّيوَانُ الَّذِي لَا
يَعْبَأُ اللَّهُ بِهِ شَيْئًا فَظُلْمُ الْعَبْدِ نَفْسَهُ فِيمَا بَيْنَهُ
وَبَيْنَ رَبِّهِ، مِنْ صَوْمِ يَوْمٍ تَرَكَهُ، أَوْ صَلَاةٍ تَرَكَهَا، فَإِنَّ
اللَّهَ يَغْفِرُ ذَلِكَ، وَيَتَجَاوَزُ إِنْ شَاءَ.
Ada
tiga catatan disisi Allah Azza wajalla; catatan yang tidak Allah peduli sama
sekali, catatan yang tidak Allah tinggalkan darinya sedikitpun, dan catatan
yang Allah tidak akan mengampuninya. Adapun catatan yang tidak akan diampuni
oleh Allah, yaitu syirik kepada Allah. Allah Azza wajalla berfirman:
Sesungguhnya orang yang mempersekutukan Allah, maka pasti Allah akan
mengharamkan surga untuknya, sedangkan catatan yang tidak dipedulikan oleh
Allah adalah kezhaliman seorang hamba terhadap dirinya dan antara dia dengan
Tuhannya, dari puasa sehari yang ia tinggalkan maupun shalat yang tidak ia
lakukan. Sesungguhnya Allah akan mengampuninya dan akan memaafkannya jika Dia
menghendaki.(H.R. Ahmad)[12]
Dalam
sanadnya ada Shadaqah bin Musa, Jumhur telah mendha’ifkannya. Muslim bin
Ibrahim mengatakan, telah memberikan hadits kepada kami oleh Shadaqah bin Musa,
sedangkan dia itu shaduq (berkata benar). Rijal lainnya terpercaya.[13]
Hadits
ini juga menegaskan orang yang meninggalkan shalat masih ada kemungkinan
ampunan dosanya dari Allah Ta’ala.
6. Umat Islam dari zaman awal Islam sampai sekarang
selalu saling mewarisi, meskipun sebagian mereka meninggalkan shalat.
Seandainya meninggalkan shalat menjadi kafir, tentu tidak ada saling mewarisi.
Hujjah ini salah satu hujjah yang dikemukan oleh al-Nawawi.[14]
Bantahan terhadap
pendapat meninggalkan shalat secara mutlaq dapat menjadikan kafir
1. Nabi SAW bersabda :
بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ ترك الصَّلاَةُ،
فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
Perbedaan antara kita dan mereka adalah meninggalkan
shalat, maka barangsiapa yang meninggalkannya sungguh menjadi kafir.
Hadits
ini diriwayat oleh al-Turmidzi, al-Nisa-i, Ibn Majah. Ibnu Hibban meriwayat
dengan lafazh :
اَلْعَهْدُ
الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ
Perjanjian (pembatas) antara kita dan mereka adalah
shalat.
Al-Turmidzi
mengatakan, hadits ini hasan shahih gharib.[15]
Berdasarkan
hadits ini, Nabi SAW menjelaskan kepada kita bahwa shalat menjadi pembeda
antara seorang mukmin dan kafir. Karena itu, barangsiapa yang melaksanakan
shalat maka dia adalah mukmin dan barangsiapa yang tidak shalat, maka adalah
kafir. Yang senada dengan hadits di atas adalah :
2. Hadits Nabi SAW berbunyi :
بَيْنَ
الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ
Perbedaan
antara seorang muslim dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan
shalat.(H.R. Muslim)[16]
Jawaban kita :
Al-Iraqi dalam kitabnya, menyebutkan beberapa jawaban
dalam memahami hadits-hadits ini, yaitu :
a. Orang yang meninggalkan shalat akan dihukum
sebagaimana hukuman atas orang kafir, yaitu dibunuh.
