Para
ulama sepakat bahwa seseorang yang sudah meninggal dunia masih dapat bermanfaat
untuknya amalan orang yang masih hidup seperti
doa, sadaqah, haji. Namun ada beberapa
amalan yang diperselisihkan seperti fidyah shalat. Imam al-Nawawi mengatakan dalam Syarah Muslim :
وَأَمَّا مَا حَكَاهُ أَقْضَى الْقُضَاةِ أَبُو الْحَسَنِ
الْمَاوَرْدِيُّ البصرى الفقيه الشَّافِعِيُّ فِي كِتَابِهِ الْحَاوِي عَنْ بَعْضِ
أَصْحَابِ الْكَلَامِ مِنْ أَنَّ الْمَيِّتَ لَا يَلْحَقُهُ بَعْدَ مَوْتِهِ
ثَوَابٌ فَهُوَ مَذْهَبٌ بَاطِلٌ قَطْعًا وَخَطَأٌ بَيِّنٌ مُخَالِفٌ لِنُصُوصِ
الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَإِجْمَاعِ الْأُمَّةِ فَلَا الْتِفَاتَ إِلَيْهِ وَلَا
تَعْرِيجَ عَلَيْهِ
Adapun
yang dihikayah oleh Aqzha al-Quzha Abu al-Hasan al-Mawardi al-Bashri al-Faqih
al-Syafi’i dalam kitabnya al-Hawi dari sebagian ashhab kalam, bahwa simati
tidak dihubungkan pahala apapun setelah kematiannya merupakan mazhab bathil
secara pasti dan tersalah serta menyalahi nash-nash al-Kitab, al-Sunnah dan
ijmak ummat. Karena itu, tidak boleh memperhatikannya dan memperdulikannya.[1]
Kebolehan
memberikan fidyah shalat orang yang sudah meningggal dunia lebih masyhur dikenal dalam mazhab Hanafi. Bahkan Ibnu
‘Abidin salah seorang ulama mutakhirin Hanafiyah mengatakan memberi fidyah
shalat ini hanya ada dalam mazhab Hanafi. Dalam Majmu’ah Rasailnya, beliau mengatakan :
اعلم ان فدية الصلاة مما انفرد بها مذهب ابي
حينفة رحمه الله تعالى الذي قاسه مشائخ مذهبه على الصوم واستحسنوه وامروا به
Ketahuilah sesungguhnya fidyah shalat termasuk
yang menyendiri mazhab Abu Hanifah rhm, dimana para masyaikh mazhab Abu Hanifah
mengqiyasnya kepada puasa dan mereka mengistihsan dan memerintahkannya.[2]
Dengan demikian, sejauh
pernyataan Ibnu Abidin ini, maka mazhab Maliki, Hanbali dan Syafi’i (pendapat
mu’tamad dalam Mazhab Syafi’i sebagaimana penjelasan setelah ini) tidak mengenal
pemberian fidyah shalat.
Dalam literatur
mazhab Hanafi lainnya, kebolehan memberikan fidyah shalat ini dapat dilihat
antara lain :
1.
Al-Sarkhasi
tokoh mazhab Hanafi mengatakan :
وَعَلَى هَذَا إذَا مَاتَ،
وَعَلَيْهِ صَلَوَاتٌ يُطْعِمُ عَنْهُ لِكُلِّ صَلَاةٍ نِصْفَ صَاعٍ مِنْ حِنْطَةٍ
وَكَانَ مُحَمَّدُ بْنُ مُقَاتِلٍ يَقُولُ أَوَّلًا: يُطْعِمُ عَنْهُ لِصَلَوَاتِ
كُلِّ يَوْمٍ نِصْفَ صَاعٍ عَلَى قِيَاسِ الصَّوْمِ ثُمَّ رَجَعَ فَقَالَ: كُلُّ
صَلَاةٍ فَرْضٌ عَلَى حِدَةٍ بِمَنْزِلَةِ صَوْمِ يَوْمٍ، وَهُوَ الصَّحِيحُ
Berdasarkan
ini, apabila seeorang mati dan diatasnya ada kewajiban shalat, maka diberikan
untuk setiap shalat yang ditinggalkannya setengah sha’ hinthah. Muhammad bin
Muqatil mengatakan, pertama : diberikan makanan untuk simati karena semua
shalat setiap satu hari setengah sha’ dengan jalan qiyas kepada puasa, kemudian
beliau ruju’ dari pendapat tersebut dan mengatakan, setiap shalat fardhu atas
hitungan sama dengan puasa satu hari. Ini pedapat shahih. [3]
2.
Ibnu Abidin tokoh mazhab
Hanafi mengatakan :
قَالَ فِي الْفَتْحِ وَالصَّلَاةُ كَالصَّوْمِ بِاسْتِحْسَانِ
الْمَشَايِخِ.
