Pada dasarnya membaca al-Qur’an, shalawat dan zikir dengan suara
keras pada saat mengiring jenazah merupakan perbuatan yang makruh dilakukan.
Larangan ini karena mengikuti atsar para Sahabat Nabi SAW dan para salaful shalih,
dimana mereka diam pada ketika mengantar jenazah, tidak mengeraskan suara
dengan membaca al-Qur’an, zikir dan lainnya. Imam Nawawi dalam al-Azkar
mengatakan :
“Ketahuilah, yang benar dan yang pendapat terpilih
adalah apa yang dilakukan oleh para salaf razhiallahu ‘anhum, yakni diam pada
ketika mengantar jenazah. Karena itu, mereka tidak mengeraskan suaranya dengan
membaca al-Qur’an, zikir dan lainnya. Hikmahnya zhahir, yaitu menetapkan
goresan pikiran dan mengkonsentrasikan pikiranya kepada yang berhubungan dengan
jenazah. Ini dituntut pada ketika itu.[1]
Atsar Sahabat itu tersebut berdasarkan riwayat dari Qiis Ibnu
‘Ubadah ;
كان اصحاب رسول الله صلعم يكرهون رفع
الصوت عند الجنائز وعند القتال و عند الذكر
Artinya : Sahabat Rasulullah SAW memakruhkan
mengeraskan suara di sisi jenazah, ketika berperang dan ketika zikir.(H.R.
Ibnu Munzir dan al-Baihaqi)[2]
Al-Hafidh
Ibnu Hajar al-Asqalany, sesudah mentakhrijkan hadits ini mengatakan, hadits mauquf ini shahih, telah
dikeluarkan oleh Abu Daud dan al-Hakim. Al-Baihaqi meriwayatnya dengan sanad
yang kuat dari al-Aswad bin Syaiban[3]
Dikalangan
Syafi’iyah, disamping Imam al-Nawawi, Qalyubi juga berpendapat sama dengannya.
Qalyubi mengatakan :
“Makruh mengeraskan suara pada jenazah, baik itu
dengan membaca al-Qur’an, zikir ataupun shalawat kepada Nabi SAW.”[4]
Berdasarkan
keterangan di atas, sebagaimana telah dijelaskan pada awal tulisan ini, maka
hukum mengeraskan suara pada jenazah, baik dengan membaca al-Qur’an, zikir,
shalawat dan lainnya, hukumnya adalah makruh. Namun pemandangan yang terjadi
sekarang, umumnya di Indonesia pada saat mengiring mayat justru yang dilakukan
oleh kebanyakan umat Islam adalah membaca al-Qur’an, zikir dan shalawat dengan
mengeraskan suaranya, sedangkan itu terjadi dihadapan para ulama dan
orang-orang shaleh dan mereka sendiri hanya diam dan tidak pernah melarangnya.
Kenapa ? ada apa ?
Jawab :
Kasus ini sebenarnya bukan hanya
terjadi pada masa sekarang, tetapi ini sudah pernah terjadi pada masa ulama-ulama
besar seperti zaman Amin al-Kurdi, Ibnu Ziyad, al-Nawawi al-Bantany dan
lain-lain. Berikut ini jawaban dari para ulama yang baru disebut tadi mengenai
persoalan ini, yaitu :
1.
Dalam al-Bujairumi ‘ala al-khatib disebutkan :
)وَكُرِهَ لَغَطٌ) أَيْ رَفْعُ الصَّوْتِ وَلَوْ
بِقُرْآنٍ أَوْ ذِكْرٍ أَوْ صَلَاةٍ عَلَى النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ -. اهـ. ق ل وَهَذَا بِاعْتِبَارِ مَا كَانَ فِي الصَّدْرِ الْأَوَّلِ،
وَإِلَّا فَالْآنَ لَا بَأْسَ بِذَلِكَ لِأَنَّهُ شِعَارٌ لِلْمَيِّتِ لِأَنَّ
تَرْكَهُ مُزْرٍ بِهِ؛ وَلَوْ قِيلَ بِوُجُوبِهِ لَمْ يَبْعُدُ كَمَا نَقَلَهُ
الْمَدَابِغِيُّ.
Makruh mengeras suara meskipun itu
al-Quran, zikir atau shalawat atas Nabi SAW . demikian Qalyubi. Ini i’tibar
pada zaman pertama. Jika tidak, maka sekarang tidak mengapa yyang demikian itu,
karena hal itu merupakan syi’ar bagi mayat. karena meninggalkannya merupakan aib
bagi mayat, sehingga kalau dikatakan wajib, maka itu tidak jauh sebagaimana
dikutip oleh al-Madaabighii.[5]
2.
Syeikh Nawawi
al-Jawi al-Bantany dalam mengomentari pendapat Qalyubi di atas, mengutip
pernyataan al-Mudabaghi yang mengatakan :
“Ini dengan i’tibar yang terjadi pada zaman awal.