b. Hadits-hadits di atas diposisikan pada orang yang
menghalalkan meninggalkan shalat tanpa uzur
c. Maksud kafir dalam hadits-hadits ini adalah mendekati
kepada kafir sebagaimana dikatakan, maksiat menghendaki kepada kufur
d. Perbuatannya adalah perbuatan kufur.[17]
Pemahaman
yang dikemukakan oleh al-Iraqi ini harus menjadi pegangan supaya tidak
bertentangan dengan dalil-dalil yang dikemukakan sebelum ini (dalil jumhur
ulama), yang secara tegas dipahami bahwa orang meninggalkan shalat tidaklah
menjadi kafir. Adapun penyebutan kafir terhadap pelaku maksiat, meskipun
maksiat tersebut disepakati tidak menjadi kafir pelakunya dapat disimak dari
contoh nash syara’ berikut :
1). Hadist
Nabi SAW berbunyi :
سَبَّابُ
الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
Mencela
seorang muslim adalah perbuatan fasik dan membunuhnya adalah tindakan kufur.(H.R.
al-Thabrani)[18]
Rijalnya rijalnya shahih, kecuali Abi al-Khalid
Walibi, dia itu terpercaya.[19]
2).
Hadits Nabi SAW berbunyi :
اثْنَتَانِ فِي النَّاسِ هُمَا بِهِمْ
كُفْرٌ الطَّعْنُ فِي النَّسَبِ وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ
Dua
perbuatan yang termasuk dalam kekufuran mencela keturunan dan meratapi mayit (H.R.
Muslim).[20]
3. Ibnu Majah meriwayat dari Anas dari Nabi SAW bersabda
:
ليس بَيْنَ
العبدِ وَالْكُفْرِ او الشِّرْكِ الا تَرْكُ الصَّلاَةِ
Tidak
ada perbedaan di antara seorang hamba dan kekafiran atau kesyirikan kecuali
meninggalkan shalat.(H.R. Ibnu Majah)[21]
Jawab
kita :
Menurut al-Darulquthni, yang lebih mendekati
kebenaran, hadits ini bukan dari Anas, akan tetapi dari al-Rabi’ bin Anas
secara mursal.[22]
Dengan demikian, hadits ini dhaif tidak dapat menjadi hujjah. Seandainya hadits
ini shahih, maka maksudnya harus dipahami sebagaimana tiga hadits di atas
berdasarkan penjelasan-penjelasan yang telah dikemukakan.
4. Hadist Nabi SAW yang diriwayatkan Anas r.a.,
berbunyi :
مَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ مُتَعَمِّدًا فَقَدْ
كَفَرَ جِهَارًا
Barangsiapa yang dengan sengaja meninggalkan shalat
maka ia nyata telah kafir (H.R.
al-Thabrani)[23]
Jawaban kita :
Hadits dengan redaksi ini diriwayat oleh al-Thabrani
dalam kitabnya, al-Mu’jam al-Ausath
dengan sanad sebagaimana hadits nomor tiga di atas.[24]
Dengan demikian, penjelasannya sama dengan hadits nomor tiga tersebut.
5. Hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a :
بُنِيَ
الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ،
وَالصَّلَاةِ، وَصِيَامِ رَمَضَانَ فَمَنْ تَرَكَ، وَاحِدَةً مِنْهُنَّ كَانَ
كَافِرًا حَلَالَ الدَّمِ
Islam dibangun atas ada lima pondasi, syahadah
Laa ilaha illallah, shalat, puasa Ramadhan dan siapa yang meninggalkan salah
satu di antaranya , berarti ia kafir terhadapnya dan halal darahnya (H.R.
al-Thabrani).[25]
Jawaban kita :
Menurut al-Iraqi, perawi hadits ini, yakni Abu
al-Jauza’ al-Rubu’i ragu-ragu dalam menyandarkan
hadits ini kepada Nabi SAW melalui Ibnu Abbas.[26] Lagi
pula, seandainya makna hadits ini dipahami secara dhahir, maka akan rancu.
Karena tidak ada ulama Islam yang berpendapat meninggalkan puasa Ramadhan dapat
menyebabkan kafir. Sedangkan dhahir hadits ini, meninggalkan salah satu lima
pondasi Islam yang di antaranya adalah puasa Ramadhan dapat menyebabkan kafir.
Alhasil, seandainya hadits ini shahih, maka harus dipahami dapat menjadi kafir
apabila disertai i’tiqad menghalalkan meninggalkannya.