وَجْهُهُ أَنَّ الْمُمَاثَلَةَ قَدْ ثَبَتَتْ شَرْعًا بَيْنَ
الصَّوْمِ وَالْإِطْعَامِ وَالْمُمَاثَلَةُ بَيْنَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمِ
ثَابِتَةٌ وَمِثْلُ مِثْلِ الشَّيْءِ جَازَ أَنْ يَكُونَ مِثْلًا لِذَلِكَ
الشَّيْءِ وَعَلَى تَقْدِيرِ ذَلِكَ يَجِبُ الْإِطْعَامُ وَعَلَى تَقْدِيرِ
عَدَمِهَا لَا يَجِبُ فَالِاحْتِيَاطُ فِي الْإِيجَابِ
Pengarang al-Fath mengatakan, shalat
seperti puasa dengan jalan istihsan para masyaikh. Jalan istihsannya
sesungguhnya kesamaaan antara puasa dan memberikan makanan telah shahih ada
pada syara’, sedangkan kesamaan antara shalat dan puasa juga shahih ada pada
syara’. Adapun yang sama dengan yang sama dengan sesuatu boleh sama dengan
sesuatu tersebut. Berdasarkan ini, maka wajib memberikan makanan dan
berdasarkan tidak sama, maka tidak wajib. Namun ihtiyathnya wajib.[4]
Pendapat mu’tamad mazhab
Syafi’i
Menurut pendapat yang mu’tamad dalam
mazhab Syafi’i, orang yang sudah meninggal tidak diberikan fidyah. Namun demikian
ada ulama dari kalangan Syafi’iyah seperti al-Baghwi dan lainnya yang
berpendapat berbeda dengan mazhabnya. Ini dapat dilihat dalam kutipan di bawah
ini :
1.
Imam al-Nawawi tokoh
mazhab Syafi’i dalam Majmu’ Syarah al-Muhazzab mengatakan :
لَوْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صَلَاةٌ أَوْ اعْتِكَافٌ لَمْ
يَفْعَلْهُمَا عَنْهُ وَلِيُّهُ وَلَا يَسْقُطُ عَنْهُ بِالْفِدْيَةِ صَلَاةٌ
وَلَا اعْتِكَافٌ هَذَا هُوَ الْمَشْهُورُ فِي الْمَذْهَبِ وَالْمَعْرُوفُ مِنْ
نُصُوصِ الشَّافِعِيِّ فِي الام وغيره ونقل الْبُوَيْطِيُّ عَنْ الشَّافِعِيِّ
أَنَّهُ قَالَ فِي الِاعْتِكَافِ يعتكف عنه وليه وفى وراية يُطْعِمُ عَنْهُ قَالَ
الْبَغَوِيّ وَلَا يَبْعُدُ تَخْرِيجُ هَذَا فِي الصَّلَاةِ فَيُطْعَمُ عَنْ كُلِّ
صَلَاةٍ مُدٌّ
Jika seseorang mati dan atasnya ada
kewajiban shalat atau i’tikaf, maka tidak dilakukan untuknya oleh walinya dan
tidak gugur shalat dan i’tikaf dengan sebab fidyah. Ini yan masyhur dalam
mazhab dan ma’ruf dari nash-nash Syafi’i dalam al-Um dan lainnya . Namun
al-Buwaithi pernah menaqal dari Syafi’i bahwa beliau mengatakan dalam masalah
i’tikaf, mengi’tikaf oleh walinya untuk simati. Dalam satu riwayat,diberikan
makanan. Al-Baghwi mengatakan, Tidak jauh untuk ditakhrij (dihubungkan
hukumnya) ini kepada shalat, maka diberikan satu mud untuk setiap shalat.[5]
2.
Imam al-Nawawi mengatakan
dalam Syarah Muslim :
وَقَالَ الْإِمَامُ أَبُو مُحَمَّدٍ الْبَغَوِيُّ مِنْ
أَصْحَابِنَا فِي كِتَابِهِ التَّهْذِيبُ لَا يَبْعُدُ أَنْ يُطْعَمَ عَنْ كُلِّ
صَلَاةٍ مُدٌّ مِنْ طَعَامٍ وَكُلُّ هَذِهِ الْمَذَاهِبِ ضَعِيفَةٌ وَدَلِيلُهُمُ
الْقِيَاسُ عَلَى الدُّعَاءِ وَالصَّدَقَةِ وَالْحَجِّ فَإِنَّهَا تَصِلُ
بِالْإِجْمَاعِ وَدَلِيلُ الشَّافِعِيِّ وَمُوَافِقِيهِ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى وَقَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مات بن آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ
صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
Imam Abu Muhammad al-Baghwi dari kalangan
Syafi’yah mengatakan dalam kitabnya al-Tahzib, tidak jauh bahwa diberikan
makanan untuk setiap shalat satu mud makanan. Semua pendapat ini dhaif. Dalil mereka
adalah qiyas kepada doa, shadaqah dan haji, karena semuanya itu sampai
pahalanya dengan ijmak. Dalilnya Imam Syafi’i dan yang setuju dengannya firman
Allah : “Tidak ada bagi manusia kecuali apa yang diusahakannya dan hadits Nabi
SAW : “Apabila mati anak Adam, maka terputus amalnya kecuali tiga perkara,
yakni sadaqah jariah, ilmu yan bermanfaat dan anak shaleh yang mendoakannya.[6]
3.