Adapun sekarang, tidak mengapa demikian, karena itu merupakan syi’ar bagi mayat
dan meninggalkannya merupakan perbuatan tercela.”[6]
3.
Ibnu Ziyad
mengatakan :
“Telah menjadi kebiasaan di negeri kami, Zabiid
menjiharkan zikir di hadapan jenazah dengan disaksikan oleh para ulama, fuqaha dan orang-orang shaleh. Sementara
itu, telah menjadi umum terjadi berdasarkan apa yang kami persaksikan bahwa
umumnya kelompok-kelompok manusia menyibukkan dirinya dengan pembicaraan
duniawi dan kadang-kadang hal itu mengarah kepada mengumpat atau lainnya dalam
bentuk kalam yang diharamkan. Karena itu, pendapat yang aku pilih, sesungguhnya
menyibukkan pendengaran mereka dengan mendengar zikir yang mengakibatkan mereka
meninggalkan atau mengurangi berbicara yang bersifat duniawi atau yang
diharamkan itu lebih baik daripada membiarkan mereka berbicara pembicaraan yang
bersifat duniawi. Ini untuk mengambil yang seringan-ringan dari dua mafasid
(kerusakan), sebagaimana berlaku pada qaidah syar’iyah. Baik itu zikir, tahlil
dan lainnya.”[7]
Fatwa Ibnu Ziyad ini juga telah dikutip oleh Sayyed
Abdurrahman bin Muhammad Ba’Alawi dalam kitab beliau, Bughyatul Mustarsyidin[8]
4.
Amin
al-Kurdy mengatakan :
“Makruh mengeraskan suara, berbicara tentang
urusan duniawi dan meninggikan suara kecuali dengan membaca al-Qur’an, zikir
dan shalawat kepada Nabi SAW, maka tidak mengapa pada zaman sekarang, karena
hal itu merupakan syi’ar bagi jenazah. Karena itu meninggalkannya justru
menjadi memutuskan syi’ar itu. Adapun perkataan Qalyubi bahwa hal itu makruh
juga, itu hanya i’tibar terjadi pada masa yang pertama (masa salaful shaleh),
sebagaimana yang dikatakan oleh al-Ramli.”[9]
Berdasarkan keterangan tiga orang ulama besar dari
kalangan Syafi’iyah di atas, dapat dipahami bahwa larangan mengeraskan suara
membaca al-Qur’an, zikir dan membaca shalawat kepada Nabi SAW yang didasarkan
kepada atsar sahabat Nabi SAW dan fatwa ulama-ulama terdahulu tidak berarti
larangan tersebut juga berlaku pada zaman sekarang. Hal ini karena larangan
tersebut muncul dalam konteks dituntut pada waktu menghadiri jenazah untuk
bertafakur dan mengingat Allah SWT. Namun pada zaman sekarang yang terjadi
justru orang-orang banyak bergosip, mengumpat dan membicarakan masalah-masalah
duniawi, bahkan pembicaraan-pembicaraan haram pada saat hadir di hadapan
jenazah. Oleh karena itu, larangan tersebut tidak dapat diberlakukan pada zaman
ini, bahkan pada zaman sekarang, dianjurkan supaya mengeraskan suara dengan
membaca al-Qur’an, zikir dan membaca shalawat kepada Nabi SAW agar orang-orang
menjadi sibuk dengan mendengar bacaan al-Qur’an, zikir dan shalawat itu dan karena
itu, tidak sempat atau mengurangi membicarakan hal-hal yang diharamkan pada
ketika hadir di hadapan jenazah, sebagaimana telah dijelaskan oleh tiga orang
ulama di atas.
[1] Imam al-Nawawi, al-Azkar, al-Haramain, Singapura,
Hal. 145
[2] Ibnu ‘Allan, Futuhaat al-Rabbaniyah ‘ala al-Azkar,
Darul Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut, Juz. IV, Hal. 183-184
[3] Ibnu ‘Allan, Futuhaat al-Rabbaniyah ‘ala al-Azkar,
Darul Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut, Juz. IV, Hal. 184
[4] Qalyubi, Hasyiah Qalyubi wa Umairah, Darul Ihya
al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 347
[6] Nawawi al-Jawi, Nihayah al-Zain, Dar al-Kutub
al-Islamiyah, Jakarta ,
Hal. 177
[7] Ibnu ‘Allan, Futuhaat al-Rabbaniyah al-Azkar, Darul
Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut, Juz. IV, Hal. 183.
[8] Sayyed Abdurrahman bin Muhammad Ba’Alawi, Bughyatul
Mustarsyidin, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 93
[9] Amin al-Kurdy, Tanwir al-Qulub, Thaha Putra,
Semarang, Hal. 213
Tidak ada komentar:
Posting Komentar