6. Hadist dari Mu’adz r.a. berbunyi :
مَنْ
تَرَكَ صَلاَةً مَكْتُوْبَةً مُتَعَمِّدًا فًقًدْ بَرِئَتْ مِنْهُ ذِمَّةُ الله.
Barangsiapa
meninggalkan shalat fardhu dengan sengaja maka dia telah lepas dari
perlindungan Allah.(H.R. Ahmad dan al-Thabrari)[27]
Jawaban kita :
Al-Haitsami mengatakan, rijal Ahmad terpercaya, akan
tetapi Abdurrahman bin Jubair bin Nufair tidak mendengar dari Mu’adz. Sedangkan
isnad al-Thabrani muttashil, namun dalam sanadnya ada Amr bin Waqid al-Qurasyi,
dia ini pendusta.[28]
Al-Iraqi mengatakan, dalam sanad hadits ini ada Amr bin Waqid, dia munkar
hadits sebagaimana dijelaskan oleh al-Bukhari.[29]
7. Hadits dari ‘Ubadah bin al-Shamid, Rasulullah SAW
berkata :
وَلَا
تَتْرُكُوا الصَّلَاةَ مُتَعَمِّدًا فَمَنْ تَرَكَهَا مُتَعَمِّدًا، فَقَدْ خَرَجَ
مِنَ الْمِلَّةِ
Jangan kamu meninggalkan shalat dengan
sengaja. Barangsiapa yang meninggalkannya dengan sengaja, maka sungguh telah
keluar dari agama.(H.R. al-Thabrani)[30]
Jawaban kita :
Dalam sanadnya ada Salamah bin
Syuraih. Tentang beliau ini, Al-Zahabi mengatakan, tidak dikenal. Adapun rijal
lainnya rijal shahih.[31] Penjelasan serupa juga
dikemukakan oleh al-Iraqi.[32]
8. Al-Bazaar
dalam Musnadnya dari hadits Abu Dardaa’, beliau berkata :
اوصاني خليلي
صلعم ان لا اشرك بالله شيأ وان حرقت وان لا اترك صَّلَاةَ مكتوبة مُتَعَمِّدًا فَمَنْ
تَرَكَهَا مُتَعَمِّدًا، فَقَدْ كفر
Kekasihku Rasulullah SAW
memberikan wasiat kepadaku supaya tidak berlaku syirik kepada Allah, meskipun
dibakar dan tidak meninggalkan shalat fardhu secara sengaja. Maka barangsiapa
yang meninggalkannya secara sengaja, sungguh ia menjadi kafir (H.R.
al-Bazaar)
Jawaban kita :
Al-Iraqi mengatakan, dalam sanadnya ada Syahr bin
Hausyab. Telah ikhtilaf ulama tentangnya. Al-Nawawi dalam Khulasah mengatakan,
hadits ini hadits munkar.[33] Dengan demikian, hadits
juga tidak dapat menjadi hujjah.
9. Dari Abdullah
bin Umar dari Nabi SAW :
أَنَّهُ ذَكَرَ الصَّلَاةَ يَوْمًا
فَقَالَ: مَنْ حَافَظَ عَلَيْهَا كَانَتْ لَهُ نُورًا وَبُرْهَانًا وَنَجَاةً
يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهَا لَمْ يَكُنْ لَهُ نُورٌ
وَلَا بُرْهَانٌ وَلَا نَجَاةٌ، وَكَانَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَعَ فِرْعَوْنِ
وَهَامَانَ وَأُبَيِّ بْنِ خَلَفٍ
Sesungguhnya Nabi SAW
pernah pada suatu hari mengingatkan shalat, beliau mengatakan, barangsiapa yang
memelihara shalat, maka baginya cahaya, petunjuk dan keberhasilan pada hari
kiamat. Barangsiapa yang tidak memeliharanya, maka tidak ada baginya cahaya,
petunjuk dan keberhasilan. Orang itu nantinya di hari kiamat bersama Fir’aun,
Haamaan dan Ubay bin Khalaf. (H.R. Ahmad dan al-Thabrani) [34]
Jawaban kita :
Al-Haitsami mengatakan, rijal Ahmad
terpercaya.[35]
Iraqi mengatakan, meskipun hadits ini shahih, tetapi tidak serta merta karena orang
meninggalkan shalat diazab dalam api neraka bersama Fir’un, Haamaan dan Ubay
bin Khalaf berdasarkan hadits ini orang yang meninggalkan shalat ini akan kekal
dalam api neraka bersama mereka. Karena bisa jadi orang meninggalkan shalat
diazab bersama mereka, tetapi kemudian dikeluarkan dari api neraka karena
mendapat syafaah dan diampuni dosa mereka.[36]
10. Firman Allah berbunyi :
فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوْا الصَّلاَةَ
وَآَتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّيْن.