Al-Nawawi mengatakan :
(وَلَوْ
مَاتَ وَعَلَيْهِ صَلَاةٌ أَوْ اعْتِكَافٌ لَمْ يَفْعَلْ) ذَلِكَ. (عَنْهُ)
وَلِيُّهُ (وَلَا فِدْيَةَ)
لَهُ.
Kalau seseorang meninggal dunia,
atasnya ada hutang shalat atau i’tiqaf yang ditinggalkannya,maka walinya tidak boleh
melakukan shalat sebagai penggantinya dan tidak juga fidyah sebagai pengganti
shalat.
Qalyubi dalam mengomentari pernyataan Nawawi
di atas, berkata :
وَفِيهَا وَجْهٌ أَنَّهُ يُطْعِمُ عَنْهُ لِكُلِّ صَلَاةٍ
مُدٌّ قَالَ بَعْضُ مَشَايِخِنَا
وَهَذَا مِنْ عَمَلِ الشَّخْصِ لِنَفْسِهِ فَيَجُوزُ
تَقْلِيدُهُ لِأَنَّهُ مِنْ مُقَابِلِ الْأَصَحِّ
Dalam hal shalat ada satu pendapat (wajh),
wali memberikan untuk setiap shalat satu mud makanan. Sebagian masyaikh kita mengatakan bahwa ini termasuk amalan
untuk diri sendiri, maka boleh mengtaqlidnya, karena itu adalah muqabil ashah.[7]
4.
‘Ali Syibran al-Malasi mengatakan :
وَوَجَّهَ عَلَيْهِ كَثِيرُونَ مِنْ أَصْحَابِنَا أَنَّهُ
يُطْعِمُ عَنْ كُلِّ صَلَاةٍ مُدًّا
Dikuatkan atasnya oleh kebanyakan
pengikut Syafi’i bahwa diberikan makanan untuk setiap shalat satu mud.[8]
Diantara dalil
yang kemukakan ulama-ulama yang berpendapat boleh memberikan fidyah shalat,
antara lain :
1. Hadits Ibnu Abbas :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ،
قَالَ: لَا يُصَلِّي أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ، وَلَا يَصُومُ أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ
وَلَكِنْ يُطْعِمُ عَنْهُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مُدًّا مِنْ حِنْطَةٍ
Dari Ibnu
Abbas, mengatakan tidak shalat seseorang untuk orang lain dan tidak berpuasa
seseorang untuk orang lain, akan tetapi memberikan makanan untuknya untuk
setiap hari satu mud hinthah.(H.R. al-Nisa-i)[9]
2.
Hadits Ibnu Umar berbunyi
:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ:
لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ، وَلَا يَصُومَنَّ أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ
وَلَكِنْ إِنْ كُنْتَ فَاعِلًا تَصَدَّقْتَ عَنْهُ أَوْ أَهْدَيْتَ
Dari Ibnu Umar
mengatakan, tidak shalat seseorang untuk orang lain dan tidak berpuasa
seseorang untuk orang lain, akan tetapi seandainya kamu melakukannya, maka
bersedekahlah atau memberikan hadiah.(H.R. Abdurrazaq)[10]
3.
Qiyas kepada doa,
shadaqah dan haji, dimana ketiga amalan ini ijmak ulama sampai pahalanya kepada
simati.
Diantara dalil
yang kemukakan ulama-ulama yang berpendapat tidak boleh memberikan fidyah
shalat, antara lain :
1.
Firman Allah Q.S. al-Najm : 39, berbunyi :
وَأَنْ لَيْسَ
لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
Dan bahwasanya seorang manusia tiada
memperoleh selain apa yang telah diusahakannya (Q.S. an-Najm : 39)
2.
Hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah, yang
berbunyi :
إذا مات
الإنسان انقطع عنه عمله إلا من ثلاثة إلا من صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد
صالح يدعو له
Apabila
meninggal seorang manusia, maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga
perkara, yaitu sadaqah jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shaleh yang
mau berdo’a untuknya. (H.R. Muslim)[11]
Catatan :
1.