Artinya
: Maka jika mereka taubat, mendirikan shalat dan memberi zakat, maka itulah
saudara kamu dalam agama (Q.S. al-Taubah : 11)
Mereka berpendapat syarat mutlak terjadinya
persaudaraan antara orang mukmin dan kaum musyrikin adalah mereka harus
bertaubat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Jika salah satu diantara
syarat tersebut tidak terpenuhi maka tali persaudaraan tidak bisa terbangun.
Jawaban kita :
Ayat di atas bukanlah menunjukan kepada kafir dan keluar
dari agama Islam, akan tetapi lebih menegaskan tentang kesempurnaan
persaudaraan, bukan asli persaudaraan. Buktinya salah satu ikatan persaudaraan
dalam ayat di atas adalah menunai zakat, padahal tidak ada ulama Islam yang
berpendapat tidak menunai zakat dapat menghilangkan persaudaraan Islam, alias
menjadi kafir.
11. Hadist diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri r.a dalam
kisah seorang laki-laki yang berkata pada Rasulullah SAW :
اتَّقِ اللهَ – وَفِيْهِ : فَقَالَ خَالِدٌ بن الوليد يَا
رَسُوْلَ الله ، أَلاَ أَضْرِبُ عُنَقَهُ ؟ فَقَالَ : لاَ، لَعَلَّهُ أَنْ
يَكُوْنَ يُصَلِى
Bertakwalah
kamu pada Allah -dalam hadist tersebut Khalid bin Walid berkata: wahai
Rasulullah apakah akan kutebas leher orang ini? , Rasulullah menjawab : jangan,
barangkali dia masih mengerjakan shalat (H.R. al-Bukhari).[37]
12. Hadist yang diriwayatkan Ummu Salamah r.a., bahwa
Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّهُ
يُسْتَعْمَلُ عَلَيْكُمْ أُمُرَاءُ فَتَعْرِفُوْنَ وَتَنْكِرُوْنَ ، فَمَنْ كَرِهَ
فَقَدْ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ فَقَدْ سَلِمَ، وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ فَقَالُوا
: أَفَلاَ نُقَاتِلُهُمْ؟ قَالَ : لاَ مَا صَلُّو.
Sesungguhnya
para pemimpin akan memerintahkan kalian yang kalian ketahui dan mengingkarinya,
siapa yang membencinya maka ia terbebas dari dosa, dan siapa yang
mengingkarinya maka ia selamat. Tetapi ia berdosa apabila rela dan
mengikutinya. Para sahabat bertanya : bolehkah kita memerangi mereka?
Rasulullah menjawab : “ Tidak, selama mereka mengerjakan shalat”(H.R Muslim).[38]
Jawaban kita :
Halalnya
membunuh orang yang meninggalkan shalat berdasarkan mafhum dua hadits di atas (hadits nomor 11 dan 12) bukanlah
karena dia telah kafir, akan tetapi hanya karena hukuman hudud atas orang-orang
yang meninggalkan shalat.
13. Pendapat kafir orang yang meninggalkan shalat merupakan
ijmak para sahabat Nabi. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan sebagai berikut
:
a. Abdullah bin Syaqiq r.a. (seorang Tabi’in), berkata :
كَانَ أَصْحَابُ النَّبِي صلى الله عليه وسلم لاَ يَرَوْنَ
شَيْئًا مِنَ الْأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرُ الصَّلاَةِ.
Para
sahabat Nabi SAW tidak melihat suatu amal apabila ditinggalkan adalah suatu
kekufuran kecuali shalat.
b. Umar bin Khatab r.a., berkata:
وَلاَ
حَظَّ فِي الإِسْلاَمِ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ
Tidak
ada bagiannya dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.
c. Ibnu Mas’ud r.a., berkata:
تَرْكُهَا كُفْرٌ
Meninggalkan
shalat adalah kufur
Ketiga kutipan di atas telah disebut oleh Mulla
al-Qari dalam kitab beliau, Mirqah al-Mafatih.[39]
Jawaban kita :
Dakwaan ijmak berdasarkan nash-nash di atas tertolak.
Buktinya sebagian besar imam-imam besar dari kalangan para salafusshalih
berpendapat sebaliknya. Seandainya betul terjadi ijmak para shabat, tidak
mungkin mereka menentangnya. Adapun mengenai nash pertama yang diriwayat oleh
al-Syaqiq, Imam al-Nawawi mengatakan, takwil kabar tersebut adalah orang yang
meninggalkan shalat sama hukumnya dengan orang kafir pada sebagian hukumnya,
yakni sama-sama mendapat hukuman dibunuh, bukan menjadi kafir. Menurut
al-Nawawi pentakwilan ini untuk mengkompromikan dengan nash-nash dan qawaid
syara’ yang menjelaskan meninggalkan shalat tidak menjadi kafir.[40]
Sesuai dengan penjelasan al-Nawawi ini juga kita memahami maksud dari perkataan
Ibnu Mas’ud. Atau bisa jadi Ibnu Mas’ud termasuk sahabat yang berpendapat
menjadi kafir orang yang meninggalkan shalat. Adapun perkataan Umar bin Khatab r.a bisa juga dipahami tidak masuk dalam Islam
yang sempurna. Jadi tidak menafikan masuk dalam golongan Islam, alias golongan
orang beriman.
[1] Al-Nawawi, Raudhah
al-Thalibin, Maktabah al-Islami, Beirut, Juz. II, Hal. 146
[2] Al-Iraqi, Tharh al-Tastrib fi
Syarh al-Taqrib, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut, Juz. II, Hal.
146-147.
[3] Imam Muslim, Syarah Muslim,
Muassisah Qurthubah, Juz. II, Hal. 93-94
[4] Imam Muslim, Syarah
Muslim, Muassisah Qurthubah, Juz. II, Hal. 55
[5] al-Thahawi
al-Hanafi , al-Aqidah al-Thahawiyah, Maktabah al-Islami, Hal.
9
[6] Ibrahim
al-Laqani, Jauharah al-Tauhid, (dicetak bersama Syarah al-Shawi
‘ala Jauharah al-Tauhid), Dar Ibn Katsir, Beirut, Hal. 402
[7] Al-Allusi, Ruh al-Ma’ani,
Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 50
[8] Al-Razi, Miftah
al-Ghaib, Maktabah Syamilah, Juz. X, Hal.. 98
[9] Al-Bukhari, Shahih
al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. VIII, Hal. 115, No. 6560
[10] Al-Iraqi, Tharh
al-Tastrib fi Syarh al-Taqrib, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut,
Juz. II, Hal. 147-148
[11] Al-Nawawi, Majmu’
Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. III, Hal. 20
[12]
Al-Haitsami, Majma’
al-Zawaid, Maktabah Syamilah, Juz. X, Hal. 348, No. 18382
[13] Al-Haitsami, Majma’
al-Zawaid, Maktabah Syamilah, Juz. X, Hal. 348.
[14]
Al-Nawawi, Majmu’
Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. III, Hal. 20
[15] Al-Iraqi, Tharh al-Tastrib fi
Syarh al-Taqrib, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut, Juz. II, Hal.
145
[16]
Al-Nawawi, Majmu’
Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. III, Hal. 19
[17]
Al-Iraqi, Tharh
al-Tastrib fi Syarh al-Taqrib, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut,
Juz. II, Hal. 147
[18] Al-Haitsami, Majma’
al-Zawaid, Maktabah Syamilah, Juz. VIII, Hal. 73, No. 13012
[19] Al-Haitsami, Majma’
al-Zawaid, Maktabah Syamilah, Juz. VIII, Hal. 73.