Tulisan ini bertujuan
untuk mendudukkan persoalan fidyah shalat yang sering dilakukan ditengah
masyarakat kita, khususnya di Aceh dalam posisi yang benar
2.
Berdasarkan penjelasan di
atas, diketahui bahwa masalah fidyah shalat merupakan masalah khilafiyah di
antara ulama mazhab. Karena itu, kebiasaan tersebut bukanlah suatu kemungkaran
bagi sebagian umat Islam yang tidak menyetujuinya. Sebab masalah ini termasuk
ranah ijtihad ulama. Para ulama sepakat yang menjadi perbuatan mungkar adalah
yang menyelisih ijmak ulama. Adapun perkara yang diperselisih ulama seperti
fidyah shalat ini bukanlah perbuatan mungkar, meskipun mungkin sebagian kita tidak menyetujuinya.
[1] Al-Nawawi, Syarah
Muslim, Muassisah Qurthubah, Juz. I, Hal. 133
[2] Ibnu Abidin, Majmu’
ah Rasail Ibnu Abidin, Juz. I, Hal. 223
[3]
Al-Sarkhasi, al-Mabsuth,
Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 90
[4] Ibnu Abidin, Rad al-Mukhtar ala Dar
al-Mukhtar, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 245
[5] Al-Nawawi, al-Majmu’
Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. VI, Hal. 420
[6]
Al-Nawawi, Syarah
Muslim, Muassisah Qurthubah,Juz. I,
Hal. 133-134
[7] An-Nawawi dan Qalyubi, Minhaj at-Thalibin dan Hasyiahnya,
Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia ,
Juz. II, Hal. 67
[8] ‘Ali Syibran al-Malasi, Hasyiah ‘Ali Syibran
al-Malasi ‘ala Nihayah al-Muhtaj, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. III, Hal. 193
[9]
Al-Nisa-i, Sunan
al-Nisa-i, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 257, No. 2930
[10] Abdurrazaq, Mushannaf
Abdurrazaq, Maktabah Syamilah, Juz. IX, Hal. 61, No. 16346
[11] Imam Muslim, Shahih
Muslim, Maktabah Dahlan ,
Indonesia , Juz.
III, Hal. 1255, No. Hadits : 1631
Assalamu'alaykum. Bapa, saya ingin bertanya, benarkah jika usai takbiratul ihram lalu kita bergerak (sengaja atau tidak disengaja) bisa membatalkan shalat? Terimakasih. wassalam
BalasHapushanya apabila bergerak tigga kali berturut turut secara sengaja, maka batal shalat, karena tiga kali secara berturut turut dianggap banyak. akkan tetapi apabila bergerak itu gerakan ringan seperti gerakan anak jari tangan, maka ini di maafkan
HapusAssalamualaikum..
BalasHapusGure kamo yg Mulia.
Lon nak tanyeng bacut bidang hukum fidyah sholat cit.. cuman nyo ureng mntg hudep.. saboh keterangan dri sdro gure.. yg bahwa wajib bgi yg meninggal sholat dengan sengaja...wajib kadha.. dan wajib fidiyah juga...fidyah manfaat nya penebus melalaikan waktu sholat...mohon jawabannya dri gure ...
Trimeng geunaseuh 🙏😊😊😊
saya belom pernah mendengar pendapat ulama yang mengatakan wajib bayar fidyah shalat bagi orang yg meninggalkan shalat selain qadha bagi yang masih hidup. utk yg berpendapat seperti itu tentu perlu dalil nya . atau setidaknya nash ulama yg muktabar. kalau wajib fidyah dgn alasan melalaikan kewajiban, berarti semua ibadah yg dilalaikan wajib juga fidyah. ???.
Hapusbahkan dalam hadits muslim disebutkan
Hadits Nabi SAW :
من نسي الصلاة أونام عنها فكفارتها أن يصليها إذاذكرها
Artinya : Barangsiapa meninggalkan shalat karena lupa atau karena tertidur, maka kifaratnya adalah shalat apabila sudah mengingatnya.(H.R. Muslim)
hadits riwayat Bukhari dan Muslim :
مَنْ نَسِيَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا لاَ كَفَّارَةَ لَهَا إِلاَّ ذَلِكَ
Artinya : Barangsiapa yang lupa shalat, maka hendaklah dia shalat apabila sudah mengingatnya kembali, tidak ada kifarat untuknya kecuali itu.(H.R.Bukhari dan Muslim )
dalam hadits di atas.bahkan disebutkan tidak ada kifarat kecuali melaksanakan kembali shalatnya (qadha)
wallahua'lam bisshawab