[20] Imam Muslim, Syarah
Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 82, No. 67
[21] Al-Iraqi, Tharh
al-Tastrib fi Syarh al-Taqrib, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut,
Juz. II, Hal. 146.
[22]
Al-Iraqi, Tharh
al-Tastrib fi Syarh al-Taqrib, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut,
Juz. II, Hal. 147
[23] Al-Iraqi, Tharh
al-Tastrib fi Syarh al-Taqrib, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut,
Juz. II, Hal. 146
[24]
Al-Iraqi, Tharh
al-Tastrib fi Syarh al-Taqrib, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut,
Juz. II, Hal. 146
[25] Al-Thabrani, Mu’jam
al-Thabrani, Maktabah Syamilah, Juz. XII, Hal. 174, No. 12800
[26]
Al-Iraqi, Tharh
al-Tastrib fi Syarh al-Taqrib, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut,
Juz. II, Hal. 147
[27] Al-Haitsami, Majma’
al-Zawaid, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 215, No. 7109
[28] Al-Haitsami, Majma’
al-Zawaid, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 215.
[29]
Al-Iraqi, Tharh
al-Tastrib fi Syarh al-Taqrib, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut,
Juz. II, Hal. 147
[30]
Al-Haitsami, Majma’
al-Zawaid, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 216, No. 7114
[31]
Al-Haitsami, Majma’
al-Zawaid, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 216.
[32]
Al-Iraqi, Tharh
al-Tastrib fi Syarh al-Taqrib, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut,
Juz. II, Hal. 147
[33]
Al-Iraqi, Tharh
al-Tastrib fi Syarh al-Taqrib, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut,
Juz. II, Hal. 146
[34]
Al-Haitsami, Majma’
al-Zawaid, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 292, No. 1611
[35]
Al-Haitsami, Majma’
al-Zawaid, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 292.
[36]
Al-Iraqi, Tharh
al-Tastrib fi Syarh al-Taqrib, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut,
Juz. II, Hal. 147
[37] Al-Bukhari, Shahih
al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 163, No. 4351
[38] Imam Muslim, Shahih
Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 1481, No. 1854
[39] Mulla
al-Qari, Mirqah al-Mafatih Syarh Misykah al-Mashaabih, Maktabah
Syamilah, Juz. II, Hal. 510
[40]
Al-Nawawi, Majmu’
Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. III, Hal. 20
Halo,
BalasHapusPerkenalkan, Nama saya Wenny
Saya adalah development dari ForexMart, Kami melihat website anda dan kami ingin mendiskusikan kerjasama kemitraan dengan Anda.
Boleh saya minta kontaknya untuk menjelaskan lebih lanjut atau anda bisa langsung menghubungi saya ke wenny@forexmart.com, terimakasih
Halo,
BalasHapusPerkenalkan, Nama saya Wenny
Saya adalah development dari ForexMart, Kami melihat website anda dan kami ingin mendiskusikan kerjasama kemitraan dengan Anda.
Boleh saya minta kontaknya untuk menjelaskan lebih lanjut atau anda bisa langsung menghubungi saya ke wenny@forexmart.com, terimakasih
Ustaz, bahas juga dong puasa tapi meninggalkan shalat. Apakah puasanya sah dan diterima ?
BalasHapussah dan diterima insya Allah. karena ibadah puasa tdk ada hubungan dengan shalat masalah sah dan kewajibannya
BalasHapusUstaz...saya adalah orang awam yang masih belajar agama dan ingin bertanyakan soalan kepada ustaz...
BalasHapusSoalan saya begini :
Jika seseorang itu tidak pernah mengerjakan sholat seumur hidupnya, adakah dia telah menjadi kafir?
Pohon pencerahan ustaz...terima kasih...
Ustaz...saya adalah orang awam yang sedang belajar ilmu agama. Saya ingin bertanyakan soalan kepada ustaz...
BalasHapusSoalan saya begini:
Adakah orang yang tidak pernah mengerjakan sholat seumur hidupnya telah menjadi kafir?
Pohon pencerahan ustaz...terima kasih...